• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Minggu, 12 Oktober. Rasanya aku tak perlu susah-susah menyusun itinerary untuk menghabiskan waktu. Kebetulan saja Bontang sedang merayakan hari jadinya yang ke 15, jadi ada serangkaian acara yang seru untuk memperingatinya dan aku berinisiatif untuk berburu foto disana. Mulainya emang jam sembilan pagi, tapi aku berangkat jam setengah sepuluh, jadinya aku terjebak kemacetan parah di sepanjang jalan.
Biasanya sih kalau di Lumajang aku ogah-ogahan nonton acara pawai seperti ini. Panas, sesak, dan rawan copet, hehe. Tapi karena nggak ada kerjaan lain, maka aku nekatin aja kesana, melawan cuaca terik demi mengasah kemampuan fotografiku. Hehe. Berhubung aku bawa mirrorless kesayangan, jadinya nggak repot berat-berat bawa kesana kesini. Simpel :D Aku huntingnya bareng sama temen-temen PLN.
Untuk konsep BCC (Bontang City Carnival) ini mirip seperti karnaval JFC di Jember, cuma ini mengusung budaya-budaya yang telah berkembang di Bontang karena dibawa oleh pendatang yang menetap di Bontang, seperti budaya Bugis, Minang, Bali, Banyuwangi, Jawa, Ponorogo, Dayak, dan Toraja. Mungkin sekedar pengingat saja bagi masyarakan Bontang, kesatuan dalam keberagaman itu indah :)












Beberapa gambar diatas adalah suasana BCC. Banyak kreativitas tercipta disini !
0
Share


“Paksa..paksa,!!”
Aku melihat seorang cewek bergelantungan di papan yang penuh dengan tojolan batu buatan. Tingginya hanya tiga meter, tetapi sangat lebar, katanya buat boulder yang melatih endurance. Hmm…baru datang juga udah disambut dengan teriakan gitu. Hari ini perdana aku ikut latihan regular wall climbing yang diadakan oleh FPTI di kota Bontang.
Gedebuk, ahhhh !

Teriak cewek yang sempat bergelantungan tadi, akhirnya dia jatuh bebas ke matras dibawahnya. “Baru sebentar udah jatoh!” teriaknya.
“Yaudah mbak, pemanasan dulu, langsung panjat saja setelah itu,” seorang cowok menegurku dari pinggir matras. Aku bengong, naik?
“Naiknya gimana?” tanyaku polos, membuat beberapa dari mereka menahan tawanya. “Terus turunnya?”
“Ya naik aja, semua batu yang ada diatasmu kamu pegang aja. Kalau turun ya turun aja, jangan lompat.”
Oke, setelah pemanasan, aku segera naik ke dinding yang vertical, belum ke dinding yang memiliki kemiringan kurang dari 90 derajat. Sebelumnya aku melumuri jariku dengan magnesium karbonat biar nggak licin dan memakai sepatu panjat yang super sempit. Emakku sebenarnya kurang setuju mengikuti wall climbing ini, karena dianggap berbahaya, dan bisa menghitamkan kulit. Nggak hanya itu, emakku juga bilang kurang kerjaan, udah tua baru ngikut panjat tebing. Tapi karena ayahku mendukungku, membuatku makin menjadi saja, hehe.
Pertama naik masih enteng, eh pijakan kedua udah kerasa berat banget, kayaknya mau jatuh. Bebatuan yang kayaknya enak buat dipegang ternyata nggak ada enak-enaknya sama sekali, sakit dan susah. Rasanya tubuh makin berat saja…ingin jatuh !
“Mbak yang baju item, ayo otot lelahnya harus dilawan !” aku bergidik dengar suara seseorang meneriakiku. Dan akhirnya…gedebuk ! Aku jatuh. Padahal baru dua kali naik.
“Yaaah…” penonton bersorak kecewa. Kutepuk-tepuk celanaku yang terlumuri magnesium.
Itu baru pertama kali latihan, keesokan harinya seluruh badanku aku lumuri counterpain. Pegel semua bung !
Latihan kedua, aku lebih pede. Aku anggap saja naik tangga agar tampak lebih ringan. Tapi sayangnya, insiden gedebak gedebuk masih terjadi.
“Biasa mbak kalo masih baru gitu, berat.” Kata seorang cewek, atlit panjat Bontang. “Sering-sering pull up dan latihan fisik yang menggunakan otot tangan dan pelemasan kaki Nanti juga terbiasa.”
“Eh, iya iya” Jawabku malu-malu. Ehm, grogi aja kalau latihan sama atlit yang udah juara sana-sini, sama anak yang masih berusia dibawah 20 tahun, masih SD, SMP, serasa emak-emak tuwir aja, hahaha. Biasanya kalau mereka latihan mengenakan jaket PON, atau KEJURDA, lah aku pake jaket gambar kelinci. Malunya tuh disanaa….
Berkat dorongan oleh atlit-atlit, aku jadi rajin pull up atau gelandotan di ventilasi kamar. Walaupun belum kuat mengangkat massa tubuh, tapi tetap terus dilatih dengan cara-cara yang diajarin temen baruku.
Latihan yang kesekian kali. Aku makin percaya diri. Aku coba naik dan menipu diri bahwa dinding ini sangat mudah, eh ternyata memang mudah ! Aku bisa melampaui dinding setinggi tiga meter itu, lalu jalan kesamping, dan jatuh. Tapi aku terus mencoba.
Kucoba naik lagi, eh ternyata aku makin lincah dengan bimbingan temen-temen. Dipandu pegang batu yang mana, disuruh jongkok dan macam-macam gaya yang aku ekspresikan sesuka hatiku. Yah, walaupun belum seleantur atlit beneran yang manjat kayak ular merayap, setidaknya aku bangga dengan perkembanganku saat ini.
Aku coba panjat lagi. Kali ini penuh sorak sorai dari temen-temen cewek, mendukungku dan menuntunku untuk memijak batu yang mana. Sedangkan dari temen yang cowok malah teriakin awas jatuh, yaah…pokoknya untuk mengendurkan semangat. Tapi untunglah aku cewek yang tak mudah mengindahkan sorakan-sorakan itu, aku makin mantap melangkah saja. Konsentrasi penuh.
Sebenernya motivasiku mengikuti wall climbing ini bukan untuk menjadi atlit. Tapi untuk menyalurkan bakat dan minatku yang suka panjat-panjat tiang listrik 20 KV. Aku hanya ingin bisa, paham dan mengerti prinsip memanjat tebing itu seperti apa, hmm…ternyata mencapai suatu tujuan itu membutuhkan proses dan perjuangan yang panjang ya :)
 
0
Share
Selamat !
Majalah Travel Fotografi Bulan Oktober
Majalah Digital Camera
Aku terbengong-bengong menatap majalah di hadapanku saat berada di toko buku. Nyeess...loh..fotoku masuk Majalah Travel Fotografi terbitan Kompas Gramedia ! Kebetulan saja aku mengetahuinya, karena tidak ada kabar tertulis dari pihak majalah. Jadi untuk menuntaskan rasa penasaran, aku cek majalah edisi terbaru (kebetulan sekali ada yang segelnya telah terbuka) Waaah ternyata ada fotoku dimuat beneran ! Padahal iseng, dan belum ada profesionalnya sama sekali, haha.
Entah mengapa aku mengambil majalah digital kamera yang disusun disebelah majalah Travel Fotografi gara-gara membaca judul utamanya yang menarik : trik mengambil gambar landscape.
Majalah itu kubawa pulang sambil berjoget-joget. Karena kondisi majalah Digital Kamera masih tersegel dan ingin segera kubaca isinya, maka segera kusobek segelnya, dan...entah mengapa fotoku juga dimuat disana. Foto yang sama dengan yang dimuat di Travel Fotografi, memang satu penerbit sih, tapi kejadian ini buat aku makin girang, tak bisa bernafas saking girangnya dan semangat mempelajari dunia lensa...

Sekali lagi, Selamat, Une !

0
Share

Petualangan untuk mengasah kemampuan fotografiku tetap berlanjut. Harus dilakukan sesering mungkin agar bakatku makin tajam, bukan hanya amatiran yang hanya bisa menggunakan mode Auto Everywhere. Seperti biasa, hari Minggu ditemani dengan kawan cewek yang hobi fotografi juga (sebut saja Winda, yang pernah aku ceritakan) mengunjungi Sekambing. Sekambing? Satu Kambing maksudnya? Haha...ya nggak lah, Sekambing merupakan nama daerah di Bontang tempat Kantor Walikota Baru. Daerahnya masih sepi sekali, masih penuh dengan ilalang dan bukit-bukit yang sedikit terbakar. Tak bisa dibayangkan, bukit-bukit cantik ini beberapa tahun mendatang, apa tetap dipertahankan keasliannya atau telah didirikan rumah dan villa. Kita tunggu saja.
Selamat Datang di Bontang

Oh ya, selain Pusat Pemerintahan Kota Bontang, juga ada Kantor DPRD dan Stadion di kawasan Sekambing. Memang sih, kadang kita berpikir, kenapa pusat pemerintahan kok dibangun di tempat yang jauh dari keramaian dan pusat kota? Jawabannya adalah : pemerataan, ingin mengembangkan daerah Sekambing.
Berfoto di depan Tugu khatulistiwa, pas disebelah Perbatasan Bontang dan Kutai Timur (pintu masuk Kota Bontang)
Sebenarnya aku dan Winda berniat untuk naik ke bukit cantik yang aku maksud, akan tetapi pikiran akan ada ular atau hewan lainnya membuat kami keder juga. Apalagi aku pakai rok dan ilalangnya sangat tinggi. Nekat sekali kalau kita sampai naik keatas bukit itu, tak sebanding dengan resiko yang didapatkan.
Ingin tahu penampakan bukitnya? Let's see.
Sweep Panorama !
Aku tahu keberadaan bukit-bukit cantik ini dari rubrik Lensa di Bontang Post. Bukit itu tampak sangat hijau dan garis-garis sinar yang menembus dedaunan membuat suasana makin elegan. Ah...suatu saat pasti bisa ke bukit itu...buat obat kangen naik gunung :)
0
Share
Kali ini aku ingin trip sendiri. Mencari tujuan yang baru tanpa ditemani orang lain. Untuk tujuan hari ini, aku menjelah tempat yang kebetulan aku temukan, tanpa survei sebelumnya. Letaknya jauh dari kontrakan, hampir setengah jam aku mengendarai motor, akhirnya sampai di suatu tempat di ujung Bontang, desa Pagung.
Seperti hamparan laut dangkal dengan air payau jernih yang ditumbuhi dengan mangrove untuk bertujuan mengurangi abrasi, kawasan itu dibelah dengan jembatan ulin yang memanjang ketengah, dan dipenuhi oleh hamparan rumput laut yang jenisnya bermacam-macam tengah dijemur. Sepengetahuanku, rumput laut tersebut diimpor dan digunakan bahan baku untuk jelli, es krim atau kosmetika.


Cuaca saat itu cukup terik, tapi tetap kujelajahi tempat itu. Anak-anak kecil berlarian sana sini sambil memegang pancing, ternyata mereka berlari menuju jembatan paling ujung di tempat itu. Mereka memancing sambil mendengarkan musik masa kini.

"Mancing kepiting kak, buat seru-seruan aja." Katanya kepadaku. Betapa sederhana hidup mereka, bermain dengan alam, bukan dengan gadget canggih seperti sekarang.
Siang makin panas, tampaknya aku harus segera mengakhiri trip kali ini, kenapa? Aku menuju tempat ini tanpa membawa air minum, tak ayal tenggorokanku menjadi kering tak tertahankan. Di kawasan ini tak terdapat toko kelontong, sehingga aku harus sedikit bertahan mencari air minum di toko yang sedikit jauh.
See You Next Trip :)
0
Share
Seperti biasa, Minggu menjadi hari libur pekerja kantoran. Dan seperti yang pernah aku katakan, setiap Minggu setidaknya harus membuat satu itinerary kecil-kecilan untuk membunuh rasa bosan yang melanda tiap akhir pekan. Untuk edisi minggu ini, hal yang aku lakukan untuk membunuhnya adalah : Berkunjung ke 'Tana Toraja'
Mungkin sebagian dari kalian berpikir : Buset, Une nih jutawan banget, baru empat bulan kerja udah bisa keliling Indonesia. Liburan aja keluar pulau !
Tapi ini hanya 'mini' Tana Toraja. Letaknya nggak jauh dari tempat kontrakanku di Bontang, hanya sekitar sepuluh menit aja naik motor. Tepatnya di Kanaan Dalam, Kelurahan Gunung Telihan, Bontang. Dimana di Kanaan Dalam mayoritas penghuninya adalah orang Tana Toraja yang bermukim di Bontang, jadinya di Kanaan dengan mudah ditemukan konstruksi rumah Tongkonan dan aura-aura Toraja disana.
Tongkonan di Kanaan Dalam
Memasuki Kampung Tator, mataku tertuju pada tiga Tongkonan yang berdiri di lapangan, tak tahu fungsinya buat apa, aku nekatkan masuk kesana, tentu saja dengan izin warga sekitar. Bersama kawan baru yang baru kukenal dan sama-sama memiliki hobi fotografi (namanya Winda, dia kerja di Pupuk Kaltim, Bontang), kami melangkah mantap memasuki lapangan dengan tiga Tongkonan yang mengelilinginya. Ada satu Tongkonan yang paling besar disana, aku dan Winda pun naik keatasnya untuk mencari spot terbaik di tempat tersebut.
Kepala Kerbau Buatan

Berada diatas Tongkonan, serasa benar-benar di Tana Toraja. Tongkonan itu dipenuhi ukir-ukiran khas Toraja, yang tak kuketahui maknanya seperti apa, dan tentu saja kepala kerbau dengan tanduknya yang mengarah kebelakang menempel di tengah-tengah rumah tersebut. Dalam hati aku berdecak kagum, begitu eksotis dan kaya sekali budaya Indonesiaku. Semoga...kita dapat mempertahankannya dan tidak direbut kepemilikannya oleh bangsa lain.
Serasa di Toraja Asli
Motif Tribal yang Unik ! Saya tak paham maksudnya..

Dengan pengambilan gambar dari sudut-sudut tertentu, maka tak banyak orang tahu kalau sebenarnya berada di Bontang, bukan Tana Toraja. Cukup post di media sosial dengan embel-embel Toraja, semua kawan backpacker pun ngiler, rame komen : "Eh, elu lagi di Toraja Ne? Ngapain? Kapan? Acara apa?"
Kutimpali hanya dengan senyum dan satu kata singkat : "Iya"
"Toraja low budget, maklumlah, backpacker dengan jam kerja yang padat harus kreatif dikit," *untuk kalimat yang ini dilanjutkan dalam hati. Moga-moga ini bukan termasuk unsur penipuan.
Acara foto-foto pun berlangsung seru, motif-motif tribal nan etnik, bisa dijadikan spot yang unik dan super menarik, dan semakin seru dengan iringan anjing menyalak tak henti-henti melihat dua orang asing disana. Ada juga sekawanan anjing yang menghampiri kami dengan muka seram. Wow, acara hunting makin seru dan bikin berdebar-debar !
Setelah puas berfoto ria, kami menuju kuburan Toraja yang unik. Untuk kali ini kuburan buakn seperti di Tator yang asli, dimana mayat bisa berjalan sendiri. Hanya sebuah makam dengan atap berbentuk Tongkonan, dan besar-besar, ada yang sebesar kontrakanku juga, mewah banget !
Makam Toraja, mewah banget !
Hampir setiap makam terdapat tongkonan

Sepanjang jalan di Kanaan Dalam, dengan mudahnya kita menemukan kios yang menjajakan daging babi segar dan kepala babi. Tak hanya itu, ada juga separuh tubuh babi yang telah dikuliti digantung di kiosnya. Aku dan Winda bergidik sepanjang jalan, karena itu merupakan pemandangan yang asing bagi kami.
See you next trip :)
<
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose