• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Merupakan sebuah hal yang wajib ; Cuti dengan membawa sepeda. Alasannya sederhana, karena rute untuk bersepeda disekitar kampung halaman cukup banyak, dengan menawarkan pemandangan yang sangat menarik. Walaupun pada awalnya perjuangan membawa sepeda kedalam pesawat membutuhkan perjuangan dan effort yang cukup besar.

Apalagi kalau bukan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang berjarak hanya sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor dari rumah. Taman Nasional ini cocok untuk dikunjungi orang-orang dengan berbagai macam hobi, sebut saja bersepeda, mendaki gunung, fotografi, trail running, hingga cocok untuk melepaskan rasa galau disini. Daaaan, akupun sebenarnya terpancing rasa iri gara-gara melihat foto-foto rekan gowes yang sering berkeliaran di media sosial. Uh! Memang lebih baik tampaknya kalau hidup ini tanpa media sosial. Dijamin tak akan ada rasa iri yah, hehehee...
Kepada siapa lagi aku lemparkan ajakan gowes ke Jemplang kalau bukan kepada Mas Eko. Ia mengiyakan ajakanku dengan mengajak dua rekan lainnya.
"Berangkat pagi, jam 3 lah." Ujarnya. "Nanti kita shalat subuh di Ranupani saja."
Pos TNBTS Lumajang
Perjalanan menuju Ranupani ternyata membutuhkan waktu dua jam. Pukul lima kami sampai disana dengan kondisi langit yang sudah terang, sehingga shalat subuh pun kesiangan. Padahal biasanya di Kaltim pukul lima masih gelap gulita !
Kami berfoto sejenak di pinggiran danau Ranupani, bergulat dengan suhu sekitar 10 derajat celcius. Dan kemudian lanjut menuju Jemplang, untuk sekedar ngopi maupun nge-mie mengisi tenaga serta menghangatkan badan sebentar.
Panorama Sebelum Jemplang
"Nah ini, setelah ini masuk aja turun kebawah," Ujar Mas Eko menunjukkan jalan tanah berbatu setelah tulisan Jemplang. "Nanti ada beberapa spot untuk berfoto, kita berhenti disana."
Awalnya jalan rolling flat, datar, lalu turunan ringan berbatu dan berdebu karena menurut info warga sekitar tidak turun hujan. Lalu kutemui jalur yang menanjak ringan dan berbatu. Sangat ringan. Yang aku rasa bisa melewatinya, karena selama perjalanan hobi gowesku ini, tanjakan yang lebih tinggipun bisa aku lampaui. Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga kali kayuhan nafasku sudah terasa sangat sesak dan terengah-engah. Tenggorokanku mendadak super duper kering. Pandanganku mulai agak menggelap.
Jalur-jalur yang Sempat Membuat Sesak Nafas
"Jangan pingsan, tolong..."
Lantas kuhentikan laju sepedaku diatas semak yang mengering. Aku turunkan google pink dan mengusap wajah. Fahmi yang sedari awal berada didepanku pun akhirnya kembali menghampiri.
"Loh loh, kenapa mbak? Aman aja kah ini? Istirahat dulu aja." Fahmi menenangkanku sambil menyodorkan minumannya.
"Aku sudah bawa," balasku sambil mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengembalikan pandangan yang sempat menggelap. "Aneh, biasanya di Kalimantan kuat dan aman saat nanjak. Ini kok jadi seperti ini," aku bertanya-tanya keheranan.
"Iya mbak, oksigennya tipis disini, dataran tinggi. Santai saja mbak, jangan terlalu digaskan."
Olala ! Aku baru ingat. Ini Bromo, bukan Sangatta yang titik tertinggi hanya ratusan meter. Kulirik penunjuk altitude di jam tanganku, 2300 mdpl. Ribuan kilometer diatas permukaan air laut. Tentu saja ritme pernafasan harus diatur sebaik mungkin agar tiba-tiba tidak pingsan.
"Amankah yang dibelakang?" Mas Eko yang berada paling depan bertanya kepada kami.
"Amaaaan mas! Mbaknya cuma perlu istirahat sebentar." jawab Fahmi dengan berteriak melawan deru angin pegunungan.
"Sudahlah, kita lanjut aja mas." Ajakku setelah menghela nafas panjang. Rasanya metabolisme tubuhku mulai terbiasa beraktifitas di ketinggian. Tidak sesak lagi.
"Yakin mbak? Santai saja dulu nggak apa-apa. Toh kita ini gowes santuy ceria ceritanya. Nggak ada target waktu kan. Yang penting bahagia, dan foto-foto."
"Aman kok. Sudah mulai biasa." ujarku meyakinkan.
"Kalau mau teler istirahat saja mbak. Tapi bentar lagi full turunan ini. Yok!" Ujar Fahmi semangat.
Akhirnya Terpecahkan Misteri New Zealand Low Budget Level
Wah turunan? Tubuhku mulai bersemangat mendengar kata-kata itu. Cocok sekali untuk sepeda enduro yang aku pacu saat ini.
Roda sepeda membelah menuruni setapak berdebu bukit-bukit sekitar Jemplang. Terkadang kami harus berhenti menjaga jarak tatkala debu mulai menghalangi pandangan maupun menyebabkan kami terbatuk-batuk. Jalur single track yang nge-rail pun menjadi tantangan khas saat melalui jalur-jalur di perbukitan Bromo. 
"Uh...!" Aku terjatuh kedepan karena buramnya debu ditambah ban depan yang masuk ke jalur rail. Syukurnya hanya terjatuh ringan dan tanahnyapun empuk. Ah, sudah biasa bagi preman sepertiku.
Jalur yang terhalang pohon tumbang, menyisakan luka gores di lengan kananku. Turunan kian terjal, hingga panorama ala 'New Zealand' pun mulai membentang didepan mata.
Lembah di Bawah Bukit Teletubbies
"Kita naik ke bukit kecil sana, biar makin sip," Instruksi Mas Eko. Dan memang, pemandangan 360 derajat tampak dari sana. Angin tak lagi sepoi-sepoi, berganti dengan hembusan yang menerbangkan debu-debu halus.
Puas diterpa debu, kami lanjut turun menuju kawasan bukit Teletubbies, awal perjalanan meluncur mendekati lembah New Zealand, lalu berganti dengan tanaman perdu. Jarak yang kami tempuhpun tak jauh, hanya sekira 10 km saja. Jalurpun tak jauh berbeda dengan awal tadi, berpasir dan banyak pohon tumbang.
Hanya sekitar 2,5 jam kami berhasil mencapai Bukit Teletubbies plus waktu foto-foto. Karena hari itu adalah Selasa dan masih masa pandemi, maka pengunjung terbilang sangat sedikit. Sumpah, seumur hidup baru pertama kalinya aku kesini, walaupun jarak dari rumah terbilang dekat. Pemandangan yang disuguhkan sukses membangkitkan hasrat meracuni teman-teman yang belum pernah kesana.

Gimana, kamu sudah kepengen belum? Sudah keracunan belum?
0
Share
Laksana menstruasi yang datangnya setiap bulan, hasrat kemping bulanan pun mencuat tak terbendung. Bulan November ini aku belum melaksanakan kemping sama sekali, dan suasana cuti di Lumajang ini agaknya pas untuk dilepaskannya renjana tersebut. Terlebih lagi aku membawa tenda, sleeping bag, kompor, dan cooking set untuk menunjang kegiatan tersebut selama berada di kampung.
Hafidh. Tiba-tiba aku teringat nama seorang teman yang pernah kuajak untuk naik Penanggungan sekitar enam tahun silam. Sudah lama pula aku tidak berkabar dengannya, terakhir ia bekerja di Gresik, entah kalau sekarang. Mudah-mudahan ia masih punya waktu luang dan berkenan untuk membersamai acara kemping cantik ini.
Kabar membahagiakan pun tiba, tanpa banyak alasan ia mengiyakan ajakanku. Katanya bulan November ini ia sering pulang kampung ke Lumajang, dan ia akan mengajak salah seorang sobat karibnya yang bernama Hamid.
"Tenang, aku punya teman yang siap diajak kapanpun." Bebernya yakin.
Rencana  awal kami memlilih Ranukumbolo untuk destinasi kami. Akupun membuka laman Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) untuk mengetahui persyaratan apa saja yang diperlukan selama era 'New Normal' ini. Darisanalah aku mendapatkan info kuota pendakian ke Ranukumbolo pada tanggal yang kami maksud sisa dua orang alias sudah penuh. Karena dari TNBTS mensyaratkan pendaki minimal tiga orang, sehingga sisa slot dua orang itu sudah tidak bisa diisi maupun diganggu gugat.
"Oh penuh ya? kita ke Ranu Regulo saja kalo gitu," Opsi kedua pun dilontarkan Hafidh. Karena memang aku sudah kebelet, ya aku mengiyakan saja. Apalagi aku belum pernah kesana dan menurut info jarak tempuh hanya sekitar lima belas menit jalan kaki dan tiket masuk gratis.

DRAMA DI POS TNBTS
Dua minggu pasca perbincangan melalui pesan singkat itu, aku, Hafidh, dan Hamit  sudah bersiap dengan perlengkapan masing-masing untuk menuju Ranupane yang berjarak sekitar 90 menit dari pusat kota Lumajang. Kendaraan kami saat itu adalah motor matic dan motor bebek milik Hafidh dengan barang bawaan yang sangat banyak.
"Kalian bawa apa saja sih? Kayak cewek aja bawaannya, banyak dan ribet! Gitu mau nambah bawa panggangan jagung, bisa buka lapak kita diatas," Omelku khas ibu-ibu pada cowok-cowok yang ternyata kuketahui membawa jagung beserta bumbunya dan arang untuk dibakar.
"Maklumlah Ne, kita kan kurang piknik. Terakhir kami kemping tahun lalu di B29, itupun kemping bunuh diri. Nggak bawa tenda disuhu sedingin itu." Ujar Hafidh.
"Kalo sekarang kita kan kemping cantik. Well prepared." Tambahnya.
Sekira pukul sembilan pagi kami menuju Ranupani. Pemandangan menuju ke Ranupani masih tetap indah dan merindukan. Hingga akhirnya Hafidh melambatkan laju motornya di Pos TNBTS. Firasatku tidak enak, sepertinya akan ditanyai hal yang aneh.
"Mau kemana?" Tanya penjaga TNBTS yang tampak masih bocah kepada kami.
"Kemping," Jawab Hafidh pelan.
"Kemana?"
"Ranu Regulo."
"Bawa surat sehat nggak?"
Tanyanya dengan wajah datar.
Aku dan Hafidh melirik sekilas. Kita kan nggak bawa surat sehat!
"Wajib ya?" tanyaku.
"Kan sudah disosialisasikan sejak tiga bulan lalu, mbaknya kurang apdet kayaknya." Sindirnya dengan wajah yang tetap datar. "Kalau cuma main saja nggak apa-apa tanpa surat, tapi kalau sampai nginap, wajib surat sehat ya. Kalian turun saja ke Senduro cari Puskesmas atau praktik dokter umum."
Sejauh itu? Pikirku kesal. 
"Dekat saja, cuma lima menit turun ke Senduro." Jawabnya asal. "Daripada kalian nggak jadi ngecamp kalian."
Hafidh tahu wajahku sudah bersiap-siap untuk pasang kuda-kuda nonjok. Ia menenangkanku. "Sudahlah, kita kesini mau camping, senang-senang. Kita turun saja, nggak usah cari musuh."
Plegmatis sekali jawabannya. Tapi aku tetap tak terima, aku kembali menanyakan ke penjaga tersebut.
"Itu yang mobil nggak kamu berhentikan?"
"Itu nggak kemping mbak. Lewat saja."
"Tahu darimana?" cecarku tegas gemas melihat ke-sok tahuannya. Bisa saja mereka menyimpan peralatannya didalam mobil dan beralasan hanya menuju Tumpang.
"Ya tahu. Yang kami cegah adalah pesepeda motor,"
Siapa yang Tega Melewatkan Suasana Seperti Ini ?
Oh, dari sini aku tahu. Kesadaran penjaga TNBTS masih kurang. Kendaraan yang berlalu lalang belum diperiksa secara mendetail. Coba kalau kami tancap gas pasti mereka juga nggak ambil pusing, atau juga pura-pura bego naik keatas dengan menggunakan mobil dengan alasan main. 
"Namanya juga protokol kesehatan mbak. Ini saya juga disuruh bos saya."
"Protokol kesehatan gimana maksudnya Mas? Kamu sendiri nggak pake masker. Lucu nggak?" Balasku setelah melihat tulisan wajib masker dan cuci tangan di pos TNBTS.
"Iya-iya mbak, maskerku masih dicuci. Nanti kupakai." Ujarnya ngeles dan males-malesan.
Dan akhirnya kami bertiga turun kembali ke Senduro mencari praktik dokter umum untuk pengurusan surat sehat. Untunglah kami berhasil mendapatkannya, walau awalnya kami mendapati tempat praktik tersebut tutup, dan akhirnya aku menelponnya. 
Sekitar satu jam waktu terbuang untuk pengurusan surat tersebut. Syukurlah kami berangkat pagi, jadi sisa waktu untuk ke Ranu Regulo masih banyak, sehingga kedongkolan kami pun bisa mereda.

DAN KEMBALI CERIA !
Panorama seperti ini yang acapkali disetarakan dengan Ranu Kumbolo
Tiba di Ranupani saat tengah hari. Masih ada waktu ibadah dan makan siang. Kejadian tak mengenakkan tadipun sudah terlupakan bersama dengan rawon untuk santap siang.  Trekking menuju Ranu Regulo pun sangat dekat, landai selama sepuluh menit dimulai dari sebelah pos pendakian Ranu Pani. Ranu Regulo merupakan salah satu danau yang terletak di TNBTS dengan ketinggian 2100 mdpl. Acap kali disebut adiknya Ranu Kumbolo karena luasan danau yang lebih kecil dan ada dua bukit mengelilingi danau. Sangat indah dan lebih tenang. Untuk tempat mendirikan tenda kami mencari tempat yang agak jauh dari pintu masuk agar lebih sepi dan privat.
Kami pergi pada bulan November, saat musim penghujan, maka suhu tak terlalu dingin walaupun kami sempat diterjang hujan deras pada sore harinya sekitar satu jam. Setelahnya hanya hujan rintik-rintik disertai guntur dan kilatan petir. Permukaan danau diselubungi kabut lembut nan syahdu pasca diguyur hujan. Pemandangan yang benar-benar aku cari dan rindukan selama ini.
Syahdu
Obrolan demi obrolan pun mengalir diantara aku, Hafidh dan Hamit hingga malam menjelang. Tema apapun kami bahas saat itu mulai obrolan yang ringan, berat, hingga rencana masa depan. Hamitpun tak ketinggalan melontarkan peribahasa dan kiasan andalannya, menurut Hafidh, temannya itu jadi sering melontarkan kiasan karena pacarnya anak jurusan Sastra Indonesia.
Senja, Am Abend
Dingin menusuk pun mulai terasa saat malam kian merambat. Rasa hendak kencing dan kentut antara kami pun sering tak tertahankan. Melodi dat dut dat dut pun saling bersahutan hingga menjelang tidur. Tak ayalpun ribut karena aroma busuk sang kentut.

KEMBALI KE RUMAH
"Jam setengah sembilanlah kita balik ke parkiran motor. Aku harus segera balik ke Gresik, besok kerja." ujar Hafidh.
"Iya, jangan sampai fatigue." Ujarku.
"Kayaknya ini bakalan jadi kemping terakhir karena Desember aku mau nikah,"
"Ya istrimu ajak juga lah ! Masa aku harus kehilangan temen kemping di Lumajang." jawabku
"Dia nggak suka."
"Baiklah. Solo camping akan dimulai!" Ujarku penuh semangat karena lega akhirnya pada bulan ini berhasil menginap di alam bebas kembali. Namun bukan di Kalimantan Timur, tapi di Jawa Timur.
Terima kasih atas Perkemahan Sabtu Minggu ini, dan sampai bersua kembali, Hafidh dan Hamit !
0
Share
 "Aku tak pernah main-main dengan impianku."

29 OKTOBER 2020
"Sebenarnya sungguh saya nggak tega biarin kamu naik sendirian, mbak Une." Pak Indra (rekan kerja di Karangan Dalam) sempat berbincang sejenak denganku sebelum melakukan perjalanan ke Beriun. Raut wajahnya tampak sedikit was-was. "Memang berapa lama naik ke puncaknya?"
"Kata Mas Mardi empat jam, dari tempat camp."

"Apa? Empat jam? Haih, sudahlah, nggak sanggup saya. Bawa perut aja sekarang susah!" Kelakarnya.
"Aman saja pak, kan nanti ada Mas Mardi." 
Pukul sembilan pagi kami berangkat dari perkampungan di Karangan menuju Pintu Rimba Beriun. Menurut info, membutuhkan waktu dua jam kalau kondisi jalan tak terlalu jelek. Aku berboncengan dengan Mas Mardi diatas motor perangnya, motor bebek, tanpa plat nomor kendaraan, dan ban sudah diganti dengan ban lapangan, atau lazim disebut ban tahu/offroad.
"Kalau pagi gini nggak hujan biasanya. Kalau siang sedikit, pasti nggak bisa ditebak, bisa jadi hujan." Tukas Mas Mardi.
"Kalau jalanan ke Pintu Rimba?"
"Kering kalau sekarang."
Lelaki yang ternyata asli Sunda itu memacu motornya melalui jalur logging PT Sumalindo Alam Lestari, awal perjalanan masih mulus, lantas kami menemui beberapa pohon tumbang yang menutupi tiga perempat jalan, lalu jalanan yang sedikit hancur.
"Kalau hujan, babak belur kita. Apalagi...tanjakan didepan tinggi betul." Mas Mardi menunjuk dengan dagu tanjakan yang akan kami lalui. Aku menghela nafas.
"Kuat nggak ini mbak? Beban kita dimotor ini satu kuintal lebih loh!"
"Kuat lah! Kan ini motor perang," Jawabku berusaha melucu dalam ketegangan.
"Mbak jangan bergerak ya," Ia memindahkan persneling ke posisi terendah dan menarik gas dengan maksimal. Posisi dudukku yang sudah miring aku pertahankan agar kami tidak jatuh, walau tidak nyaman.
Pintu Rimba Beriun
"Huh, istirahat sebentar Mbak. Itu puncaknya Beriun sudah kelihatan."
Aku mendengar mesin motor berdengung kepayahan. Mesin panas. Suasana saat itu berawan. Penanda kilometer di pinggir jalan menunjukkan 30 km, berarti separuh perjalanan lagi.
Beriun Tampak Dari Kejauhan
Pukul sebelas lewat sepuluh menit kami tiba di pintu Rimba. Kami beristirahat sejenak di pondok yang dibangun oleh Dinas Pariwisata Kutai Timur tepat di pintu pendakian, akan tetapi langit kian pekat, tak lama kemudian rinai hujan yang lembut menyapa kami. Mas Mardi menatap keatas.
"Diatas hujan ini mbak. Bagaimana? Kita tunggu reda sebentar ya?"
Kami menunggu sejenak. Ia menghisap sebatang rokok, tak lama kemudian menginstruksikan untuk berjalan.
Awal Pendakian
Awal perjalanan trek menanjak ringan, melalui semak-semak dan hutan yang mulai rapat. Sekitar lima ratus meter perjalanan, gemericik air mulai terdengar. Tak hanya itu, hujan pun terasa kian deras.
"Air terjun Marak," Mas Mardi menjelaskan. Aku terpukau menatap air terjun yang cantik dan unik tersebut, apalagi kalau bukan airnya yang berwarna merah bak teh tersebut. Tak lazim ditemui.
"Kebanyakan di Beriun memang sumber airnya berwarna merah, karena di hulu banyak kayu Pelawan  (Tristaniopsis merguensis) yang akarnya berwarna merah, jadi mempengaruhi warna sungai. Ada juga beberapa sungai yang airnya jernih, nanti saya tunjukkan."
Air Terjun dari Sungai Marak
Namun sayang, ketika hendak berfoto tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kami mempercepat langkah dan memasang flysheet untuk tempat berteduh sementara. Kami duduk di bebatuan berlumut disekitar air terjun tersebut.
"Mudah-mudahan nggak lama, saya nggak pernah mendaki pas hujan seperti ini," Ia membuka pembicaraan.
"Wah, ini pendakian pertama hujan-hujanan dong?" Jawabku sambil menatap suasana sekitar yang menggelap seperti saat menjelang maghrib.
"Berat kalau bawa flysheet basah."
Hujan tak kunjung reda juga, malah semakin deras. Saat itu menunjukkan pukul dua belas siang, aku terpekur memeluk lutut sembari menatap tanaman yang bergoyang karena ditimpa air hujan. Suasana semakin gelap. Niat untuk berfoto di sekitaran air terjun pupus sudah.
Lantai Beriun
"Sabar mba, mudah-mudahan hujannya nggak lama. kalaupun sudah mulai reda kita lanjutkan saja. Memang suasana hati Beriun susah ditebaknya." Jelas Mas Mardi sambil menyulut rokoknya kembali. Akupun ikut menghisap cokelat pasta yang sedari tadi kusimpan di kantong celana.
Hujan sedikit mereda. Hanya sedikit. Kami segera melanjutkan perjalanan ke Pos 1 yang biasa disebut Pos Ular. Jalur yang kami lalui benar-benar hutan seksi yang rapat dan gelap, maka tak heran kalau Eiger memberi nama Ekspedisi Black Borneo. 
Flysheet sementara di Pos 1
Baju yang kami kenakan benar-benar basah kuyup sampai tembus kedalam. Bercampur antara keringat dan air hujan. Kacamata minus dua yang kugunakan pun buram karena air dan terkadang berembun, entah karena perbedaan suhu antara muka dan luar, mungkin pemakai kacamata bisa membayangkan; rasanya seperti makan bakso panas saat memakai kacamata. Mau aku lap lensanya dengan hijab atau ujung baju tapi basah, dan tentunya akan makin buram. Sungguh menyengsarakan ! Apalagi kalau kacamata sudah berembun, uh rasanya berjalan dalam kabut saja. Tak jarang akupun hampir terpeleset gara-gara insiden kacamata itu, jadi ritme berjalanku pun melambat dan banyak berpegangan dengan pohon.
Sepanjang jalur memang sudah terpasang pita kuning, tapi jalur di hutan rapat ini sungguh tidak jelas. Mudah sekali tertutup perdu atau pepohonan yang rebah, tidak seperti jalur gunung-gunung di Jawa. Benar-benar bisa tersesat kalau tidak ada yang pernah mendaki kesana. Sekali atau dua kali ke Beriun pun belum tentu hafal kalau jalurnya seperti ini.
Tapi sungguh, hutannya sangat seksi. Kaya akan keanekaragaman hayati khas hutan tropis. Apalagi kalian pecinta anggrek. Wow, tanaman epifit ini beraneka rupa di Beriun, sebutlah Anggrek Batu, Anggrek Hitam, Anggrek Kuping Gajah, dan Anggrek Bulan ada disana.
Anggrek Batu
Menuju ke Pos Satu dari tempat kita berteduh hanya sekitar satu jam. Ada beberapa kali kami menyebrangi anak Sungai Marak, dan akupun sempat terpeleset memijak batu berlumut saat menyebranginya. Kami memasang flysheet kembali di Pos Satu, karena hujan masih belum reda juga.
"Sebenarnya Beriun masuk desa Muara Bulan (Baay) atau Karangan Dalam Mas?" tanyaku membuka percakapan di Pos Ular ini.
"Muara Bulan dan Karangan Dalam. Kalau sekarang kita berada di Muara Bulan, dan puncaknya berada di desa Karangan Dalam."
Hm, tak jauh beda dengan gunung lainnya. terletak di dua Kecamatan atau bahkan Kabupaten, seperti di Semeru. Muara Bulan sendiri adalah nama lain dari desa Baay, yang terdaftar secara administratif adalah nama Baay.
Drama pacet pun mulai terjadi. Ada seekor pacet tiba-tiba menghisap darah di telapak tangan kiriku. Saat kucabut, darah pun mengucur tanpa berhenti-berhenti.
"Baru pemanasan, nanti saat jalan ke puncak, bisa-bisa donor darah." Kelakar Mas Mardi melihat raut wajahku yang mulai gusar.
Perjalanan menuju Camp 77 pun kami lanjutkan dengan kondisi masih hujan. Liana-liana basah, anak Sungai Marak, menjadi sajian utama kami. Sejauh ini belum ada kesulitan berarti saat mendaki Beriun.
Mas Mardi menghentikan langkahnya, ia menujuk kearah lantai hutan yang dipenuhi dedaunan membusuk.
"Tuh jamur Mata Sapi yang bikin kamu penasaran." Tunjuknya. "Susah orang kalau mau lihat jamur itu, kalau bukan musim-musim seperti ini, nggak bakalan ada."
Mataku berbinar terpukau, lalu berjongkok dan segera mengambil gambarnya.
Jamur Telur Mata Sapi
"Mau nyobain rasanya? Bisa dimakan loh," Tawarnya. Lantas ia mengambil satu buah jamur yang masih kecil, dan menyodorkan kearahku.
"Aman yah? Rasanya seperti apa?"
"Coba saja. Buat obat kolesterol itu."
Lantas aku memasukkannya tanpa ragu kedalam mulut. Mengemutnya dan menggigit dagingnya yang bening. Seperti konnyaku atau agar-agar, tapi hambar. Sekilas aku berpikir, kalau direbus dan dikasih gula beserta kental manis pasti rasanya bakal seperti odading mang oleh...eh puding.
Perjalanan pun berlanjut. Hutan kian rapat, basah dan berlumut. Dan apa kabar kacamataku? Masih berembun dan basah. Trek didominasi oleh tanjakan. Kami kembali beristirahat di batang pohon besar yang rebah, mengatur nafas.
"Hahh...baru pertama kali ini aku bawa pendaki cewek sendirian," Mas Mardi mengulang ucapannya kembali.
"Susah memang kalau sudah niat. Nggak bisa dilawan." Jawabku sambil merogoh-rogoh kantong mencari cokelat pasta.
Sepanjang perjalanan, kami menemukan seekor kura-kura dengan cangkang menyerupai matahari dan motif di plastron (bagian bawah kura-kura) membentuk guratan yang unik.
Kura-Kura Matahari
"Baru pertama kali ini aku nemu kura-kura pas pendakian." Ujar Mas Mardi.
Aku tersenyum puas, "Bener kan, pasti ada keajaiban dibalik pendakian dalam hujan."
Ternyata tak jauh dari tempat penemuan kura-kura Matahari tersebut, adalah Camp 77. Aku sedikit lega karena sudah mulai menggigil kedinginan dan telapak tangan yang mengkerut. Pundak yang sedari tadi menggendong carrier pun bisa sedikit beristirahat.
Jamur di Beriun. Ada yang mirip seperti Dorayaki
Flysheet dibentangkan, kami hanya tidur dengan menggunakan hammock. Ketinggian saat itu 700 mdpl.
Perapian untuk menghangatkan badan pun sudah dibuat. Menurut Mas Mardi, kayu di Beriun ini bagus kalau dibuat perapian, karena walaupun lembap ia masih bisa menyala, dan hujanpun apinya masih bertahan.
Sumber air tak terlalu jauh dari tempat camp, hanya turun kebawah sekira 50 meter, maka kita akan menemukan aliran sungai kecil yang berwarna merah seperti teh. Air itulah yang akan kami konsumsi selama disana. Aman.
Kami makan dengan nasi yang telah kami bawa, lalu mengganti dengan baju yang kering. Hujan pun sudah berhenti dengan sempurna, namun berganti angin kencang yang merobohkan puluhan pepohonan yang dianggapnya lemah.
"Kraaaakkk....dabuummm..." 
Kami melongok terkejut kearah suara. Tak jauh dari tempat camp, sebuah pohon patah ditiup angin. Benar-benar sampai bawah.
"Kraaaaak....dabuuummm..."
Suara itu muncul berkali-kali. Pepohonan banyak yang tumbang di dekat Camp 77. Aku ketakutan. Bagaimana jika kami tiba-tiba kerebahan pohon sebesar itu?
"Kraaaak...bruaaak!!!"
Ranting kering cukup besar jatuh tepat disebelah flysheet kami. Aku terhenyak, suaranya sangat mengejutkan. Ah, Allah masih melindungi kami, tak bisa kubayangkan kejatuhan ranting seperti itu. Pasti menyakitkan. Untungnya lagi aku nggak latah, kalau iya, entah mantera apa yang akan terucap nantinya.
"Kalau jatuh diatas flysheet bisa langsung jebol." Tukas Mas Mardi. Ia menatap pepohonan diatas kami. Ia berharap semoga tak ada ranting mati yang menimpa kami.
Malam menyapa. Hujan dan angin pun sudah berlalu. Udara di camp sangat dingin, dan tidak ada nyamuk berlalu-lalang. Kami hanya berbincang sedikit sambil menyesap kopi beserta makan mie instan hingga pukul sebelas malam. Kemping berdua ini benar-benar tenang sekali, dapat menikmati suara alam dengan lebih jelas. Lantas beristirahat untuk mengembalikan stamina mencapai puncak Beriun Raya keesokan harinya.

29 OKTOBER 2020
Camp Kami
Semalam aku benar-benar kedinginan. Jaket dan sarung ungu andalan yang kubawa tak sanggup menghalau dinginnya Beriun. Sempat menyesal telah meremehkan : Ah gunung di Kalimantan mah panas!
Mas Mardi menanak beras untuk sarapan kami. Bagaimana dengan cuaca? Cerah. tanpa angin dan langit pun biru. Perlahan-lahan temperaturpun menghangat.
"Mudah-mudahan cerah sampai pulang nanti." Ujar lelaki berambut setengkuk lebih tersebut. Menurutnya, menuju ke puncak rata-rata membutuhkan waktu empat jam. 
"Wah jauh juga," batinku. Kami memulai perjalanan ke puncak pukul delapan pagi, dengan estimasi sekitar pukul dua belas sampai, dan pukul satu siang turun kembali.
Punggungan Menuju Puncak
Tanjakan awal yang kami lalui memang cukup terjal. Banyak jenis jamur yang kami dapati  disana, tidak heran memang kalau Beriun menjadi kerajaan berbagai macam jenis jamur.
Awal perjalanan kami menjamah punggungan, lalu ada beberapa pohon dengan kulit luarnya yang koyak, infonya beruang liar telah mencakar-cakarnya. 
Semakin tinggi, lumut semakin tebal. Peluh bergantian memerihkan mata. Kacamataku hari itu tak berembun karena suasana saat itu panas.

PENDAKIAN BERDARAH
Berdarah
Aku merasakan ada yang merayapi betis dan paha. Tapi aku tetap berjalan, paling juga hewan hutan usil. Karena lupa bahwa menuju puncak adalah kerajaan pacet sebenarnya, terlebih lagi musim penghujan seperti ini. Dedaunan basah di lantai hutan menjadi rumah ternyaman bagi pacet untuk menanti mangsa yang lewat.
Saat kami beristirahat, aku melihat darah merembes di sela-sela celana kargo. Segera kuperiksa, ternyata ada tiga ekor pacet yang mulai menggendut dan menggeliat malas menikmati darahku.
Panik dan geli, aku minta tolong Mas Mardi mencabutnya.
"Masih sedikit ini." Ujarnya cengar-cengir.
Makin ke puncak, pacet makin menggila. Pendakian ini menjadi 'pendakian berdarah' pertamaku. Mungkin kalau diibaratkan, Beriun adalah Bukit Raya versi mini. Ya, walaupun aku belum pernah mendaki kesana, tetapi mendengar kisah dari rekan lain bahwa Bukit Raya layak dinobatkan sebagai Kerajaan Pacet karena ngerinya yang luar biasa.
Seusai tercabut, darah mengucur susah berhenti karena zat antikoagulan yang dikeluarkan oleh si pacet laknat tersebut.
Variasi Jalur Menuju Puncak
"Haduh, apakah aku mendadak hemofilia." Batinku berhalusinasi. Karena ini adalah pengalaman pertamaku diserang pacet. Lucu saja kalau kehabisan darah di tengah belantara gara-gara makhluk mungil tersebut.
"Mau pake tembakau, garam, atau obat nyamuk juga gak mempan." Sahut Mas Mardi sambil menebas ranting yang menghalangi jalur. Ya ya ya...setiap kali kami berhenti pasti sibuk panen pacet di sela-sela kaki, disertai darah yang membasahi celana, kaus kaki dan sepatu.
Namun, bau anyir di kaki dan tangan sudah tak kuhiraukan lagi. Aku terus berjalan, walau terkadang berhenti sejenak untuk mencabut pacet apabila terasa geli-geli perih saat pacet yang menempel di kulit tergesek dengan sepatu atau celana.
Waktu yang kami perlukan untuk mencapai puncak adalah 2,5 jam dari Camp 77. Saat itu pukul 10.30 WITA, aku berhasil mencapai puncak Beriun Raya di ketinggian 1261 mdpl.
Cendol Dawet Seger
Telapak kaki mulai terasa ada yang bergerak-gerak, setelah kuperiksa ternyata tiga ekor pacet gemuk sebesar ibu jari disertai bau anyir darah nangkring di sepatu, sekilas tampak seperti cendol dawet seger takintang kintang. Tiga ekor lainnya masih asyik menghisap darah di dekat mata kaki kiriku. Tanpa pikir panjang aku mencabutnya.

Panorama di Puncak Beriun
Puncak Beriun tak terlalu luas, hanya sekitar 6x6 meter saja. Saat itu sangat cerah, dan panorama yang disajikan berupa hamparan karst Tebo, Merabu, maupun Batu Pengadan. Ada juga puncak Tondoyan, yang tentunya beda dari Tondoyan di kawasan Gunung Gergaji. Beriun benar-benar dikelilingi oleh gugusan Karst besar. Sesekali kami dapati burung Enggang dan Elang melayang diatas puncak. Kantong semar (Nepenthes) berukuran besar mudah ditemui disana. Sayangnya kami tak mendapati gugusan awan dibawah kami.
"Infonya hanya Beriun yang berkontur tanah ya?" Tanyaku.
"Kita ini sebenarnya berdiri diatas karst, yang dilapisi tanah gambut. Kamu tahu nggak kenapa pohon di Beriun tinggi-tinggi?"
"Kenapa memangnya?"

"Mereka berebut sinar matahari. Lihatlah, batangnya lurus tanpa cabang dan tumbuh keatas."
Benar juga. Mungkin itulah yang membuat hutan ini gelap, tertutup dan lembap. Karena atap pepohonan yang rapat melingkupi tanah hutan dari sinar matahari. Sehingga bryophyta alias lumut yang beraneka ragam dengan mudahnya tumbuh, yang dulu hanya bisa kulihat dari buku pelajaran Biologi semasa sekolah, sekarang bisa kusentuhnya.
Lumut Beriun
"Turun kah? Ngejar waktu, nanti bisa hujan lagi" Tanya Mas Mardi setelah melakukan panggilan  via telepon kepada keluarganya. Saat itu tepat pukul dua belas siang.
"Ayo, kita berperang dengan pacet lagi !" Jawabku penuh semangat.
Perjalanan turunpun aku makin akrab dengan lintah yang menerobos kaos kaki bolongku. Perih sudah tak kurasakan. Anyir darah yang menguar dan mengundang serangan pacet sudah kuabaikan. Memang sesekali berhenti untuk mencabuti pacet nakal jika sudah terasa sangat perih dan menggelikan.
Waktu turun hingga sampai di Camp 77 sekitar dua jam. Kami segera makan siang dan berkemas untuk kembali ke Karangan. Entah mengapa, tiba-tiba hujanpun turun kembali. Kami sepakat untuk menunggu hujan sedikit reda dan melanjutkan perjalanan.
Beruntunglah, hanya sekitar tiga puluh menit hujanpun reda. Perjalanan kembali pada pukul 15.30 WITA menembus pekatnya hutan siap dimulai. Jalur yang dilalui pun sama seperti saat berangkat, sebenarnya ada dua jalur tapi jalur yang kami lewati ini cukup banyak titik menarik yang dijadikan tempat berfoto, salah satunya adalah air terjun Marak. Jalur Ekspedisi Black Borneo tidak kami lewati karena menurut info Mas Mardi lebih jauh dan banyak tanjakan.
Pukul enam sore kami tiba kembali di Pintu Rimba. Perjalanan yang melelahkan dan menyenangkan. Sedikit mengesalkan juga, karena jadi korban perjalanan yang 'ditinggalkan'.

Hei Beriun, kau seperti lelaki. Misterius dan mengayomi, memberi kehidupan, namun tidak menyakiti.
Jika kamu benar-benar seorang lelaki, apa engkau mengijinkanku untuk menjadi istri?
Sungguh, jika ada seorang lelaki yang tega menyakiti hati, sudah tidak pantas lagi ia kusebut sebagai lelaki.

Sangatta, 5 November 2020


Tips mendaki Beriun :
1. Cuaca di Beriun tidak bisa ditebak, persiapkan peralatan dan baju ganti untuk menghadapi kondisi ini
2. Jalur di Beriun cepat sekali tertutup. Lebih baik kesana dengan orang yang benar-benar sudah hafal jalur untuk menghindari tersesat
3. Izin kepada tokoh adat di Karangan Dalam atau Muara Bulan
4. Membawa jaket atau baju hangat, karena saat malam ternyata sangat dingin
5. Kalau jurus anti pacet, aku benar-benar nggak tahu ya :)

Cara Menuju ke Beriun :
1. Dari Balikpapan/Samarinda bisa sewa mobil menuju ke Karangan Dalam. Atau bisa naik travel menuju Sangatta, dari Sangatta naik travel meuju Karangan dalam. Estimasi waktu 7 jam dari Sangatta.
2. Dari Karangan Dalam menuju Pintu Rimba, bisa menggunakan motor atau mobil. Untuk motor kalau bisa dengan motor Trail atau manual yang telah diganti ban luarnya. Untuk mobil gunakan 4WD untuk berjaga-jaga dari kondisi jalan yang buruk. Bawa parang/chain saw untuk memotong pohon yang kadang roboh dan melintang menghalangi jalan. Estimasi waktu 2-3 jam tergantung kondisi jalan.

baca post sebelumnya : http://www.fraunesia.com/2020/11/1-beriun-renjana-yang-terencana.html

0
Share
Sejatinya, tahun ini aku hendak hengkang dari petualangan atau aktivitas yang cukup mengerikan, yang  mana kematian seolah-olah hanya berjarak sedepa-bahkan lebih dekat terhadapku. Menjadi wanita anggun, seperti itulah kiranya.
Dan semenjak patah hati paling hebat kurasakan dalam hidup, semuanya berubah. Aku kembali menjadi pribadi yang sedia kala, menggemari kegiatan yang dinilai cukup menegangkan. Pupus sudah impian menjadi wanita anggun dalam tahun 2020 ini. Ya, aku butuh ketenangan terlebih dahulu. Jauh-jauh dulu menjalin keakraban dengan lawan jenis. Cukuplah jatuh cinta dengan alam yang tiada pernah menyakiti.
Allah saat itu sedang cemburu, karena aku terlalu sering memikirkannya.
Renjana ke Beriun sudah ada semenjak tahun 2017. Kesal juga karena sering ke Karangan Dalam dalam urusan pekerjaan, akan tetapi masih belum ada kesempatan kesana. Terlebih lagi setelah melihat foto-foto sangat cantik mengenai Beriun oleh fotografer Natonal Geographic tahun 2016 menjadikan semangat ini makin membara.
BERIUN
Hingga akhirnya Oktober 2020 menyapa, seolah ia memberi harapan pada akhir bulannya. Informasi mengenai transportasi maupun jalur pendakian mulai kugali. Kanal-kanal Youtube yang memuat liputan mengenai Beriun aku putar berulang kali. Demikian pula dengan akun-akun media sosial pendaki yang pernah kesana aku tanya satu-persatu.
Tak ketinggalan juga Pak Indra, rekan kerjaku di Karangan Dalam pun turut memberi informasi serta kontak yang bisa dihubungi untuk melancarkan misi ini. Bahkan dua minggu sebelum keberangkatan, aku menyempatkan untuk bertandang ke Kantor Desa Karangan Dalam untuk menyampaikan maksud pendakian sekalian ijin kepada Ketua Adat di Desa Karangan Dalam, Pak Ijam. Saat itu beliau hanya bisa dihubungi via sambungan telepon. Ditanyakanya siapa ketua regu, berapa hari diatas, dan siapa pemandunya. Tentu saja saat itu belum bisa aku jawab karena kami perginya sekitar 5-6 orang, dan tentunya memerlukan waktu untuk diskusi terlebih dahulu.

SPESIALIS PENERIMA HARAPAN PALSU
Setelah melalui diskusi di grup, disepakatilah transportasi yang aku ajukan, berupa sewa mobil beserta sopir pulang pergi dari Sangatta ke Karangan Dalam serta sewa mobil 4WD untuk membawa kami ke pintu rimba (awal pendakian Beriun) yang dikenal jalannya cukup menyengsarakan tatkala memasuki musim penghujan seperti ini. Perijinan ke Pak Ijam pun sudah aku selesaikan dengan menyebut lima orang yang akan menuju ke Beriun. Jadwal di Karangan Dalam pun sudah aku susun di grup kecil kami. Rencana kami akan melakukan pendakian selama dua malam, dan selebihnya kami bisa mengunjungi destinasi terdekat disana seperti Mengkuris atau Air Panas Batu Lepoq. Jadwal disusun mulai tanggal 28-31 Oktober 2020.
Dua hari sebelum keberangkatan, sudah ada salah seorang yang mengundurkan diri. Oke, setidaknya aku harus mempertahankan tiga orang lainnya agar sharing cost tidak terlalu berat. Pengumuman berisi tentang 'Siapa yang mau ikut ke Beriun' telah disebar di grup tukang jalan Bontang dan Sangatta.
Dan entah mengapa, sehari sebelum keberangkatan, salah seorang teman pun membatalkan rencana untuk bergabung dengan alasan pekerjaan. Ia hanya mengirimkan pesan agar kami berhati-hati dan selamat hingga pulang. Tamat sudah riwayat perjalanan ke Beriun.
Sungai Marak, Bikin Penasaran
Pikiranku mendadak gelap. Tantangan serupa menyapa kembali. Aku kelimpungan memutar otak dan mencari info kesana kemari agar biaya bisa ditekan seminimal mungkin. Aku tak membiarkan kesempatan ini akan hilang dan liburanku terbuang sia-sia. Itu namanya bukan seorang Une.
Dan akhirnya, aku menelepon Lupi alias Jangkar untuk berdiskusi bagaimana baiknya.
"Kar, kalau biayanya membengkak apa kamu mau ikut?" Pancingku. Nadanya tampak ragu.
"Kayaknya aku keberatan dengan biaya segitu,"
"Ya sudah, kalau kamu keberatan, mending aku berangkat sendiri aja. Aku bisa kok handling semuanya sendiri," Ujarku dengan suara tercekat, hampir menangis. Bukankah biasanya juga kamu bisa sendiri, Une?
"Kalau sendiri mending batal aja, Ne." Katanya dari seberang memberi saran. Aku menggeleng keras kepala.
"Nggak, aku sudah biasa kok ! Aku pokoknya berangkat sendiri!" Seruku tegas sambil sedikit lemas melihat keril yang sudah separuh terisi logistik buat empat orang. Ah sudahlah! Apapun yang terjadi, tetap lanjutkan perjalananmu, Une! Tetap maju dan perjuangkan mimpi-mimpimu.
Setelah hampir satu jam aku mengakhiri perang urat saraf lewat sambungan telepon itu. Nafas kuhela berkali-kali untuk menenangkan diri. Selanjutnya menghubungi sang pemandu dan mengutarakan bahwa aku seorang diri yang hendak menuju Beriun. Apapun yang terjadi.
Bleib ruhig, alles in Ordnung. (Tetap tenang, semuanya baik-baik saja)

28 OKTOBER 2020
Benar, hari ini telah tiba dan aku berangkat sendiri. Segala kemungkinan yang akan terjadi sudah kupikirkan. Perjalanan menuju Karangan Dalam dari Sangatta membutuhkan waktu sekitar 7 jam. Santai saja, toh Karangan Dalam juga bukan daerah yang asing, bukan? Dan disana juga ada rekan-rekan kerjamu. Begitu aku menenangkan diri dalam tekad yang makin berkibar. Sampai di Karangan sekitar pukul sembilan malam, sempat aku menghubungi penjaga Beriun yang akan menemaniku selama disana, namanya Mas Mardi. Aku menginap di PLTD Karangan Dalam, tempat bekerja saat disana.
PLTD Karangan Dalam, Tempatku Menginap
"Jadi kenapa Mbak sendiri saja?" tanyanya. "Baru pertama aku bawa pendaki sendirian keatas, cewek pula."
"Karena saya korban penerima harapan palsu. Yang awalnya lima orang jadi saya sendiri. Susah kalau saya sudah punya tekad, pasti konsisten dan komitmen."
" Ya...ya. Jadi butuh apa aja mbak untuk naik keatas?"
"Paling nesting dan kompor. Beras. Aku sudah ada hammock, tinggal flysheetnya saja. Memang bagaimana cuaca Karangan akhir-akhir ini, Mas?"
"Hujan."
"Perjalanan menuju pintu rimba?"

"Berdoalah, mudah-mudahan jalannya tak seburuk yang kita kira."
"Dan mudah-mudahan cuaca mendukung."
Ujarku lirih dan menunduk. "Aman saja kan?"
"Kita buat temanmu yang PHP menyesal karena nggak ikutan." Tukasnya sambil menggeser-geser gambar di layar ponselnya. "Nih, mudah-mudahan kita dapat panorama langka seperti ini."
Aku ternganga melihat panorama negeri diatas awan, di puncak Beriun yang hanya 1261 mdpl.
"Ini malamnya habis hujan, lantas paginya kami dapat panorama seperti ini."
"Itu bagus banget !"
"Semoga dapat ya."
Dan akhirnya setelah berunding kami sepakat satu malam saja di Beriun, karena kami hanya berdua, dan tentunya karena aku nggak enak hati juga dengan keluarganya. Huh, kadang aku ini terlalu pemberani dan nekat menjadi seorang wanita.

Yeah, tapi memang sebuah renjana harus benar-benar diperjuangkan sekuat tenaga!

bersambung...

baca post selanjutnya : http://www.fraunesia.com/2020/11/2-beriun-jika-kamu-seorang-lelaki-aku.html
0
Share
Ada yang kurang apabila tak mengunjungi lokasi ini saat berada di Karangan. Ya, seperti postingan sebelumnya yang menjelaskan bahwa Karst Sangkulirang-Mangkalihat di kawasan Kutai Timur membentang maha luas dan menyimpan jejak-jejak prehistoris dibaliknya. 
Sungguh, hampir tiap bulan ada saja Karst di Kutai Timur yang aku jelajahi. Khusus untuk bulan ini ada dua, yaitu Kung Beang dan Mengkuris, sebenarnya karakter dua karst ini hampir sama, yaitu terpisah dari bentangan karst besar lainnya (contoh : Gunung Gergaji, Karst Merabu, Karst Batu Pengadan dll) dan memiliki beberapa gua dengan dinding batuan kapur. Bedanya di Karst Mengkuris ini terdapat jejak cap tangan prehistoris seperti yang ditemukan di Ceruk Tewet.
Lokasi Mengkuris sendiri hanya sekitar satu jam dari perkampungan di Karangan, kearah Batu Lepoq lurus saja, dan masuk ke kiri, jalan tanah milik perusahaan kayu PT Sumalindo. Melalui jalan tanah sekitar lima kilometer. Desa Batu Lepoq sendiri sebagian besar dihuni oleh warga Dayak Basap.
Saat itu aku hanya berdua dengan Mas Mardi, awalnya kami sangsi bisa menuju ke Mengkuris karena saat pagi harinya hujan turun di Karangan, dan khawatir motor kami akan terjebak lumpur saat perjalanan.
"Sudahlah kita coba saja kesana saja, siapa tahu jalannya masih bagus," Ujarnya menghiburku. Tentu saja, Mengkuris menjadi hal yang membuatku penasaran mengingat aku sering ke Karangan namun belum pernah mengunjunginya walaupun jaraknya cukup dekat dari lokasi bekerja di Karangan.
Pukul delapan pagi kami menuju kesana, syukurlah hari sudah kembali cerah walaupun jalanan masih basah. Namun tampaknya keberuntungan berpihak kepada kami, jalanan tanah yang masuk ke Karst Mengkuris kering, hanya beberapa titik yang becek. Mas Mardi mengendarai motornya dengan lincah, hujan tampaknya tak mengguyur lokasi ini, karena kalau hujan, cukup seram juga jalanan yang kami lalui.
Jalanan yang dilalui di PT Sumalindo
Untuk menuju Gua Mengkuris, kendaraan bermotor dapat diparkir dekat dengan mulut gua. Sangat dekat! Pengunjung hanya perlu naik sedikit ke mulut gua. Padahal menurut Satria, pemandu kami saat di Ceruk Tewet mengatakan bahwa gas-gas buang dari kendaraan bermotor dapat mempersingkat  usia gambar cadas pada ceruk. Terlebih lagi akses Gua Mengkuris yang tak sulit seperti Tewet, menyebabkan garca tersebut cepat rusak apabila pengunjung dengan serampangan menyentuhnya.
Mulut Gua Mengkuris
"Dulu banyak gambar-gambar tangan disini mbak," Jelas Mas Mardi di mulut gua. Ia menunjukkan dinding dengan sekitar satu atau dua garca negative stencils yang sudah mulai memudar.

Garca di Ceruk Bawah, Mulai Rusak
"Sekarang sudah jarang peneliti datang kemari karena gambar-gambarnya sudah mulai menghilang."
Hmm, benar apa kata Satria dahulu. Perlakuan manusia sangat mempengaruhi gambar cadas. Sayang sekali, padahal suatu saat kalau sudah punya anak, aku ingin pamerkan hal luar biasa ini.
Lantas Mas Mardi menunjukkan dinding lainnya, ada peringatan dilarang merusak dan mencoret dinding gua disana, jika dilanggar akan dikenakan sanksi adat. Menurut info peringatan tersebut dibuat oleh masyarakat adat Batu Lepoq, dengan tokoh adat yang dikenal dengan nama Pak Minggu.
Gambar cadas tak hanya di bagian bawah, akupun naik ke ceruk bagian atas dengan bantuan rotan dianyam yang tertambat pada stalagtit dan berfungsi sebagai 'webbing ala kearifan lokal'. Aku mendapati garca negatif stencils maupun positif stencils dengan beberapa gambar hewan, yang aku terka asal-asalan mungkin seekor kerbau. Ada juga gambar mirip dengan katak, kura-kura, maupun mirip dengan babi hutan cukup yang sudah memudar disebelahnya.
Ceruk Atas Mengkuris
Untuk sebuah gua yang terhitung mudah dijangkau seperti ini, termasuk bersih dan tidak ada sampah, apalagi vandalisme seperti di Gua Angin Kung Beang. Ada pondok tempat informasi wisata namun tampak kosong dan ilalang tumbuh tinggi disekitarnya.
Menuju Liang Saleh
Pintu Masuk Liang Saleh
Tak hanya Mengkuris, satu gua lagi yang kami kujungi disana, namanya Liang Saleh. hanya sekitar 200 meter dari Mengkuris. Langit-langit gua tinggi dan tidak ada cap telapak tangan disana.

PUNCAK MENGKURIS
"Ke puncak kah kita?" Tawar Mas Mardi di hari yang makin terik ini. Pukul setengah sepuluh pagi.
"Jauh nggak? Berapa lama kita naiknya?" Tanyaku. Karena memang kaki ini sudah pegal-pegal setelah pendakian ke Beriun dan menyesuaikan jadwal transportasi untuk kepulanganku ke Sangatta.
"Sejam saja."
"Ya lumayan," jawabku sembari menghela nafas. Udara panas seperti ini, cukup melelahkan menapaki karst yang pasti sangat curam
"Tapi kalau lihat mbak ini tiga puluh menit tembus." Katanya menyemangatiku. Oh, tentu saja tanpa pikir panjang langsung kuiyakan dengan penuh semangat. Kapan lagi.
Jalur yang dilalui memang tak jauh beda dengan jalur menuju puncak karst yang lain. Sangat menanjak dan tak jarang telapak tangan tergores karst. Ada beberapa jalan yang harus dilalui dengan merayapi karst, namun ini jauh lebih manusiawi dibandingkan Ceruk Tewet. Lebih mudah, dan tentu saja dengkul racing ini sudah terlatih menapaki karst sehingga terhitung cukup lincah, huahahaha.
Perkiraan meleset jauh, yang awalnya durasi sekitar tiga puluh menit, kami hanya memakan waktu dua puluh menit sampai puncak dengan ketinggian sekitar 195 mdpl, jadi sekitar pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Ternyata jarak tak terlalu jauh, hanya sekitar 500-600 meter saja, dan benar, suasana di puncak teramat panas! Panorama yang disuguhkan berupa hamparan Karst Mengkuris, hutan, maupun siluet Puncak Beriun dari kejauhan. Kurang lebih sama dengan Ceruk Karim.
Suasana di Puncak Mengkuris
"Aduh bisa item lah saya nanti mas," Ujarku sambil sibuk menutupi wajah dengan kerudung. Lantas kami berteduh di tanaman perdu yang berada di puncak.
"Siapa yang buka jalur dulu mas?" 
"Ya saya mbak, ini kita pas diatas gua Mengkuris."
"Harusnya sana tuh, vertikal dan ekstrim," Ujarku sombong menunjuk gua tinggi di pilar karst sebelah kami. Hampir setiap detik kelelawar dan walet keluar masuk ke gua tersebut.
"Belum ada orang yang masuk sana," ujar Mas Mardi. "Kayaknya harus bawa peralatan panjat."
Hanya sekira satu jam kami berada di Puncak Mengkuris. Sinyal di puncak sangat bagus, sehingga aku sempat melakukan panggilan kepada orang tua dan Mas Mardi sendiri melakukan siaran langsung di laman Instagramnya.
"Saya baru pertama naik siang-siang dan panas begini.Biasanya pagi mbak, bagus kabutnya. Apalagi kalau habis hujan, rasanya seperti berada diatas awan. Kadangkala kamipun menginap diatas sini."
"Anginnya nggak kencang?"
"Nggak. Tapi siang begini bagus juga, cerah. Awannya bagus tuh!" Serunya menunjuk langit, seraya bergantian mengambil gambar denganku. 
Hmm, ada bagusnya juga. Suatu saat, aku ingin kembali lagi dalam suasana pagi.
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose