#2 Beriun : Jika Kamu Seorang Lelaki, Aku Ingin Menikah Denganmu

 "Aku tak pernah main-main dengan impianku."

29 OKTOBER 2020
"Sebenarnya sungguh saya nggak tega biarin kamu naik sendirian, mbak Une." Pak Indra (rekan kerja di Karangan Dalam) sempat berbincang sejenak denganku sebelum melakukan perjalanan ke Beriun. Raut wajahnya tampak sedikit was-was. "Memang berapa lama naik ke puncaknya?"
"Kata Mas Mardi empat jam, dari tempat camp."

"Apa? Empat jam? Haih, sudahlah, nggak sanggup saya. Bawa perut aja sekarang susah!" Kelakarnya.
"Aman saja pak, kan nanti ada Mas Mardi." 
Pukul sembilan pagi kami berangkat dari perkampungan di Karangan menuju Pintu Rimba Beriun. Menurut info, membutuhkan waktu dua jam kalau kondisi jalan tak terlalu jelek. Aku berboncengan dengan Mas Mardi diatas motor perangnya, motor bebek, tanpa plat nomor kendaraan, dan ban sudah diganti dengan ban lapangan, atau lazim disebut ban tahu/offroad.
"Kalau pagi gini nggak hujan biasanya. Kalau siang sedikit, pasti nggak bisa ditebak, bisa jadi hujan." Tukas Mas Mardi.
"Kalau jalanan ke Pintu Rimba?"
"Kering kalau sekarang."
Lelaki yang ternyata asli Sunda itu memacu motornya melalui jalur logging PT Sumalindo Alam Lestari, awal perjalanan masih mulus, lantas kami menemui beberapa pohon tumbang yang menutupi tiga perempat jalan, lalu jalanan yang sedikit hancur.
"Kalau hujan, babak belur kita. Apalagi...tanjakan didepan tinggi betul." Mas Mardi menunjuk dengan dagu tanjakan yang akan kami lalui. Aku menghela nafas.
"Kuat nggak ini mbak? Beban kita dimotor ini satu kuintal lebih loh!"
"Kuat lah! Kan ini motor perang," Jawabku berusaha melucu dalam ketegangan.
"Mbak jangan bergerak ya," Ia memindahkan persneling ke posisi terendah dan menarik gas dengan maksimal. Posisi dudukku yang sudah miring aku pertahankan agar kami tidak jatuh, walau tidak nyaman.
Pintu Rimba Beriun
"Huh, istirahat sebentar Mbak. Itu puncaknya Beriun sudah kelihatan."
Aku mendengar mesin motor berdengung kepayahan. Mesin panas. Suasana saat itu berawan. Penanda kilometer di pinggir jalan menunjukkan 30 km, berarti separuh perjalanan lagi.
Beriun Tampak Dari Kejauhan
Pukul sebelas lewat sepuluh menit kami tiba di pintu Rimba. Kami beristirahat sejenak di pondok yang dibangun oleh Dinas Pariwisata Kutai Timur tepat di pintu pendakian, akan tetapi langit kian pekat, tak lama kemudian rinai hujan yang lembut menyapa kami. Mas Mardi menatap keatas.
"Diatas hujan ini mbak. Bagaimana? Kita tunggu reda sebentar ya?"
Kami menunggu sejenak. Ia menghisap sebatang rokok, tak lama kemudian menginstruksikan untuk berjalan.
Awal Pendakian
Awal perjalanan trek menanjak ringan, melalui semak-semak dan hutan yang mulai rapat. Sekitar lima ratus meter perjalanan, gemericik air mulai terdengar. Tak hanya itu, hujan pun terasa kian deras.
"Air terjun Marak," Mas Mardi menjelaskan. Aku terpukau menatap air terjun yang cantik dan unik tersebut, apalagi kalau bukan airnya yang berwarna merah bak teh tersebut. Tak lazim ditemui.
"Kebanyakan di Beriun memang sumber airnya berwarna merah, karena di hulu banyak kayu Pelawan  (Tristaniopsis merguensis) yang akarnya berwarna merah, jadi mempengaruhi warna sungai. Ada juga beberapa sungai yang airnya jernih, nanti saya tunjukkan."
Air Terjun dari Sungai Marak
Namun sayang, ketika hendak berfoto tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kami mempercepat langkah dan memasang flysheet untuk tempat berteduh sementara. Kami duduk di bebatuan berlumut disekitar air terjun tersebut.
"Mudah-mudahan nggak lama, saya nggak pernah mendaki pas hujan seperti ini," Ia membuka pembicaraan.
"Wah, ini pendakian pertama hujan-hujanan dong?" Jawabku sambil menatap suasana sekitar yang menggelap seperti saat menjelang maghrib.
"Berat kalau bawa flysheet basah."
Hujan tak kunjung reda juga, malah semakin deras. Saat itu menunjukkan pukul dua belas siang, aku terpekur memeluk lutut sembari menatap tanaman yang bergoyang karena ditimpa air hujan. Suasana semakin gelap. Niat untuk berfoto di sekitaran air terjun pupus sudah.
Lantai Beriun
"Sabar mba, mudah-mudahan hujannya nggak lama. kalaupun sudah mulai reda kita lanjutkan saja. Memang suasana hati Beriun susah ditebaknya." Jelas Mas Mardi sambil menyulut rokoknya kembali. Akupun ikut menghisap cokelat pasta yang sedari tadi kusimpan di kantong celana.
Hujan sedikit mereda. Hanya sedikit. Kami segera melanjutkan perjalanan ke Pos 1 yang biasa disebut Pos Ular. Jalur yang kami lalui benar-benar hutan seksi yang rapat dan gelap, maka tak heran kalau Eiger memberi nama Ekspedisi Black Borneo. 
Flysheet sementara di Pos 1
Baju yang kami kenakan benar-benar basah kuyup sampai tembus kedalam. Bercampur antara keringat dan air hujan. Kacamata minus dua yang kugunakan pun buram karena air dan terkadang berembun, entah karena perbedaan suhu antara muka dan luar, mungkin pemakai kacamata bisa membayangkan; rasanya seperti makan bakso panas saat memakai kacamata. Mau aku lap lensanya dengan hijab atau ujung baju tapi basah, dan tentunya akan makin buram. Sungguh menyengsarakan ! Apalagi kalau kacamata sudah berembun, uh rasanya berjalan dalam kabut saja. Tak jarang akupun hampir terpeleset gara-gara insiden kacamata itu, jadi ritme berjalanku pun melambat dan banyak berpegangan dengan pohon.
Sepanjang jalur memang sudah terpasang pita kuning, tapi jalur di hutan rapat ini sungguh tidak jelas. Mudah sekali tertutup perdu atau pepohonan yang rebah, tidak seperti jalur gunung-gunung di Jawa. Benar-benar bisa tersesat kalau tidak ada yang pernah mendaki kesana. Sekali atau dua kali ke Beriun pun belum tentu hafal kalau jalurnya seperti ini.
Tapi sungguh, hutannya sangat seksi. Kaya akan keanekaragaman hayati khas hutan tropis. Apalagi kalian pecinta anggrek. Wow, tanaman epifit ini beraneka rupa di Beriun, sebutlah Anggrek Batu, Anggrek Hitam, Anggrek Kuping Gajah, dan Anggrek Bulan ada disana.
Anggrek Batu
Menuju ke Pos Satu dari tempat kita berteduh hanya sekitar satu jam. Ada beberapa kali kami menyebrangi anak Sungai Marak, dan akupun sempat terpeleset memijak batu berlumut saat menyebranginya. Kami memasang flysheet kembali di Pos Satu, karena hujan masih belum reda juga.
"Sebenarnya Beriun masuk desa Muara Bulan (Baay) atau Karangan Dalam Mas?" tanyaku membuka percakapan di Pos Ular ini.
"Muara Bulan dan Karangan Dalam. Kalau sekarang kita berada di Muara Bulan, dan puncaknya berada di desa Karangan Dalam."
Hm, tak jauh beda dengan gunung lainnya. terletak di dua Kecamatan atau bahkan Kabupaten, seperti di Semeru. Muara Bulan sendiri adalah nama lain dari desa Baay, yang terdaftar secara administratif adalah nama Baay.
Drama pacet pun mulai terjadi. Ada seekor pacet tiba-tiba menghisap darah di telapak tangan kiriku. Saat kucabut, darah pun mengucur tanpa berhenti-berhenti.
"Baru pemanasan, nanti saat jalan ke puncak, bisa-bisa donor darah." Kelakar Mas Mardi melihat raut wajahku yang mulai gusar.
Perjalanan menuju Camp 77 pun kami lanjutkan dengan kondisi masih hujan. Liana-liana basah, anak Sungai Marak, menjadi sajian utama kami. Sejauh ini belum ada kesulitan berarti saat mendaki Beriun.
Mas Mardi menghentikan langkahnya, ia menujuk kearah lantai hutan yang dipenuhi dedaunan membusuk.
"Tuh jamur Mata Sapi yang bikin kamu penasaran." Tunjuknya. "Susah orang kalau mau lihat jamur itu, kalau bukan musim-musim seperti ini, nggak bakalan ada."
Mataku berbinar terpukau, lalu berjongkok dan segera mengambil gambarnya.
Jamur Telur Mata Sapi
"Mau nyobain rasanya? Bisa dimakan loh," Tawarnya. Lantas ia mengambil satu buah jamur yang masih kecil, dan menyodorkan kearahku.
"Aman yah? Rasanya seperti apa?"
"Coba saja. Buat obat kolesterol itu."
Lantas aku memasukkannya tanpa ragu kedalam mulut. Mengemutnya dan menggigit dagingnya yang bening. Seperti konnyaku atau agar-agar, tapi hambar. Sekilas aku berpikir, kalau direbus dan dikasih gula beserta kental manis pasti rasanya bakal seperti odading mang oleh...eh puding.
Perjalanan pun berlanjut. Hutan kian rapat, basah dan berlumut. Dan apa kabar kacamataku? Masih berembun dan basah. Trek didominasi oleh tanjakan. Kami kembali beristirahat di batang pohon besar yang rebah, mengatur nafas.
"Hahh...baru pertama kali ini aku bawa pendaki cewek sendirian," Mas Mardi mengulang ucapannya kembali.
"Susah memang kalau sudah niat. Nggak bisa dilawan." Jawabku sambil merogoh-rogoh kantong mencari cokelat pasta.
Sepanjang perjalanan, kami menemukan seekor kura-kura dengan cangkang menyerupai matahari dan motif di plastron (bagian bawah kura-kura) membentuk guratan yang unik.
Kura-Kura Matahari
"Baru pertama kali ini aku nemu kura-kura pas pendakian." Ujar Mas Mardi.
Aku tersenyum puas, "Bener kan, pasti ada keajaiban dibalik pendakian dalam hujan."
Ternyata tak jauh dari tempat penemuan kura-kura Matahari tersebut, adalah Camp 77. Aku sedikit lega karena sudah mulai menggigil kedinginan dan telapak tangan yang mengkerut. Pundak yang sedari tadi menggendong carrier pun bisa sedikit beristirahat.
Jamur di Beriun. Ada yang mirip seperti Dorayaki
Flysheet dibentangkan, kami hanya tidur dengan menggunakan hammock. Ketinggian saat itu 700 mdpl.
Perapian untuk menghangatkan badan pun sudah dibuat. Menurut Mas Mardi, kayu di Beriun ini bagus kalau dibuat perapian, karena walaupun lembap ia masih bisa menyala, dan hujanpun apinya masih bertahan.
Sumber air tak terlalu jauh dari tempat camp, hanya turun kebawah sekira 50 meter, maka kita akan menemukan aliran sungai kecil yang berwarna merah seperti teh. Air itulah yang akan kami konsumsi selama disana. Aman.
Kami makan dengan nasi yang telah kami bawa, lalu mengganti dengan baju yang kering. Hujan pun sudah berhenti dengan sempurna, namun berganti angin kencang yang merobohkan puluhan pepohonan yang dianggapnya lemah.
"Kraaaakkk....dabuummm..." 
Kami melongok terkejut kearah suara. Tak jauh dari tempat camp, sebuah pohon patah ditiup angin. Benar-benar sampai bawah.
"Kraaaaak....dabuuummm..."
Suara itu muncul berkali-kali. Pepohonan banyak yang tumbang di dekat Camp 77. Aku ketakutan. Bagaimana jika kami tiba-tiba kerebahan pohon sebesar itu?
"Kraaaak...bruaaak!!!"
Ranting kering cukup besar jatuh tepat disebelah flysheet kami. Aku terhenyak, suaranya sangat mengejutkan. Ah, Allah masih melindungi kami, tak bisa kubayangkan kejatuhan ranting seperti itu. Pasti menyakitkan. Untungnya lagi aku nggak latah, kalau iya, entah mantera apa yang akan terucap nantinya.
"Kalau jatuh diatas flysheet bisa langsung jebol." Tukas Mas Mardi. Ia menatap pepohonan diatas kami. Ia berharap semoga tak ada ranting mati yang menimpa kami.
Malam menyapa. Hujan dan angin pun sudah berlalu. Udara di camp sangat dingin, dan tidak ada nyamuk berlalu-lalang. Kami hanya berbincang sedikit sambil menyesap kopi beserta makan mie instan hingga pukul sebelas malam. Kemping berdua ini benar-benar tenang sekali, dapat menikmati suara alam dengan lebih jelas. Lantas beristirahat untuk mengembalikan stamina mencapai puncak Beriun Raya keesokan harinya.

29 OKTOBER 2020
Camp Kami
Semalam aku benar-benar kedinginan. Jaket dan sarung ungu andalan yang kubawa tak sanggup menghalau dinginnya Beriun. Sempat menyesal telah meremehkan : Ah gunung di Kalimantan mah panas!
Mas Mardi menanak beras untuk sarapan kami. Bagaimana dengan cuaca? Cerah. tanpa angin dan langit pun biru. Perlahan-lahan temperaturpun menghangat.
"Mudah-mudahan cerah sampai pulang nanti." Ujar lelaki berambut setengkuk lebih tersebut. Menurutnya, menuju ke puncak rata-rata membutuhkan waktu empat jam. 
"Wah jauh juga," batinku. Kami memulai perjalanan ke puncak pukul delapan pagi, dengan estimasi sekitar pukul dua belas sampai, dan pukul satu siang turun kembali.
Punggungan Menuju Puncak
Tanjakan awal yang kami lalui memang cukup terjal. Banyak jenis jamur yang kami dapati  disana, tidak heran memang kalau Beriun menjadi kerajaan berbagai macam jenis jamur.
Awal perjalanan kami menjamah punggungan, lalu ada beberapa pohon dengan kulit luarnya yang koyak, infonya beruang liar telah mencakar-cakarnya. 
Semakin tinggi, lumut semakin tebal. Peluh bergantian memerihkan mata. Kacamataku hari itu tak berembun karena suasana saat itu panas.

PENDAKIAN BERDARAH
Berdarah
Aku merasakan ada yang merayapi betis dan paha. Tapi aku tetap berjalan, paling juga hewan hutan usil. Karena lupa bahwa menuju puncak adalah kerajaan pacet sebenarnya, terlebih lagi musim penghujan seperti ini. Dedaunan basah di lantai hutan menjadi rumah ternyaman bagi pacet untuk menanti mangsa yang lewat.
Saat kami beristirahat, aku melihat darah merembes di sela-sela celana kargo. Segera kuperiksa, ternyata ada tiga ekor pacet yang mulai menggendut dan menggeliat malas menikmati darahku.
Panik dan geli, aku minta tolong Mas Mardi mencabutnya.
"Masih sedikit ini." Ujarnya cengar-cengir.
Makin ke puncak, pacet makin menggila. Pendakian ini menjadi 'pendakian berdarah' pertamaku. Mungkin kalau diibaratkan, Beriun adalah Bukit Raya versi mini. Ya, walaupun aku belum pernah mendaki kesana, tetapi mendengar kisah dari rekan lain bahwa Bukit Raya layak dinobatkan sebagai Kerajaan Pacet karena ngerinya yang luar biasa.
Seusai tercabut, darah mengucur susah berhenti karena zat antikoagulan yang dikeluarkan oleh si pacet laknat tersebut.
Variasi Jalur Menuju Puncak
"Haduh, apakah aku mendadak hemofilia." Batinku berhalusinasi. Karena ini adalah pengalaman pertamaku diserang pacet. Lucu saja kalau kehabisan darah di tengah belantara gara-gara makhluk mungil tersebut.
"Mau pake tembakau, garam, atau obat nyamuk juga gak mempan." Sahut Mas Mardi sambil menebas ranting yang menghalangi jalur. Ya ya ya...setiap kali kami berhenti pasti sibuk panen pacet di sela-sela kaki, disertai darah yang membasahi celana, kaus kaki dan sepatu.
Namun, bau anyir di kaki dan tangan sudah tak kuhiraukan lagi. Aku terus berjalan, walau terkadang berhenti sejenak untuk mencabut pacet apabila terasa geli-geli perih saat pacet yang menempel di kulit tergesek dengan sepatu atau celana.
Waktu yang kami perlukan untuk mencapai puncak adalah 2,5 jam dari Camp 77. Saat itu pukul 10.30 WITA, aku berhasil mencapai puncak Beriun Raya di ketinggian 1261 mdpl.
Cendol Dawet Seger
Telapak kaki mulai terasa ada yang bergerak-gerak, setelah kuperiksa ternyata tiga ekor pacet gemuk sebesar ibu jari disertai bau anyir darah nangkring di sepatu, sekilas tampak seperti cendol dawet seger takintang kintang. Tiga ekor lainnya masih asyik menghisap darah di dekat mata kaki kiriku. Tanpa pikir panjang aku mencabutnya.

Panorama di Puncak Beriun
Puncak Beriun tak terlalu luas, hanya sekitar 6x6 meter saja. Saat itu sangat cerah, dan panorama yang disajikan berupa hamparan karst Tebo, Merabu, maupun Batu Pengadan. Ada juga puncak Tondoyan, yang tentunya beda dari Tondoyan di kawasan Gunung Gergaji. Beriun benar-benar dikelilingi oleh gugusan Karst besar. Sesekali kami dapati burung Enggang dan Elang melayang diatas puncak. Kantong semar (Nepenthes) berukuran besar mudah ditemui disana. Sayangnya kami tak mendapati gugusan awan dibawah kami.
"Infonya hanya Beriun yang berkontur tanah ya?" Tanyaku.
"Kita ini sebenarnya berdiri diatas karst, yang dilapisi tanah gambut. Kamu tahu nggak kenapa pohon di Beriun tinggi-tinggi?"
"Kenapa memangnya?"

"Mereka berebut sinar matahari. Lihatlah, batangnya lurus tanpa cabang dan tumbuh keatas."
Benar juga. Mungkin itulah yang membuat hutan ini gelap, tertutup dan lembap. Karena atap pepohonan yang rapat melingkupi tanah hutan dari sinar matahari. Sehingga bryophyta alias lumut yang beraneka ragam dengan mudahnya tumbuh, yang dulu hanya bisa kulihat dari buku pelajaran Biologi semasa sekolah, sekarang bisa kusentuhnya.
Lumut Beriun
"Turun kah? Ngejar waktu, nanti bisa hujan lagi" Tanya Mas Mardi setelah melakukan panggilan  via telepon kepada keluarganya. Saat itu tepat pukul dua belas siang.
"Ayo, kita berperang dengan pacet lagi !" Jawabku penuh semangat.
Perjalanan turunpun aku makin akrab dengan lintah yang menerobos kaos kaki bolongku. Perih sudah tak kurasakan. Anyir darah yang menguar dan mengundang serangan pacet sudah kuabaikan. Memang sesekali berhenti untuk mencabuti pacet nakal jika sudah terasa sangat perih dan menggelikan.
Waktu turun hingga sampai di Camp 77 sekitar dua jam. Kami segera makan siang dan berkemas untuk kembali ke Karangan. Entah mengapa, tiba-tiba hujanpun turun kembali. Kami sepakat untuk menunggu hujan sedikit reda dan melanjutkan perjalanan.
Beruntunglah, hanya sekitar tiga puluh menit hujanpun reda. Perjalanan kembali pada pukul 15.30 WITA menembus pekatnya hutan siap dimulai. Jalur yang dilalui pun sama seperti saat berangkat, sebenarnya ada dua jalur tapi jalur yang kami lewati ini cukup banyak titik menarik yang dijadikan tempat berfoto, salah satunya adalah air terjun Marak. Jalur Ekspedisi Black Borneo tidak kami lewati karena menurut info Mas Mardi lebih jauh dan banyak tanjakan.
Pukul enam sore kami tiba kembali di Pintu Rimba. Perjalanan yang melelahkan dan menyenangkan. Sedikit mengesalkan juga, karena jadi korban perjalanan yang 'ditinggalkan'.

Hei Beriun, kau seperti lelaki. Misterius dan mengayomi, memberi kehidupan, namun tidak menyakiti.
Jika kamu benar-benar seorang lelaki, apa engkau mengijinkanku untuk menjadi istri?
Sungguh, jika ada seorang lelaki yang tega menyakiti hati, sudah tidak pantas lagi ia kusebut sebagai lelaki.

Sangatta, 5 November 2020


Tips mendaki Beriun :
1. Cuaca di Beriun tidak bisa ditebak, persiapkan peralatan dan baju ganti untuk menghadapi kondisi ini
2. Jalur di Beriun cepat sekali tertutup. Lebih baik kesana dengan orang yang benar-benar sudah hafal jalur untuk menghindari tersesat
3. Izin kepada tokoh adat di Karangan Dalam atau Muara Bulan
4. Membawa jaket atau baju hangat, karena saat malam ternyata sangat dingin
5. Kalau jurus anti pacet, aku benar-benar nggak tahu ya :)

Cara Menuju ke Beriun :
1. Dari Balikpapan/Samarinda bisa sewa mobil menuju ke Karangan Dalam. Atau bisa naik travel menuju Sangatta, dari Sangatta naik travel meuju Karangan dalam. Estimasi waktu 7 jam dari Sangatta.
2. Dari Karangan Dalam menuju Pintu Rimba, bisa menggunakan motor atau mobil. Untuk motor kalau bisa dengan motor Trail atau manual yang telah diganti ban luarnya. Untuk mobil gunakan 4WD untuk berjaga-jaga dari kondisi jalan yang buruk. Bawa parang/chain saw untuk memotong pohon yang kadang roboh dan melintang menghalangi jalan. Estimasi waktu 2-3 jam tergantung kondisi jalan.

Unesia Drajadispa

No comments: