Jemplang-Teletubbies, New Zealand versi Low Budget Level


Merupakan sebuah hal yang wajib ; Cuti dengan membawa sepeda. Alasannya sederhana, karena rute untuk bersepeda disekitar kampung halaman cukup banyak, dengan menawarkan pemandangan yang sangat menarik. Walaupun pada awalnya perjuangan membawa sepeda kedalam pesawat membutuhkan perjuangan dan effort yang cukup besar.

Apalagi kalau bukan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang berjarak hanya sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor dari rumah. Taman Nasional ini cocok untuk dikunjungi orang-orang dengan berbagai macam hobi, sebut saja bersepeda, mendaki gunung, fotografi, trail running, hingga cocok untuk melepaskan rasa galau disini. Daaaan, akupun sebenarnya terpancing rasa iri gara-gara melihat foto-foto rekan gowes yang sering berkeliaran di media sosial. Uh! Memang lebih baik tampaknya kalau hidup ini tanpa media sosial. Dijamin tak akan ada rasa iri yah, hehehee...
Kepada siapa lagi aku lemparkan ajakan gowes ke Jemplang kalau bukan kepada Mas Eko. Ia mengiyakan ajakanku dengan mengajak dua rekan lainnya.
"Berangkat pagi, jam 3 lah." Ujarnya. "Nanti kita shalat subuh di Ranupani saja."
Pos TNBTS Lumajang
Perjalanan menuju Ranupani ternyata membutuhkan waktu dua jam. Pukul lima kami sampai disana dengan kondisi langit yang sudah terang, sehingga shalat subuh pun kesiangan. Padahal biasanya di Kaltim pukul lima masih gelap gulita !
Kami berfoto sejenak di pinggiran danau Ranupani, bergulat dengan suhu sekitar 10 derajat celcius. Dan kemudian lanjut menuju Jemplang, untuk sekedar ngopi maupun nge-mie mengisi tenaga serta menghangatkan badan sebentar.
Panorama Sebelum Jemplang
"Nah ini, setelah ini masuk aja turun kebawah," Ujar Mas Eko menunjukkan jalan tanah berbatu setelah tulisan Jemplang. "Nanti ada beberapa spot untuk berfoto, kita berhenti disana."
Awalnya jalan rolling flat, datar, lalu turunan ringan berbatu dan berdebu karena menurut info warga sekitar tidak turun hujan. Lalu kutemui jalur yang menanjak ringan dan berbatu. Sangat ringan. Yang aku rasa bisa melewatinya, karena selama perjalanan hobi gowesku ini, tanjakan yang lebih tinggipun bisa aku lampaui. Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga kali kayuhan nafasku sudah terasa sangat sesak dan terengah-engah. Tenggorokanku mendadak super duper kering. Pandanganku mulai agak menggelap.
Jalur-jalur yang Sempat Membuat Sesak Nafas
"Jangan pingsan, tolong..."
Lantas kuhentikan laju sepedaku diatas semak yang mengering. Aku turunkan google pink dan mengusap wajah. Fahmi yang sedari awal berada didepanku pun akhirnya kembali menghampiri.
"Loh loh, kenapa mbak? Aman aja kah ini? Istirahat dulu aja." Fahmi menenangkanku sambil menyodorkan minumannya.
"Aku sudah bawa," balasku sambil mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengembalikan pandangan yang sempat menggelap. "Aneh, biasanya di Kalimantan kuat dan aman saat nanjak. Ini kok jadi seperti ini," aku bertanya-tanya keheranan.
"Iya mbak, oksigennya tipis disini, dataran tinggi. Santai saja mbak, jangan terlalu digaskan."
Olala ! Aku baru ingat. Ini Bromo, bukan Sangatta yang titik tertinggi hanya ratusan meter. Kulirik penunjuk altitude di jam tanganku, 2300 mdpl. Ribuan kilometer diatas permukaan air laut. Tentu saja ritme pernafasan harus diatur sebaik mungkin agar tiba-tiba tidak pingsan.
"Amankah yang dibelakang?" Mas Eko yang berada paling depan bertanya kepada kami.
"Amaaaan mas! Mbaknya cuma perlu istirahat sebentar." jawab Fahmi dengan berteriak melawan deru angin pegunungan.
"Sudahlah, kita lanjut aja mas." Ajakku setelah menghela nafas panjang. Rasanya metabolisme tubuhku mulai terbiasa beraktifitas di ketinggian. Tidak sesak lagi.
"Yakin mbak? Santai saja dulu nggak apa-apa. Toh kita ini gowes santuy ceria ceritanya. Nggak ada target waktu kan. Yang penting bahagia, dan foto-foto."
"Aman kok. Sudah mulai biasa." ujarku meyakinkan.
"Kalau mau teler istirahat saja mbak. Tapi bentar lagi full turunan ini. Yok!" Ujar Fahmi semangat.
Akhirnya Terpecahkan Misteri New Zealand Low Budget Level
Wah turunan? Tubuhku mulai bersemangat mendengar kata-kata itu. Cocok sekali untuk sepeda enduro yang aku pacu saat ini.
Roda sepeda membelah menuruni setapak berdebu bukit-bukit sekitar Jemplang. Terkadang kami harus berhenti menjaga jarak tatkala debu mulai menghalangi pandangan maupun menyebabkan kami terbatuk-batuk. Jalur single track yang nge-rail pun menjadi tantangan khas saat melalui jalur-jalur di perbukitan Bromo. 
"Uh...!" Aku terjatuh kedepan karena buramnya debu ditambah ban depan yang masuk ke jalur rail. Syukurnya hanya terjatuh ringan dan tanahnyapun empuk. Ah, sudah biasa bagi preman sepertiku.
Jalur yang terhalang pohon tumbang, menyisakan luka gores di lengan kananku. Turunan kian terjal, hingga panorama ala 'New Zealand' pun mulai membentang didepan mata.
Lembah di Bawah Bukit Teletubbies
"Kita naik ke bukit kecil sana, biar makin sip," Instruksi Mas Eko. Dan memang, pemandangan 360 derajat tampak dari sana. Angin tak lagi sepoi-sepoi, berganti dengan hembusan yang menerbangkan debu-debu halus.
Puas diterpa debu, kami lanjut turun menuju kawasan bukit Teletubbies, awal perjalanan meluncur mendekati lembah New Zealand, lalu berganti dengan tanaman perdu. Jarak yang kami tempuhpun tak jauh, hanya sekira 10 km saja. Jalurpun tak jauh berbeda dengan awal tadi, berpasir dan banyak pohon tumbang.
Hanya sekitar 2,5 jam kami berhasil mencapai Bukit Teletubbies plus waktu foto-foto. Karena hari itu adalah Selasa dan masih masa pandemi, maka pengunjung terbilang sangat sedikit. Sumpah, seumur hidup baru pertama kalinya aku kesini, walaupun jarak dari rumah terbilang dekat. Pemandangan yang disuguhkan sukses membangkitkan hasrat meracuni teman-teman yang belum pernah kesana.

Gimana, kamu sudah kepengen belum? Sudah keracunan belum?

Unesia Drajadispa

No comments: