• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Onsen, orang dari negeri Matahari Terbit menyebutnya. Onsen merupakan istilah dalam bahasa Jepang untuk sumber air panas dan tempat berendam sumber air panas yang keluar dari perut bumi (wikipedia). Tak usah jauh-jauh ke Jepang, di Kalimantan Timur pun ternyata sudah ada, dan uniknya, sumber air panas tersebut dikelilingi oleh perbukitan Karst Sangkulirang Mangkalihat yang membentang di daerah Tanjung Mangkalihat. Air panasnya pun tak mengandung sulfur, kurasa.
Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Membentang bagai dinding alam raksasa
Dibawah Karst Tersebut Masih ada Gua Merdua yang belum aku kunjungi
Berawal dari dinas ke Karangan Dalam yang terletak di Kabupaten Kutai Timur (kebetulan Karangan Dalam masih area pelayananan kantor di Bontang), saya dan rekan kerja menyempatkan berendam melepas lelah di pemandian air panas Batu Lepoq. Toh jaraknya dari kantor ULD (Unit Listrik Desa, sebutan untuk kantor pelayanan skala kecil di PLN) Karangan Dalam hanya sekitar 10 menit dengan kendaraan bermotor. Karena menurutku cukup rugi kalau hanya mengunjungi area kerja kita tanpa tahu potensi wisata disekitarnya. Terlebih lagi, Karangan Dalam memiliki potensi wisata alam yang menantang bagi petualang ! Karst yang mengelilinginya membawa berkah dan potensi wisata kawasan di bawahnya, wisata unik dan menantang yang sulit ditemukan di tempat lain.
Memang banyak yang belum dieksplor, tetapi berita Ekspedisi Black Borneo oleh Eiger yang membuka jalur pendakian di Gunung Beriun yang masuk dalam kawasan Karst Sangkulrang Mangkalihat di Kecamatan Karangan cukup menyita rasa penasaran petualang sepertiku. Kecamatan Karangan, yang masih masuk pelayanan PLN Area Bontang, tapi aku belum mengetahuinya? Semoga suatu saat nanti :D
Mungkin masih banyak yang asing dengan nama daerah Batu Lepoq dan Karangan Dalam, terletak dimana? Mungkin tangkapan layar berikut bisa sedikit menjelaskan :
Ditunjukkan oleh Bulatan Biru
Menuju kecamatan Karangan dapat ditempuh dengan menggunakan mobil. Estimasi waktu yang ditempuh dari Bontang sekitar 6-7 jam dan dari Balikpapan sekitar 12 jam ! Menurut info teman, bisa juga ditempuh dari Berau selama 8 jam lewat Talisayan. Kebetulan saat itu saya ada kendaraan dinas, untuk jalur kendaraan umum menuju Karangan memang masih minim informasi, ada bus damri, angkutan perintis dari Sangatta tapi hanya sampai Kaliorang. Dari Kaliorang menuju Karangan Dalam masih sekitar 4 jam, dan tidak ada kendaraan umum karena melalui perkebunan sawit. Tapi biasanya di bandara menyediakan jasa sewa mobil, tinggal nego sampai harga sesuai di kantong dan hati.
Pintu Masuknya Sederhana
Batu Lepoq Onsen
Kondisi hot spring Batu Lepoq masih cukup alami. Tapi untuk kolam sudah ber-ubin dengan alasan kebersihan, karena sebelunya hanya berupa tanah. Saat itu kami berendam hari Rabu pukul 15.30 WITA, jadi suasana sepi tak ada pengunjung lain. Dikelilingi pepohonan dan iringan cuitan burung liar membuat perasaan menjadi nyaman, panasnya air aku rasa cukup. Setelah berendam sekitar 60 menit, mendadak keringat mengucur dengan deras karena kegerahan ! Rasa haus pun melanda.
Tiket masuk ke Batu Lepoq berapa? Gratis, yang penting anda tetap jaga kebersihan tempat tersebut. Kawasan wisata Batu Lepoq tak hanya ada hot spring, tapi juga ada Karst dan Gua Mengkuris yang terdapat cap tapak tangan purba, sayang kami belum sempat mengunjungi karena jaraknya terhitung cukup jauh, Karst yang mengelilinginya pun menjadi wishlist untuk mengunjunginya sebelum pindah keluar Kalimantan Timur. Semoga.
0
Share
Faktor home alone, maupun kesendirian yang menjadi candu mendorongku untuk mendadak nekat motoran ke Muara Badak. Sebenarnya rencana solo touring ini muncul sejak lama, hanya saja sering terbentur dengan kegiatan lain. Kurasa saat itu adalah hari yang tepat sekaligus uji coba kamera Xiaomi Yi 2 terbaruku.
Jembatan Ulin Menuju Pantai Mutiara Indah

XiaomiYi 2 Test
Cuaca saat aku berangkat memang mendung dan gerimis, tapi berhubung sudah paham kondisi cuaca di Bontang, maka gerimis tipis aku terjang, benar saja, setelah berkendara sekitar 15 menit langit berubah menjadi cerah. Rute berkendara pagi itu adalah Sekambing, Santan Ulu, Semangkok, Sebuntal hingga desa tanjung Limau di Muara Badak dengan laju kendaraan rata-rata 40-60 km/jam dan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Sepanjang jalan menuju sebuntal aku menemukan Kilang Gas milik VICO yang mirip seperti statsiun antariksa. Yey ! Ini touring ternekat pertamaku ! Motoran tanpa seorang kawan, berekspresi sesuka hati tanpa ada yang protes. Tak peduli pula dilihat  dengan pandangan aneh oleh pengendara lain yang lewat. Bahkan saking semangatnya, jalan penuh lobang pun tak kusadari, tetap kupacu motor yang telah berusia hampir 8 tahun itu dengan semangat.
No sampah
Vegetasi Hutan Bakau Menuju Pantai

Kalau siang panas, dan relatif sepi
Hasilnya lumayan juga
Sampai di desa Tanjung Limau - Muara Badak sekitar pukul 11.00 WITA, tujuan pertamaku adalah Pantai Pangempang. Karena sendiri, aku cukup bingung bagaimana sewa kapal untuk menyeberang ke Pulau Mutiara Indah. Pengunjung yang lain pun kebingungan melihatku berjalan sendirian sambil pegang-pegang kamera eksyen. Tak usah bergeming saat melakukan solo traveling, beranilah! Ajak warga lokal mengobrol, dan dari situ aku berhasil menemukan kawan baru, seorang ibu warga lokal yang sedang berwisata sendirian pula. Ah beruntunglah! Saya dan ibu tersebut menyeberang ke Pulau Mutiara Indah dengan membayar tarif lima belas ribu rupiah pulang pergi. Dermaga di Pulau Mutiara Indah berupa hutan bakau dan jembatan kayu ulin, setelah itu disambut ilalang rapat yang cukup memukau.
"Kita sendirian?" tanya ibu tersebut (kita, dalam bahasa Bugis artinya kamu)
"Iye," 
"Dari mana?" 
"Bontang," jawabku bangga dengan wajah memerah kepanasan. Ibu tersebut terbelalak heran.
"Kita dari Bontang? Jauhnyami, motoran?"
"Iya,"
"Uh beraninya..." sambungnya takjub melihat kenekatanku.
Sama abang perahu, coba sama kamu mas...
Pantai Mutiara Indah kondisinya bersih, karena dikelola secara pribadi oleh Hj Saidah. Disana terdapat warung penjual snack, panggung hiburan, rumah pengelola pantai tersebut dan fasilitas umum. Tumbuhan disekitar pantai ada cemara, pandan berduri dan beberapa tanaman merambat. Dari kejauhan tampak tongkang pengangkut batu bara.
Ilalang yang instagrammable
Pandan peneduh
Karena sudah siang dan matahari bersinar cukup terik, maka aku tak berlama-lama disana, cukup berkeliling sebentar, mengambil gambarnya, lalu kembali ke Bontang. Suatu saat pasti akan kembali saat matahari bersinar lembut bersama teman-teman yang menyenangkan !
Pulang ke Bontang, naik motor selama 1,5 jam membuatku sukses tertidur sesampai di rumah.

Bagaimana cara menuju ke Pulau Mutiara Indah?
Apabila kamu dari Samarinda dapat mengendarai kendaraan bermotor ke arah Bontang lewat jalur VICO atau pertigaan Marangkayu (sebelum Gunung Menangis) selama 1,5-2 jam. Muara Badak masuk kabupaten Kutai Kartanegara.
0
Share
Aku sangat mencintai alam, ya. Saking cintanya, hingga kawanku yang bertugas di Sungai Penuh terkejut setelah mendengar pernyataanku yang hendak melanjutkan perjalanan menuju ke Danau Gunung Tujuh.
"Ne, menuju Gunung 7 itu mendaki lagi loh, nggak capek kamu kesana?" Ujar Jimmi.
"Kan biasanya sepaket, kalo habis dari Kerinci ya ke Gunung Tujuh," Aku berkilah membela danau yang tertinggi se Asia Tenggara tersebut, walau tak seberapa yakin dengan kondisi kakiku sepulang dari Kerinci. Terasa sakit dan aku dapati ada beberapa titik memar dan luka di kaki karena terjatuh dan terbentur akar. Kuurut kakiku dengan krim otot, dan beristirahat meluruskan kaki. Berharap bisa sedikit membaik.

Sabtu, 8 Oktober 2016.
Bang Reki menemani perjalananku menuju Gunung  7. Kali ini aku hanya berdua saja karena Yudha menemani Hendik yang hendak bermalam di Gunung 7. Aku tak bisa bermalam karena malam nanti aku sudah barus bertolak ke Bandara Internasional Minangkabau untuk menlanjutkan perjalananku ke Bontang.
Dari Kayu Aro menuju ke pos pendakian gunung 7 membutuhan waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Setelah mengurus simaksi pendakian, kami mulai berjalan....dan berjalan lagi.
Selamat Datang
Tampaknya menuju Gunung 7 benar-benar serasa mendaki miniatur Kerinci. Tanjakan yang terjal, penuh akar yang sering menjerat kakiku. Cara berjalanku cukup lambat karena kakiku masih terasa sakit dan cenut-cenut di bagian yang memar.
Sekedar informasi yang aku dapatkan, mengapa dijuluki danau Gunung Tujuh? Karena ternyata memang dikelilingi oleh tujuh Gunung disekitarnya, yaitu Gunung Hulu Tebo (2.525 meter), Gunung Hulu Sangir (2.330 m), Gunung Madura Besi (2.418 m), Gunung Lumut yang ditumbuhi berbagai jenis lumut (2.350 m), Gunung Selasih (2.230 m), Gunung Jar Panggang (2.469 m), dan Gunung Tujuh (2.735 m).
Awal Pendakian
"Mbak termasuk kuat loh, biasanya pendaki yang habis naik Kerinci udah nggak mau ke Gunung tujuh, yaa....ada beberapa yang mau juga sih." Hibur Reki padaku ketika melihat cara berjalanku yang mulai terseok-seok. "Saya bawakan saja mbak tas-nya, biar nggak terlalu berat,"
Kata-kata Reki menjadi pecut semangat, apalagi dia mengatakan bahwa aku cukup kuat melanjutkan perjalanan ke Gunung 7, Yeah! Reki menjadi pahlawanku hari itu setelah membawakan daypack kuningku.
Masih Hutan Rapat
Memori Kerinci Terulang Kembali
Memang sih, setelah daypack berpindah pundak, cara berjalanku sedikit gesit walaupun dengan nafas yang terengah-engah kepayahan. 
"Ayo mbak, sudah puncak bentar lagi, terus turun ke danau 30 menit!" Teriaknya menyemangatiku. Dari pos pendakian menuju puncak membutukan waktu 2,5 jam, dan di puncak sudah terlihat danau gunung 7 yang membentang luas.
Sewa Perahu Bareng Temen Baru
Pendayung, Warga Lokal
Untuk turun menuju danau membutuhkan waktu 30 menit dengan kondisi jalan curam dan akar-akar licin. Disitulah juga aku bertemu dua teman baru, Rendy dari Jakarta dan Adi dari Bengkulu. Di danau, kami menyewa sampan yang berusia puluhan tahun lalu diantarkan berkeliling mengelilingi danau yang dari ketinggian berwarna hijau tersebut. Sampannya cukup unik, dari kayu berceruk dan sudah ditumbuhi lumut terkesan seperti perahu dari masa lampau !
Makan Siang di Surga Judulnya
Saat itu cuacanya memang kurang cerah, gunung yang mengelilingi danau tertutup kabut, gerimis pun turun tipis-tipis. Terdapat beberapa biksu budha melakukan ritual disana. Sebenarnya ada pulau yang berpasir putih ditengah danau, cuma menurut bapak pendayung sampan harus ditempuh dengan sampan selama 4 jam, wadow ! Lain kali saja yah pak :D
Danau Gunung Tujuh, Yang Sebelumnya Aku Sangka Mangkok Raksasa
Syahdu
Berada di Gunung tujuh tak lebih dari dua jam, setelah berfoto, makan siang dan akhirnya kami memutuskan turun. Sepanjang jalan kami banyak menemukan pendaki yang naik dan hendak bermalam di Gunung 7 karena saat akhir pekan, dan Rendy, bocah Jakarta tersebut full ngocol menceritakan pengalamannya sehari-hari dengan logat Jakarta.
Rendy, Bocah Jakarta yang Tukang Ngocol
Dan akhirnya petualangaku di Taman Nasional Kerinci Seblat berakhir pada Sabtu ini. Memang belum sempat ke Danau Kaco karena sedang ditutup, tapi aku mau mengunjungi Taman Nasional Kerinci Seblat kembali bersama lelaki yang aku sayangi nanti.
Teman Baru, Pendekar Gunung Tujuh
Ah, Kerinci, Sungai Penuh, Kersik Tuo, Kayu Aro, Gunung Tujuh dan Harimau Sumatera memang sukses membuatku super baper !
0
Share
Sejak tahun 2015, sang Oktober menjadi bulan petualanganku. Entah Oktober tahun 2017 nantinya seperti apa. Jika Oktober 2015 Rinjani sudah terpenuhi, maka Oktober 2016 kini giliranmu, Kerinci !
Berawal dari Desa Kersik Tuo, Tugu Macan menyapa para pendaki setianya. 5 Oktober 2016, menjadi hari perjuanganku. Membelah hamparan kebun teh Kayu Aro yang terluas di Asia Tenggara menuju pondok terakhir yang dapat dilalui dengan kendaraan bermotor.
Puncak Indrapura menyembul malu dari balik kabut. Suasana pagi itu tak terlalu cerah, langit tak sebiru ekspektasiku. Langit berwarna putih, sesekali embun berupa air lembut berjatuhan. Puncak Indrapura terkadang tertutup kabut. Kebun kacang, sawi dan kol menjadi pemandangan utama kami saat menuju Pintu Rimba dari Pondok, kami berjalan sekitar 10 menit.
Setingginya Nirwana
Pintu Rimba
Pintu Rimba Menyambutnya
Pendakian Kerinci-ku kali ini ditemani dengan Hendik, kawan baru dari Bogor, lalu Yudha, Guide dan dua porter. Jadi pendakinya sendiri hanya berjumlah dua orang. Aku dan Hendik. Ah bagiku itu tak masalah, terlalu ramai mendaki gunung pun terkesan tak terlalu eksklusif .
Doa-doa keselamatan untuk pendakian pun mulai dipanjatkan. Karena hari itu hari Rabu, maka jalur pendakian cukup sepi.

Pintu Rimba-Pos Satu (30 menit)
Pos 1 Disebut Juga Pos Bangku Panjang

Keep Walkin'
Jalur masih landai, didominasi hutan hujan basah, siulan burung hutan, dan ocehan siamang liar yang bergelayutan di hutan yang masih rapat. Sesekali kami melewati dahan pohon yang bertumbangan. Aroma tanah masih basah, karena cuaca di Kerinci memang hampir setiap hari hujan. Sinar matahari masih leluasa menerobos pepohonan dan kami masih bisa berjalan sembari cengar-cengir walaupun kondisi tanah cukup becek. 
"Denger-denger disini masih habitat asli harimau sumatera yah, Bang?" Celetukku memecah sepi pada Bang Reki, porter kami.
"Iya, dari pintu Rimba hingga Pos 3 masih sering dilalui harimau sumatera. Makanya pendaki dilarang mendirikan tenda di Pos 1-Pos 3. Rawan, dan cukup angker juga, karena masih hutan rapat. sering kesurupan." Urai Bang Reki, porter asli Siulak tersebut.
"Pernah ketemu harimau?" 
"Jangan diomong disini mbak, sudah pikir positif saja." Jawabnya. Akupun terdiam.
Pos satu berupa pondokan dan tempat duduk. Tapi tanahnya cukup becek. Kami beristirahat sebentar disana.

Pos Satu-Pos Dua (30 menit)
Pos Dua, Disebut Pos Batu Lumut
Kondisi jalan masih mirip dengan sebelumnya. Masih tergolong landai untuk sebuah gunung berapi tertinggi di Indonesia. Pos dua tak ada pondok, hanya papan dan tanah yang sedikit lapang.

Pos Dua-Pos Tiga (60 menit)
Pos Tiga, Terdapat Sumber Mata Air Disini
Perkiraan guide 60 menit untuk menuju pos 3. Ternyata tak meleset. Tepat 60 menit dengan kondisi berjalanku. Aku berpikiran kaki ini sudah cukup terlatih setelah beberapa kali mendaki gunung. Kerilku juga tak seberapa berat, mungkin hanya sekitar 8-9 kg. Jadi jalanku tak banyak mengeluh seperti di Rinjani.
Mirip di Senaru, Rinjani

"Menuju shelter satu itulah pendakian sebenarnya." Ujar Hendik. "Ini baru pemanasan."
"Yah, namanya saja mendaki gunung, pastilah tak jauh-jauh dengan yang namanya tanjakan !" Jawabku menghibur diri.

Pos Tiga-Shelter Satu (60 menit)
Shelter Satu
Pendakian memang mulai terasa. Start pukul 11.30 WIB, sampai di Shelter satu pukul 12.30 WIB. Melalui jalur pendakian yang mirip dengan jalur Senaru di Rinjani, penuh dengan akar-akar yang mencuat ke tanah dari pohon-pohon tua yang telah berlumut. Di shelter satu yang terbuka kita beristirahat agak lama, sekitar satu jam. Makan siang dan shalat. Makan siang nasi padang yang dibawa dari Kersik Tuo memang sudah tak hangat lagi, tapi terasa nikmat apabila dimakan bersama-sma dalam kondisi sangat lapar. Di shelter satu kami bertemu beberapa kelompok pendaki yang hendak turun atau hendak naik, yang menarik perhatianku adalah sekelompok pendaki anak-anak lokal yang tampaknya masih SMP, meski begitu peralatan outdoor mereka cukup branded.

Shelter Satu-Shelter Dua (3 - 3,5 Jam)
Si Cantik di Shelter 2
Aku menganalogikan 3 jam perjalanan menuju shelter 2 adalah perjalanan menuju Kota Samarinda dari Bontang. Bedanya ini berjalan kaki, mendaki dan bawa keril pula. Emosi selama pendakian pun akhirnya tertumpah di jalur ini. Kaki mulai terasa payah menapak basahnya tanah rimba tropis Kerinci. Aku ngos-ngosan dan berhenti berkali-kali. Hawa dingin gunung mulai terasa disini. Kabut dan embun mulai turun. Menuju shelter dua masih dalam pelukan rimba Sumatera. Full tanjakan dan terkadang hujan tapi hanya sebentar. Tapi pemandangan hutan sungguh luar biasa. Aku bisa melupakan semua masalah di kantor disini. Hawa yang sejuk, awan yang beriring-iringan dan tanpa sinyal. Liana-liana hutan yang rimbun, ah, sudahlah ! Sekedar menuliskannya saja sudah membuatku sangat rindu!
Molor 30 menit menuju shelter dua karena aku sudah mulai lelah dan sering berhenti. Pos bayangan menuju shelter 2 menjadi tempat berhenti yang cukup lama. Aku menyalakan ponselku, rentetan pesan, SMS, BBM, WhatsApp masuk bergantian karena shelter 2 bayangan berupa tanah lapang yang tak tertutup pepohonan, jadi sinyal masih bisa ditangkap oleh gawai. Ah menyebalkan ! Semuanya menanyakan tentang pekerjaan. Tak kubalas, kumatikan kembali karena sempat memperburuk moodku, walaupun sinyal internet disana cukup kencang.
Dari shelter 2 bayangan menuju  shelter 2 membutuhkan waktu 30 menit. Hawa dinginnya angin terasa sangat menusuk. Yudha menyuruh kami agar lebih cepat sebelum badai dan hujan menerpa. Aku memaksa kakiku yang telah lelah agar berjalan cepat.
Pukul 17.00 WIB kami sampai di shelter dua. Yudha menginstruksikan agar mendirikan tenda di shelter 2 karena badai sudah mulai terasa. Puncak Indrapura tampak gelap, aku khawatir bagaimana kalau summit nanti? Target untuk mencapai shelter 3 hari ini pun harus gagal demi keselamatan, padahal kakiku sudah mulai semangat kembali. Hahahaha.
Setelah dua tenda berdiri, aku memasukkan keril dan sepatu kedalam agar tak terkena tampias hujan yang mulai turun. Lalu makan malam bersama. Berdasarkan info dari pendaki yang baru turun, di shelter 3 sempat hujan es. Uh, semoga besok cerah.
Hanya kelompok kami yang mendirikan tenda di Shelter 2, dan ada satu tim pendaki di Shelter 3.

Shelter Dua-Shelter Tiga (60 menit)
Framenya hancur
Badai pasti berlalu. Ternyata lagu itu terbukti di Kerinci. Pukul 7 pagi kita baru mulai summit, untuk menghindari hujan yang turun saat pagi hari kami harus mengorbankan sunrise cantik. Perjalanan menuju shelter 3 mulai ekstrem dibawah naungan bunga cantigi yang mulai bermekaran jingga. Setapak yang cukup licin karena hujan, dan harus bergelantungan atau memanjat tanah-tanah padat. Tak bisa membayangkan betapa susahnya berjalan dengan kondisi ini dengan memanggul keril. Kekuatan lengan pun mulai diuji disini. Beruntunglah saat itu saya tak membawa barang bawaan sama sekali, jadi gerakan panjat tebing pun sedikit lincah. Lorong-lorong akar legendaris Kerinci pun mulai aku rasakan disini.
Satu jam kemudian kami sampai di shelter 3, tepat seperti perkiraan. Cuaca masih belum cerah. Tenda pendaki lainnya yang didirikan di shelter 3 framenya patah dihajar badai, hingga ditali oleh tali rafia, beruntunglah kami tak jadi bermalam di shelter 3 walaupun jarak dari shelter 3 menuju puncak lebih singkat.

Shelter Tiga-Tugu Yudha (2-2,5 jam)
Gunung Tujuh, Mangkuk Raksasa Yang Terisi Air
Batas vegetasi berada di shelter 3. Menuju puncak sudah tak ada lagi tumbuhan yang rapat. Menuju puncak Kerinci penuh dengan bebatuan dan kerikil kasar. Tak terlalu jauh juga tempuhnya seperti Rinjani. Tak perlu merangkak-rangkak seperti di Semeru, masih bisa berjalan tegak. Cukup mudah, tapi juga melelahkan. Berfoto sana-sini menjadi penawar lelahku.
Janagn Emosi Ketika Melaluinya, percayalah pasti akan sampai !
Perjuangan diatas Awan

Tugu Yudha merupakan tugu peringatan pendaki yang hilang. Di tugu Yudha ada dua monumen peringatan. Menurut Yudha Guide, pendaki yang lewat jalur Solok Selatan akan bertemu di tugu Yudha, cuma jalur Solok Selatan lebih panjang, membutuhkan dua hari hingga sampai di Tugu Yudha. Karena jalur SolSel masih baru, maka masih ada pendaki yang tersesat.

Tugu Yudha- Puncak Indrapura (40 menit)
Tugu Yudha, Suasananya Mirip Seperti di Planet Lain, Berbatu
Karena Puncak Indrapura sudah terlihat, maka aku segera menuju Puncak Indrapura. Awal-awal cukup gesit dan semangat, sampai pertengahan mulai terengah-engah karena oksigen yang menipis dan elevasi yang makin tajam. Berpegangan dan bertumpu pada bebatuan besar disepanjang jalur, aku bertahan sambil berjalan pelan-pelan sembari menjaga keseimbangan agar tak oleng. Langit biru mulai terbuka setelah sebelumnya hanya berwarna putih dan kelabu.
Pendaki Hilang Selain Yudha, Namanya diabadikan disana

Danau Gunung Tujuh menyeruak dari kejauhan, bak mangkuk raksasa yang diisi air. Ah, mulai! Gejala hipoksiaku mulai terasa. Kepala mulai terasa sakit. Tapi semangat kembali terlecut mendengar teriakan Hendik yang telah mencapai puncak terlebih dahulu.

Puncak Kerinci, Indrapura 3805 MDPL, 6 Oktober 2016, 11.30 WIB
Aku Datang Kepadanya
Aku berlutut kepayahan, berusaha mengembalikan staminaku. Langit berwarna biru, ah syukurlah cuaca cerah ! Aku tak melakukan selebrasi apapun, seperti bersujud mencium tanah vulkanis di atap Sumatera, berteriak senang, menuliskan salam di kertas atau semacamnya. Aku hanya terduduk dan menikmati pemandangan seindah ini. Kebun teh terhampar, awan bergumpal dibawahku, dan kawah menganga beraroma sulfur. Puncak Kerinci tak terlalu luas dan tertancap tugu triangulasi dan dwiwarna yang sudah terkoyak dan berubah warna.
Hendik sudah bersiap dengan buku gambar yang penuh dengan salam-salam dari kawan terdekatnya. Iapun sibuk berfoto sambil mengenakan toga. Ya, tukang fotonya pun bergantian, antara aku dan Reki.
Kawah Kerinci Yang Masih Aktif
Tak terlalu lama termangu di puncak, aku tak ketinggalan berfoto karena langit cerah hanya berlangsung sekitar 15 menit. Untuk kali ini...lagi-lagi aku tak berhasil berada di ketinggian bersama dia, sejak tahun 2015.
Puncak Indrapura saat itu terasa privat karena hanya kami berempat yang ada diatasnya, lalu memutuskan turun setelah puas bergaya didepan kamera.

Perjalanan turun kami sempat diguyur hujan. Cara berjalanku sudah terseok-seok menahan pusing dan lapar. Tapi perjalanan kembali ke shelter 2 hemat 1 jam. Setelah itu kami makan siang dengan nasi goreng dengan porsi super banyak !
Karena hujan, kami memutuskan untuk bermalam semalam lagi di shelter dua. Rencana yang semula hanya dua hari menjadi rearrange lagi demi keselamatan. Saat itu ada dua kelompok pendaki yang mendirikan tenda disana.
Jumat kami pulang sekitar pukul 10 pagi. Perjalanan turun selalu menghemat 1-1,5 jam. Aku bersemangat turun, sayangnya menuju shelter 1 kondisi jalan menjadi dua kali lebih becek dan licin. Aku pasrah saja jatuh berkali kali hingga menjatuhkan diri karena menyerah melewati jalanan yang becek. Tak satupun yang luput dari jatuh, tapi kami semua tetap ketawa-ketiwi, namanya saja pendakian ceria.
Sungguh, suasana hati sang Kerinci tak bisa ditebak, kadang hujan, badai, mendung atau cerah. Dia bisa bertindak sesuai mood dan mempermainkan perasaan pendaki yang mencoba menjamahnya.
Kami sampai di pondok sekitar pukul 4 sore. Kondisi kaki dan celanaku seperti orang yang baru saja tercebur di sawah ! Karena perut lapar, kami mengisi perut dengan sate Padang yang terasa cukup pedas di lidahku. Lalu membersihkan diri, dan bersiap untuk menghadapi petualangan menuju danau Gunung Tujuh keesokan harinya.

Tips menuju Kerinci :
1. Karena suasana hati yang berubah-ubah, hendaknya membawa ponco plastik yang tak terlalu memberatkan keril.
2. Gunakan sepatu yang nyaman dan anti selip selama pendakian.
3. Utamakan keselamatan, pendakian jangan dilanjutkan apabila kondisi cukup bahaya (badai, hujan deras, dll)
4. Untuk Travel dari Padang ke Kayu Aro, saya menggunakan travel yang menuju sungai Penuh, minta berhenti saja di Kersik Tuo.
PO Big Family Padang : 085376737300
PO Big Family Sungai Penuh : 082376444489 / 085380959898
5. Penginapan di Kayu Aro
Homestay Family : 082183897788

Happy hiking ! semoga bisa membantu kawan !

1
Share
Bertolak dari Baso pada tanggal 4 Oktober 2016 ke kota Padang dengan mobil colt dengan tarif dua puluh tiga ribu rupiah untuk membuka titik awal perjalananku ke Kayu Aro, Kerinci. Meninggalkan sepasang gunung Marapi-Singgalang dengan segala pesonanya---lantas bersua dengan gunung di provinsi sebelah.
Perjalanan menuju kota Padang membutuhkan waktu 2 jam setidaknya mata ini masih dimanjakan dengan perbukitan dan lembah lembah hijau, telinga masih setia mendengarkan lagu-lagu Minang. Masuk kota Padang, hawa ibukotapun mulai terasa, padat, riuh dan panas.
Sembari menunggu travel yang hendak membawaku ke Kayu Aro, aku sempatkan sarapan nasi Padang dengan sambal Dendeng (di Padang kalau bilang lauk itu sambal). Lidahku tentu saja sudah membiasakan masakan bergaya minang dalam minggu-minggu ini.
Mata Yang Sehat Melihat Pemandangan Seperti ini
Pukul dua belas travel PO Big Family mulai berjalan meninggalkan kota Padang. Berdasarkan hasil obrolan dengan bapak yang duduk didepanku, estimasi waktu yang ditempuh kurang lebih 6-7 jam dengan jalan yang berkelok-kelok. Uh, bolehlah menyombongkan diri, sudah terbiasa menempuh perjalanan dengan kondisi seperti dan selama itu. Bapak yang aku ajak ngobrol hendak menuju Sungai Penuh, dan ketika aku menyebutkan nama teman yang kebetulan bekerja di unit PLN Sungai Penuh, ia mengenalnya. Jadilah kita mengobrol makin akrab hingga lupa jalanan.
Tapi sungguh, pemandangan menuju Kayu Aro sungguh membuatku relax. Melewati Solok dan pesona kebun tehnya, danau kembarnya, perbukitan dan perkebunan  yang udaranya sungguh sejuk. Lalu melewati Solok Selatan dengan pesona Nagari Seribu Gadang-nya, dimana rumah-rumah model gadang tersebar dengan berbagai usia, ada yang masih bagus hingga sudah tua. Lagi-lagi Pesona Sumbar membuatku tak kuasa memejamkan mata, ingin sekali aku keluar dari travel dan mengabadikan semua keunikan budaya dan alam itu, tapi sayangnya itu tak mungkin. Hingga kemudian langit cerah berganti kelabu, dan hujan serta kabut turun dengan derasnya. Aku memejamkan mata, lalu tertidur dan tubuh terbanting kanan-kiri karena kontur jalan yang berkelok-kelok dan sedikit rusak.
Setengah enam sore aku membuka mataku, kaca mobil masih berembun, lalu kuhapus sedikit embunnya. Samar-samar bayangan gunung di depan mataku, apakah itu Kerinci? Kondisi masih gerimis dan kabut, aku khawatir pendakian akan terhalang kondisi seperti ini pula. Ternyata ada pos dengan tulisan Kabupaten Kerinci, semangatpun tersulut kembali, tak percaya akhirnya sampai pula. Aku makin sibuk  menghapus embun di kaca mobil untuk melihat pemandangan di sekitarnya. 
Jalanan basah passca terguyur hujan, perkebunan sayur terhampar dikanan kiri, lalu kutemui PLN Kayu Aro. Tak lama kemudian memasuki kawasan kebun teh, Tugu Macan yang legendaris bagi pendaki Kerinci, dan Homestay Family tempat aku bermalam nanti.
Semua memori masih terekam jelas di ingatanku, hari itu takkan pernah aku lupakan, sungguh.
Malam yang dingin menyelimuti Kayu Aro, aku merapatkan jaketku dan memasukkan telapak tangan kedalam saku jaket. Saat itu aku menghubungi teman angkatan yang bertugas di PLN Sungai Penuh, sekitar satu setengah jam dari Kayu Aro untuk bersua di sini. Lama tak bertemu, dan merupakan kesempatan langka bertemu di tempat seperti ini. Aku stay diluar homestay agar mendapatkan sinyal yang cukup strength, sembari menunggu dua kawan selama pendidikanku datang.
Jimmi dan Tomo namanya, mereka akhirnya datang. Jimmi orang Palembang dan Tomo orang Semarang. Kulihat logat bicara Tomo sudah berubah menjadi ala-ala Urang Awak. 
"Ndak Ne, nek nang Semarang yo pancet ae aku ndas ndes ndas ndes," Kelakarnya saat kami nongkrong di warung kopi sebelah homestay. Aku memesan teh telor panas.
Bagiku dua jam bersua setelah sekian lama berpisah karena tugas itu tak terasa apa-apa. Tapi aku sadar, besok adalah hari kerja, dan besok pula aku harus memulai misiku untuk menjelajah rimba Sumatera dan Kerinci. Malam ini aku harus segera berkemas dan istirahat, tapi enggan menyentuh air yang sedingin es sebelum tidur.
0
Share
Berfoto di Istana Baso Pagaruyung pernah menjadi bunga tidurku. Tak hanya berfoto biasa, tapi menggunakan baju adat khas Minang lengkap dengan Suntiangnya. Bergaya bak anak daro (mempelai wanita dalam adat Minang), Tapi sayang, semua itu tentunya tanpa marapulai (mempelai pria dalam adat Minang).
Lupa Pake Filter CPL
Karena sudah menjadi bunga tidur yang cukup indah, maka aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mengunjungi Istano Baso Pagaruyung ketika sedang berlibur ke Sumbar.
Menuju kesana pun butuh perjuangan, aku yang awalnya nginap di Baso pun kebingungan menuju ke Batusangkar, tempat Istana Pagaruyung berada. Mau naik angkutan umum juga jalurnya tak dilewati,  jadinya aku pinjem motor Uni Yova.
Kalau naik motor dari Baso cukup melewati jalan raya Batusangkar-Bukittinggi selama satu jam (kecepatan santai). Udara di Sumbar sejuk dan bersih. Sepanjang jalan disuguhi persawahan, perkebunan dan perbukitan serta rumah-rumah dengan atap banjuang yang tampaknya berusia cukup tua. Akhirnya kemampuanku naik motor diuji kembali di tanah orang ! Aku memacu motor dengan gembira, tapi tetap saja akhirnya mataku terserang kantuk gara-gara udara yang cukup sejuk. Sempat terasa dejavu dengan suasana yang pernah kutemukan saat perjalanan ke  Batutumonga, di Toraja. Dipenuhi dengan sawah dan rumah-rumah adat di kanan kirinya, dan...perjalanan menuju Batusangkar pun begitu juga. 
Jembatan yang munghubungkan kearah dapur
Batusangkar terletak di Kabupaten Tanah Datar, aku sampai sekitar pukul satu siang setelah sempat nyasar di pusat kota Tanah Datar selama 10 menit. Di Batusangkar terdapat banyak sekali Istana-istana dan rumah yang beratap Banjuang, aku memperlambat laju motorku untuk menikmati pemandangan langka itu semua. Wisata seperti inilah yang aku suka !
Dari Lantai Dua
Dari sekian banyak istana yang aku lewati sepanjang jalan, Istana Baso Pagaruyung-lah yang paling terkenal dan paling besar. Karena saat itu hari minggu, maka cukup banyak pengunjung. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju basement Rumah Adat untuk menyewa Baju Adat setelah membayar tiket masuk seharga tujuh ribu lima ratus rupiah.
Untuk menyewa baju dikenakan biaya tiga puluh lima ribu dengan durasi sepuasnya. Nah, disini aku pilih warna merah, karena tampak mewah, hehehe. Maunya sih warna favorit pink dengan suntiang silver tapi sepertinya kurang menghayati :D
Dandan dulu
Setelah didandani, aku mengeluarkan senjata andalanku; blush on, lipstik dan bedak. Semuanya kuaplikasikan untuk menutupi kilap dan bekas-bekas kotoran yang menempel selama perjalanan. Mau foto harus profesional dikit dong :D
Ukiran Minang
Marawa, yang Mirip Bendera Jerman
Karena aku sendirian, maka partner andalanku untuk berfoto hanyalah self timer dan tripod, alhasil aku kepanasan lari-larian sambil pakai baju adat dan megangin suntiang biar nggak ketiup angin. Pengunjung lainnya keheranan melihat ulahku, mungkin merasa iba, tapi ah biasalah dilihat dengan pikiran seperti itu :3
Anak Daro Tanpo Marapulai
Puas berfoto, aku melepas baju adat. Lalu menjelajahi setiap sudut Istana yang terdiri dari tiga tingkat tersebut sambil mempelajari sejarahnya. Tak hanya sejarah, tapi juga keterangan dan fungsi masing-masing tingkat. Dan yang menarik perhatianku adalah umbul-umbul yang dipasang di pelataran Istana yang berwarna seperti bendera Jerman (hitam, merah, kuning). Aku tak menemukannya di pelataran istana, tapi juga di sepanjang jalan yang memiliki hajatan. Setelah aku wawancara ke Uni Yova, ternyata itu namanya Marawa, dipasang ketika ada acara nikahan atau yang lain, CMIIW. (maklum orang luar Sumbar)
Gayanya Boleh, Tapi sendiri aja fotonya :D
Mengelilingi Istana Pagaruyung sebenarnya hanya membutuhkan waktu 1 jam saja, tapi berhubung aku sendirian dan rempong foto sana-sini, jadinya hampir 3 jam ! sebelum balik ke Baso, aku makan sup di warung depan Istana. Awalnya aku kira sup yang ada wortel, buncis dkk  mirip sup yang lazimnya aku makan. Ternyata mirip soto ayam, dan rempah-rempah yang aromanya khas Minang banget! Tak ketinggalan taburan bawang kriuk dan gurih. Tapi aku suka, suer. Pas sudah balik Bontang saja sudah bikin kangen berat rempahnya....
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose