• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Hari terakhir, dan tampaknya energi kami mulai terkuras habis. Sabtu pagi itu kami merencanakan ke puncak Gua Fosil. Dari Camp Tewet harus naik (istilah menuju ke hulu sungai) selama kurang lebih 45 menit. Pagi itu kami sarapan dan bersantai sejenak seraya menikmati kabut pekat karena kemarin sempat hujan lebat. Pukul delapan pagi kami menuju ke lokasi dengan perahu ces. Kondisi sungai saat itu sedikit deras dan permukaan menjadi lebih tinggi beberapa senti.
Bersantai sambil mereganggangkan tubuh di pinggiran sungai
Panorama yang disuguhkan pun tak jauh beda dengan perjalanan menuju ke Camp dari Hambur Batu. Karst yang menjulang, maupun beberapa batu-batu di bibir sungai.
Liang Subuh
"Ini Liang Subuh," Jelas Pak Rusdi menunjukkan ceruk dangkal di pinggir sungai. "Dan itu pohon Banggeris, masyarakat sekitar biasanya memanjat keatas untuk mengambil madu hutan."
"Naik keatas? Setinggi itu?" tanyaku takjub.
"Iya, pakai tali."
Koompassia sp
Aku menatap dengan mata berbinar pohon yang tertinggi diantara yang lainnya. Menjulang dan dahannya hanya di ujung pohon. Banggeris (Koompassia sp) merupakan salah satu pohon tertinggi di kawasan hutan tropis dengan tinggi sekitar 80 meter. Di puncaknya, lebah hutan (Apis dorsata) membuat sarang untuk menghindari serangan hewan hutan. Madu yang dihasilkan pun kualitas yang baik.
Lalu kawanan burung berwarna merah dan kuning mencolok melintas diatas perahu ces kami, aku terpekik.
"Ahhh burungnya cantik! Lucu!"
"Itu burung Raja Udang, makanannya ikan." Pak Rusdi lagi-lagi menjelaskan kepada kami. Sungguh, itulah mengapa kami bangsa manusia harus mengerti pentingnya menjaga hutan. Tak hanya sebagai paru-paru dunia, tapi juga sumber kehidupan bagi seluruh makhluk, tempat berlindungnya seluruh makhluk Allah. Karena manusia yang butuh hutan, tidak sebaliknya.
Perjalanan menuju hulu
Beberapa menit kemudian, kami menepi. Kata pemandu kami ini adalah jalan menuju Gua Fosil.
"Komandan, lihat. Nyadeng !" Satria menunjukkan aliran air berwarna biru jernih yang bermuara ke sungai Jele yang berwarna cokelat susu. Dalam bahasa setempat, nyadeng berarti sumber mata air. Mereka terpisah, tak bisa bercampur menjadi satu. Oh! Sungguh aku menemukan satu keajaiban alam lagi di Karst Sangkulirang-Mangkalihat ini.
Perjalanan menuju puncak Gua Fosil tampaknya tak mudah. Karena memang jarang dilalui orang, maka para pemandu sibuk menebas tumbuhan yang menghalangi jalur. Sepanjang jalan Afif sibuk berceloteh keinginannya untuk mandi di Nyadeng. Warga setempat menamakannya Sungai Metem.
"Kita pasang tali dulu yang untuk manjat." Jelas Satria. Ah, manjat lagi! Tanganku sudah agak lemas ditambah lagi kaki yang terkilir dan periode haid yang sudah dekat membuat tubuh makin pegal semua. Tidak apa-apa, Une kan wanita kuat ! Aku menghibur diri sendiri.
"Nah ladies first! Biar aku fotoin dari bawah," Afif menyuruhku duluan. Aku tersenyum kecut.
"Ah nggak ah, kalian saja dulu! Sekali-kali."
"Ayolah wanita strong..." Lupi makin menyemangati.
Perjuangan
Ugh, aku menguatkan hati merayapi dinding setinggi 4 meter ini, walau badan sudah terasa pegal semua. Saat itu aku tak membawa sarung tangan karena kondisi basah. 
Segenap tenaga aku satukan. Merayapi dinding dan bergelayut di tali serta akar. Satria dan Pak Rusdi dengan sabar membimbingku. Dan aku harus tetap fokus mencari pijakan yang aman.
Gua Fosil sudah tampak didepan mata. Panorama yang disuguhkan adalah barisan Gunung Gergaji yang menjulang gagah, dimana dulunya sering kulihat dari poros Bengalon-Muara Wahau dari kejauhan, kini membentang dekat didepan mataku.
Jajaran Gunung Gergaji
"Lanjut kepuncak ya," Para pemandu menginstruksikan kami untuk naik keatas. Mereka masih sibuk mencari jalur yang terdekat dan aman, dan tentu saja acara panjat memanjat masih berlanjut walaupun tak setinggi yang awal, jadi tak dipasang tali.
Sebenarnya, puncak Gua Fosil adalah tempat yang paling pas untuk menikmati landscape barisan Gunung Gergaji. Cuaca sangat terik, dan kami cukup kelelahan walaupun tinggi puncak hanya 80 mdpl. Bule cengar-cengir senang mendapatkan panorama yang menakjubkan ini, drone pun kembali ia mainkan.

Hanya sekitar satu jam kami dipuncak, lalu kami memutuskan untuk turun. Tenaga kembali kukumpulkan mati-matian, dan aku bersumpah kalau sudah sampai bawah aku akan berendam di Sungai Metem sepuasnya.
Perjalanan Turun
Dan benar, tanganku gemetaran saat turun. Tampaknya sudah benar-benar lemas. Berkali-kali aku istirahat secara vertikal di dinding, keringat yang masuk ke mata turut mengganggu konsentrasiku, ingin rasanya segera loncat ke Sungai Metem~
"Uh kakiku harus memijak kemana.." keluhku lirih saat menuruni dinding vertikal terakhir.
"Ayo komandan, sedikit lagi!" Satria menyemangatiku sembari mengawasiku dari bawah. Ketika sudah sampai dibawah, lega sekali rasanya! Segera kuberlari agar dapat lebih cepat berendam di Metem!

SUNGAI METEM
Ternyata, yang berminat mandi hanya dua orang. Aku dan Afif. Satria bilang takut kedinginan. Lupi memilih buang air besar, Bule dan Pak Rusdi memilih pergi ke Liang Jon, tempat penggalian tengkorak manusia purba. Sekitar sepuluh menit mendinginkan tubuh, lalu kami segera berendam. Kedalaman hanya 1,5 meter. Sangat dingin dan super jernih! Aku minum air sungai sepuasnya karena memang air yang kubawa sudah habis. Satu jam kita bermain di Sungai Metem, dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Camp. Ternyata yang lain sudah menunggu di dekat ces sambil memancing. Sekitar 8 ekor ikan sungai yang gemuk berhasil mereka jerat.
Tidak bisa 'bersatu'
Menggelayut santuy
"Hmm, pesta besar lagi kita hari ini. Bakar-bakar, lalu sorenya kita main ke Gua Biawak." Satria berujar.
Bakar ikan Salap

BONUS : GUA BIAWAK
Mulut Gua Biawak
Bule mencoba menerbangkan drone-nya didalam Gua Biawak
"Kenapa harus biawak? Nggak kerbau atau yang lainnya? Apa dahulu ditemukan biawak masuk dan terkurung dalam gua? di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa," Tanyaku kepada Satria dan tanpa sadar bernyanyi original soundtrack film kolosal Kera Sakti yang melegenda.
"Nggak tahu saya, orang-orang dulu itu yang kasih nama." jawab Satria. Jalan menuju Gua Biawak cukup mudah, dari camp hanya sekitar 800 meter mendatar dan sedikit menanjak ringan menuju mulut gua.
"Kalian jangan kaget ya, banyak vandalisme didalam. Tinggal absen saja nama-nama orang didalam itu."
Awal masuk, kami disambut bau guano yang menyengat, seperti di gua Sampemarta. Mulut gua itu tinggi dan dalamnya sekitar 250 meter saja. Benar saja, nama-nama berbagai macam orang kutemukan disana. Yang paling rajin absen adalah nama 'LUNG' dan 'ANTO', karena sepanjang jalan kami menemukan nama itu-itu saja. 
Tulisan yang paling bikin ngakak di dalam Gua
Tak hanya nama, tapi juga ungkapan kalimat galau banyak terdapat disana. Apalagi gambar tidak seronok, tak terhitung jumlahnya. Ada beberapa kalimat yang cukup membuat kami tertawa kencang hingga bergema dalam gua. Sebagian besar tulisan itu berusia 20 tahun lebih, karena mereka memberi tahun sekitar 1998-2000. Dan tulisan mereka yang menggunakan batu arang tidak pudar sama sekali. Sempat kami berkelakar puluhan ribu tahun mendatang para peneliti akan datang untuk meneliti kebiasaan 'galau'nya manusia yang tertulis di Gua Biawak ini.
"Orang-orang stress semua yang tulis. Dulu para pencari sarang walet sering tinggal disini." Satria menyorotkan senternya ke langit gua dan menunjukkan bekas sarang walet yang konon harganya selangit. Kelelawar dan kampret yang bergantungan sontak terbang berhamburan.
Cawan Suci
Didalam gua ada fenomena menarik yang aku temukan. Ada jerigen yang sudah menjelma menjadi bebatuan gua karena mungkin terlalu lama ditetesi air mengandung mineral yang membentuk stalagtit dan stalagmit. Sungguh, benar-benar tampak alami. Lupi menamakannya 'Cawan Suci'.

KEMBALI KE PERADABAN
Peserta Ekspedisi
Keril sudah berhasil aku tata kembali. Bedanya kali ini hanya berisi tumpukan baju kotor yang membuatku sakit kepala karena harus dicuci dan seterika. Pilihan untuk diserahkan ke binatu tidak terlintas sama sekali di pikiranku, karena kotor terkena debu dan sedikit lumpur.
Perjalanan kembali ke Hambur Batu hanya membutuhkan waktu 1,5 jam, 30 menit lebih cepat dari berangkat, karena memang tidak melawan arus. Setelahnya kami kembali menuju Sangatta melalui jalan Simpang Perdau (karena kondisi jalan yang lebih baik).
Ah, entah kenapa aku tidak akan pernah bisa move on dari ekspedisi impian sejak lima tahun lalu ini. Aku akan selalu merindukan udara segar sekitar karst yang setiap harinya selalu menguar, walaupun setelahnya sekujur kakiku banyak yang memar. Mungkin suatu saat aku akan kembali menjelajahi dan menapaki misteri-misteri yang belum terungkap, karena teringat kata Satria, "Sebulan bahkan setahun tak akan cukup menjelajahi Karst Sangkulirang Mangkalihat."
TAMAT

Sangatta, 25 Agustus 2020

Yang wajib dibawa saat ekspedisi :
1. Sarung tangan, karena akan banyak memanjat bebatuan karst
2. Lotion anti nyamuk, walau saat itu tak ada nyamuk
3. Headlamp
4. Sepatu trekking yang nyaman. Lebih baik menggunakan sepatu daripada sandal untuk alasan keselamatan
5. Tas untuk trekking ke Gua/ceruk. Usahakan yang ransel, jangan sling bag, karena itu sangat menyusahkan saat melakukan pemanjatan.
6. Energy bar untuk trekking
7. Gunakan lengan panjang/celana panjang saat trekking. Jangan menggunakan celana berbahan jeans karena berat, lambat kering dan menyusahkan pergerakan saat memanjat
8. Jas hujan disposable
9. Tensocrepe
10. Krim otot
11. Alat masak tidak perlu membawa. Karena di camp cukup lengkap
12. Alat ibadah, alat mandi dan baju ganti

Yang wajib untuk dilakukan selama disana :
1. Menjaga keselamatan diri dan keamanan barang bawaan
2. Menuruti apa yang dilarang oleh pemandu
3. Tidak merusak alam atau membuang sampah sembarangan.

"Bagi teman-teman yang ingin mengunjungi destinasi yang telah aku jabarkan di tiga tulisan terakhir mengenai Karst Sangkulirang-Mangkalihat, bisa menghubungi saya melalui instagram/surel/komentar di postingan ini. Karena yang bersangkutan belum berkenan untuk dituliskan nomor hp-nya di blog." 


baca post pertama : http://www.fraunesia.com/2020/08/1-ekspedisi-terpendam-sejak-5-tahun.html
baca post kedua : http://www.fraunesia.com/2020/08/2-ekspedisi-terpendam-sejak-5-tahun.html

0
Share
Pagi pun menjelang, setelah semalam aku menatap langit yang ditaburi dengan gemintang maha indah. Kabut tipis menyelimuti sekitar camp. Hawa dingin cukup menusuk. Selepas Subuh aku menggerak-gerakkan pergelangan kakiku. Masih sama rasanya seperti kemarin. Ngilu. Aku menelan ludah, lalu menghela nafas panjang.

"Berangkat pagi enak nih, bisa lihat kabut dari ketinggian," seru Afif.
"Bahaya mas, masih gelap dan cukup licin kalau terlalu pagi. Jam tujuh kita berangkat." 
Kami pun menurut apa kata pemandu. Dan karena tak tahan lagi aku pun mengaku kondisi kakiku kepada rekan-rekan seperjalananku agar sedikit mafhum saat melihat ritme berjalanku yang agak melambat nantinya.
"Tapi kamu kuat jalan kan?" Tanya Lupi. Aku menangguk. Memaksakan untuk yakin.
Perjalanan pun dimulai. Aku menguatkan diri dengan kondisi kaki seperti ini. Saat itu hanya membawa ransel hydropack, snack bar, ponsel, GPS serta action cam. Awal trek menuju Gua Tewet memang sangat menanjak, sekitar 45-60 derajat, lalu ada dinding karst vertikal setinggi kurang lebih 4 meter yang kami harus panjat seperti bouldering. Tanpa tali.
Bouldering di Alam
Aku gemetar, tapi tetap percaya diri. Dan akhirnya bisa melaluinya dengan cukup cepat. Trek-trek selanjutnya pun tak jauh beda. Acara panjat tebing pun kami temui kembali, hingga kami mencapai rest area.
"Kita lewat jalur belakang yah, kalau lewat jalur aslinya cukup berbahaya karena kita hanya membawa tali karmantel saja. Peralatan panjat kita masih di Samarinda," Jelas Satria.
"Tapi bisa dan aman kan?" 
"Bisa kok, Komandan." jawabnya meyakinkanku.
Oh, aku memejamkan mata sejenak. Membayangkan betapa menyakitkannya apabila kita terjatuh dan menghantam karst yang tajam itu. Bisa-bisa terluka parah atau bahkan gegar otak. Ya Allah, lindungi kami. Apalagi saya yang masih bujangan ini.
"Sisa satu perjuangan terakhir, ayo mbak Komandan pasti bisa." Satria, Pak Rusdi (pemandu satunya) menyemangatiku. Lalu mereka memberikan contoh cara memanjat setelah memasang tali karmantel. "Apapun yang terjadi jangan lepaskan talinya. Walau tanganmu luka-luka, tetap pegang erat, jangan lepas!"
Satria beraksi. Ini tebing 'jalur belakang'. Pemanjatan terakhir sebelum menggapai mulut Ceruk Tewet
Aku memasang sarung tangan, lalu menarik nafas. Aku pasti bisa, kan dulu pernah latihan bouldering dan panjat tebing. Dan sekarang aku menghadapi ospek betulan. Kanan kiri jurang menganga.
Cukup kesulitan awalnya, tapi akhirnya aku dapat melaluinya dengan selamat dengan bantuan dari para pemandu. Tak lama kemudian aku mencapai mulut Ceruk Tewet di ketinggian 122 mdpl dengan jarak sekitar 500 m dari camp dan perjuangan yang luar biasa.
"Jangan masuk dulu, tunggu lima menit di mulut ceruk." Ujar Satria.
"Biar apa?" tanyaku penasaran dan tidak sabaran.
"Kalian masih berkeringat, tunggu sampai kering dulu. Khawatirnya suhu badan akan mempengaruhi kelembapan ceruk sehingga mempersingkat usia gambar cadas."
Ceruk Tewet
Aku manggut-manggut menurut. Sembari menunggu kami berfoto di mulut ceruk dan makan.
"Ingat, gambar cadas jangan disentuh ya!" 
Para pemandu semangat sekali memperingatkan kami agar turut menjaga gambar cadas ini. Kata mereka ketika para peneliti datang, gambar cadas ini selalu dipindai apakah ada sidik jari pengunjung maupun tidak. 
Di Ceruk Tewet terdapat paling banyak garca (gambar cadas) tangan manusia purbakala. Beberapa ada yang sudah rusak termakan usia, dan ada beberapa yang masih awet. Peneliti menamakan garca ini dengan cap tangan negatif (negative stencils), yaitu dimana bagian telapak tangan tidak tertimpa tinta dan hanya bagian luarnya saja.
Karya Agung masa Purbakala
"Mereka pakai cat semprot merk apa ya kira-kira?" tanyaku usil.
"Dari batu hematit yang mengandung besi. Warnanya merah. Mereka menyemprot dengan menggunakan mulut ataupun sedotan tulang itu yang masih menjadi perdebatan ilmuwan. Gambar ini memang bertahan puluhan ribu tahun sesuai uji sampel peneliti, akan tetapi seiring berjalannya waktu gambar-gambar ini akan hilang karena iklim maupun perlakuan manusia. Maka dari itu kami hanya bertugas untuk memperlambat rusaknya gambar cadas ini." Jelas Satria.
"Itu gambar kecoa?" aku menunjuk salah satu garca di atap ceruk.
Satria menjelaskan kepada kami
"Tokek. Itu salah satu masterpiece-nya. Lalu tangan-tangan yang dihubungkan sulur-sulur ini menandakan bahwa mereka masih ada hubungan keluarga atau saudara. Tree of Life.”
Kami manggut-manggut bahagia karena mendapatkan penjelasan banyak dari para pemandu. Lantas kami berfoto dan segera menuju destinasi gua selanjutnya.
Full Team

TERPISAH MENJADI DUA
Mulut Gua Pindi
Aku, Afif, Satria dan Pak Rusdi berjalan belakangan. Lupi, Pak Jan dan Bule jalan duluan. Rute jalan kali ini tetap menanjak 45-60 derajat, tapi tak ada acara panjat tebing ekstrim seperti di Tewet.
"Kita kemana dulu ini? Pindi atau langsung Karim?" tanyaku.
"Tadi yang duluan kemana dulu ya?" tanya Satria juga bingung. Dan akhirnya kami memutuskan ke Gua Pindi terlebih dahulu.
"Ada rock art nya?" 
"Ada, tinggal sisa-sisanya saja. Tapi tanggung kalau nggak kesana sekalian sudah sampai sini."
Gua Pindi, 188 mdpl
Gua Pindi, diberi nama sesuai peneliti dari ITB, Dr Pindi Setiawan. Lantai gua tampaknya hanya reruntuhan bebatuan. Tak ada yang menarik, hanya ada beberapa vandalisme dan panorama mengarah ke Rimba Kalimantan dan Puncak Tondoyan, titik tertinggi di kawasan Gunung Gergaji.
"Hanya WANADRI yang berhasil menggapai puncak Tondoyan, tahun 2012." Jelas Satria.
"Pernah kesana?" Tanyaku seraya menatap Tondoyan yang perlahan tertutup kabut.
Puncak Tondoyan, tertutup Kabut
"Nggak sampai atas, berat medannya." Jelasnya. "Eh, rombongannya Pak Jan langsung ke Ceruk Karim ternyata."
"Jadi kita kesana sekarang?"
"Santai-santai dulu, Komandan. Kalian ini termasuk kuat fisiknya, ke Gua Tewet rata-rata sejam dua jam, kalian hanya 30 menitan. Dan seharian kalian berhasil naik ke tiga gua di Tepian Kairim ini."
"Ya, ini termasuk mimpi saya sejak lama, Satria. Menjajaki Gunung Gergaji."
Dan semangat itu yang membuatku lupa akan kaki kananku yang bengkak dan nyut-nyutan selama perjalanan. Deru nafas semakin meningkat mendekati tujuan. Fisik yang prima benar-benar dibutuhkan dalam perjalanan kali ini, tak hanya kaki, tapi juga lengan dan cengkraman untuk merayapi dinding karst nan tajam. Ya, inilah alam yang senantiasa menempaku agar selalu kuat dan tabah untuk mencapai tujuan-tujuanku.

KEMBALI BERSUA DI CERUK KARIM
Ceruk Karim
"Dari mana saja kalian, kutungguin lama sekali sampai tidur-tidur," Kata Bule sambil memainkan drone-nya. Sekilas aku terpana akan citra yang berhasil ditangkap drone. Luar biasa indah.
"Kirain ke Gua Pindi duluan," ujarku sambil menata nafas pasca menjajaki jalur yang cukup menguras tenaga.
"Lah kita ngikut Pak Jan aja. Emang di Pindi ada apa?"
"Biasa aja sih, kalo disini ada apaan emang?" aku balas tanya.
"Panorama, dan ada satu rock art kayak durian gitu."
"Jaman dulu ada durian?"

"Tapir itu, bukan durian," sela Satria sambil terkekeh, lalu menunjukkan lukisan yang berusia puluhan ribu tahun tersebut. Warnanya sama, cokelat tua kemerahan seperti bebatuan hematit. Dan menurutku nggak ada bentuk tapir-tapirnya sama sekali.
Sempat Menjadi Perdebatan, Durian atau Rambutan
Ceruk Karim, disebut ceruk karena tidak memanjang kedalam seperti gua. Salah satu lokasi paling epik untuk mengambil panorama karena memang mulut ceruk langsung menghadap ke rimba Kalimantan. Terlebih lagi beruntung kami bertemu dengan Bule (yang memang nama sebenarnya) sang pilot drone. Makin lengkaplah dokumentasi kami saat ekspedisi ini. Ceruk ini terletak di ketinggian 195 mdpl, paling tinggi diantara tiga gua dan ceruk yang kami kunjungi. Sebenarnya ada satu gua lagi yang paling tinggi, yaitu Ceruk Thamrin, tapi karena aksesnya vertikal dan cukup sulit maka kami tidak direkomendasikan untuk mengunjunginya.
Karst Sangkulirang-Mangkalihat, bagian Gunung Gergaji (credits : Drone-nya Bule)

Niat awal kami menunggu matahari terbenam di Ceruk Karim, akan tetapi karena terlalu lama maka pukul setengah dua kami putuskan untuk kembali ke Camp dengan jalanan menurun yang super curam. Berkali-kali kami terjerat akar dan tergores ranting yang mencuat, hingga gemetarnya kaki menahan berat badan. Syukurlah kami tak pulang terlalu larut, karena memang sangat berbahaya dan kami tak membawa alat penerangan, ditambah lagi hujan turun dengan cukup deras.

BERENDAM DI SUNGAI JELE
"Yuk berendam!" Afif mengajak kami berendam di Jele dengan semangat. Tampaknya ia sudah gerah dan ingin segera bermain air.
"Ah, ada buayanya nggak? Sungai di Kalimantan terkenal buaya yang suka makan orang loh," Elakku malas sambil sedikit menakuti dari atas hammock.
Itu bukan Penampakan Siluman Buaya
"Ah nggak seru Une." cibirnya lalu bersiap nyemplung ke sungai bersama Lupi.
Aku bertanya kepada Satria, ia menjelaskan tidak ada buaya atau hewan berbahaya di sungai Jele sekitar camp, hanya saja berhati-hati jangan loncat karena banyak bebatuan maupun kayu di dasar sungai. Dan karena tidak hujan, maka sungai cukup dangkal.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk ikut berendam. Toh kapan lagi mendapat kesempatan berendam di sungai Jele, kaki Karst Sangkulirang Mangkalihat?

BULE 'KESURUPAN'
Setelah waktu Ashar menjelang Maghrib, kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah dari kegiatan pendakian yang luar biasa hari ini. Aku tiduran di hammock dan sedikit mengantuk, lalu tertidur sejenak. Pukul 6 sore aku terbangun, yang lainnya sibuk menyunting video dan ngemil. Saat itu hanya Bule yang masih tertidur, tiba-tiba ia terbangun dan berteriak-teriak histeris. Melompat-lompat dan menggaruk-garuk tubuhnya. Tatapannya nanar, seperti orang kesurupan.
Kami terdiam, terhenyak. Akupun mau lari tak bisa. Lupi yang posisinya terdekat dengan Bule menghampirinya, dan menanyakan apa yang terjadi.
"Arghhhh...ada tikuuss...aarrrghh...!!!" Bule menceracau histeris. Pak Rusdi menghampiri kami sambil sedikit tergopoh.
"Apa??Ada apa ini??!! Kesurupan kah Le?"
"Tenang, nggak ada apa-apa mas, aman!" Lupi berusaha menenangkan Bule. Lalu ia sedikit tenang dengan nafas yang memburu.
"Ada...ada tikus masuk ke bajuku," seru Bule lirih.
"Ah, mana ada tikus disini Le, nglindur haja pian. Makanya sebelum maghrib, di hutan kada kawa guring, jadinya leh kaya gitu." Jelas Pak Rusdi dengan logat Kutai Banjar-nya. 
"Iya , astaghfirullah aku tadi memang nggak niat tidur tapi nggak sengaja ketiduran karena capek, astaghfirullah...tadi aku benar-benar mimpi aneh dan rasanya benar-benar nyata, tikus-tikus menggeranyangi tubuhku." si Bule beristighfar sambil mengusap wajahnya.
Aku terhenyak, barusan aku ketiduran kan?

PESTA PUNCAK
Ikan sungai seember, hasil pancingan. Namanya ikan Salap, ikan sungai yang banyak ditemui di Sungai Kalimantan, dalam Bahasa Indonesia disebut ikan Tawes. Banyak durinya, tapi digoreng biasa pun rasanya sangat gurih dan nikmat. Malam itu kami makan sepuasnya. Semua destinasi sejatinya sudah tercapai pada satu hari ini, akan tetapi sayang apabila besok kami langsung pulang pagi, karena Minggu kami masih ada waktu libur. Maka dari itu kami mengatur ulang jadwal agar pulang Minggu pagi. Satria menawarkan satu destinasi keren lagi untuk  dijelajahi keesokan harinya. Setelah kami berembug, dan akhirnya setuju untuk pulang Minggu paginya. Bule yang dari awal memang niatnya sendiripun akhirnya nimbrung jadwal kami. Yes! Setiap perjalananku akhirnya mendapatkan teman baru!
"Mumpung ada temennya. Sambil komporin temen komunitas drone," Sahutnya.
Ruang Tidur Kami
Dan setelah perbincangan kecil itu, kami semua segera beristirahat untuk memulihkan tenaga, dan apa kabar kaki kananku? Tampaknya ia anteng, tidak rewel hari ini.

bersambung....

baca post pertama : http://www.fraunesia.com/2020/08/1-ekspedisi-terpendam-sejak-5-tahun.html
baca post ketiga (terakhir) : http://www.fraunesia.com/2020/08/3-ekspedisi-terpendam-sejak-5-tahun.html
0
Share
Sangkulirang-Mangkalihat, Ceruk Tewet, Tree of Life, Sangkulirang-Mangkalihat, Ceruk Tewet, Tree of Life.
 
Kata-kata itu yang menggaung dipikiranku semenjak lima tahun lalu. Tahun 2015 kalau tidak salah, tatkala masih belum genap setahun mendiami Bumi Etam ini. Perjalanan karena pekerjaan ke arah Muara Wahau mempertemukanku dengan gugusan Karst yang saat itu tak kuketahui namanya. Membentang panjang.
"Pak itu gunung apa?" Tanyaku lugu pada sopir yang membawa light vehicle saat itu.
"Gunung Gergaji, Mbak. Bentuknya bergerigi yah, kayak gigi gergaji."
Ehm, memang benar sih. Menurutku itu pegunungan Karst. Lantas aku telusuri di mesin pencari dengan kata kunci : Gunung Gergaji Kalimantan. Saat itu informasi dan referensi masih sangat minim, lantas membuatku semakin penasaran ada misteri apa kira-kira yang bersemayam dibalik gugusan Karst tersebut.
Informasi demi informasi kugali berbekal hanya dengan mesin pencari. Ternyata Karst itu dinamakan Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang membentang sebagian besar di Kabupaten Kutai Timur (Kaliorang, Bengalon, Pengadan, Karangan Dalam, Kongbeng) dan di perbatasan Kutai Timur-Berau, di Merabu. Ada banyak gua dibaliknya, dan tentu saja jejak-jejak prehistoris berupa telapak tangan, disebut Gambar Cadas (Rock Art), mirip seperti di Leang-Leang Maros, akan tetapi akses menuju Karst Sangkulirang-Mangkalihat tampaknya lebih susah dan menantang.
Hanya kudapati satu blog yang menjelaskan dengan detil beserta gambar, akan tetapi postingan itu dibuat sekitar tahun 2008, tentu saja kondisi sudah sangat berbeda dengan sekarang.
Tapi, aku bertekad untuk menjadi penggerak dalam ekspedisi luar biasa tahun ini. Ekspedisi Sangkulirang-Mangkalihat.

Beberapa tahun berlalu. Tampaknya aku sudah sedikit melupakan ekspedisi tersebut. Walau sudah bergeser ke Sangatta, tapi informasi tersebut masih belum kunjung tercerahkan. Sempat beberapa kali aku mencoba berkomunikasi dengan orang-orang di Instagram yang memposting gambar Ceruk Tewet (Lokasi yang paling banyak terdapat cap tangan prehistoris), dan aku diberikan nomor contact person. Tetap saja niatku maju mundur dan tak kunjung mencari informasi. Beberapa kali sempat aku menggali informasi via Instagram, tapi tetap saja tekad belum bulat untuk mengunjungi kesana, karena membutuhkan peralatan keselamatan memanjat yang cukup komplit dan juga biaya yang besar untuk sharing cost. Uh! Siapa pula teman-temanku yang mau ikut petualangan ekstrim seperti ini, ditambah pengalaman sempat menghilang beberapa hari di Selat Makassar pada penghujung tahun 2014, tampaknya teman-teman yang cukup waras pun enggan memulai petualangan denganku.
Sampai pada akhirnya tibalah bulan Agustus ditahun 2020. Entah mengapa hasrat itu mencuat kembali. Tanpa pikir panjang aku menghubungi nomor pemandu yang sudah tersimpan bertahun-tahun yang lalu. Namanya Satria, warga Tepian Langsat, Bengalon.
Awal komunikasi, hanya menanyakan akses menuju kesana, dan akhirnya aku menyampaikan maksud untuk berkunjung ke Ceruk Tewet Agustus ini, tak kusangka Satria mengiyakan dan menjelaskan detail akomodasi kesana. Awalnya aku mendesak untuk berangkat sendiri, tapi ia menyarankan untuk mencari rekan untuk sharing cost karena biaya perjalanannya memang cukup berat apabila ditanggung sendiri.
Inilah yang sebenarnya bikin aku malas. Cari teman perjalanan. Karena itu cukup rumit dan butuh tenaga dan waktu ekstra untuk negoisasi. Belum lagi peluang untuk di-php ataupun ke-mbuletan lainnya, yang akhirnya malah bubar dan tak terlaksana.
Korban pertama yang berhasil kujerat adalah rekan kerja di Bontang, namanya Lupi. Sudah sering kami keluar masuk hutan dan berpetualang bersama. Ada beberapa korban juga yang hampir terjerat tapi akhirnya membatalkan niatnya. 
H-2 akhirnya aku mendapatkan dua korban dengan sedikit perjuangan, sebut saja Lupi dan Afif. Hal ini penting dilakukan tak terlalu dekat dengan keberangkatan untuk menyesuaikan kapasitas perahu ces yang akan digunakan. Logistik pun sudah aku tata rapi di keril 50L ku, dan kami semua sepakat untuk naik motor menuju desa Hambur Batu, yang akan menjadi titik awal perjalanan kami menuju Camp Tewet.
Alhamdulillah, Allah kembali mengijinkanku kembali menapaki ciptaanNya yang penuh misteri.

AWAL PERJALANAN
"Ada yang takut Buaya?" Aku terngiang perkataan Satria via pesan singkat beberapa saat lalu. Siapa sih yang tak mengenal para Buaya di bantaran Sungai Kalimantan yang terkenal suka memangsa orang. Cukup membuat bergidik, tapi tak menyurutkan niatku untuk tetap berangkat. Pukul sebelas siang kami bertiga start menuju Tepian Langsat lewat Rantau Pulung, dengan harapan agar jarak tempuh lebih singkat, akan tetapi banyaknya titik jalan yang rusak membuat kami tak berani terlalu kencang. Tubuhku terguncang-guncang mengendarai kendaraan perang (motor matic pink) sembari membonceng keril 50 L yang berisi logistik kami selama disana.
Dua jam perjalanan akhirnya sampai juga di Desa Hambur Batu pukul satu siang. Seorang lelaki menyapa kami saat hendak shalat dhuhur di masjid Hambur Batu.
"Ini yang mau naik ke Ceruk Tewet ya?"
"Eh..iya benar. Satria?" Terkaku yakin.
"Iya,"
"Oh, kami shalat Dhuhur dulu, baru kita gas."
"Siap komandan ! Gas dan genset sudah saya bawakan ya."
Camp Tewet
Pukul setengah dua siang kami sudah berada diatas perahu ces untuk menuju ke camp Tewet melalui Sungai Jele sejauh 32 km. Waktu tempuh tergantung kondisi cuaca dan arus sungai, rata-rata 3-3,5 jam. Tapi karena kondisi sungai saat itu baik, maka kami hanya menempuh waktu 2 jam melawan arus sungai. Ciptaan Allah yang disajikan begitu indah, ada karst, hutan tropis Kalimantan, aneka hewan endemik dan siulan alam yang maha megah. Sang motoris lihai mengendalikan ces-nya agar tak menabrak bebatuan maupun kayu yang menghalangi sepanjang perjalanan. Sesekali kami membidikkan kamera dan sang motoris melambatkan lajunya agar kami mendapatkan hasil yang maksimal.
Panorama Sepanjang Perjalanan
Saat itu ada salah seorang pengunjung selain kami, yang ternyata adalah saudara motoris (perahunya terpisah dari kami).
Sekitar pukul 15.45 WITA kami mencapai Camp Tewet. Alhamdulillah, mimpi menjadi nyata kembali saat ini. Andaikata semuanya tak benar-benar kuperjuangkan, mungkin takkan kurasakan perasaan yang meluap-luap seperti ini.
Kami pun bersiap-siap memasak. Aku membongkar logistik yang kubawa, seperti telur, gula, garam, mentega, bawang merah, sarden, mie instan, minyak goreng, bumbu nasi goreng, bawang goreng, dan beras. Beberapa rekan-rekan membelalak melihat persiapan logistikku yang cukup menakjubkan.
"Benar-benar jiwa emak-emak yah. Bisa detail sekali." ujar yang lain.
"Kayak mau pindahan rumah," timpal Satria.
"Aku cuma nggak mau kalian kelaparan gaes. Ini sayur-sayuran nggak kubawa yah, kalau kubawa bisa-bisa aku buka warung cap cay di hutan begini."
Mereka terkikik.
Peralatan masak dan makan di Camp Tewet cukup lengkap. Karena memang sering peneliti dan ilmuwan datang menginap hingga berbulan-bulan disana. Mulai dari kompor hingga pemanggang ada semua, jadi tinggal bawa logistiknya saja.
Untuk urusan tidur, kami tidur di hammock ataupun matras di Camp yang didirikan sejak tahun 2015 tersebut. Herannya di hutan seperti ini, nyamuk tak ada sama sekali, hanya ada kunang-kunang yang terbang di sekitar camp. Kebutuhan mandi maupun buang air pun bukan menjadi masalah yang serius, karena ada kamar mandi yang cukup bersih dan air yang lancar.
Bersandar di Camp Tewet
"Komandan," Satria menyematkan julukan itu terhadapku. Karena memang akulah penggerak dan komandan perjalanan impian kali ini. "Kuat kah naik ke ceruk diatas sana? Cukup ekstrim loh."
"Nanti aku kuat-kuatkan lah!" Seruku nyengir. Lantas berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

KAKI YANG TERKILIR
"Ah!! aduh!" aku memegang pergelangan kaki kananku ketika menuruni tangga kamar mandi. Kakiku memijak kayu rapuh dan terperosok kedalamnya. Pergelangan kaki terasa sangat ngilu hingga aku mengeluarkan air mata. Aku terseok-seok berupaya berjalan dan memegangi pohon, sambil  mengurut ringan berharap agar sedikit membaik. 
"Ah bengkak!" Ujarku panik, gusar melihat kakiku. Beberapa tahun lalu posisi itu pernah mengalami hal yang serupa namun agak parah, dan sekarang kambuh lagi. Aku berusaha tegar berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Kalau ketahuan pincang atau mengeluh sakit bisa-bisa tak diijinkan naik keatas. Toh ini masih bisa dibuat berjalan, pelan-pelan saja besok, pasti bisa. Pasti.
Malam harinya aku mengurut kaki yang bengkak dengan minyak dan krim, lalu membebatnya dengan tensocrepe yang kubawa. Semoga besok rasa sakit ini bisa hilang.
Dan sepanjang malam aku berdoa agar segera membaik, hingga aku terlelap tidur.

bersambung...

baca post kedua  : http://www.fraunesia.com/2020/08/2-ekspedisi-terpendam-sejak-5-tahun.html

baca post ketiga (terakhir) : http://www.fraunesia.com/2020/08/3-ekspedisi-terpendam-sejak-5-tahun.html
0
Share
Kalau boleh jujur, sebenarnya dari jaman awal masuk kuliah tahun 2010 aku sudah ada niatan untuk mengikuti kursus di Wisma Jerman (WisJer) Surabaya (dulu kalau nggak salah namanya Goethe Zentrum). 
Akan tetapi, karena pas kuliah jadwal kuliah dan praktikum yang tidak menentu, maka kubatalkan niatku walaupun secara finansial ortu sangat mendukungku. Oke ikhlas! Dan akhirnya aku mendapatkan informasi bahwa di UPT Bahasa ITS ada fasilitas kursus Bahasa Jerman (bahasa lainnya ada Mandarin, Perancis, Inggris dan Jepang) dengan potongan harga yang lumayan bagi mahasiswa ITS. Terlebih lagi jarak antara UPT dan kampusku cukup berjalan kaki lima menit. Okelah, akhirnya aku mendaftar disana saja untuk penawar rasa kecewaku. Saat itu kalau nggak salah durasi tiap pertemuan satu atau dua jam, lupa ! Dan untuk pengajarnya saat itu Frau Retno. Aku les Bahasa Jerman sekitar satu tahun di UPT Bahasa, dan dari pengajarnya sendiri sering menginformasikan acara-acara berbau Jerman yang kebanyakan diselenggarakan oleh WisJer Surabaya. Jadilah...aku rajin juga ikutan biar pengalaman nambah juga.
Buku Netzwerk, Level A2.1 dan A2.2
Beberapa tahun berlalu, kini aku sudah kerja di Kalimantan Timur, jauh pula dari ibukota propinsi. Dan karena sibuk dengan rutinitas pekerjaan, jadi kemampuan Bahasa Jerman alias Deutsch udah nggak pernah diasah lagi. Hehehe... tapi entah mengapa tahun 2016 keinginan untuk ikut les membuncah kembali. Sadar sih jarak memang selalu memisahkan dan seringkali terasa menyusahkan, pada akhirnya informasi kursus daring aku cari di internet beserta testimoninya. Sebenarnya aku sudah mendapatkan satu lembaga yang bersedia les daring melalui Skype, akan tetapi karena informasinya kurang jelas ketika aku tanya, yasudah aku mengurungkan niat lagi. Padahal sudah beli tablet untuk mendukung rencana online unterricht (les online) ku! 
Dan ketika pulang ke Surabaya, kusempatkan untuk mampir ke WisJer untuk tanya-tanya apakah ada fasilitas kursus daring, dan ternyata mereka belum menyediakan. Kalaupun ada waktunya pun sudah ditentukan oleh lembaganya. Uh! Jadilah aku pulang dengan wajah masam karena tidak ada hasil.
Empat tahun berlalu, keinginan untuk Deutschkurs sudah menguap dan kali ini memang gara-gara jarak yang memisahkan. Memang sih bisa belajar sendiri, tapi aku juga butuh komunikasi dua arah dengan bahasa Jerman untuk mendukung kelancaran mündlich / oral. Selama empat tahun itulah aku juga berhasil mengunjungi Jerman dengan kemampuan bahasa apa adanya.
Sebenarnya, kegila-gilaanku terhadap Deutsch sudah ada sejak duduk di kelas 3 SMP. Saat itu karena akses internet masih terbatas, aku mencoba untuk menyalin kata-kata dalam bahasa Jerman yang terdapat di manual book peralatan elektronik atau benda-benda yang ada. Cuma menyalin, tanpa tahu artinya apa.
Lanjut masuk SMA, begitu girangnya aku ketika mengetahui ada pelajaran muatan lokal Bahasa Jerman. Tentu saja aku mengikutinya dengan antusias dan selalu mendapatkan nilai nyaris sempurna ketika ulangan harian atau ulangan semester. Hahaha! Senang sekali! Sayang sekali hanya satu tahun aku mendapatkan muatan lokal Bahasa Jerman. 
Pengalaman lainnya terkait saking ngebetnya bisa bahasa Jerman, pengaturan bahasa di ponsel kuganti dengan Deutsch. Full Deutsch. Jadi seluruh aplikasi di ponsel yang mendukung bahasa tersebut otomatis berubah menjadi bahasa Jerman. Sebenarnya hal ini kulakukan agar mengetahui istilah-istilah umum komunikasi dalam bahasa Jerman sih. Kocaknya lagi, ketika aku berniat untuk membeli ponsel baru dan mentransfer akun dari ponsel lama dengan bantuan petugas counter hp, tentu saja petugasnya auto kebingungan dan menyerah dengan bahasa dalam ponselku. Akupun menyerah juga sih, karena masih bingung dengan bahasa pengaturan saat itu! Hahaha usil !
Wajah agak bengep habis operasi kutil (2016)

Setelah itu aku melanjutkan di UPT Bahasa ITS, oh ya untuk syarat kelulusan kampus saat itu membutuhkan sertifikat TOEFL maupun kemampuan bahasa asing dari UPT Bahasa. Nah kocaknya, karena sudah tiga kali coba tes TOEFL belum lulus juga, maka beralihlah aku ke Ujian Bahasa Jerman. Yang mana dua kali tes sudah memenuhi standar nilai kelulusan yang ditetapkan. Jadilah aku lampirkan sertifikat Bahasa Jerman untuk syarat kelulusan, hehe. Soal yang diujikan juga sudah diajarkan seluruhnya saat mengikuti les di UPT Bahasa, jadi memang rasanya tak asing lagi saat mengerjakan, dan juga saat itu ada teil hören juga (listening).
Setelah vakum dalam dunia 'Deutsch' sekian lama, entah kenapa wabah Corona tiba-tiba muncul. Wabah itu sedikit banyak menimbulkan berkah juga bagiku, karena seminar-seminar yang biasanya tidak online  (diselenggarakan di mayoritas Kota Besar), semua mendadak online. Begitupun kursus bahasa Jerman di WisJer Surabaya, aku lihat ada penawaran bagus, yaitu kursus daring via aplikasi zoom dengan harga diskon. Wah, tentu saja tanpa banyak pertimbangan langsung daftar dong. Tapi karena aku pernah belajar bahasa Jerman, maka ada placement testnya terlebih dahulu. Karena memang otak bahasa Jermanku sudah mulai karatan, maka wajib mengulang pelajaran masa lalu dulu. Jadi pas tes mündilch sedikit karatan juga bibir ini untuk menjawab pertanyaan dari pengujinya. Hahaha... Tapi alhamdulillah lolos juga dari level A1, dan diijinkan untuk ikut yang level A2 (lumayan penghematan, hehe)
Nah...untuk mengejar ketertinggalanku, maka aku ambil kursus A2 yang intensif, normalnya satu level dapat berjalan selama 4 bulan dengan jadwal seminggu tiga kali pertemuan masing-masing 180 menit. Cukup lama juga, terlebih jam kerjaku hingga pukul 5 sore, dan kursus dimulai pukul 6 sore hingga setengah sepuluh malam, teler.
Awal-awal kursus daring (via Zoom) sebenarnya cukup kagok juga, karena dari pengajarnya full menggunakan Deutsch, dan ini hanya via suara karena tidak ada yang mengaktifkan video. Jujur awalnya bingung gitu, karena memang baru pertama ini mendengarkan dan mulai membiasakan diri untuk bercakap-cakap dengan Deutsch. Kaku sekali pas mau mengutarakan sebuah kalimat.
Les Daring. Bisa di kamar sembari tiduran
Tapi itu hanya berlangsung dua kali pertemuan awal. Pertemuan selanjutnya suasana mulai seru dan mulai nggak kagok lagi ketika menjawab pertanyaan atau mau bertanya tentang sesuatu. Sayang sekali terkadang kondisi jaringan internet yang jelek cukup mengganggu konsentrasi.
Suasana kelas daring via ZOOM : Saat itu ada kunjungan dari Herr Maxmilian, sebagai Head of Language Departement Wisma Jerman
Karena pembelajaran daring, maka kita diberi seperti game lewat quizizz atau kahoot yang berhubungan dengan materi yang telah diajarkan hari itu. Seru sih! Istilahnya seperti jaman now banget pengajarannya.
Catatan Ala-Ala Saya, yang Penting  Mudah Dipahami
Satu kelas berisi 6 siswa, dan yang paling tuwiiirr adalah aku! Padahal dulu saat masih les di UPT Bahasa ITS, aku menjadi peserta termuda.  Bayangkan, rekan sekelas rata-rata anak kelas 11 SMA, ya sekitar usia 17 tahun lah. Ada pula satu anak kuliah, mungkin seumuran adikku. Kebanyakan mereka sudah ada prospek untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Dan aku? Usia udah hampir 27 masih hepi-hepi mengejar impian sejak jaman sekolah dan tidak ada keperluan tinggal disana (kalau kerja, mungkin). Tak apalah, berinteraksi dengan anak-anak muda membuatku kembali berjiwa muda dan berasa awet muda juga :D
Buku yang digunakan di level A2 saat itu Netzwerk, ada dua buku, Kursbuch (buku tentang bahan pembelajaran) dan Arbeitsbuch (buku latihan soal). Bukunya full colour, kertasnya tebal dan seru banget seperti buku cerita bergambar gitu, jadi terasa malah baca komik. Unyu-unyu juga kalau aku yang pakai, hahaha! Jadinya nggak berasa lagi les, tapi lagi baca buku cerita bergambar.
Ada beberapa kesulitan yang kualami saat mempelajari bahasa yang satu ini, apa saja? Saya rasa hampir seluruh siswa Bahasa Jerman mengalami hal serupa. Menggemaskan sekali...
1. Setiap kata benda dalam bahasa Jerman memiliki jenis kelamin, sama kayak bahasa Perancis. Lah? Iya! Ada yang jenis kelamin perempuan (feminim), maskulin, dan neutral. Nah, kalau kalian salah menyebutkan artikel satu benda saja, dijamin auto salah satu kalimat. Kuncinya hanya menghafal dan pakai feeling saja.
2. Kalimat ada yang bersifat Genitiv, Nominativ, Dativ, dan Akkusatif. Hal yang paling bikin saya muyek pol-polan. Salah menentukan jenis kalimat, salah pula untuk menentukan akhiran di kata ganti kepemilikan maupun sifat.
3. Präposition yang ada cukup tricky. Bukan hanya cukup, tapi sangat. Membuat saya nyebut berkali-kali. Karena ada beberapa kata kerja atau benda hanya wajib menggunakan satu präposition itu.
Präposition pun menentukan sifat kalimat. Eaaaa...
Banyakin istighfar deh kalau membuat kalimat.
4. Macam-macam konektor (kalimat sambung) yang memiliki regel (aturan) yang berbeda-beda. Maka dari itu saya bikin sedikit tabel dan rangkuman, mana saja konektor yang memiliki pola/aturan yang sama.
5. Tenses. Nggak sebanyak bahasa Inggris. Tapi ya...nggak seberapa rumit juga kalau yang ini, hanya penyesuaian bentuk dan penempatan kata kerja.
6. Trennbare verben. Bingung juga saya pakainya dalam kondisi apa. Pengen nangis kalau mau bikin kalimat.
7. Pengungkapan kalimat harapan ada aturannya sendiri. Wkwkwk...

Oh ya, walaupun aku kursus Bahasa Jerman ini hanyalah sekedar hobi saja, tapi aku berniat serius hingga level minimal B2, insya allah, semoga Allah masih mengizinkan dan dunia masih memberiku waktu untuk mengejar mimpiku !

0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose