#3 Ekspedisi Terpendam Sejak 5 Tahun Lalu : Mengais Sisa Energi Demi Ekspedisi (Terakhir)

Hari terakhir, dan tampaknya energi kami mulai terkuras habis. Sabtu pagi itu kami merencanakan ke puncak Gua Fosil. Dari Camp Tewet harus naik (istilah menuju ke hulu sungai) selama kurang lebih 45 menit. Pagi itu kami sarapan dan bersantai sejenak seraya menikmati kabut pekat karena kemarin sempat hujan lebat. Pukul delapan pagi kami menuju ke lokasi dengan perahu ces. Kondisi sungai saat itu sedikit deras dan permukaan menjadi lebih tinggi beberapa senti.
Bersantai sambil mereganggangkan tubuh di pinggiran sungai
Panorama yang disuguhkan pun tak jauh beda dengan perjalanan menuju ke Camp dari Hambur Batu. Karst yang menjulang, maupun beberapa batu-batu di bibir sungai.
Liang Subuh
"Ini Liang Subuh," Jelas Pak Rusdi menunjukkan ceruk dangkal di pinggir sungai. "Dan itu pohon Banggeris, masyarakat sekitar biasanya memanjat keatas untuk mengambil madu hutan."
"Naik keatas? Setinggi itu?" tanyaku takjub.
"Iya, pakai tali."
Koompassia sp
Aku menatap dengan mata berbinar pohon yang tertinggi diantara yang lainnya. Menjulang dan dahannya hanya di ujung pohon. Banggeris (Koompassia sp) merupakan salah satu pohon tertinggi di kawasan hutan tropis dengan tinggi sekitar 80 meter. Di puncaknya, lebah hutan (Apis dorsata) membuat sarang untuk menghindari serangan hewan hutan. Madu yang dihasilkan pun kualitas yang baik.
Lalu kawanan burung berwarna merah dan kuning mencolok melintas diatas perahu ces kami, aku terpekik.
"Ahhh burungnya cantik! Lucu!"
"Itu burung Raja Udang, makanannya ikan." Pak Rusdi lagi-lagi menjelaskan kepada kami. Sungguh, itulah mengapa kami bangsa manusia harus mengerti pentingnya menjaga hutan. Tak hanya sebagai paru-paru dunia, tapi juga sumber kehidupan bagi seluruh makhluk, tempat berlindungnya seluruh makhluk Allah. Karena manusia yang butuh hutan, tidak sebaliknya.
Perjalanan menuju hulu
Beberapa menit kemudian, kami menepi. Kata pemandu kami ini adalah jalan menuju Gua Fosil.
"Komandan, lihat. Nyadeng !" Satria menunjukkan aliran air berwarna biru jernih yang bermuara ke sungai Jele yang berwarna cokelat susu. Dalam bahasa setempat, nyadeng berarti sumber mata air. Mereka terpisah, tak bisa bercampur menjadi satu. Oh! Sungguh aku menemukan satu keajaiban alam lagi di Karst Sangkulirang-Mangkalihat ini.
Perjalanan menuju puncak Gua Fosil tampaknya tak mudah. Karena memang jarang dilalui orang, maka para pemandu sibuk menebas tumbuhan yang menghalangi jalur. Sepanjang jalan Afif sibuk berceloteh keinginannya untuk mandi di Nyadeng. Warga setempat menamakannya Sungai Metem.
"Kita pasang tali dulu yang untuk manjat." Jelas Satria. Ah, manjat lagi! Tanganku sudah agak lemas ditambah lagi kaki yang terkilir dan periode haid yang sudah dekat membuat tubuh makin pegal semua. Tidak apa-apa, Une kan wanita kuat ! Aku menghibur diri sendiri.
"Nah ladies first! Biar aku fotoin dari bawah," Afif menyuruhku duluan. Aku tersenyum kecut.
"Ah nggak ah, kalian saja dulu! Sekali-kali."
"Ayolah wanita strong..." Lupi makin menyemangati.
Perjuangan
Ugh, aku menguatkan hati merayapi dinding setinggi 4 meter ini, walau badan sudah terasa pegal semua. Saat itu aku tak membawa sarung tangan karena kondisi basah. 
Segenap tenaga aku satukan. Merayapi dinding dan bergelayut di tali serta akar. Satria dan Pak Rusdi dengan sabar membimbingku. Dan aku harus tetap fokus mencari pijakan yang aman.
Gua Fosil sudah tampak didepan mata. Panorama yang disuguhkan adalah barisan Gunung Gergaji yang menjulang gagah, dimana dulunya sering kulihat dari poros Bengalon-Muara Wahau dari kejauhan, kini membentang dekat didepan mataku.
Jajaran Gunung Gergaji
"Lanjut kepuncak ya," Para pemandu menginstruksikan kami untuk naik keatas. Mereka masih sibuk mencari jalur yang terdekat dan aman, dan tentu saja acara panjat memanjat masih berlanjut walaupun tak setinggi yang awal, jadi tak dipasang tali.
Sebenarnya, puncak Gua Fosil adalah tempat yang paling pas untuk menikmati landscape barisan Gunung Gergaji. Cuaca sangat terik, dan kami cukup kelelahan walaupun tinggi puncak hanya 80 mdpl. Bule cengar-cengir senang mendapatkan panorama yang menakjubkan ini, drone pun kembali ia mainkan.

Hanya sekitar satu jam kami dipuncak, lalu kami memutuskan untuk turun. Tenaga kembali kukumpulkan mati-matian, dan aku bersumpah kalau sudah sampai bawah aku akan berendam di Sungai Metem sepuasnya.
Perjalanan Turun
Dan benar, tanganku gemetaran saat turun. Tampaknya sudah benar-benar lemas. Berkali-kali aku istirahat secara vertikal di dinding, keringat yang masuk ke mata turut mengganggu konsentrasiku, ingin rasanya segera loncat ke Sungai Metem~
"Uh kakiku harus memijak kemana.." keluhku lirih saat menuruni dinding vertikal terakhir.
"Ayo komandan, sedikit lagi!" Satria menyemangatiku sembari mengawasiku dari bawah. Ketika sudah sampai dibawah, lega sekali rasanya! Segera kuberlari agar dapat lebih cepat berendam di Metem!

SUNGAI METEM
Ternyata, yang berminat mandi hanya dua orang. Aku dan Afif. Satria bilang takut kedinginan. Lupi memilih buang air besar, Bule dan Pak Rusdi memilih pergi ke Liang Jon, tempat penggalian tengkorak manusia purba. Sekitar sepuluh menit mendinginkan tubuh, lalu kami segera berendam. Kedalaman hanya 1,5 meter. Sangat dingin dan super jernih! Aku minum air sungai sepuasnya karena memang air yang kubawa sudah habis. Satu jam kita bermain di Sungai Metem, dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Camp. Ternyata yang lain sudah menunggu di dekat ces sambil memancing. Sekitar 8 ekor ikan sungai yang gemuk berhasil mereka jerat.
Tidak bisa 'bersatu'
Menggelayut santuy
"Hmm, pesta besar lagi kita hari ini. Bakar-bakar, lalu sorenya kita main ke Gua Biawak." Satria berujar.
Bakar ikan Salap

BONUS : GUA BIAWAK
Mulut Gua Biawak
Bule mencoba menerbangkan drone-nya didalam Gua Biawak
"Kenapa harus biawak? Nggak kerbau atau yang lainnya? Apa dahulu ditemukan biawak masuk dan terkurung dalam gua? di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa," Tanyaku kepada Satria dan tanpa sadar bernyanyi original soundtrack film kolosal Kera Sakti yang melegenda.
"Nggak tahu saya, orang-orang dulu itu yang kasih nama." jawab Satria. Jalan menuju Gua Biawak cukup mudah, dari camp hanya sekitar 800 meter mendatar dan sedikit menanjak ringan menuju mulut gua.
"Kalian jangan kaget ya, banyak vandalisme didalam. Tinggal absen saja nama-nama orang didalam itu."
Awal masuk, kami disambut bau guano yang menyengat, seperti di gua Sampemarta. Mulut gua itu tinggi dan dalamnya sekitar 250 meter saja. Benar saja, nama-nama berbagai macam orang kutemukan disana. Yang paling rajin absen adalah nama 'LUNG' dan 'ANTO', karena sepanjang jalan kami menemukan nama itu-itu saja. 
Tulisan yang paling bikin ngakak di dalam Gua
Tak hanya nama, tapi juga ungkapan kalimat galau banyak terdapat disana. Apalagi gambar tidak seronok, tak terhitung jumlahnya. Ada beberapa kalimat yang cukup membuat kami tertawa kencang hingga bergema dalam gua. Sebagian besar tulisan itu berusia 20 tahun lebih, karena mereka memberi tahun sekitar 1998-2000. Dan tulisan mereka yang menggunakan batu arang tidak pudar sama sekali. Sempat kami berkelakar puluhan ribu tahun mendatang para peneliti akan datang untuk meneliti kebiasaan 'galau'nya manusia yang tertulis di Gua Biawak ini.
"Orang-orang stress semua yang tulis. Dulu para pencari sarang walet sering tinggal disini." Satria menyorotkan senternya ke langit gua dan menunjukkan bekas sarang walet yang konon harganya selangit. Kelelawar dan kampret yang bergantungan sontak terbang berhamburan.
Cawan Suci
Didalam gua ada fenomena menarik yang aku temukan. Ada jerigen yang sudah menjelma menjadi bebatuan gua karena mungkin terlalu lama ditetesi air mengandung mineral yang membentuk stalagtit dan stalagmit. Sungguh, benar-benar tampak alami. Lupi menamakannya 'Cawan Suci'.

KEMBALI KE PERADABAN
Peserta Ekspedisi
Keril sudah berhasil aku tata kembali. Bedanya kali ini hanya berisi tumpukan baju kotor yang membuatku sakit kepala karena harus dicuci dan seterika. Pilihan untuk diserahkan ke binatu tidak terlintas sama sekali di pikiranku, karena kotor terkena debu dan sedikit lumpur.
Perjalanan kembali ke Hambur Batu hanya membutuhkan waktu 1,5 jam, 30 menit lebih cepat dari berangkat, karena memang tidak melawan arus. Setelahnya kami kembali menuju Sangatta melalui jalan Simpang Perdau (karena kondisi jalan yang lebih baik).
Ah, entah kenapa aku tidak akan pernah bisa move on dari ekspedisi impian sejak lima tahun lalu ini. Aku akan selalu merindukan udara segar sekitar karst yang setiap harinya selalu menguar, walaupun setelahnya sekujur kakiku banyak yang memar. Mungkin suatu saat aku akan kembali menjelajahi dan menapaki misteri-misteri yang belum terungkap, karena teringat kata Satria, "Sebulan bahkan setahun tak akan cukup menjelajahi Karst Sangkulirang Mangkalihat."
TAMAT

Sangatta, 25 Agustus 2020

Yang wajib dibawa saat ekspedisi :
1. Sarung tangan, karena akan banyak memanjat bebatuan karst
2. Lotion anti nyamuk, walau saat itu tak ada nyamuk
3. Headlamp
4. Sepatu trekking yang nyaman. Lebih baik menggunakan sepatu daripada sandal untuk alasan keselamatan
5. Tas untuk trekking ke Gua/ceruk. Usahakan yang ransel, jangan sling bag, karena itu sangat menyusahkan saat melakukan pemanjatan.
6. Energy bar untuk trekking
7. Gunakan lengan panjang/celana panjang saat trekking. Jangan menggunakan celana berbahan jeans karena berat, lambat kering dan menyusahkan pergerakan saat memanjat
8. Jas hujan disposable
9. Tensocrepe
10. Krim otot
11. Alat masak tidak perlu membawa. Karena di camp cukup lengkap
12. Alat ibadah, alat mandi dan baju ganti

Yang wajib untuk dilakukan selama disana :
1. Menjaga keselamatan diri dan keamanan barang bawaan
2. Menuruti apa yang dilarang oleh pemandu
3. Tidak merusak alam atau membuang sampah sembarangan.

"Bagi teman-teman yang ingin mengunjungi destinasi yang telah aku jabarkan di tiga tulisan terakhir mengenai Karst Sangkulirang-Mangkalihat, bisa menghubungi saya melalui instagram/surel/komentar di postingan ini. Karena yang bersangkutan belum berkenan untuk dituliskan nomor hp-nya di blog." 



Unesia Drajadispa

No comments: