#1 Ekspedisi Terpendam Sejak 5 Tahun Lalu : Menguatkan Langkah, Memulai Perjalanan

Sangkulirang-Mangkalihat, Ceruk Tewet, Tree of Life, Sangkulirang-Mangkalihat, Ceruk Tewet, Tree of Life.
 
Kata-kata itu yang menggaung dipikiranku semenjak lima tahun lalu. Tahun 2015 kalau tidak salah, tatkala masih belum genap setahun mendiami Bumi Etam ini. Perjalanan karena pekerjaan ke arah Muara Wahau mempertemukanku dengan gugusan Karst yang saat itu tak kuketahui namanya. Membentang panjang.
"Pak itu gunung apa?" Tanyaku lugu pada sopir yang membawa light vehicle saat itu.
"Gunung Gergaji, Mbak. Bentuknya bergerigi yah, kayak gigi gergaji."
Ehm, memang benar sih. Menurutku itu pegunungan Karst. Lantas aku telusuri di mesin pencari dengan kata kunci : Gunung Gergaji Kalimantan. Saat itu informasi dan referensi masih sangat minim, lantas membuatku semakin penasaran ada misteri apa kira-kira yang bersemayam dibalik gugusan Karst tersebut.
Informasi demi informasi kugali berbekal hanya dengan mesin pencari. Ternyata Karst itu dinamakan Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang membentang sebagian besar di Kabupaten Kutai Timur (Kaliorang, Bengalon, Pengadan, Karangan Dalam, Kongbeng) dan di perbatasan Kutai Timur-Berau, di Merabu. Ada banyak gua dibaliknya, dan tentu saja jejak-jejak prehistoris berupa telapak tangan, disebut Gambar Cadas (Rock Art), mirip seperti di Leang-Leang Maros, akan tetapi akses menuju Karst Sangkulirang-Mangkalihat tampaknya lebih susah dan menantang.
Hanya kudapati satu blog yang menjelaskan dengan detil beserta gambar, akan tetapi postingan itu dibuat sekitar tahun 2008, tentu saja kondisi sudah sangat berbeda dengan sekarang.
Tapi, aku bertekad untuk menjadi penggerak dalam ekspedisi luar biasa tahun ini. Ekspedisi Sangkulirang-Mangkalihat.

Beberapa tahun berlalu. Tampaknya aku sudah sedikit melupakan ekspedisi tersebut. Walau sudah bergeser ke Sangatta, tapi informasi tersebut masih belum kunjung tercerahkan. Sempat beberapa kali aku mencoba berkomunikasi dengan orang-orang di Instagram yang memposting gambar Ceruk Tewet (Lokasi yang paling banyak terdapat cap tangan prehistoris), dan aku diberikan nomor contact person. Tetap saja niatku maju mundur dan tak kunjung mencari informasi. Beberapa kali sempat aku menggali informasi via Instagram, tapi tetap saja tekad belum bulat untuk mengunjungi kesana, karena membutuhkan peralatan keselamatan memanjat yang cukup komplit dan juga biaya yang besar untuk sharing cost. Uh! Siapa pula teman-temanku yang mau ikut petualangan ekstrim seperti ini, ditambah pengalaman sempat menghilang beberapa hari di Selat Makassar pada penghujung tahun 2014, tampaknya teman-teman yang cukup waras pun enggan memulai petualangan denganku.
Sampai pada akhirnya tibalah bulan Agustus ditahun 2020. Entah mengapa hasrat itu mencuat kembali. Tanpa pikir panjang aku menghubungi nomor pemandu yang sudah tersimpan bertahun-tahun yang lalu. Namanya Satria, warga Tepian Langsat, Bengalon.
Awal komunikasi, hanya menanyakan akses menuju kesana, dan akhirnya aku menyampaikan maksud untuk berkunjung ke Ceruk Tewet Agustus ini, tak kusangka Satria mengiyakan dan menjelaskan detail akomodasi kesana. Awalnya aku mendesak untuk berangkat sendiri, tapi ia menyarankan untuk mencari rekan untuk sharing cost karena biaya perjalanannya memang cukup berat apabila ditanggung sendiri.
Inilah yang sebenarnya bikin aku malas. Cari teman perjalanan. Karena itu cukup rumit dan butuh tenaga dan waktu ekstra untuk negoisasi. Belum lagi peluang untuk di-php ataupun ke-mbuletan lainnya, yang akhirnya malah bubar dan tak terlaksana.
Korban pertama yang berhasil kujerat adalah rekan kerja di Bontang, namanya Lupi. Sudah sering kami keluar masuk hutan dan berpetualang bersama. Ada beberapa korban juga yang hampir terjerat tapi akhirnya membatalkan niatnya. 
H-2 akhirnya aku mendapatkan dua korban dengan sedikit perjuangan, sebut saja Lupi dan Afif. Hal ini penting dilakukan tak terlalu dekat dengan keberangkatan untuk menyesuaikan kapasitas perahu ces yang akan digunakan. Logistik pun sudah aku tata rapi di keril 50L ku, dan kami semua sepakat untuk naik motor menuju desa Hambur Batu, yang akan menjadi titik awal perjalanan kami menuju Camp Tewet.
Alhamdulillah, Allah kembali mengijinkanku kembali menapaki ciptaanNya yang penuh misteri.

AWAL PERJALANAN
"Ada yang takut Buaya?" Aku terngiang perkataan Satria via pesan singkat beberapa saat lalu. Siapa sih yang tak mengenal para Buaya di bantaran Sungai Kalimantan yang terkenal suka memangsa orang. Cukup membuat bergidik, tapi tak menyurutkan niatku untuk tetap berangkat. Pukul sebelas siang kami bertiga start menuju Tepian Langsat lewat Rantau Pulung, dengan harapan agar jarak tempuh lebih singkat, akan tetapi banyaknya titik jalan yang rusak membuat kami tak berani terlalu kencang. Tubuhku terguncang-guncang mengendarai kendaraan perang (motor matic pink) sembari membonceng keril 50 L yang berisi logistik kami selama disana.
Dua jam perjalanan akhirnya sampai juga di Desa Hambur Batu pukul satu siang. Seorang lelaki menyapa kami saat hendak shalat dhuhur di masjid Hambur Batu.
"Ini yang mau naik ke Ceruk Tewet ya?"
"Eh..iya benar. Satria?" Terkaku yakin.
"Iya,"
"Oh, kami shalat Dhuhur dulu, baru kita gas."
"Siap komandan ! Gas dan genset sudah saya bawakan ya."
Camp Tewet
Pukul setengah dua siang kami sudah berada diatas perahu ces untuk menuju ke camp Tewet melalui Sungai Jele sejauh 32 km. Waktu tempuh tergantung kondisi cuaca dan arus sungai, rata-rata 3-3,5 jam. Tapi karena kondisi sungai saat itu baik, maka kami hanya menempuh waktu 2 jam melawan arus sungai. Ciptaan Allah yang disajikan begitu indah, ada karst, hutan tropis Kalimantan, aneka hewan endemik dan siulan alam yang maha megah. Sang motoris lihai mengendalikan ces-nya agar tak menabrak bebatuan maupun kayu yang menghalangi sepanjang perjalanan. Sesekali kami membidikkan kamera dan sang motoris melambatkan lajunya agar kami mendapatkan hasil yang maksimal.
Panorama Sepanjang Perjalanan
Saat itu ada salah seorang pengunjung selain kami, yang ternyata adalah saudara motoris (perahunya terpisah dari kami).
Sekitar pukul 15.45 WITA kami mencapai Camp Tewet. Alhamdulillah, mimpi menjadi nyata kembali saat ini. Andaikata semuanya tak benar-benar kuperjuangkan, mungkin takkan kurasakan perasaan yang meluap-luap seperti ini.
Kami pun bersiap-siap memasak. Aku membongkar logistik yang kubawa, seperti telur, gula, garam, mentega, bawang merah, sarden, mie instan, minyak goreng, bumbu nasi goreng, bawang goreng, dan beras. Beberapa rekan-rekan membelalak melihat persiapan logistikku yang cukup menakjubkan.
"Benar-benar jiwa emak-emak yah. Bisa detail sekali." ujar yang lain.
"Kayak mau pindahan rumah," timpal Satria.
"Aku cuma nggak mau kalian kelaparan gaes. Ini sayur-sayuran nggak kubawa yah, kalau kubawa bisa-bisa aku buka warung cap cay di hutan begini."
Mereka terkikik.
Peralatan masak dan makan di Camp Tewet cukup lengkap. Karena memang sering peneliti dan ilmuwan datang menginap hingga berbulan-bulan disana. Mulai dari kompor hingga pemanggang ada semua, jadi tinggal bawa logistiknya saja.
Untuk urusan tidur, kami tidur di hammock ataupun matras di Camp yang didirikan sejak tahun 2015 tersebut. Herannya di hutan seperti ini, nyamuk tak ada sama sekali, hanya ada kunang-kunang yang terbang di sekitar camp. Kebutuhan mandi maupun buang air pun bukan menjadi masalah yang serius, karena ada kamar mandi yang cukup bersih dan air yang lancar.
Bersandar di Camp Tewet
"Komandan," Satria menyematkan julukan itu terhadapku. Karena memang akulah penggerak dan komandan perjalanan impian kali ini. "Kuat kah naik ke ceruk diatas sana? Cukup ekstrim loh."
"Nanti aku kuat-kuatkan lah!" Seruku nyengir. Lantas berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

KAKI YANG TERKILIR
"Ah!! aduh!" aku memegang pergelangan kaki kananku ketika menuruni tangga kamar mandi. Kakiku memijak kayu rapuh dan terperosok kedalamnya. Pergelangan kaki terasa sangat ngilu hingga aku mengeluarkan air mata. Aku terseok-seok berupaya berjalan dan memegangi pohon, sambil  mengurut ringan berharap agar sedikit membaik. 
"Ah bengkak!" Ujarku panik, gusar melihat kakiku. Beberapa tahun lalu posisi itu pernah mengalami hal yang serupa namun agak parah, dan sekarang kambuh lagi. Aku berusaha tegar berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Kalau ketahuan pincang atau mengeluh sakit bisa-bisa tak diijinkan naik keatas. Toh ini masih bisa dibuat berjalan, pelan-pelan saja besok, pasti bisa. Pasti.
Malam harinya aku mengurut kaki yang bengkak dengan minyak dan krim, lalu membebatnya dengan tensocrepe yang kubawa. Semoga besok rasa sakit ini bisa hilang.
Dan sepanjang malam aku berdoa agar segera membaik, hingga aku terlelap tidur.

bersambung...


Unesia Drajadispa

No comments: