• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Mungkin, warga Kaltim pun ada yang belum mengetahui Kecamatan Busang itu dimana? Nah untuk melengkapi petualanganku melistriki nusantara, kali ini saya akan mengajak teman-teman untuk mengelilingi Kabupaten Kutai Timur, salah satunya adalah Kecamatan Busang.
Perjalananku menuju Busang, diawali dari Bontang ke Muara Bengkal. Perjalanan memakan waktu sekitar 6 jam, tapi saat itu kami makan malam sekitar 1 jam di Sangatta, jadi perjalanan sekitar 7 jam lebih, melewati Rantau Pulung, Desa Himba Lestari, Mawai Indah, dan perkebunan sawit disertai dengan beberapa ruas jalan yang menguji nyali dan adrenalin. Terlebih lagi saat dini hari. Suasana gelap gulita.
Setelah istirahat semalam di Muara Bengkal, kami lanjut ke Busang. Lewat Long Mesangat, perkebunan sawit dan jalan ke arah gunung benteng. Yah, disarankan membawa kendaraan double gardan, karena kondisi jalan memang cukup licin kalau hujan, sehingga banyak truk yang terjebak. Kira-kira membutuhkan waktu 4 jam perjalanan, ditambah tubuh yang terbanting kanan kiri sepanjang perjalanan. Lalu dilanjutkan dengan menyeberang sungai dengan kapal kayu yang dipatok tarif lima puluh ribu rupiah sekali jalan selama 10 menit. Ada juga jembatan menuju desa Long Lees, tapi hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua saja.
Menyeberang Sungai menuju Busang
Terminal
Long Lees
Jembatan Penghubung
Kecamatan Busang terdiri dari 6 desa, hanya saja yang dekat dari kantor kecamatan Busang ada 3 desa, yaitu Long Lees, Long Pejeng, dan Long Nyelong. Sebagian besar penduduknya dari suku Dayak, sisanya perantau dari berbagai suku.
Kantor Camat Busang, Rumputnya Rapi, seperti Alun-Alun Bandung :D
Kantor Kecamatan Busang terletak di Desa Long Lees. Setelah berbincang dengan bapak camat perihal kondisi kelistrikan di Busang yang memang belum teraliri listrik dari PLN sama sekali. Jadi penduduk menggunakan genset pribadi dan mengeluhkan biaya operasinal dan bahan bakar yang mahal, sebulan bisa mencapai ratusan ribu untuk biaya bahan bakar dengan lama nyala yang tak sampai 12 jam.
Jaringan PLN terdekat dari Busang berada di desa Gemar Baru sejauh 30 km, tapi tidak dimungkinkan untuk dibangun jaringan karena jalan yang dilalui sering banjir dan perawatan cukup susah.
Mengumpulkan Data
Kalau dikalkulasi, memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan listrik PLN. Sebenarnya sudah ada mesin diesel dan jaringan tegangan rendah 380/220 V dari Dinas Pertambangan dan Energi, namun sudah tak beroperasi lagi sejak tahun 2015 dengan alasan yang sama. Fasilitas di Busang masih minim, belum ada Bank, fasilitas kesehatan (atau mungkin ada, tapi saya nggak lihat fasilitas kesehatan), tetapi BTS untuk berkomunikasi sudah ada. Masjid kecil terdapat di Desa Long Lees.
Mesin Perkins
Dengan kondisi desa yang jauh dari jaringan yang ada, kemungkinan Busang akan beroperasi secara isolated (beroperasi dengan pembangkit sendiri) atau memanfaatkan potensi energi terbarukan yang ada.
Gang di Perkampungan Long Lees
Lamin untuk Lumbung Pangan


Rumah Penduduk, Mayoritas memiliki Seraung yang digantungkan didepan rumahnya, terutama daerah Kutai.
Jadilah dengan cuaca yang sangat terik, saya den rekan berkeliling perkampungan di Long Lees dengan berjalan kaki (karena kondisi gang yang kecil) untuk melihat jumlah potensi pelanggan dan rencana jaringan. Menyesal juga karena lupa tak mengoleskan tabir surya dan membawa topi Seraung (topi lebar khas Dayak) yang pernah kubeli di Desa Long Segar. Dari situ saya mengetahui bagaimana kehidupan suku Dayak sebenarnya, dan berinteraksi dengan mereka. Karena mayoritas beragama Katolik, maka banyak gereja yang dibangun dengan gaya khas Dayak banget. Unik ! Setiap desa memiliki lapangan dan Lamin adat sendiri yang berfungsi untuk tempat berkumpul atau acara adat.
Lamin di Long Nyelong
Lamin di Long Lees
Salah satu Gereja
"Bu, kami berharap listrik segera masuk. Biar bank, atau fasilitas lainnya bisa masuk juga. Agar Busang cepat berkembang." Ujar Bapak Impung (camat Busang) dengan penuh harap.
"Iya pak, kami juga senang kalau masyarakat bisa menikmati listrik. Semoga saja usulan perluasan  ini segera diterima." Jawabku penuh harap juga. Senang sekali kalau rasio elektrifikasi di area pelayanan tempat saya bekerja bisa meningkat.
Oke, listrik memang kebutuhan vital, karena Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.

*Gambar diambil dengan Sony Xperia Z5 Compact (no editing)
0
Share
Berada di Bandung, harus membiasakan untuk memanggil Teteh dan Aa, panggilan semacam mbak dan mas. Jadilah aku dengan logat medok Suroboyan aku memanggil Teh atau A' ditambah dengan bahasa Sunda sedikit-sedikit. Demi apa? Ya biar kelihatan berbaur dan kelihatan seperti orang Sunda, siapa tahu juga dapat laki Sunda, hahaha.
Sebut saja bunga !
Hari kedua yang cerah di Lembang ini, destinasi selanjutnya adalah Kebun Begonia Lembang yang terletak di Jalan raya Lembang Maribaya. Dari penginapan hanya 25 menit berkendara motor.
Saya berangkat pagi-pagi, mengantisipasi kemacetan, keramaian di lokasi, dan udara Lembang pun masih segar. Pagi hari di taman Begonia masih sepi pengunjung, jadi bisa berfoto tanpa terganggu 'peran figuran' lain, yey !
Kebun Bunga Glory
Morning Glory

Tiket masuk Kebun Begonia (belakangan saya tahu bahwa namanya adalah kebun bunga Glory) adalah sepuluh ribu rupiah. Itu hanya orangnya, belum tiket kamera DSLR. Tiket masuk kamera DSLR sebesar 50 ribu rupiah. Ah, itu merupakan kejahatan bagi sebuah kamera, pikirku saat itu.
"Mahalnya mang," kataku memelas parah.
"Iya, emang segitu neng, tapi kalau teu dipakai mah juga teu usah bayar aja neng," sahut penjaga loket.
Tapi, karena tulisan 'Tiket Masuk Kamera DSLR 50 ribu,' Maka aku memberanikan diri bertanya pada penjaganya, sambil menunjukkan mirrorless ku "Mang, kalau kamera beginian gratis kagak?" 
"Oh kalo mirrorrless mah gratis aja atuh neng," jawabnya.
Pheew ! Aku menghela nafas lega, lalu sedikit cengar-cengir menimang mirrorless-ku yang berhasil masuk gratisan. Untunglah mamang penjaga paham akan jenis-jenis kamera, kalau tidak mungkin semua jenis kamera digital yang masuk akan dikenai biaya lima puluh ribu rupiah seperti kejadian di Desa Budaya Pampang, Samarinda.
Suasana didalam sungguh berbunga-bunga. Memang, daerah sejuk seperti di Lembang baik untuk perkembangbiakan bunga. Musik tradisional Sunda dan country diputar bergantian dari player ditengah kebun bunga, menambah suasana riuh di kebun tersebut. Untunglah bukan lagu India yang diputar, kalau iya mungkin saya telah menari-nari sambil menyanyi ditengah kebun bunga bak artis bollywood *lupakan*
Fokus ke Patung Burung ya

Ada pula tempat perawatan kaktus

Setiap bunga yang tumbuh disana diberi nama masing-masing, seperti Begonia, Snap Dragon, Morning Glory, Petunia, dan lain-lain. Dengan mengunjungi kebun bunga itu, perbendaharaan kata dalam kamus per-bunga-an ku jadi bertambah, tak hanya mawar melati saja yang diketahui. Karena bunga warna ungu yang aku kira memiliki nama Lavender ternyata bukan ! Sempat saja membayangkan, apabila bunga ungu tersebut tumbuh subur dan banyak, bisa-bisa menyaingi suasana di Provence, Perancis !
Dengan tiket sepuluh ribu, pengunjung dapat bebas berfoto di spot-spot yang telah disiapkan pengelola. Sesuai kreativitas, maka pengunjung dapat menghasilkan macam-macam foto yang eye catching !
Pesanku saat mengunjungi Taman Bunga Begonia, tolong jangan memetik bunga, menginjak bunga, atau membuang sampah sembarangan agar pengunjung lainnya juga dapat menikmati dan berfoto bersama bunga juga :D
Satu lagi, mengunjungi kebun bunga Begonia bagusnya saat pagi hari, selain tak terlalu panas, ketika cerah warna langit pun tampak bagus saat difoto. Jangan lupa pakai filter circular polarizer agar hasil lebih baik ya !
0
Share
Akhirnya, saya berhasil menentukan kemana kakiku akan melangkah selanjutnya pasca baper-baperan dengan macetnya Jakarta plus kesendirian di Kota Tua, yeah !
Tujuan selanjutnya adalah Bandung. sebelumnya saya sudah memesan tiket kereta Argo Parahyangan Eksekutif dari Gambir, ya, saya memilih naik kereta karena bebas macet dan telat! Dan lagi sudah lamaaaaa tak naik kereta (maklum sekarang naik pesawat terus, hehehe...)
Jarak ke Gambir dari Harmoni tak terlalu jauh, hanya sekitar 15 menit saja. Keberangkatan kereta pukul 8.30 pagi, dan estimasi tiba di Bandung sekitar pukul 11.30 siang. 
Dasar, saya tak bisa tidur saat naik kereta, kagum melihat-lihat pemandangan diluar, mengingat tahun 2012 terakhir naik kereta dari Pasar Turi Surabaya ke Gambir. Wah, seneng sekali rasanya !
Setelah sampai di Bandung lautan asmara  , petualangan pun dimulai dengan memanggul keril segede gaban itu. Ya memang berat dan menyusahkan sih, tapi tetap memaksakan diri terlihat tegar dan kuat saat berjalan (umak'aee..)
Kenapa saya memilih membawa keril kemanapun saya pergi ketika sendiri? Jawabannya simpel, untuk memudahkan perpindahan dan pergerakan. Saya sadar, saat bepergian, kemana-mana tak ada mobil beserta sopir pribadi carteran. Kemana-mana naik kendaraan umum, bahkan sewa motor sendiri, jadi cukup susah juga naik motor bawa koper atau naik angkot bawa koper.
Untuk mengelilingi Bandung, sewa motor sudah kupersiapkan semenjak di Jakarta. Saya sewa motor matic injeksi, sehari 80 ribu, sudah termasuk helm dan jas hujan. Setelah deal dengan menitipkan 3 identitas diri sebagai jaminan ke penyewa, sayapun bebas membawa motor sewaan itu kemana saja aku mau di Bandung, yey !
Sebenarnya foto gaya gini yang ditunggu
Tujuan pertama menuju Lembang. Sejenak saya mempelajari maps, dan berhasil mengestimasi jarak ke Lembang dapat ditempuh maksimal 1 jam plus macetnya. Oke, dengan sedikit kesusahan motor saya kendarai sambil memanggul keril menuju Lembang, Bandung Barat.
Udara di Bandung cukup segar, menurutku. Jalanan tak macet, tapi merambat. Saya berhasil menempuhnya dengan tempo 45 menit . Sepanjang jalan berdoa semoga nggak kenapa-kenapa di kota orang ini, haha.
Menuju Lembang ternyata tak seruwet ekspektasi. Jalan cukup mudah dan sepanjang jalan Setiabudhi lengang karena bukan saat liburan. Penginapan yang sudah aku pesan lewat Airy Rooms berada di jalan raya Lembang-Bandung, dan kebetulan juga hanya berjarak 500 meter dari tempat wisata hits Bandung, Farm House!
Maka, tujuan pertamaku hari itu adalah Farm House, dilanjut Observatorium Bosscha dan Floating Market. Jarak antar tempat wisata tersebut pun dekat.

1. Farm House, Susu Lembang
Seperti apa sih tempat wisata paling hits di Bandung ini? Oh, yang bikin hits itu ternyata....pengunjung dapat menyewa baju tradisional ala-ala Belanda, lalu diposting di instagram atau pet dengan hestek #holland , huahahaha.
Madu Beraneka Rasa dengan Jar yang Unik di Farm House
Ya memang, suasana Farm House yang dibangun dengan arsitektur Eropa pun menjadi andalan selfie pengunjung. Jangan heran ya banyak tongkat-tongkat narsis beterbangan sana-sini :D
Hanya dengan 20 ribu rupiah tiket masuknya, pengunjung dapat masuk ke Farm House dan tiketnya dapat ditukar dengan sosis atau susu yang beraneka rasa . Nggak hanya sewa baju Holland, tapi juga ada rumah hobbit yang ramenya naudzubillah ngantri kalau mau foto walaupun bukan saat liburan....
Seperti Pedesaan di Eropa


Gembok Cinta, dijual sepuluhribuan. 


Karena malas ngantri foto di rumah Hobbit, maka pikiranku mulai tergelitik untuk ikutan sewa baju Holland, dasar cewek, biar kelihatan cantik sedikit saat foto harus modal ya!
Sewa baju Holland dengan biaya 75 ribu selama satu jam saja. Wuah, mahal juga, pikirku. Tapi tetap aku sewa saja bajunya. Di bagian rok, ada kawat penyangga agar mengembang. ah, semakin susah melangkah nih! Tapi namanya cewek, apapun dilakukan demi berfoto !
Masih dengan tripod, kesana kemari saya berfoto pakai tripod dan self timer. Memang menyusahkan, terkadang blur atau terganggu orang lewat, tak hanya itu juga, mungkin pemikiran orang-orang seperti ini : "Kasihan ya, cewek ini jalan-jalan sendirian..."
Saranku sih, pergi ke Farm House jangan saat peak season atau liburan sekolah, dijamin sesak ! Kemarin waktu hari efektif sekolah saja menurutku masih ramai. Oh ya, di sana juga ada hewan-hewan yang dikandangin dan bisa nyobain kasih susu ke anak sapi di area petting zoo nya.

2. Observatorium Bosscha
Siapa yang ingin ke Bosscha gara-gara nonton Petualangan Sherina hayo angkat tangan ! Ya, termasuk saya sendiri sih, hehe.
Memang, keinginan itu sudah terpendam lamaaaaa sejak jaman SD. Apalagi saat Sherina melihat Bintang yang namanya Vega, Capella, haha. Kok jadi baper ya?
Petualangan Unesia
Senyampang lagi di Lembang, saya sempatkan mengunjungi Bosscha dengan penuh pengharapan bisa sekedar lihat atau bahkan mengelus-elus teropong Zeiss tersebut.
Menuju Bosscha, saya sempat kebingungan dan kebablasan sampai di pusat kota Lembang. Dan setelah bertanya berkali-kali, maka saya baru sadar kalau menuju ke Bosscha masuk jalan kecil yang bernama Jalan Peneropongan Bintang. Oh... *facepalm*
Suasana menuju Bosscha seger, karena masih berupa hutan, dan jalan sedikit menanjak sejauh 800 m an. Untuk pengunjung yang membawa bus atau mobil, tidak bisa dibawa masuk ke lokasi, jadi harus berjalan dari jalan utama.
Awal masuk, saya bertemu dengan dua penjaga, satunya ramah, dan satunya sedikit galak. Kenapa kusebut sedikit galak?  Karena, mukanya sedikit serem, lalu menginterogasiku dengan banyak pertanyaan yang terkadang kurang penting juga. Tapi setelah saya jelaskan kalau jauh-jauh dari Kalimantan Timur untuk melihat Bosscha (saya sering mengaku dari Kaltim agar terasa sedikit spesial atau bahkan iba) mereka akhirnya sedikit melunak, mengijinkanku lihat-lihat tapi jangan lama-lama katanya.
Ah, aku melanggarnya. Aku malah termenung lama disana, menghirup udara segar sembari melamun, mengasingkan diri. Observatorium saat itu tak dibuka, pengunjung umum hanya dipersilakan masuk hari Sabtu ataupun Minggu.

3. Floating Mart

Perut mulai terasa lapar, karena masih terlalu awal untuk kembali ke penginapan aku memutuskan untuk mengunjungi satu destinasi lagi, yaitu Floating Market, Lembang. Menurut survei disana dijual banyak makanan. Oke! Lanjut.
Perjalanan kesana pun tak seberapa mulus, aku yang tak mengetahui kalau jalan hanya diperbolehkan satu arah, aku buat dua arah dengan pedeny. Otomatis, pengendara motor dan mobil yang melintas pun mengutuk ulahku hingga meneriaki aku habis-habisan, awalnya aku bingung, tapi aku baru sadar, dimana kesalahanku. (untung tidak ada polisi yang melintas)
Di Floating Market aku hanya membeli seporsi karedok, kebanyakan yang dijual makanan khas Sunda diatas perahu-perahu yang terapung. Dan alat tukarnya adalah koin yang dibagi dalam beberapa pecahan rupiah, dapat dibeli di loket terdekat dan tidak dapat diuangkan kembali.
Koin yang Dijual
Floating market tampaknya memang didesain sebagai tempat liburan keluarga. Banyak pondok-pondok yang disewakan, tempat outbond anak, mini zoo, Kampung Leuit, juga ada rumah diatas air yang bernuansa Jepang. Tak hanya itu, ternyata pondok-pondok itu pun menyewakan baju tradisional Jepang dan Korea. Mau ikutan sewa, tapi hari sudah beranjak malam dan hasil foto pasti kurang bagus juga, maka aku mengurungkan niatku.

Nuansa Jepang

Trip setengah hariku berakhir juga pada pukul 18.30 WIB, semoga hari esok lebih menyenangkan ya! Bersambung.....
0
Share
Jakarta; ibukota negaraku sukses menjadi salah satu kota pertama yang masuk kedalam daftar unplanned journey ku tahun ini.
Semua terjadi karena cuti tahunan yang semula tinggal 5 hari, dan berencana dihabiskan pada bulan April, harus rela terpotong semuanya pada bulan Januari akhir, karena alasan sebuah organisasi diluar kepentingan pekerjaan. Ya, mirip seperti kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa, tapi ini tingkat korporat, semacam serikat buruh untuk memperjuangkan hak yang dianggap bisa melemahkan perusahaan.
Karena merupakan kepentingan diluar kedinasan, maka 'diwajibkan' bagi peserta untuk mengambil cuti selama empat hari (dua hari berjuang, dua hari perjalanan dari Bontang-Jakarta), karena sisa lima hari, maka aku habiskan sekalian, perihal sisa libur mau dibawa kemana bisa dipikirkan seketika (itu salah satu kelebihanku, arrange jadwal liburan tak sampai lima menit)
Apakah Une menyesal telah menghabiskan cutinya dengan unplanned condition seperti ini? Jawabannya tidak, tentu saja tidak! Kegiatan bersama serikat buruh menambah banyak ilmu dan teman baru, saya berpikir positif saja, tak menganggap perampasan hak cuti haha. Yah, walaupun banyak yang menyayangkan cuti terbuang, tapi aku yakin, setiap waktu pasti ada pengalaman yang menarik!
Hal-hal yang menarik itu tampaknya terjadi juga di Jakarta. Selama di ibukota, saya menginap di hotel Ibis di daerah Harmoni, ya, ditengah kota. Dari kamarpun bisa melihat kerlip kesibukan kota yang padat hingga pucuk emas Monas. Suasana yang bertolak belakang dengan Bontang, kanan kiri banyak kedai makanan yang menggiurkan !
Pos Bergaya Neo Renaissance
Jarak menuju kota tua dari kawasan Harmoni tak jauh, hanya sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor (saat itu plat genap yang diijinkan melalui jalan besar, jadi cepat). Karena suasana agak gerimis dan malam mulai merambat, saya order Go-Car hanya 12 ribu rupiah.
Museum Fatahillah
Bukan Penunggu

Sepanjang jalan, saya dan sopir Go Car ngobrol dan ternyata ketahuan bahwa dia seorang pendaki gunung pula, tak hanya pendaki gunung, tapi juga perantau bersama keluarga kecilnya. sejak tahun 2015 ia kembali ke kampung halamannya (Jakarta) dan bergabung bersama Go-Car.
Saya berhenti di halte Fatahillah, lalu berjalan menuju jalan Pintu Besar yang dipenuhi dengan penjaja makanan dan deretan bangunan tua. Disini tripod pun mulai dipersiapkan, mulai untuk solo night cityscape hunting. 
Jakarta sejatinya tak pernah tidur, malam hari Kota Tua pun dipenuhi warga Jakarta yang sekedar berfoto , street hunting ataupun berjalan berdua. Seperti biasa saya seorang diri, mencari spot unik yang menarik untuk diabadikan, dan sayang untuk dilewatkan. Artis-artis jalanan pun berunjuk gigi, mulai dari mendendangkan lagu, melukis tato, atau lukis wajah.
Cafe Tua

Sudut-sudut Kota Tua
Museum Wayang
Dari banyaknya situs kuno bergaya Neo Renaissance yang dirombak menjadi kafe, hanya satu kafe yang menarik perhatianku, yaitu cafe Batavia. Dari dalam terdengar live music yang bendentum merdu, aku sedikit ragu untuk masuk kedalamnya, namun akhirnya aku memantapkan langkah untuk masuk kedalamnya.
Sengaja aku memilih duduk dilantai dua agar bisa melihat hiruk pikuk Kota Tua saat malam. Interior di cafe Batavia sangat klassik, ditambah lukisan-lukisan tua, kursi etnik, peralatan makan yang serasa kembali di jaman penjajahan Eropa (memangnya tahu gimana jaman penjajahan Eropa gimana?) serta menu-menu yang tergolong unik untuk makan malam (harganya pun cukup pricey)
Karena memang  sudah makan malam, aku memilih menu ringan, seperti jus jeruk dan mushroom cream soup. Sembari menunggu makanan disajikan, aku menatap hamparan langit yang bersemu kemerahan di Jakarta, serta celoteh anak-anak riang dibawah sana. Ah, aku begitu menikmati waktu-waktu kesendirianku disana. Seandainya dia...
Cafe yang Bikin Penasaran
Candle Light Dinner....sama Tripod

Tring ! gawaiku berbunyi, oh, baru saja aku membayangkan dia disini, ternyata pesan dari dia yang tersayang menggugah kesendirianku. Hanya sekedar menyapa saja berhasil membuatku tersenyum manis tak karuan. Aku segera berkomunikasi dengan dia, menceritakan suasana yang kualami malam ini walau hanya fitur chat di gawai, dan akhirnya tak memperhatikan lagi langit kemerahan Jakarta. 
Satu lagi, makan di Cafe Batavia cukup memperhatikan table manner, aku cukup kebingungan karena terbiasa makan tidak dengan alat selengkap ini di kampung, hahaha....
Sekembalinya dari Kota Tua sekitar pukul 21.30 WIB, benar saja, kejadian menyenangkan akhirnya terjadi hari ini, di Jakarta, kota kesayanganmu.
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose