• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Jumat, 6 Mei 2016

Aku terbangun saat air masih pasang. Kecipak penyu terasa dibawah cottage. Aku berlari ke dermaga hendak mengabadikan sunrise, sayang tertutup awan kelabu. Tak habis akal, aku tetap berselfie ria yang merupakan ritual wajib saat traveling masa kini :)
Rencana kami hari ini adalah hopping island ke Gusung, Maratua, Kakaban dan Sangalaki. Aku sih pengennya explore ke tempat yang unik seperti goa Haji Mangku, snorkeling di palung laut atau mengunjungi hidden Lagoon. Tapi sayang, karena kita ikut satu rombongan kapal, jadi destinasi sudah ditentukan oleh pihak kapal, yaitu ke Gusung, Maratua, Hidden Lagoon Kakaban, danau ubur-ubur Kakaban, dan Penangkaran penyu di Sangalaki. Kita bertemu dengan dua cewek PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) yang area kerja di Jawa. Mereka mengaku bingung mencari tumpangan kapal karena menurutnya habis kena tipu open trip. Jadi hanya diakomodir dari Tarakan menuju Derawan, sesampainya di Derawan mereka ditelantarkan. "Sudah uang tak kembali, kecewa yang didapat," akunya. Hati-hati pilih open trip ya, pilih yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan !
Jadinya kita jalan bareng selama hopping island. Tak kusangka salah satu dari mereka adalah teman angkatan si Ikhwan :D
Gusung yang namanya terlupakan -_-
Derawan-Derawati

Tujuan pertama adalah Gusung. Gusung hanyalah gundukan pasir yang timbul saat air laut surut. Karena pengunjung lagi rame, (saat itu ada sekitar 30 pengunjung) jadi kita kurang bebas dan puas untuk explore lebih. Bagus sih, karena airnya jernih dan menggemaskan !
Resort di Maratua konon pemiliknya adalah warga asing
Airnya sedang surut dan keruh
Maratua
Spot selanjutnya adalah Maratua. Disini kita tidak dianjurkan snorkeling karena banyak terdapat lion fish yang beracun. Menurut gambar-gambar yang aku lihat, Maratua memiliki air yang sebening kristal. Tapi sayang kondisi lagi surut dan keruh karena banyaknya pengunjung yang ngubek-ubek air laut -_-
Dari Maratua tapi belum ketemu Mertua #ooh

Di Maratua juga terdapat goa Haji Mangku, tapi sayangnya kami tidak mendapat kesempatan explore lebih kesana. Huh, kalau ada kesempatan lagi aku harus kesana !
Setelah dari Maratua, kita mengunjungi Hidden Lagoon. Menuju Hidden Lagoon di Kakaban bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu basah-basahan melewati gua atau kering-keringan melalui tangga yang sudah disediakan. Sudah bisa ditebak Une lewat yang mana dong, ya jelas lewat gua awalnya, lalu pulangnya lewat tangga! Haha, pergerakanku cukup terhambat karena pakai rok lebar.
Di Hidden Lagoon kami sempat makan siang karena waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
Danau ubur-ubur menjadi tujuan selanjutnya. Disana juga terdapat palung laut dengan terumbu karang yang indah ! Tapi lagi-lagi sayang, banyak kapal bersandar di daerah palung laut menyebabkan pengunjung kesulitan untuk snorkeling disana. Cuaca di Kakaban mendung pekat, apalagi jalan menuju danau Kakaban harus trekking menembus hutan rapat sejauh 500 m, jadi didalam terasa makin gelap...
Kakaban, sempat hujan deras dan aku terpeleset saat hendak menaiki boat

Kekhawatiranku pun terjadi. Belum sempat masuk kedalam danau ubur-ubur, hujan mengguyur dengan derasnya. Pengunjung kocar-kacir mencari shelter terdekat. Aku panik, tak membawa dry bag dan kameraku hanya terlindung tas yang tak anti air. Dalam kondisi seperti ini aku lebih mementingkan Nex 6 ku, bagaimana caranya agar ia tak kehujanan konyol...
selang 10 menit hujan reda, aku kembali snorkling dan melihat ubur-ubur berwarna jingga dan transparan menari-nari dalam air dan sekenyal konyaku kalau dipegang.Mau berfoto dalam air, eh baru ingat nggak punya underwater camera. Difotoin instrukturnya, tapi fotonya nggak tersalin selamanya, hadeuuh... :(
Oh iya, pantangan saat berenang di danau ubur-ubur yang wajib dipatuhi :
1. Jangan pake lotion atau bahan kimia di tubuh sebelum nyemplung, ubur-uburnya bisa mabuk
2. Jangan menarik, melukai atau mengeluarkan spesies dari dalam air, kasihan tahu !
3. Dilarang berenang pakai fin, takutnya melukai ubur-ubur. Karena lunak, jadi mudah hancur. Kecuali bagi instruktur yang sudah pengalaman.
Sayang eh sayang...karena hujan turun saling menyusul jadinya aku belum sempat foto sepuasnya di Kakaban.
Sangalaki

Tentang Perpenyuan :)

Bayi Penyu : Pengen Kubawa Pulang Tapi itu Dilarang :D
Pantai di Sangalaki
 Destinasi terakhir adalah pulau Sangalaki yang merupakan tempat penangkaran penyu dan segala ilmu tentang pe-penyu-an ada disini. Pantainya sih biasa saja, cuma kalau agak ketengah sedikit kita bisa menemukan air yang sangat jernih hingga terlihat terumbu karang di dasar laut.
Trek untuk melihat anak penyu

Dari sini kita bisa melihat manta point, turtle point, sayang tak terlihat semua :( Yang terlihat adalah sisa-sisa pembiasan air hujan yang sangat indah, Pelangi.
Die Regenbogen auf Sangalaki

Harusnya disini kami bisa melihat manta dan penyu keliaran, tapi pada ngumpet :(

Perjalanan hari ini akhirnya usai. Kembali ke Derawan dari Sangalaki sekitar 45 menit dengan speedboat. Kami berencana langsung kembali ke dataran Kalimantan hari ini juga. Sampai di Derawan, mandi sebentar, membayar uang sewa kapal hopping island perorang lima ratus ribu rupiah dan kembali ke Tanjung Batu dengan speedboat. Kembali bersua dengan daratan pukul 18.30 WITA, jadi kami hanya memiliki waktu 24 jam di Derawan.
Auf widersehen Derawan-Derawati! Maafkan daku yang belum sempat nyobain tehe-tehe *ketan bulu babi* ya !
(Di Berau kami menginap semalam untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Muara Wahau keesokan harinya)

Saran menuju kesana :
1. Kontak dulu penginapan atau kapal yang tersedia. Apalagi kalau peak season, khawatir full booked. Hubungi Fauzi Helmi : 081326111990
2. Bawa sunblock, tapi bilas sampai sebelum masuk danau Kakaban
3. Jangan sakiti spesies khas daerah sana.
4. Berkreasilah dan hasilkan foto-foto yang unik dan beda dari yang lainnya !
5. Filter circular polarizer dan lensa fish eye mantap jaya dipakai hunting landscape.
0
Share
Masih terekam jelas dalam ingatanku, banyak kawan yang mengajakku liburan selama tanggal merah (tanggal 5 Mei hingga 8 Mei), sebut saja mendaki Arjuno Welirang, Exploring Goa di Jogja, hingga menghabiskan waktu di kepulauan paling eksotis di Kaltim, yaitu kepulauan Derawan di Berau.
Karena diriku tak bisa membelah diri, maka kuputuskan untuk mengambil satu keputusan yang bisa menyelamatkan liburanku, yaitu exploring Derawan sama kawan-kawan PLN unit tempatku bekerja.
Daaaan....liburanku akhirnya terselamatkan!
Liburan kali ini disponsori oleh teman-teman PLN Muara Wahau, karena transport dari Bontang ke Berau gratis,tis !
Perjalananku dimulai dari tanggal 4 Mei, Mas Dodi, bos PLN Muara Wahau yang setiap awal bulan ke Bontang untuk laporan bulanan mengajakku barengan ke Berau. Banyak kawan yang kuajak serta dalam trip kali ini, tapi karena ada yang beralasan bokek atau shift hari itu juga, maka kami nggak bisa memaksanya.
Perjalanan dari Bontang dimulai pukul 22.30 WITA, rencana kami stay dulu satu malam di PLTD Muara Wahau, lalu paginya lanjut ke Berau. Perjalanan ke Muara Wahau dari Bontang membutuhkan waktu sekitar 5 jam.

Kamis, 5 Mei 2016
Ternyata paginya masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan di Muara Wahau, seperti inspeksi jaringan dan pemasangan LBS Motorized. Jadi berangkat menuju Berau sekitar pukul 10 siang. Peserta trip dalam satu mobil adalah aku sendiri, Ikhwan dan Bos Dodi.
Menuju Berau lewat kecamatan Kelay, salah satu kecamatan yang menurutku kecamatan terindah. Bagaimana tidak, sepanjang Kelay kami disuguhi dengan pemandangan hutan hujan tropis yang masih rapat, bukan bukit-bukit yang digunduli untuk penanaman sawit. Kelay merupakan daerah yang ingin aku kunjungi di Kaltim, karena penasaran dengan kampung Merabu dibalik bukit karst. Kalau sempat sih pulangnya insyallah mampir :D
Perjalanan ke Berau dari Muara Wahau membutuhkan waktu sekitar empat jam dengan perjalanan yang berkelok-kelok tapi kondisi jalan sudah mulus. Agar tak bosan sepanjang perjalanan maka kuisi dengan selfie. Harap berhati-hati melewati Kelay karena banyak pohon tumbang yang melintang di jalan. Di Berau kami sempat isi bensin kendaraan dan isi bensin untuk perut, lalu lanjut perjalanan ke Pelabuhan Tanjung Batu yang merupakan pelabuhan untuk menyebrang ke Derawan.
Menuju Tanjung Batu dari kota Berau membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Sampai di Tanjung Batu parkir mobil penuh dan banyak pengunjung yang lesehan di sekitar dermaga. Aku tanya salah satu dari mereka, mereka menjelaskan bahwa tidak kebagian penginapan di Derawan. Jadi mau menginap di Tanjung Batu atau membatalkan rencana ke Derawan.
Hah? Batal? Sudah sejauh ini dan membatalkan sebuah rencana yang sudah disusun sejak dulu? 
Ya, memang saat ini adalah peak season, dimana kapal dan penginapan hampir full booked, jadi usahakan booking dahulu sebelum menuju ke Derawan. Beruntung kami cuma tiga orang dan masih kebagian satu cottage plus extrabed di cottage milik Pak Sanusi, salah satu karyawan PLN di Derawan. Padahal opsinya kami  bakal nginap di PLTD Derawan kalau nggak dapat penginapan.

Untuk menuju Derawan bisa dengan speedboat sekitar 30 menit, sekali sewa tiga ratus ribu rupiah dengan speeedboat kecil kapasitas 4 orang.
Senja

Bersama senja
Kami dapat menikmati sundowner selama perjalanan dengan tubuh terbanting-banting hebat. Muka yang menggaram karena terpercik air laut, bau anyir yang tercium dan pukulan angin laut yang bertubi-tubi menghajar muka. Kami mencapai Derawan pas saat Golden Hour, dimana sundowner memberikan semburat terbaiknya. Aku sibuk mengabadikan keindahannya dengan ponsel hingga lupa kalau carrierku akhirnya dibawakan si Ikhwan.
Siapa yang tak tergoda?
Kejernihan Airnya :)

Siapa yang tak terbius oleh kejernihan lautnya? Oleh keramahan penduduknya? Atau kecipak penyu yang menggemaskan? Atau golden sundownernya? Taburan bintang yang mempesona? Ah, Derawan memang luar biasa mendamaikan bagi setiap pengunjungnya. Malam itu setelah makan malam di cottage Pak Sanusi, kami duduk santai dan terkadang menengadah ke langit raya, berusaha mengabadikan bintng dengan long exposure sambil mati-matian menahan nafas agar kamera tak bergeser. Sekedar tebak-tebakan rasi bintang, menghitung jumlah bintang yang jatuh atau bercerita tentang beberapa rutinitas menggelikan di kantor. Desau angin malam tak kami rasakan, hingga ada tawaran untuk melihat penyu bertelur.
Dermaga tempat kami bercengkerama

Untuk menuju site penyu bertelur kami harus berjalan sejauh 800 m melewati perkampungan penduduk. Kondisi di Derawan sedikit mirip dengan Gili Trawangan. Ada penyewaan sepeda dari jenis city bike hingga fat man, penyewaan alat snorkel, homestay, bedanya tak ada bar dan kafe dengan musiknya yang berdentam-dentam memekakkan telinga disini, tak ada minuman keras (karena mayoritas pengunjung masih domestik), tak ada cidomo dan kendaraan bermotor masih diperbolehkan.
PLN Derawan
Kami melewati makam nisan kuda yang dikeramatkan. Malam-malam seperti ini rasanya makin angker, haha. Tak lama kemudian kami melewati PLN Derawan dan komplek solar cell-nya yang sangat luas !

Cottage milik Pak Sanusi : incl breakfast and dinner
Tampaknya site penyu bertelur di dekat PLN Derawan. Kami tak diperbolehkan membawa sumber cahaya dikhawatirkan penyu yang akan bertelur jadi nggak khusyuk #halah. Ternyata disana sang ibu penyu masih belum bertelur, ia masih menggali pasir untuk meletakkan telur-telurnya. Jadinya kita hanya melihat penyu-penyu bayi yang diletakkan di ember. Alasannya agar tak dimangsa predator di laut lepas. Masih bayi, takut belum bisa beradaptasi dan tak bisa melindungi dirinya sendiri.
Baby Turtle :3

Gerimis tiba-tiba mengguyur, waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WITA. Itu tandanya kami harus segera mengistirahatkan tubuh untuk menyambut petualangan di hari kedua !
bersambung........

0
Share
Tampaknya benar kata orang-orang, kalau kita meninggalkan suatu tempat pasti tempat yang kita tinggalkan akan menjadi lebih baik dan lebih dikenal. Sudah kubuktikan sendiri, mulai dari sekolah hingga kota tempat aku dibesarkan, Lumajang.
Dulu Lumajang hanyalah sebuah kota kecil yang tak banyak orang tahu. Mata dunia pariwisata Indonesia mulai terbuka akan Lumajang sebab hadirnya berbagai destinasi wisata cantik, sebut saja B29, Semeru, hingga Air Terjun Tumpak Sewu. Semua sudah pernah dipublikasikan melalui acara-acara di televisi, dan seperti biasa karena faktor 'harga diri' atau 'devisa' maka kabupaten-kabupaten yang berbatasan langsung dengan Lumajang menjadi saling berebut dan saling klaim.
Epic, Wow !. In frame : Kijink
Impianku menuju Tumpak Sewu sebenarnya mulai dari tahun 2015 lalu, tapi karena faktor waktu maka rencana tak kunjung terealisasikan. Tahun ini aku bertekad untuk mewujudkannya.
Setelah melakukan perundingan di G Suites beberapa hari yang lalu, maka teman angkatan kuliahku, sebut saja Kijing sangat tertarik mengunjungi Tumpak Sewu dan berencana mengunjunginya dalam waktu minggu ini. Rencananya sangat didukung oleh emak traveler. Ya, emakku sangat senang kalau ada temanku datang dan mengunjungi tempat wisata di Lumajang.
Jadilah hari Sabtu, satu hari sebelum kepulanganku ke Bontang kami bertiga (Aku, Kijing dan Mega) berangkat menuju Tumpak Sewu dengan sepeda motor. Dari rumahku (Sukodono) menuju Pronojiwo, tempat Tumpak Sewu berada dapat ditempuh selama 2 jam dengan motoran santai. Perjalanan menuju kesana....ah aku benar-benar menikmatinya. Bagaimana tidak, rekahan Semeru dengan awan panasnya, hutan, sawah, laut selatan, alam...terasa begitu menyenangkan.
Desa Pronojiwo merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Malang, kecamatan Dampit.
Menuju Tumpak Sewu mudah, petunjuk cukup jelas, jadi tak mungkin tersesat. Disana kita sudah ditunggu oleh guide lokal, panggil saja cak Dul yang merupakan anggota Pok Darwis (Kelompok Sadar wisata). Memang sih nggak pake guide bisa, tapi aku juga belum tahu medan dan ingin membantu perekonomian mereka. Tarifnya 50 ribu per orang.
Ini lho yang disebut Panorama
Menurut Cak Dul sih, untuk turun ke air terjun memang seharusnya pakai guide, karena dikhawatirkan pengunjung tak mengetahui kondisi air yang tiba-tiba pasang atau debit air yang meningkat. Ia juga bercerita tentang anak Malang yang sempat jatuh dari tebing gara-gara selfie.  Tubuhnya ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi baju hancur tercabik-cabik derasnya air. Sejak saat itu pengunjung dilarang menikmati pemandangan dari tebing.
Trekking menuju Tumpak Sewu dari tempat parkir sekitar 45 menit. Lima menit awal kita dapat melihat panorama tumpak sewu dari ketinggian.
Susur sungai

Perjalanan menuju Tumpak Sewu haru melewati celah tebing seperti ini
Karena rasa penasaran yang amat sangat, tak berlama-lama kami segera turun kebawah. Jalan turun curam walaupun sudah disediakan tangga dan pegangan dari bambu oleh warga sekitar. Kalau meleng sedikit dipastikan bisa terpeleset konyol, apalagi kita sempat basah-basahan sepanjang perjalanan.
"Baru kita publikasikan sekitar dua tahun yang lalu langsung rame, mbak," Cak Dul membuka pembicaraan. "Dulu orang-orang Belanda sering kesini kata embahku. Orang sini juga tiap hari ngarit (cari rumput buat ternak) di Tumpak Sewu juga biasa aja."
"Biasa saja apanya cak, wong keren banget kayak gini," Timpalku.
"Ya keren karena jalan-jalan sudah menjadi wabah."
Setelah sampai dibawah, kita ditarik biaya lagi lima ribu dan uang penitipan dua ribu. Cak Dul mengatakan bahwa itu adalah pihak ilegal dari kabupaten sebelah, buronan polisi. Seharusnya tak boleh ada pungutan lagi dibawah, pihak Pok Darwis sudah menindak tegas tapi tak bertahan lama.
Ah, Indonesia. Ada tempat wisata bagus sedikit langsung jadi sasaran pungutan liar. Miris.
Kalau mampir ke Tumpak Sewu, ambil gambar kayak gini ya! Epic !
Agak blur karena lensa terciprat air
Jangan mendekat ke air terjun, sakit !


Realisin ajah !

Capture a dreamland troughout fish eye lens !
Setelah susur sungai dan melawan arus, wajah kami disejukkan oleh percikan Tumpak Sewu. Aku berteriak sambil menengadah, berlari sana-sini sambil mencari spot terunik, tak peduli Nex 6 ikut kedinginan dan menjadi demam, yang penting gambar terbaik.

Indah, sungguh aku tak berbohong. Ribuan sumber air jatuh berdebam serempak, Untaian air membentuk tirai, suara berdebam-debam bersahutan, sorak sorai pengunjung sambil berfoto hingga perang tongsis yang tak terelakkan. Lelah hilang seketika. Sungguh, ini air terjun terindah selain Madakaripura.
Foto-foto sebelum hujan deras mengguyur. In Frame : Mega
Pulang via jalur Gua Tetes tetap susur sungai sepuasnya

P-U-L-A-N-G
Telaga ini mengandung kapur
Dua jam kita berada di tumpak sewu, kita akhirnya memutuskan untuk pulang lewat jalur Goa Tetes agar mendapat view yang berbeda. Tak lama kemudian hujan turun, Cak Dul menginstruksikan agar jalan lebih cepat untuk mengantisipasi air pasang. Trekking pulang lewat Goa Tetes memang sedikit jauh dan memakan waktu sekitar 1 jam lebih. selain itu tipikal trekking yang harus berani basah-basahan karena harus mendaki dan menyebrang air terjun yang bertingkat dan batu-batuan yang licin, jadi harus ekstra hati-hati.



Jangan menantang alam

Air terjun berundak seperti ini harus dilalui
Perjuangan Keras
Perjalanan pulang : Cak Dul yang membawakan tasku agar aku bisa berjalan leluasa
Karena hujan jadi kami sempat berteduh beberapa kali, jalan menanjak cukup menguras energi. Setelah sampai diatas, tak berlama-lama kami segera mohon diri, karena Kijink, teman dari Surabaya harus segera ke terminal agar tak ketinggalan bus.
Peserta trip kali ini :D
Satu hari yang tak terlupakan, walau keesokan harinya aku pegal luar biasa tapi tetap harus melanjutkan perjalanan ke Bontang untuk mencari nafkah buat nulis postingan selanjutnya :)
0
Share
Emak traveler, iya emakku asli traveler. Cuti kali ini disponsori oleh emak traveler. Dari situ aku berfikir kalau nikah muda itu enak, dimana usia ibu dan anak tidak terpaut terlalu jauh jadi emaknya masih punya jiwa muda dan masih punya jiwa dan kekuatan buat traveling. *eaa yang mau nikah*
Cuti di bulan April, Emak tiba-tiba ngajakin jalan ke Bangkalan, Madura dengan alasan untuk mengasah bakat fotografiku dan gara-gara penasaran lihat foto-foto di instagram yang hits di bukit kapur. Ya aku iyakan saja karena gen traveler yang diturunkan dari emak. :D
Jadinya emak yang menyusun itinerary dan budgetnya. Peserta tour emak adalah aku, emak sendiri dan nenekku pahlawanku.  Tak ketinggalan emak dan nenekku pakai kacamata hitam biar nggak kepanasan *nggak sekalian sunblocknya toh mbah*
Tujuan yang telah dibikin emakku semuanya di Kabupaten Bangkalan, kabupaten yang terdekat dari Surabaya (ditempuh sekitar 1 jam saja). Adapun tujuan yang dituju adalah Bukit Kapur Jaddih, Bukit Kapur Arosbaya, Mercusuar Sembilangan, dan Bebek Goreng Sinjay. Hebat juga emakku bisa tahu destinasi-destinasi wisata di Madura dan sekitarnya. 
Berangkat dari rumah nenek sekitar jam 7 pagi, antisipasi biar nggak kepanasan di Madura. Kebetulan rumah nenekku di daerah Demak, nggak terlalu jauh dari Suramadu. Jalanan pagi lancar, lewat Tanjung Perak, JMP, Kembang Jepun, lalu kearah Kenjeran dan masuk Suramadu.
Terakhir aku melewati Suramadu saat kelulusan SMA, kondisi Suramadu tak berbeda jauh dengan dulu, cuma banyak coret-coretan di badan jembatannya.
Bukit Kapur Jaddih
Kondisi Jaddih
Papan petunjuk 
Dari Suramadu ke Jaddih sekitar 30 menit, kondisi jalan sudah bagus. Kami tak mengandalkan GPS, tapi mengandalkan orang-orang di sekitar jalan. Bukit Kapur Jaddih berwarna putih, banyak penambang kapur disana. Walaupun masih pukul setengah sembilan, tapi panas sudah terasa. Debu akibat aktivitas penambangan kapur beterbangan. Eskavator dan truk lewat bergantian. Bukit Kapur Jaddih sendiri telah berlubang dan membentuk pola-pola garis akibat aktivitas penambangan. Disana juga terdapat kolam renang yang dikelilingi bukit kapur. Tiket masuk ke Bukit Kapur Jaddih? Sekitar lima belas ribu perorang. Bagiku cukup mahal karena pemandangan juga tergolong biasa saja.
Sisi Lain

Tak lama berada di Bukit Kapur Jaddih, kami bertolak ke bukit kapur Arosbaya.  Menurut gambar-gambar yang beredar di dunia maya, Arosbaya lebih menarik perhatianku. Tapi entahlah, apa arti sebuah gambar ~
Aku dan Emak traveler, Anaknya kalah Gaul
Saat itu suasana lagi mendung. Jadi langit tampak putih

Relief unik membuatku seakan terdampar di planet
Perjalanan menuju Arosbaya cukup jauh juga, sempat beberapa kali kita bertanya pada penduduk setempat. Mereka mengarahkan kami ke pesarean (makan) Aer Mata Ebu, di Desa Buduran Bangkalan. Disana kita menemukan Gapura bertuliskan Aer Mata dan tangga menuju pesarean. Untuk menuju bukit kapur Arosbaya, kita masuk ke gang kecil yang penuh dengan rumah-rumah warga. Celakanya, kita bawa mobil jadi agak susah masuk kedalamnya.
Kalau retouch dikit pasti tonal warna lebih bagus !

Sesampainya di lokasi, kami langsung ditarik tarif parkir mobil tigapuluh ribu. Benar-benar ugal-ugalan, tarif motor hanya dua ribu dan untuk mobil limabelas kali lipat? Luar biasa!
Itu baru parkir, masuk kedalam masih ada tarifnya dua puluh ribu per rombongan, haha. Aku sih ikhlas dan niat untuk membantu warga sekitar aja :D
Exotic !
Tips : gunakan lensa fish eye untuk hasil yang memukau

Spot Goa yang Paling Kusuka
Tangga yang berasal dari kreasi tangan manusia
Untuk bukit kapur Arosbaya kapur berwarna coklat, berbeda dengan Jaddih yang Berwarna putih, uniknya hasil penambangan warga membentuk ukiran dan relief lubang-lubang unik dan menarik untuk diabadikan. Lorong-lorong penuh misteri pun menarik untuk dijelajahi disana.
Seperti di Petra bukan? hihi..

Sekilas aku melihatnya mirip dengan Petra di Yordania, hihi.
Para pemahat 'Petra' Arosbaya

Puas menjelajah spot-spot unit di Arosbaya, saatnya menuju ke Mercusuar Sembilangan. Jujur perut memang sudah kelaparan, tapi emak masih semangat menjelajah, jadinya akupun ikutan semangat buat tahan lapar. Menuju mercusuar Sembilangan dari Arosbaya memakan waktu sekitar 1 jam plus kebingungan mencari jalannya. Harapan bisa selfie pakai fish eye diatas, eh malah mercusuar ditutup gara-gara ada orang foto prewedding saat RI 1 melakukan kunjungan. Mercusuar itu ditutup sampai jangka waktu yang tak ditentukan, menurut cerita penjaga mercusuar yang dibangun oleh ZM Willem  tahun 1888 tersebut.
Sayangnya ditutup :(

Jadinya kita hanya puas berfoto-foto di bawah mercusuar kayak orang hilang, haha :D
Pose jomblo lagi nunggu jodoh >_<

Saat yang ditunggu-tunggu tiba, makan di Bebek Sinjay. Bebek Sinjay adalah bebek goreng khas Madura. Awalnya aku memang nggak suka makan segala jenis olahan bebek, akan tetapi begitu merasakan gurihnya si bebek goreng dan sambel pencitnya, Alhamdulillah, fabi ayyi alaa irabbikuma tukadzibaan :D
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

deutschland INFLIGHT ITALY jakarta Jambi jawa barat JAWA TENGAH jawa timur kalimantan selatan KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis rusia SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Yogyakarta

Popular Posts

  • ABOUT ME
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • White Thread over the Blue Sky…
    Apa itu? Jet? Mungkin itu ekornya jet… Yang kebetulan melintas… Dan mungkin ekornya tuh terdiri dari kumpulan titik-titik uap air...
  • Bonus Race RGIE 2021 : Galau Antigen diatas Bukit Selong, Sembalun
    Pasca final run hari kedua yang kulalui tanpa crash dengan terseok-seok di special stage 3 sekaligus pinalti 11 menit di liaison stage 4 ...
  • Naik Argo Bromo Anggrek Bersama Adik Laki-Laki
    Rekam jejakku dalam hal perkeretaapian tak baik. Tentu saja karena bermukim di luar Sumatera dan Jawa yang sama sekali tak ada alat transpor...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • #2 Babak Kedua Gunung Gergaji : Ingin Segera Pulang (Terakhir)
    Jika 380 hari yang lalu adalah perjalanan bersama engkau yang telah hilang, maka hari ini adalah perjalanan yang membuatku ingin segera pula...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose