Tampaknya benar kata orang-orang, kalau kita meninggalkan suatu tempat pasti tempat yang kita tinggalkan akan menjadi lebih baik dan lebih dikenal. Sudah kubuktikan sendiri, mulai dari sekolah hingga kota tempat aku dibesarkan, Lumajang.
Dulu Lumajang hanyalah sebuah kota kecil yang tak banyak orang tahu. Mata dunia pariwisata Indonesia mulai terbuka akan Lumajang sebab hadirnya berbagai destinasi wisata cantik, sebut saja B29, Semeru, hingga Air Terjun Tumpak Sewu. Semua sudah pernah dipublikasikan melalui acara-acara di televisi, dan seperti biasa karena faktor 'harga diri' atau 'devisa' maka kabupaten-kabupaten yang berbatasan langsung dengan Lumajang menjadi saling berebut dan saling klaim.
|
Epic, Wow !. In frame : Kijink |
Impianku menuju Tumpak Sewu sebenarnya mulai dari tahun 2015 lalu, tapi karena faktor waktu maka rencana tak kunjung terealisasikan. Tahun ini aku bertekad untuk mewujudkannya.
Setelah melakukan perundingan di G Suites beberapa hari yang lalu, maka teman angkatan kuliahku, sebut saja Kijing sangat tertarik mengunjungi Tumpak Sewu dan berencana mengunjunginya dalam waktu minggu ini. Rencananya sangat didukung oleh emak traveler. Ya, emakku sangat senang kalau ada temanku datang dan mengunjungi tempat wisata di Lumajang.
Jadilah hari Sabtu, satu hari sebelum kepulanganku ke Bontang kami bertiga (Aku, Kijing dan Mega) berangkat menuju Tumpak Sewu dengan sepeda motor. Dari rumahku (Sukodono) menuju Pronojiwo, tempat Tumpak Sewu berada dapat ditempuh selama 2 jam dengan motoran santai. Perjalanan menuju kesana....ah aku benar-benar menikmatinya. Bagaimana tidak, rekahan Semeru dengan awan panasnya, hutan, sawah, laut selatan, alam...terasa begitu menyenangkan.
Desa Pronojiwo merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Malang, kecamatan Dampit.
Menuju Tumpak Sewu mudah, petunjuk cukup jelas, jadi tak mungkin tersesat. Disana kita sudah ditunggu oleh
guide lokal, panggil saja cak Dul yang merupakan anggota
Pok Darwis (Kelompok Sadar wisata). Memang sih nggak pake
guide bisa, tapi aku juga belum tahu medan dan ingin membantu perekonomian mereka. Tarifnya 50 ribu per orang.
|
Ini lho yang disebut Panorama |
Menurut Cak Dul sih, untuk turun ke air terjun memang seharusnya pakai guide, karena dikhawatirkan pengunjung tak mengetahui kondisi air yang tiba-tiba pasang atau debit air yang meningkat. Ia juga bercerita tentang anak Malang yang sempat jatuh dari tebing gara-gara selfie. Tubuhnya ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi baju hancur tercabik-cabik derasnya air. Sejak saat itu pengunjung dilarang menikmati pemandangan dari tebing.
Trekking menuju Tumpak Sewu dari tempat parkir sekitar 45 menit. Lima menit awal kita dapat melihat panorama tumpak sewu dari ketinggian.
|
Susur sungai |
|
Perjalanan menuju Tumpak Sewu haru melewati celah tebing seperti ini |
Karena rasa penasaran yang amat sangat, tak berlama-lama kami segera turun kebawah. Jalan turun curam walaupun sudah disediakan tangga dan pegangan dari bambu oleh warga sekitar. Kalau meleng sedikit dipastikan bisa terpeleset konyol, apalagi kita sempat basah-basahan sepanjang perjalanan.
"Baru kita publikasikan sekitar dua tahun yang lalu langsung rame, mbak," Cak Dul membuka pembicaraan. "Dulu orang-orang Belanda sering kesini kata embahku. Orang sini juga tiap hari ngarit (cari rumput buat ternak) di Tumpak Sewu juga biasa aja."
"Biasa saja apanya cak, wong keren banget kayak gini," Timpalku.
"Ya keren karena jalan-jalan sudah menjadi wabah."
Setelah sampai dibawah, kita ditarik biaya lagi lima ribu dan uang penitipan dua ribu. Cak Dul mengatakan bahwa itu adalah pihak ilegal dari kabupaten sebelah, buronan polisi. Seharusnya tak boleh ada pungutan lagi dibawah, pihak Pok Darwis sudah menindak tegas tapi tak bertahan lama.
Ah, Indonesia. Ada tempat wisata bagus sedikit langsung jadi sasaran pungutan liar. Miris.
|
Kalau mampir ke Tumpak Sewu, ambil gambar kayak gini ya! Epic ! |
|
Agak blur karena lensa terciprat air |
|
Jangan mendekat ke air terjun, sakit !
|
Realisin ajah ! |
|
|
|
|
Capture a dreamland troughout fish eye lens ! |
Setelah susur sungai dan melawan arus, wajah kami disejukkan oleh percikan Tumpak Sewu. Aku berteriak sambil menengadah, berlari sana-sini sambil mencari spot terunik, tak peduli Nex 6 ikut kedinginan dan menjadi demam, yang penting gambar terbaik.
Indah, sungguh aku tak berbohong. Ribuan sumber air jatuh berdebam serempak, Untaian air membentuk tirai, suara berdebam-debam bersahutan, sorak sorai pengunjung sambil berfoto hingga perang tongsis yang tak terelakkan. Lelah hilang seketika. Sungguh, ini air terjun terindah selain Madakaripura.
|
Foto-foto sebelum hujan deras mengguyur. In Frame : Mega |
|
Pulang via jalur Gua Tetes tetap susur sungai sepuasnya |
|
P-U-L-A-N-G |
|
Telaga ini mengandung kapur |
Dua jam kita berada di tumpak sewu, kita akhirnya memutuskan untuk pulang lewat jalur Goa Tetes agar mendapat
view yang berbeda. Tak lama kemudian hujan turun, Cak Dul menginstruksikan agar jalan lebih cepat untuk mengantisipasi air pasang. Trekking pulang lewat Goa Tetes memang sedikit jauh dan memakan waktu sekitar 1 jam lebih. selain itu tipikal trekking yang harus berani basah-basahan karena harus mendaki dan menyebrang air terjun yang bertingkat dan batu-batuan yang licin, jadi harus ekstra hati-hati.
|
Jangan menantang alam |
|
Air terjun berundak seperti ini harus dilalui |
|
Perjuangan Keras |
|
Perjalanan pulang : Cak Dul yang membawakan tasku agar aku bisa berjalan leluasa |
Karena hujan jadi kami sempat berteduh beberapa kali, jalan menanjak cukup menguras energi. Setelah sampai diatas, tak berlama-lama kami segera mohon diri, karena Kijink, teman dari Surabaya harus segera ke terminal agar tak ketinggalan bus.
|
Peserta trip kali ini :D |
Satu hari yang tak terlupakan, walau keesokan harinya aku pegal luar biasa tapi tetap harus melanjutkan perjalanan ke Bontang untuk mencari nafkah buat nulis postingan selanjutnya :)
No comments:
Post a Comment