• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Sekarang sumber air su dekat,
Beta sonde terlambat lagi,
Lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik,
Karena mudah ambil air, katong bisa hidup deng sehat.
Bapak ikut urus air deng bapak desa….

Cuplikan iklan air mineral beberapa tahun lalu yang menceritakan tentang susahnya mendapatkan air di daerah Nusa Tenggara Timur awalnya tidak aku gubris sama sekali. Kupikir aku nggak mungkin menjejakkan kaki di Nusa Tenggara Timur, tidak ada relasi disana. Saat iklan itu ditayangkan, sekitar tahun 2009, aku masih duduk di bangku SMA. Aku menghabiskan masa SMA ku di Jawa, dimana fasilitas air bersih melimpah ruah.
Tahun berganti tahun, akupun lulus dari bangku kuliah. Tak kusangka juga diawal tahun 2014 aku mengawali karirku di Nusa Tenggara Timur, aku tak menyangka akhirnya dapat mengunjungi daerah dimana beberapa tahun lalu aku selalu menyaksikan iklan yang menceritakan tentang bantuan pembangunan fasilitas air bersih disana. Beberapa temanku yang dapat satu penempatan denganku pun heboh, heboh akan bayangan sulitnya air bersih disana. Maklum, kami hidup sehar-hari sudah dipasok dengan air bersih dan fasilitas lain yang mapan. Ah! Kadang aku berpikir, betapa egoisnya kami, betapa lalainya kami dengan keadaan saudara-saudara kami yang masih membutuhkan air bersih di daerah lain.
Aku mencari banyak informasi tentang geografis dan kondisi disana, apakah benar susah air? Apakah benar air bersih terbatas? Dan segumpal pertanyaan lain, entah mengapa telingaku tiba-tiba terngiang-ngiang iklan yang pernah ditampilkan beberapa tahun silam tersebut. Segera aku cari videonya dan aku tonton berulang-ulang.

 ###

Kupang, aku datang. Dari beberapa sumber yang aku himpun, tidak semua dataran Nusa Tenggara sulit mendapatkan air. Dan daerah yang diiklankan di televisi tersebut terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Desa Oehela yang letaknya sekitar 100 km dari Kupang.
“Warga disana sudah lama mengeluhkan kondisi susahnya air bersih, Nona.” Kata sopir taksi yang mengantarkanku ke penginapan dekat kantor induk perusahaanku. Aku sempat mencari tahu juga tentang kondisi air bersih kepada pak sopir.
“Dong su senang, aer su masuk sekarang,”(1) Lanjutnya. “Itu desa su jadi terkenal e, tiap hari masuk tivi. Sebelumnya dorang mesti naik bukit do buat ambil air minum. Kalo musim panas su tiba, dong pu penyakit nama aa diare su.”(2)
Aku mengulum senyum menatap wajah timornya yang tanpa ekspresi menjelaskan panjang lebar tentang kondisi disana. Logat Kupangnya yang sudah mengental kadang sulit aku cerna. Membuatku bingung juga mau jawab apa, dan aku pilih untuk diam.

 ###

Kurebahkan tubuhku di kamar hotel, lalu aku menuju kamar mandi untuk mencuci mukaku yang terasa gerah. Tapia pa yang terjadi? Ketika kran air kuputar ternyata airnya tidak keluar sama sekali ! Karena kesal, aku segera berlari ke meja resepsionis dengan menahan amarah.
“Airnya mati !” Semburku pada nona muda seumuran denganku di meja resepsionis dengan muka masam.
 “Katanya sumber air su dekat,” lanjutku dalam hati.
“Aduh, sabar nona ee, ini air su mati dari tadi pagi,” katanya lembut, berusaha memadamkan api yang berkobar di kepalaku.
“Nona, ini penginapan. Aku capek habis dari Surabaya tadi pagi dan aku belum mandi,” jelasku kecewa seakan-akan dengan kekecewaanku memaksa air keluar. Wajah nona muda itu tampak panik, “Iya sabar nona ee…Paul ! Paul ! Lu tau son, kamar mana yang masih pu air? Ada nona mau mandi !(3)” Jawabnya sambil memanggil rekannya yang lewat.
“Mari sudah, nona ikut saya,” Nona resepsionis  membimbingku ke sebuah kamar yang masih memiliki cadangan air di baknya. “Maaf nona sementara disini dulu. Maaf atas ketidaknyamanannya.”
Aku menjawab singkat, “Iya.”
Ternyata aku tak mendapatkan di Kupang. Dari Kantor Wilayah aku mendapatkan tempat di Labuan Bajo, Manggarai. Terpisah dari pulau Timor. Setidaknya ada harapan air lebih lancar disana.

###

Tiga pemuda tanggung menjemputku di Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo. Sedikit memperkenalkan diri, entah mengapa aku langsung menanyakan kondisi air disini. Rasanya iklan air mineral yang beberapatahun lalu menayangkan kondisi air bersih di Nusa Tenggara Timur sudah mengental di pikiranku, memberiku persepsi bahwa air bersih benar-benar susah.
“Mas, air bersih susah disini?”
Tiga pemuda tanggung tertawa kecil. “ Ooo…jangan khawatir enu(4), Flores itu dataran tersubur di Nusa Tenggara, bahkan di Flores sudah memiliki produsen air mineral sendiri. “ Pemuda berbaju putih yang mengenalkan diri dengan nama Bobi itu menjelaskan. Penjelasannya sedikit menenangkan diriku.
“Betul itu?” tanyaku balik.
“Benar enu, tapi itu di ibukota kabupaten tetangga, Ruteng.”
“Aduh mas….aku kan bukan disana, tapi di Labuan,” Penjelasannya seakan-akan meruntuhkan harapanku atas air bersih disini.
“Ooo…iya ee…di Labuan sendiri ada beberapa tempat yang susah air. Tapi jangan khawatir, enu cari saja kos di dekat rumah saya. Disana cukup mudah airnya.”
Aku menghela nafas lega.

###

Sudah hampir satu bulan berjalan. Air bersih  di tempatku bermukim cukup mudah. Bersih, lancar dan cukup segar. Tidak payau walaupun dekat dengan pesisir. Kegiatan MCK berlangsung dengan lancar dan mematahkan anggapan bahwa air itu selalu susah di NTT.
“Tapi enu….jangan lupa hemat airnya ya. Bukan berarti mudah air, jadi buang-buang air sembarangan. Rumah mama saya di Timor sana susah dapat air. Air seakan lebih mahal dari minyak. Jadi tolong sedikit dihemat, saya ingat  sama Mama.”
Petuah sakti yang pernah diucapkan dari salah satu pemuda Manggarai itu membuatku tersentuh. Mudah air, bukan berarti bisa dibuang-buang sesuka hati.
Pada satu kesempatan aku berkesempatan mengunjungi Ruteng. Dan aku takjub dengan kondisi air disana. Segar dan dingin. Jernih bukan main daripada kondisi air di kota tempat aku dilahirkan. Kondisi geografis yang terletak di kaki gunung Ranaka tentu saja membuat subur dan sumber air belimpah. Tak heran kota ini memiliki pabrik air mineral yang telah didistribusikan ke seluruh dataran Flores.
Tiga bulan kemudian, selesai sudah tugasku di Labuan Bajo. Tujuan selanjutnya adalah Bontang, Kalimantan Timur. Aku harus bertolak kesana minggu depan. Seperti biasa, harapanku : air bersih mudah didapatkan.

###

Sepinggan airport, Balikpapan.
“Selamat menikmati perjalanan ke Bontang.” Begitulah seorang bapak yang menjemputku di Bandara menyambutku. Pernyataan itu membuatku terheran-heran.
“Emang kenapa Pak?”
“Perjalanannya sekitar enam jam. Mbak nggak mudah mabuk darat kan?”
Aku menggeleng dan sudah menebak bagaimana liku-liku perjalanan kesana. Kuatkan dirimu, Une.
“Oh iya mbak, mbak jangan kaget ya, di Bontang cukup susah mendapatkan air bersih.”
Apa? Iya? Benarkah? Kalimat barusan seakan menonjokku. Cukup susah mendapatkan air bersih. Bagaimana hidupku disana!
“Pak…benarkah?”
“Iya mbak, air Cuma nyala sekitar tiga hari sekali. Sisanya mati.”
“Aduh Pak,” Keluhku lirih.
“Mbak cari saja kost yang ada tandon air dan sudah terpasang instalasi air. Begitu air nyala, langsung ditampung disana untuk beberapa hari. Kalau cari yang nggak ada tandonnya, waduh…susah mbak kalau air pas mati.”
Aku tak menanggapi pernyataan itu. Pikiranku sudah kalut, kacau. Lagi-lagi karir membawaku ke tempat yang susah air. Apa boleh buat, tempatku bekerja tersebar merata di seluruh Indonesia. Siap tidak siap, mau-tidak mau, aku harus menerima kondisi seperti ini.

###

Sekitar dua minggu aku tinggal di Bontang. Alhamdulillah tidak seekstrim yang aku bayangkan. Aku masih bisa mandi, cuci dengan lancar disini walau kualitas airnya keruh. Penggunaan air pun aku atur dengan baik agar aku tidak kekurangan air bersih. Dari sini aku sadar, air itu benar-benar vital untuk kehidupan sehari-hari. Hidup itu memang adil, jika dulu aku merasakan betapa mudahnya aku mendapatkan air bersih dan menjalani kariku di kota dengan air berlimpah, aku pasti tak akan pernah bisa menghemat air dan diri ini makin egois dan lalai terhadap sesama. Kini aku menjalani karirku dengan kondisi air yang cukup terbatas dan aku bersyukur pernah ditempatkan di kondisi air yang berbeda, dimana akhirnya aku dapat lebih menghargai air dan menyadarkan betapa pentingnya menghemat air untuk kehidupan kita. 
Ternyata hidup di kondisi dengan air terbatas itu tidak nyaman. Mari jaga kelestarian air dan jangan sampai kita buat iklan air mineral yang menayangkan tentang susahnya air bersih di Timor Tengah Selatan berkata : “Sekarang sumber air su langka. Beta bingung mau karmana lai…”(5)

Akhir kata saya berterima kasih dengan semua pihak yang telah membantu dalam penyaluran air bersih di berbagai kota di Indonesia.

Catatan kaki :
1. Mereka senang, air sudah masuk sekarang
2. Desa tersebut sudah terkenal, setiap hari masuk televisi. Sebelumnya mereka harus naik bukit dulu untuk mendapatkan air minum. Kalau musim panas tiba, mereka sering terjangkit diare.
3. Kamu tahu tidak, kamar mana yang masih ada airnya?
4. Panggilan kepada gadis (bhs Manggarai)
5. Sekarang sumber air sudah langka, aku bingung mau bagaimana lagi...




2
Share
Pasca cauterisasi besar di sela ibu jari kaki kiriku, tak membuatku jera untuk travelling. Kali ini keinginan jalan-jalan datang gara-gara pikiranku diracun oleh kawan-kawan yang datang dari Samarinda.
"Ayolah, kau belum pernah kan? Kapan lagi?"
"Kaki kayak gitu aja kok!"
Aku yang mudah tertipu dengan ajakan travelling langsung mengiyakan ajakan kawanku tersebut. Lupa sudah janji istirahat untuk kakiku di hari Minggu ini. Baru dua hari pasca cauter dan kulihat luka masih menganga, kenapa aku nekatkan kesana?!
Banyak pikiran yang mencegahku untuk menuju kesana, mulai dari luka yang menganga, sampai alasan sore ada acara reuni. Tapi ini juga untuk alasan memuliakan tamu, yaitu mengantarkan jalan-jalan kemana yang mereka mau, maka dari itu aku mematahkan pikiran merawat kaki. Toh dengan dibebat perban saja, pasti aman, pasir dan kuman nggak bakalan masuk. #tetap saja aku ragu
Maka dengan penuh keraguan aku berlayar ke Beras basah bersama 4 teman dari Samarinda. Sekalian juga melatih skill fotografiku yang masih baru. Saat itu aku hanya membawa lensa wide.


Pelabuhan Tanjung Laut, Menjadi Titik Awal Perjalanan Kami
Untuk menuju ke Beras Basah membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan kapal yang disewakan oleh penduduk sekitar. Pelabuhan yang menjadi titik awal perjalanan kami adalah Tanjung Laut (bisa juga dari Tg Limau atau Bontang Kuala). Untuk tawar menawar kapal, karena temanku dari Samarinda pintar bermulut manis akhirnya dapatlah harga 350000 rupiah pulang pergi. Biasanya dipatok 400000-500000 perkapal.
Kadangkala aku sempat berpikir, mencari perbedaan antara bahari Borneo dan Nusa Tenggara. Aku sadar, kalau disini aku dapat menyaksikan tanker, kilang minyak, dan tongkang sepanjang mata memandang, tetapi kalau di Nusa Tenggara, aku hanya dapat melihat ceceran nusa berbukit nan cantik yang tak berpenghuni.
Pulau Beras Basah
Pulau Beras Basah, mengembalikan memori saat menjejak di Pulau Kanawa, Flores. Disambut dengan dermaga kayu dengan pantai berpasir putih menapaki kaki, dan pantai yang bergradasi tiga warna. Langit biru cerah, dan pantai yang bergradasi. Sesaat membawaku kembali ke Flores...inilah pantai yang aku rindukan selama ini!
Aku dan Anjar :)
Pulau itu kecil, cukup banyak wisatawan yang berkunjung untuk sekedar snorkelling, diving, banana boat, atau berfoto. Maklumlah, hanya ada satu pulau yang benar-benar cantik dan dapat dibuat snorkelling di Bontang. Pulau ini terdapat satu menara dan gugusan karang buatan untuk pemecah ombak untuk menghindari abrasi air laut. Terdapat pula saung-saung kosong, tenda-tenda kecil untuk bernanung, dan puluhan pohon kelapa yang tumbuh disini. Satu lagi yang penting : air bersih belum tersedia disini, dan harus didatangkan dari pulau lain. Beberapa pengunjung juga mendirikan tenda untuk bermalam disini.
Tiket masuk? Free untuk pulau secantik ini. Saat itu kondisi pulau sedang surut, maka rumput laut yang melambai-lambai dibawah air yang berwarna tosca terlihat jelas.
Pantainya Damai dan Bersih :)
Karena kondisi kakiku yang masih pincang, maka aku hanya berfoto sekenanya, menuliskan ucapan selamat ulang tahun kepada teman, dan menikmati es kelapa muda asli dengan kelapanya. 
Overall, pantai ini bagus, bagus untuk obat kangen dengan gradasi pantai di Kanawa, Flores :)

Serasa Kembali Ke Flores ~
Aku pasti kembali lagi suatu saat, karena aku belum merendam kakiku dengan air lautnya dan menjajal banana boat-nya.
Nantikan jelajahku di Bumi Etam selanjutnya !

tips : 
- Bawa topi lebar dan tabir surya, kalau kulitmu nggak mau gosong
- Bawa air mineral yang cukup, air mineral juga dijual, tapi cukup mahal
- Jagalah kebersihan
- Gambar di post ini aku ambil dengan Sony Nex 6, tanpa olah digital, tanpa filter CPL/GND (hanya mode Panorama) dan Lensa Wide.

0
Share
Waktu kerja di kantor yang hanya lima hari tiap minggu (@8 jam kerja) dengan dua hari libur istirahat di akhir pekan, membuatku wajib menyusun itinerary kecil-kecilan di akhir minggu. Itinerary untuk jalan-jalan  atau hanya sekedar hunting foto di sekitaran Bontang dengan Sony Nex 6 dan Beat Itemku, si Beatrice atau mbolang ke tempat baru dengan numpang motor teman.
Banner Pantai Biru Kersik

Untuk agenda Sabtu, 16 Agustus 2014, seperti biasa aku dan teman-teman cowok pembangkitan (yang merupakan teman asyik menjelajah Bontang) merencanakan menuju ke Pantai yang terletak di Marang Kayu, di Kabupaten KuKar atau Kutai Kartanegara. Dari pusat kota Bontang dapat ditempuh sekitar satu jam dengan motor dengan kondisi jalan yang layak.  Jarak tempuh sekitar 30 km.
Kami berangkat dari Bontang sekitar pukul 08.30 WITA. Suasana saat itu mendung dan hujan rintik halus tak bisa menghalangi kaki untuk menuruti inginku.
Kaki-kaki yang tak pernah berhenti menjelajah

Langit siang itu kelabu, putih pekat tanpa celah yang disusupi oleh sinar mentari. Aku berpikir : apa bagusnya menikmati pantai dalam keadaan langit tak bersahabat seperti ini? Langit berwarna biru cerah itu menurutku dapat memberi sentuhan gradiasi warna 'biru' kepada pantai dibawah naungannya. Itu yang membuat menarik.
Setelah menyusuri jalanan yang tampak baru diaspal, pemukiman rumah papan, rimba Borneo, dan belt conveyor milik perusahaan Batu Bara, kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Pantai Biru Kersik. Kutatap plang nama yang terbuat dari sterofoam itu lekat-lekat : pantai biru, aku harap benar-benar biru.
Tapi apa yang kulihat? Aku yang pernah berdomisili di Flores selama 3 bulan nampaknya bakal terkejut apabila melihat kondisi pantai yang berwarna coklat susu ini. Laut yang tidak bergradasi. Coklat, pekat, kotor dan dangkal, ditambah sampah-sampah yang tercecer di tempat parkirnya.
Penampakan Pantai Biru Kersik Saat Mendung

"Campuran air laut dan air sungai yang membawa lumpur menjadikan laut ini dangkal dan sedikit kotor," kata Mas Agus, ketua rombongan kami.
Dermaga Kayu Ulin

Salah satu spot foto yang menarik adalah dermaga yang terbuat dari kayu ulin sepanjang 50 m yang menjorok membelah laut. Kayu besi khas Kalimantan ini konon tahan hingga ratusan tahun dan makin kokoh apabila direndam air laut.


Untuk tiket masuk? Pengunjung tidak dipungut biaya sepeserpun untuk masuk ke Pantai Biru Kersik.
Setelah cukup puas berbincang-bincang disana, kami segera pulang untuk menghindari hujan yang makin deras. Bukan hanya itu saja, yang ikut dalam tur hari ini harus mempersiapkan fisik untuk mengikuti upacara keesokan harinya, apalagi kami adalah petugas upacara.
Sampai jumpa di trip Borneo selanjutnya !
0
Share
Judulnya asli maksa. SNSD : Surabaya Night Street Deeeh. Sebenarnya 'deeeh' hanya untuk komplementer saja, biar kelihatan pas seperti girlband Korea :D
FYI, sebagai insan yang baru melek teknologi kamera, kali ini aku berkesempatan untuk menjajal keampuhan kamera Sony Nex 6 untuk mengabadikan suasana malam di Surabaya. Hitung-hitung melepas rasa kangen lah setelah setahun tidak lagi melewati jalan ini untuk beraktivitas seperti jaman kuliah di ITS.
Untuk potret night landscape di Surabaya aku acungi jempol. Surabaya memiliki skyscraper dan bangunan sisa kejayaan Belanda dengan arsitektur gothic eropa yang menawan. Kalau di Lumajang memiliki keindahan alam yang menawan, untuk Surabaya pun memiliki keindahan malam yang menakjubkan dengan cahayanya !
That's Sparkling Surabaya :)
Untuk mentorku saat itu adalah kakak sepupu sendiri, Mas Faiz yang sudah mengusai banget masalah kamera.
"Ambil gambar malam-malam tanpa tripod susah, banyak blurnya kalau gemetaran sedikit." titahnya. Aku manggut-manggut nurut, langsung malam itu kami menuju pusat kota Surabaya untuk latihan. Beberapa gambar dibawah ini adalah citra yang berhasil ditangkap. Masih amatir bangeeet ....

1. Diatas Jembatan SMA 6 Surabaya

2. Masih dari atas jembatan....belajar foto gedung
 

3.  Belajar foto bokeh dengan lampu-lampu kecil yang melingkari pohon didepan balai Pemuda
 

4. De Simpangsche Societeit, UPTD Balai Pemuda Surabaya. Dulu dibuat gedung dansa oleh meneer dan mevrow, sekarang menjadi pusat informasi pariwisata. Sangat eksotis dan mistis, karena konon ada suara-suara aneh di malam-malam terntentu...hiiiii
 

5. Ini eks gedung bioskop di depan Balai Pemuda. Tampak mistis juga :D

0
Share
Pulang kampung = naik gunung
Naik gunung = Naik Pesawat
Konklusinya? Pulang kampung = Naik pesawat
Aneh ya konklusinya? Tapi inilah yang terjadi, pulang kampung ke Lumajang, wajib naik ke dataran tinggi. Naik di ketinggian itu pasti berada diatas awan yang serasa seperti naik pesawat, sama-sama berada diatas awan kan? Hehehe.
KONYOL.
31 Juli 2014, masih dalam suasana lebaran. Selain silaturahmi ke tetangga dan saudara tentu saja jangan lupa silaturahmi dengan alam yang selalu merindukan jejak kakiku. Hehe. Saat itu aku memang sedang flu berat dan sakit batuk. Dan kalian tahu? Seperti biasa, emak melarang putri kesayangannya ini menjejakkan sepasang kakinya yang mungil ini diatas 2900 mdpl. Bukan melarang, hanya khawatir yang mengarah ke sedikit larangan. Bukan protektif, tapi menjaga putri kesayangannya ini agar tidak menderita sakit yang lebih parah.
Akan tetapi apa yang dilakukan olehku? Nekat, merengek dan merajuk.
"Maak...kapan lagi aku bisa ke B29? Cuti tahun depan aku nggak pulkam !" Ancamku pada emak *duh mak maafkan aku ya
Sang emak tampak khawatir dan akhirnya mengijinkanku dengan sangat sangat beraaaat hati, "Ya udah, hati-hati."
SUKSES :D
Oh iya, sedikit flashback, dulu sebelum fenomena B29 naik daun, aku sudah mengetahui dari brosur dinas pariwisata kabupaten Lumajang, bahwa ada kawasan wisata di ketinggian 2900 mdpl, berupa perkebunan bawang dan sayur mayur dan dari tempat itu pengunjung dapat melihat gunung Bromo dan Batok dari sisi tenggara di atas sana. Sayang sekali cara pengambilan gambar yang kurang menarik di brosur itu menyebabkan para pembaca pun kurang berminat mengunjunginya.
Pagi itu (masih di 31 Juli 2014), aku dan beberapa teman merencanakan sebuah perjalanan menuju puncak B29. Untuk menuju ke puncak B29 (Bukit 29) memerlukan waktu sekitar 2 jam dari pusat kota Lumajang. Dari alun-alun kota, menuju ke barat luruuus...ketemu Selokambang luruuuus....sampai kecamatan Senduro. Oh ya, kecamatan Senduro berada di dataran tinggi yang masih menyimpan aneka ragam kekayaan alam dan budaya, satu hari tak cukup bagimu untuk menjelajahinya !
Saat itu kami naik motor. Karena ada enam orang yang ikutan, maka kami menggunakan tiga motor dan saling berboncengan. Dua motor matic (Scoopy dan X-Ride) dan satu motor Honda Supra Lawas keluaran tahun 2004. Aku menelan ludah, X-Ride yang konon tangguh aja bisa ngos-ngosan, apalagi supra lawas yang-nggak-pernah-diservis sama sekali itu? Bakal sesak nafas hebat dia !
X Ride kembali belum mampu menaklukannya
Alhasil apa yang kukhawatirkan terjadi. Masuk tanjakan maut di sepanjang jalan menuju, si Supra tidak kuat lagi, dan mengharuskan penumpang yang dibonceng harus mendaki tanjakan maut itu.
Untuk kali ini setelah satu tahun berlalu, X-Ride ku kembali kuuji mentalnya sampai batas ketahanan fisiknya, huahahaha :D
Udara yang cukup dingin membuat kami gemelutukan sepanjang jalan walaupun tubuh kami sudah dibalut jaket. Tak jarang juga berhenti sepanjang jalan untuk buang air kecil (yang ini khusus cowok loh ya)
Tak lama kemudian kami memasuki desa Argosari, pemukiman tertinggi di Lumajang. Untuk menuju B29 hanya lurus saja dari gerbang desa, tapi untuk menuju desa Pusung Duwur, belok kanan (coba cek di post lamaku : disini , ternyata itu masuk Pusung Duwur). Pemandangan di sepanjang jalan tak perlu diragukan lagi, sangat ampuh untuk menyegarkan kembali mata yang kesehariannya penat menatap layar komputer yan dijejali dengan kerjaan kantor. Udara gunung yang dingin, dipenuhi oksigen murni berebutan memenuhi paru-paruku yang setiap hari dipenuhi udara dari Air Conditioner di gedung perkantoran yang tak jarang membawa alergen dan debu. Segar dan sehatnya tak tertandingi.
Awalnya kami ingin berangkat pagi, jam setengah lima. Mengejar sunrise, atau paling tidak semburatnya. Ini naik gunung bung, nggak lihat sunrise juga bikin nggak sreg. Tapi apa daya? Yang lainnya pada melestarikan kebudayaan bangsa kita : Jam Karet. Yah, akupun akhirnya hanya bisa berharap kabut pekat di bawah sana masih belum hilang.
Sesampainya di desa Argosari, banyak ojek yang mengikuti kami sambil menawarkan jasanya,
"Aduh mbak eman motore nek digawe munggah, dalane lo elek, percoyo wes nang aku." (Aduh mbak, sayang motornya kalau dibawa naik, jalannya jelek. Percaya deh). Padahal sebelum B29 di blow up dulu belum ada ojek seramai ini.
Kami semua akhirnya menghentikan laju motor kami setelah bergidik melihat jalanan yang sudah kami tempuh. Licin, berbatu dan mudah terperosok jika ceroboh. 
"Mending ngojek, aman, selamat"
Maka kami semua sepakat untuk ngojek, dan terjadi tawar menawar cukup sengit, aku membuka percakapan sambil mengatur nafas untuk menyesuaikan kadar oksigen yang masuk ke tubuh.
"Piro se pak ngojek'e" (Berapa ojeknya) Kataku dengan bahasa Lumajangan super kental.
"Petangpuluh ewu per munggah mbak, iku wes normal." (Empat puluh ribu pulang pergi, sudah normal)
"Opo pak? Cek larange, ndisek koncoku seket ewu bolak-balik." (Apaaa? Mahal amat, dulu temenku 50ribu bolak-balik)
"Iku lak ndisek mbak," (Itu kan dulu mbak)
"Walah pak telung puluh ae, seket bolak balik, aku adoh-adoh teko Kalimantan rene padahal. Ndisek aku rene jek sepi, durung terkenal," (Wah pak tiga puluh ribu aja, lima puluh bolak balik. Aku jauh-jauh dari Kalimantan mau kesini. Dulu aku kesini masih sepi, belum terkenal)
Para tukang ojek berembug, dan lahir satu kesepakatan, "Yo wes mbak, telung puluh budal tok, budal balik seket yo'opo?" (Ya udah 30ribu sekali jalan, lima puluh pulang pergi, gimana?)
Tanpa pikir panjang kami langsung melompat ke boncengan.
Sepanjang perjalanan, kami bersyukur tak melanjutkan perjalanan dengan motor kami. Jalan jelek, berlumpur, dan jurang yang penuh dengan sayuran. Salah sedikit bisa nggelundung kesana.
Perjalanan tak mulus sepanjang lima kilometer akhirnya berakhir juga. Aku berdecak berkali-kali atas keindahan ini. Awan lintang kemukus mengelilingi bukit serasa diriku berada didalam pesawat. Seperti biasa, kamera dikeluarkan dan segera mencari angle terbaik. 
Nggaya
Dari kejauhan kita dapat melihat B30, seratus meter lebih tinggi dari B29. Untuk melihat lebih jelas, kami naik lebih keatas lagi. Subhanallah, nature never tell us a lies, Bromo benar-benar kelihatan terbungkus kabut !
Menuju Puncak B29
Kabut yang mulai menghilang
Sudut lain B29
Emejing....
Hari makin siang, kabut mulai sirna. Daya tarik bukit ini memang di awannya. Wisatawan mulai berkurang. Setelah berpuas foto-foto, kami akhirnya pulang, setelah sebelumnya kami sempat menghangatkan tubuh dengan segelas minuman hangat.
Mengais Rejeki di ketinggian
Kelihatan Puncak B30 dari kejauhan
Ekspresi kami saat mencapai puncak
Sepanjang perjalanan pulang, aku sempat bercerita dengan tukang ojeknya,
"Pak, aku dulu kesini belum rame,"
"Iya dik, baru sekitar 6 bulan terkenalnya, dan mulai kotor juga " *miris
"Lah terus ini ikut Lumajang atau Probolinggo Pak?"
"Iya masih jadi perdebatan, sejak B29 terkenal jadi rebutan mbak, tapi tetap menang Lumajang, karena jalur masuk tetap dari Lumajang. *miris Oh iya mbak, dari B29 kita bisa langsung menuju Bromo juga."
"Kalau listrik disini sering padam nggak pak?" Tanyaku selaku insan PLN yang peduli SAIDI dan SAIFI. *Frekuensi dan durasi padamnya listrik
"Nggak pernah kok, kecuali memang ada pemadaman dari pusat."
"Ikut Probolinggo listriknya?"
"Iya," Jawabnya singkat. Aku yang berada di boncengannya terbanting-banting sambil tetap menjaga keseimbangan.
Hmm...akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai paham desa ini. Masjid yang dibangun oleh BMH yang bernama Jabal Nur pun kami lewati. Alhamdulillah, Islam pun telah masuk di desa ini :D Jadi masyarakat bisa mendengar adzan dari ketinggian...
Saat itu aku seakan-akan mendapat pesan berbisik dari semak gunung : "Good Bye My lovely one :) "
Jangan lupa cek masa laluku menjejak Argosari DISINI !

7
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose