• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
 "Una mattina, mi sono alzato..."

Kurang lebih penggalan kalimat dalam bahasa Italia itulah yang menjadi penggambaranku saat itu. Terbangun kembali pada pagi hari setelah subuh kurang lebih pukul 07.30 WITA, dan menyalakan ponsel. Puluhan chat WA memberondong masuk.

Alamak, siapa yang mendadak ngefans aku seperti ini?

Tapi nyatanya bukan chat perorangan. Entah mengapa aku diundang tiba-tiba kedalam grup dengan judul 'TRIP' tanpa seorangpun didalamnya yang kukenal. Dengan mata memerah kupaksa membaca pesan-pesan disana.
"Pagi kak Une, maaf kak ini kami undang ke grup Trip anak-anak Loktuan." jelas salah seorang admin grup yang baru saja kukenal lewat grup tersebut. (Loktuan adalah salah satu kelurahan di Bontang).
"Tahu lokasi air terjun km 10? Kata Andra kak Une yang tahu jalannya,"
Fitnah darimana lagi ini? Ah, pasti atas inisiatif Andra yang mengundangku ke dalam grup ini. Kutepuk kepalaku, sial ! Kemarin kan Andra sempat menghubungiku untuk main ke air terjun di Makarti Minggu ini, tapi karena kemarin cukup sibuk, maka pesannya tak seberapa kuhiraukan dan akhirnya terlupakan. 

Andra memanggil.

"Halo?" Kuangkat telepon dan menjawabnya dengan suara serak.
"Ayo," Ajaknya dari seberang. Mataku otomatis menjadi segar. Sudah siap berangkat kah mereka?
"Bentar, bentar ! Aku siap-siap !" Ucapku beranjak tergesa hingga kakiku membentur pintu kamar. Sial, belum packing pula! Yang aku pikirkan saat itu adalah membawa mukena, air, losion penangkal nyamuk, dan tortila isi tuna ala chef dadakan.
"Semalam karena hujan, kita ke kilo 10 saja ya. Kalau ke Makarti perjalanan kesana motoran sudah pasti dua jam. Ditambah pasti becek parah. Kau tahu kah jalan ke kilo 10?" Tanya Andra.
"Nggak, aku belum pernah kesana,"
"Deket aja sih, motoran cuma 20 menit aja. Jam setengah sepuluh lah kamu tunggu di pom bensin kilo enam arah Samarinda. Sekalian si Jangkar dibawa ya."
Oke, setidaknya aku bisa sedikit menghela nafas lega. Setidaknya satu setengah jam untuk bersiap dan memasak tortila tuna dengan lebih layak. 
Tiduran disini, selalu bikin cinta
Motor pink kesayangan kupaksa untuk berpetualang kembali dalam minggu ini. Setelah menjemput Jangkar, selanjutnya kupenuhi kebutuhan utama sang motor agar tak ngambek ditengah jalan.
Tak kusangka, sekitar dua puluh bujangan terlibat dalam perjalanan kali ini. Ya seperti biasa, kalau mengajak banyak pasukan gini, drama mbulet atau molor pasti terlaksana. Gila dah, bocah satu RT ini! Rata-rata mereka berusia 20-30 tahunan, dan aku termasuk sesepuh disini. Dan kamu tahu bagaimana penampilan yang lain? Seperti mau ngemall, pol. Sepatu putih trendy ala korea, tas-tas mini, rambut habis catok, full make up, wangi, dan rapi. Beberapa pakai jaket jeans gaul gitu. Beda sekali dengan penampilanku, Andra, Jangkar, dan beberapa makhluk hutan lainnya yang hanya pakai celana komprang dan belel, sandal jepit, dan muka polos.
"Mereka bajunya bagus-bagus ya," Jangkar berkata setengah minder.
"Iya bagus, tapi bukan pada tempatnya kalau mau kehutan gini," 
Ditambah lagi mereka membawa bekal satu plastik besar berlogo minimarket andalan warga Indonesia. Alhasil setelah mengetahui bahwa untuk menuju lokasi harus trekking terlebih dahulu, mereka sibuk membagi barang bawaannya ke beberapa cowok disana. Sungguh mulia para cowok itu, layak dinobatkan menjadi pahlawan untuk hari ini. Hm, rasanya seperti dejavu, aku pernah melihat pemandangan  huru-hara  logistik seperti ini.
Setelah Andra bertanya pada warga sekitar, kami pun mulai berjalan. Menurut warga ada tiga air terjun mini diatas. Awal berjalan menyusuri sungai dangkal berbatu. Pipa-pipa putih tersambung dari hulu untuk menyalurkan kebutuhan air harian warga setempat. Air sungai yang awalnya jernih, karena kita berjalan disana dan mengaduk-aduk dasarnya hingga keruh.
Beberapa cewek yang tampaknya baru pertama kali masuk hutan berteriak-teriak gelay ala Nissa Sabyan.
"Iiih liciin....kak bentar tungguin nah."
"Uhh....mau pulang aja ah kalo jalannya gini."
Padahal rute yang dilewati cukup seru loh, kok mereka malah pengen pulang? Ini masih belum ada apa-apanya. Kalau banyak lintah makin termehek-mehek kalian.
Rutenya Seru~
Untuk menuju  air terjun pertama, rutenya full rute basah, alias meniti anak sungai berbatu. Air terjun pertama ini pendek, tak seberapa menarik, tidak muat untuk menampung dua puluh orang. Beberapa cewek sibuk rebutan berfoto tanpa kelihatan gendut. Kalau kelihatan gendut, auto fotografer harus bekerja keras untuk menghasilkan foto terbaik selanjutnya.
"Ada lagi sih yang diatas sana," ujar Andra. Beberapa senior mencari jalan menuju air terjun diatasnya.
Kami berjalan keatas. Jalan yang dilalui sangat curam plus licin dan cukup berbahaya apabila terperosok ke tebing air terjun. Tak ayal teriakan ketakutan gelay kembali terdengar.
"Mau pulaaang...~ Aku nggak mau lagi kalau rutenya kayak ginii...~"
Aku terkekeh dalam hati, disamping itu juga harus berkonsentrasi meniti jalur licin pinggir tebing. Takut kualat kalau ngetawain didepan umum.
Setelah itu melewati jalur sedikit becek sebelum kembali ke jalur air. Sandal gunung yang kukenakan penuh lumpur dan makin licin. Tak terbayangkan cewek-cewek dibelakangku yang memakai sepatu putih model ke mall itu.
"Hmm...mampus kau sepatu putih," seringaiku menyeramkan.
Air terjun kedua tampak dibawah jalur yang kami lalui. Ada beberapa lokasi yang sudah dicor untuk instalasi pipa air, sehingga sudah tidak alami. 
Kami beristirahat sejenak di rimbunan pisang milik warga. Tortila isi tuna yang ternyata kulitnya belum matang dengan sempurna terasa nikmat kusantap siang itu. Cewek-cewek yang cukup ribut sepanjang jalur pun kembali ribut saat mengeluarkan bekal mereka yang segambreng. Aku takjub dengan bekal mereka yang dibawakan para cowok-cowok. Bak minimarket berjalan ! Bahkan ada yang membawa puding coklat dalam minicup sebanyak sekitar 30 cup. Coklatnya tumpah dan lengket di cupnya. Ada pula yang membawa bedak dan liptint, sehingga berdandan sekalian di hutan. Yang lain memanggilnya Lisa Blekping, karena makeup di wajahnya yang selalu di touch up.

Aku kebagian puding satu cup. Lumayan pencuci mulut.

Sekitar 45 menit istirahat, kami melanjutkan ke tujuan utama kami, di air terjun ketiga. Jalur basah berbatu kembali ditapaki. Tak jarang kami memanjat bebatuan sebagai tumpuan. Jaraknya tak seberapa jauh, hanya sekira satu kilometer dan akhirnya muncullah air terjun yang menurutku cukup bagus untuk lokasi yang tak jauh dari kota ini. Namun tempat untuk mendirikan tenda maupun memasang hammock hanya terbatas, sehingga untuk menampung dua puluh orang ini dipastikan tidak muat.
Air Terjun yang...tidak teridentifikasi namanya
Air kolamnya yang jernih menjadi keruh setelah mereka berebut berendam dan berfoto disana. Di alam gini paling enak ya tidur setelah puyeng seminggu digempur kerjaan. Hammock kugelar dan tidurlah aku sekira 30 menit. Suasananya sangat sejuk!
Setelah ngemil mie cup dan shalat, kami bersiap untuk pulang. Saat itu pukul 15.30 WITA. Andra mengarahkan kami ke jalur alternatif lainnya. Jalur yang kami lalui tidak full jalur basah seperti saat berangkat, sebagian basah dan kering. Namun banyak tanjakan dan turunan. Hanya beberapa saat berjalan, sekitar lima belas menit, ternyata parkiran motor kami sudah terlihat. Para cewek berteriak kesal karena merasa tertipu dengan ulah Andra yang 'ngerjain rute' saat berangkat, karena memang membutuhkan konsentrasi penuh agar tidak terpeleset saat meniti bebatuan sungai. Aku pun geleng-geleng kepala melihat cewek-cewek ini yang kuat jalan di suasana terik seperti ini tanpa melepas jaketnya sama sekali. Saluto !
Jalur Pulang
Memang, hutan itu selalu menyenangkan. Selelah dan semenyakitkan apapun itu, buktinya cewek-cewek itu nggak menyerah, malah ribut ngajakin masuk hutan lagi di grup TRIP.

Hm, awas aja ya kalau bawel minta pulang !
0
Share
Akar dari kisah tragis ini bermula gara-gara ide kemping bulananku, dimana rencana semula satu minggu sebelumnya dan akhirnya terealisasikan dalam minggu selanjutnya gara-gara sepi peminat dan disempurnakan dengan cuaca buruk. Semenjak pandemi tiada berujung ini, tujuan kempingku tak terlalu jauh dari lokasi bermukim. Yang menjadi pilihan saat itu adalah Batu Lesong, di desa Kandolo. Aku mengunjungi lokasi ini sudah yang kedua kalinya, dan ini menjadi yang ketiga kali. Bedanya, yang dulu bersepeda, dan kini harus memanggul carrier sejauh lima kilometer dengan berjalan kaki.
Di kemping kali ini aku berterimakasih sekali kepada Angga Pongo, karena ia telah mengusahakan agar kemping kali ini benar-benar terlaksana. Ia mengajak Pakde agar makin rame, dan tentunya lebih membuat perasaan kami sebagai wanita lebih aman dan nyaman dong, hehe. Namun sayangnya si Lupi alias Jangkar tidak bisa mengikuti kemping bulan ini, karena ia hendak cuti.
Hal kedua yang menjadi perbedaan dalam kemping kali ini adalah keikutsertaan seorang anggota baru, yaitu rekanku, Winda. Karena ia baru pertama kalinya ikut kemping dan trekking, maka sedikit remponglah dia. Beberapa hari sebelum keberangkatan ia berulangkali menanyakan jam keberangkatan dan barang-barang apa yang perlu dan wajib dibawa.
"Bawa yang penting dan perlu saja. Jalannya lumayan jauh," Jelasku. "ini kemping bukan piknik hepi."
"Kamu bawa biola ya Ne, seru kayaknya main musik di hutan."
Aku membatin, anak ini belum tau aja rasanya bawa barang segunung dan trekking di hutan tropis.
Eh tiba-tiba H-1 sebelum keberangkatan dia mengirimiku pesan singkat yang membuatku garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal ini.
"Aku bawa ini ya," Tulisnya disertai gambar nasi kepal dalam wadah plastik kesayangan ibu-ibu, 'Tupperware'.
Kugaruk lagi kepalaku. "Serius? Bawanya gimana?"
"Ditempatin tupperware, masukin keril." Jawabnya tiada beban.
Semudah itu ia katakan, belum tahu penderitaan saat berjalan keesokan hari bagaimana. Jadinya aku biarkan saja dia berkreasi, dan kalau semisalnya ia kesulitan saat packing atau membawa biarlah hal ini menjadi evaluasi dikemudian hari.
"Kalau nggak cukup, maaf aku nggak bisa bantu bawa. Karena carrierku pun sudah penuh." Ujarku melihat carrier biru 35L yang sesak dengan tenda, nesting, kompor, dan sedikit logistik. 
Edisi slow shutter
Keberangkatan kami pada hari Sabtu pukul sepuluh pagi, awalnya berencana pagi pukul tujuh berangkat, namun aku beralasan karena harus bersih-bersih rumah dan mencuci pakaian. Pakde menyanggupi juga, dan Angga Pongo harus menyusul pada sore hari karena paginya ia harus bekerja.
"Anak istriku udah berangkat duluan tadi pagi. Kalo siangan panas, takut item." Ujar Pakde.
"Jadinya berapa orang pakde?"
"Sekitar sebelas orang."
Lantas dengan cepat aku mengetik pesan singkat kepada Winda agar segera bersiap. "Siap, Win? Aku boncengan sama Pakde ya, otewe nih."
"Aku bingung gimana bawanya ini," balasnya. Nah kan, apa kataku.
"Katamu tinggal masukin ke carrier?"
Ia membalas dengan emotikon nyengir tanpa dosa.
Perasaanku sedikit nggak enak membaca balasan pesannya kemudian, "Sebentar ya, aku tarik nafas dulu." Dilengkapi dengan emotikon nyengir dengan tetes keringat di dahi. 
Dan benar, ketika ia muncul, aku hanya bisa menggelengkan kepala dalam hati. Ya Allah, anak ini mau kemping semalam di Batu Lesong atau mau camping setengah bulan di Gunung Leuser? Hah?
Ia tampak sedikit terbungkuk dan kesulitan membawa carrier 60 L yang tampak super sesak. Mau transfer barang, sudah tiada ruang lagi. Mau bantu bawa, ah realistis saja bawa carrier sendiri sudah susah! Jadinya aku menganggap hal ini sebagai bahan pelajaran baginya.
"Aman kan?" Tanyaku.
"Aman kok."
Dan akhirnya kami bertiga segera menuju arah Sangatta untuk mencapai titik trekking ke Batu Lesong. Sesekali kulirik Winda dengan motor maticnya. Sepertinya sih aman, karena ia berani mengendarai motornya dengan cukup kencang. 
Memasuki kawasan Batu Lesong, jalan mulai rusak, berlubang besar dengan air yang menggenang. Beberapa titik ada yang becek dan membutuhkan keahlian super untuk mengendarai motor yang didesain spesialis di jalan raya ini.
Karena akses jalan yang buruk dan susah, motor kami parkir di portal, dan harus trekking sejauh 4,5 km tentu saja dengan jalanan yang naik turun. Suhu saat itu sudah mulai panas, karena sudah pukul setengah dua belas siang.
Ketika aku membantu untuk menurunkan carrier milik Winda, uma' ai, walaupun aku turunkan dengan tangan, tapi punggungku sudah menangis duluan membayangkan memanggulnya. Pakde pun mengeluh demikian. Awal perjalanan, Pakde sudah menawarkan untuk membawakan carriernya, tapi ia menolak.
"Biar aku coba dulu, Pakde."
"Ya..yaa...harusnya memang kamu (coba) bawa sendiri biar bisa merasakan." Aku menjawab dalam hati disertai senyuman sinis khas peran antagonis ala sinetron Indonesia.
Ia berjalan dengan sedikit sempoyongan dan terbungkuk. Ya jelas saja, tubuhnya lebih kecil dariku dan berat carrier yang pastinya melebihi berat yang direkomendasikan (dalam bahasa safetynya, melebihi SWL, Safe Working Load). Wajahnya memerah. Lima menit kemudian iapun mengeluh.
"Aduh, punggungku mulai panas."
Dan kami akhirnya istirahat sebentar. Paham bahwa Winda tampaknya nggak bakal tahan memanggul carriernya, maka Pakde menawarkan untuk bertukar barang bawaan dengan daypack-nya. Winda mengiyakan.
"Sebagai evaluasi ya, next camping bawa apa." Ujarku dengan wajah sok-sok senior.
Jalanan menuju Batu Lesong sudah banyak berubah sejak terakhir aku mengunjunginya. Tertutup semak belukar dan semakin becek. Beberapa kali kami berhenti dan sering sekali Winda menanyakan dua hal : Kapan sampainya, dan kapan jalanannya menurun.
Sekitar pukul 13.30 WITA akhirnya sampailah kita di Batu Lesong. Di lokasi sudah ada dua ibu-ibu, seorang pria yang namanya Jaya, dan dua anak-anak dan satu remaja SMU yang asyik berendam. Dua ibu-ibu (yang mereka sebut Mbok Ndewor) sedang sibuk memasak di perapian. 
Mau nggak mau pasti berendam kalau di Batu Lesong
"Aku nggak percaya berhasil mencapai tempat ini," Ujar Winda dengan wajah berbinar.
Aku dan Winda mendirikan tenda dan mengeluarkan barang bawaan kami. Lagi-lagi aku terbelalak melihatnya. Beberapa jenis Tupperware menyesaki carrier miliknya. Dua Tupperware berukuran sedang berisi nasi kepal, lalu ada lagi yang berisi roti pisang, dan telur gulung. Ditambah enam buah susu kotak, beberapa butir jeruk dan perintilan cemilan lainnya. Uma'ai, rasanya ingin auto buka cabang Indomaret mini.
Panorama Batu Lesong tak berubah, airnya tetap sedikit keruh, namun tali yang melintang ditengahnya sudah putus. Aku meloncat dari batu setinggi 4 meter untuk merasakan sejuknya air di kolam yang dikenal dengan mitos sarang siluman buaya putih tersebut.
Malam tiba, kami makan dengan ikan wader (ikan sungai kecil) yang berhasil ditangkap dengan bubu. Lupi dan Angga Pongo tiba-tiba muncul, ternyata Lupi memundurkan jadwal cutinya, sehingga ia bisa mengikuti acara kemping ini. Aktivitas malam itu kami isi dengan seru-seruan main kartu remi, dua mbok ndewor tersebut cukup heboh dan tertawa kencang ketika wajahnya mulai coreng moreng dengan arang. Malam itu cukup cerah, gemintang berbaris di langit gelap, sesekali tebakan ngawur tentang rasi bintang terlontar dari gurauan kami. Sayangnya aku tak bisa mengikuti hingga selesai karena hidungku mulai terasa berair setelah mandi di kolam Batu Lesong.
Langit cerah :)
Aku, Winda, Lupi, dan Angga Pongo berencana pulang pada hari Minggu, karena Senin harus kembali kerja. Sedangkan Pakde, Jaya, Mbok Ndewor dan para anak-anak berencana menginap satu malam lagi. Setelah asyik berkecipak dan berloncatan ke air, kami berempat membereskan barang-barang bawaan. Tupperware milik Winda pun dilempar oleh para Mbok Ndewor untuk dicuci anak-anak di sungai. Namun nahasnya, satu tutup Tupperware kuning lenyap. Kami kelimpungan mencarinya, anak-anak yang bertugas untuk mencuci di sungai pun merasa tak melihat benda tersebut.
"Oh yaudah deh, nggak apa-apa." Winda berkata mengikhlaskan. Aku menyusuri aliran air tersebut, lantas pandanganku jatuh kearah kolam besar Batu Lesong.
"Ah, itu tutupnya! Hanyut kesana !!" Teriakku menunjuk tutup malang tersebut yang berjarak sekitar 40 meter dari kami. Untuk mencapainya tentu saja harus berenang menyebrangi kolam Batu Lesong yang dalam. Realistis saja, walaupun aku bisa berenang tapi tentu saja aku tak yakin untuk menyebrangi kolam keruh sejauh itu yang dalamnya belum teridentifikasi tersebut.
Tutup yang Bikin Ribut
Mbok Ndewor, dan para bocah menatap arah yang kutunjuk. Jaya yang juga mendengar, tanpa dikomando tiba-tiba melompati batu dan terjun kedalam kolam lalu segera berenang ke seberang untuk mengambilkan tutup Tupperware milik Winda. Setelah ia berhasil mendapatkan tutup tersebut, Jaya segera putar balik menuju tepi kolam.
Setelah beberapa meter ia berenang, tubuhnya mendadak timbul tenggelam. Megap-megap. Seperti ditarik sesuatu dari bawah air. Aku mulai deg-degan. Apakah ini ulah sang siluman buaya putih?
"Toloong! Tolong!" Teriak Jaya dari seberang. Pertanda ini bukan lelucon belaka.
"Mas! Mas! Menepi mas!" Komando Lupi dari tempat kami berdiri.
"Tolong! blup...blup..." Teriaknya kian mengkhawatirkan. Tutup Tupperware malang yang ia selamatkan terlepas dari genggamannya. Tanpa pikir panjang Lupi ikut nyemplung untuk misi penyelamatan yang mulia dalam kemping kali ini. Lupi berenang cukup cepat, dan sedikit susah payah mendorong tubuh Jaya yang cukup besar.
Evakuasi Tanggap Darurat, Water Rescue and Evacuation
"Ada tali? Tali? Tali hammock!" Teriakku kepada dua lelaki yang tersisa di darat, Angga Pongo dan Pakde. Pakde yang baru bangun tidur tampak limbung melepas tali yang mengikat hammock, lantas mereka berdua mengikat tali yang dikumpulkan agar menjadi panjang. Lupi berenang kembali ke tepian untuk mengambil ujung tali yang akan digunakan untuk menyelamatkan Jaya. Ia tampak kedinginan, dan ia sedikit meregangkan tubuhnya agar tidak kram. Tutup Tupperware sudah ia bawa sekalian ke tepi.
Penyelamatan yang dramatis, saudara-saudara! Lupi berenang kembali ke tempat Jaya menepi, dan memasang tali untuk penyelamatan. Perlahan-lahan Jaya akhirnya berhasil menepi dengan bantuan tali. Lupi pun berhasil menepi dengan selamat. Alhamdulillah ! Ingin rasanya kukalungkan bunga pada mereka. Lupi menjadi idola para wanita khusus di hari itu saja, hahaha....
Merundung Jaya dan Sang Tutup Kuning
"Mana? Mana tutup Tupperware yang bikin masalah? Hah?" Teriak Mbok Ndewor gemas. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Setelah meraih tutup tersebut, ia menjitaknya dengan gemas.
"Aduuh...sudahlah kalau kemping nggak usah bawa Tupperware lagi! Bikin ribut saja!" Ujarnya. Winda tertawa-tawa malu. Jaya mendadak dapat nama rimba Tupperware dan dipanggil Om Tupperware oleh para bocah. 
"Nggak tahu kenapa, kakiku mendadak kram disana. Untung masih agak dipinggir, kalau ditengah, nggak tahu bagaimana nasibku." Ucapnya penuh syukur. Memang, storage product andalan emak-emak itu benar-benar harus dijaga walau hingga bertaruh nyawa.
"Mbak Winda, dijaga ya tutupnya ! Kalau perlu ditaruh di lemari kayak piala. Kisahnya hampir jadi pertaruhan nyawa itu!" Mbok Ndewor berkata sambil ngakak. Ah ya sudahlah, benar-benar menjadi pelajaran dan pengalaman kami saat kemping.
Foto Bersama Jaya, sang Penyelamat yang Terselamatkan
Perjalanan pulang, akhirnya Winda berhasil membawa carriernya sendiri dengan sedikit terseok dengan berat yang sudah berkurang sekitar 40%. Tampaknya ia sudah berhasil menjadikan perjalanan pertamanya menjadi pelajaran berharga dan penting, dan menurutnya ini seru dan nggak bakal kapok. Malah dia berencana mencari carrier dengan ukuran lebih kecil.
Willkommen bei dem Wald, Winda !
0
Share
 "Panrita Lopi kah besok?" Ajakanku terlontar tiba-tiba melalui pesan singkat dan terkirim kepada Lupi, sobat kempingku. Iseng saja sih, kalau tak terlaksana pun aku bisa ikhlas, karena aku lebih suka kemping di hutan.
"Woi serius?" balas Lupi agak lama kemudian. Sebenarnya rencana ini sudah kami bahas pekan lalu, tapi sayangnya saat itu aku kurang mood untuk melaksanakan kemping.
"Aku gak pernah bercanda loh," 
"Kamu pernah kesana? Nyebrangnya lama nggak sih?" Tanya Lupi super kepo. "Sama siapa saja?" Ia tambah lagi pertanyaannya sebelum sempat aku jawab.
"Pernah kalau ke Pangempang, ke Pantai Mutiara Indah. Ya siapa lagi kalau bukan kita berdua, kamu bawa tenda sendiri" 
"Yakin? Aku ajak temenku disebelah gangmu ya?"
"Lebih baik," tukasku.
"Jauh nggak sih nyebrangnya?"
"Tanya terus, sudah langsung saja kesana ! Aku tahu kok lokasi penyebrangannya !"
"Siap Kanjeng Ratu !"
Sunset Cantik dari Lokasi Kemping Kami
Jadilah, saat itu kami berempat berangkat kemping. Aku, Lupi dan kedua orang temannya yang baru aku kenal, padahal tempat tinggalnya sebelah gangku. Namanya Ivan dan Nur. Lupi sendiri cukup rempong dengan bawaannya, mulai dari nanas, jagung, keju cheddar, agar-agar dan beberapa printilan bahan makanan. Aku cukup takjub dengan semangat dan niatnya. Kerilnya menggembung penuh sesak.
"Gendeng anak ini. Kalah cewek!" 
Lupi meringis. Wajahnya sangat berniat untuk membuka kedai dadakan disana. "Aku pengen bikin dessert agar-agar nanas. Sama jagung susu keju."
"Gendeng." Kata-kata sakti itu terlontar lagi. Lantas aku menawarkan bantuan untuk membawa sebagian perintilannya.
"Nggak kok aku masih bisa bawa." Jawabnya sambil sibuk menata barangnya di motor matic merahnya.
Kami berangkat berempat dengan motor sekitar pukul setengah tiga sore. Aku tetap membawa motor matic pink kesayanganku, perjalanan ini pernah kulakukan ditahun 2016 lalu seorang diri. Perjalanan menuju arah desa Sebuntal Marangkayu dan berakhir di Muara Badak kabupaten Kutai Kartanegara sekitar 1,5 jam. Dan kondisi jalan sudah cukup baik. Beruntunglah saat itu cuaca cerah, walaupun sempat gerimis ringan sekilas di sekitar  Semangkok. Panrita Lopi di Pangempang sendiri sama persis namanya dengan Panrita Lopi di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dan setelah aku cari informasinya kepada penjaga parkir motor disana, Pantai ini dikelola dari hasil investasi warga asli Bulukumba yang bermukim di Muara Badak, sehingga dikelola olehnya dan beberapa karyawan, bukan oleh Dinas Pariwisata. Alhasil masyarakat sekitarpun mendapat berkah tambahan penghasilan dari tempat wisata ini.
Kapal Untuk Menyebrang
Dermaga penyebrangan menuju Panrita Lopi cukup ramai sore itu, karena memang pas hari Sabtu. Pengunjung pun berasal dari kota-kota terdekat dari sana.  Pandemi tak menyurutkan pengunjung yang mulai lelah untuk dirumah saja. Sungguh ramai sekali pantai ini. Tiket penyebrangan pulang pergi dan kemping semalam Rp 40,000, - termasuk air bersih untuk fasilitas MCK. Lama penyebrangan sekitar 15 menit.
Setiba di Panrita Lopi, kami disambut oleh barisan Lorong Cemara, dan tahukah kalian? Pengunjung pantai ramai sesak dan berisik bak pasar tumpah. Ada beberapa klub motor mengadakan family gathering dan kemping. Sempat luruh minat untuk kemping disana hari ini.
"Rame banget, nggak ada tempat lagi, Ne. Gimana?" Tanya Lupi.
"Kita jalan kesana saja, cari tempat yang sepi. Mau cari ketenangan kita ini. Malah jadi stress, belum lagi risiko corona makin besar."
Kami berjalan sekitar 300 meter ke arah utara, ada lokasi yang cukup sepi menurut kami, dan sedikit jauh dari bibir pantai. Ada MCK umum dan warung yang menjajakan snack, minuman, keperluan mandi bahkan penyewaan alat grill disana, jadi tak perlu banyak banyak membawa air minum. 
Lokasi yang kami pilih dibawah pohon cemara, terbuka dan tidak ada yang melakukan kemping selain kami. Ada sisa perapian disana, namun karena tempat pembuangan sampah tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda, jadi lalat banyak berseliweran sore itu.
"Dik...mau kemping disini?" Seorang bapak tua menghampiri kami tiba-tiba. Sejenak kami menghentikan aktivitas pendirian tenda. Wah jangan-jangan area terlarang nih.
"Masukknya dari mana?" Tanyanya lagi.
"Emm...Panrita Lopi." Ivan menjawab ragu. 
"Begini Dik, saya pengelola pantai ini. Mohon jaga kebersihannya ya?"
Pengelola Pantai ini? Aku berpikir heran. Memangnya ini bukan Panrita Lopi? 
Beruntunglah kami mendirikan tenda disana. Panorama matahari terbenam sangat indah tertangkap kamera. Sungguh!
Dan sebab penasaran, kami berempat mencoba berjalan menuju ujung pulau Pangempang ini. Sekitar 30 menit kami hampir mencapai ujung pulau, dan memutuskan untuk kembali ke tenda karena hari memasuki gelap. Ada beberapa laguna disana. Dan akhirnya kami tahu, Pulau Pangempang memiliki beberapa pantai yang diolah masing-masing pemiliknya. Seperti model tanah kapling begitulah. Makin keujung, makin kurang pengunjungnya. Sangat sepi dan damai.
Laguna
"Lain kali kalau kita ingin kemping ke pantai sekitar sini saja. Sepi seperti private beach." Lupi memberi ide. Ada beberapa pantai yang kami lewati, seperti pantai Biru, Pantai Mutiara Indah, Pantai Pelangi, Pantai Jingga, Pantai Ceria dan beberapa nama dalam satu garis pantai yang sama, kami saat itu baru menyadari bahwa mendirikan tenda di Pantai Ceria. Yang paling riuh tetap Panrita Lopi, entah kenapa.
Demaga Blue Beach
Saat itu kami hendak mengolah bahan makanan untuk makan malam, dan tiba-tiba hujan turun sederas mungkin sembari dibumbui angin. Kami pontang-panting menyelamatkan alat masak dan bahan makanan ke gazebo terdekat dari tenda kami. Gazebo yang disewakan Rp 100,000 ,- tersebut masih tampias, dan membuat kami basah kuyup sambil memasak ala kadarnya.
"Besok bapaknya bisa-bisa nagih uang ke kita." Godaku iseng. Mereka terbahak pasrah.
Namun hujan tak turun lama. Setelah kami makan malam, hujan berhenti dengan sempurna dan digantikan dengan langit cerah bersama bintang malam. Saat itu aku merasa paling bahagia, kubuka pintu tenda, lantas sedikit kugeser kepalaku keluar sembari telentang menghadap langit. Para cowok sibuk membuat perapian untuk mengusir nyamuk malam. Lampu-lampu dari kapal pembawa batu-bara maupun gas carrier berkelipan dari kejauhan.

Suasana Menjelang Siang

Suasana saat pagi menjelang cukup menyenangkan. Langit bersih, sangat cerah, dan pantai tampak sangat biru. Untuk sarapan, Lupi mendapat giliran untuk memasak hari ini. Agar-agar walet dan beserta jagung kesayangannya ia keluarkan. Sungguh mewah sarapan saat itu walaupun tiada nasi. Oseng-oseng blackpepper, Mie goreng, Agar-agar dan Jagung Susu Keju sebagai pencuci mulut istimewa.

Tak kusangka masakan yang asal-asalan ini lezat juga, haha! Dan beruntunglah saat kami pulang, bapak pengelola Pantai Ceria tak menagihkan gazebonya  kepada kami. Kalau untuk rekreasi keluarga, cocok sekali untuk memilih pulau Pangempang, namun kalau kalian sang pemburu kesunyian, menurutku lokasi ini kurang cocok karena sangat ramai!

Peserta Kerusuhan Hari Itu

0
Share
Bagi teman-teman penghobi sepeda dengan aliran alias disiplin All Mountain/Enduro/Downhill, menurutku patut untuk mencoba kedua bikepark yang belum lama dibuka ini. Letaknya tak seberapa jauh dari kota Malang, hanya sekira satu hingga satu jam setengah tergantung dengan kondisi selama perjalanan. Pada kesempatan pulang kampung yang kedua kalinya semasa pandemi, tentu saja sepeda sebagai sobat sejatiku tidak pernah ketinggalan. Seperti biasa, Malang dan Batu menjadi destinasi untuk memanjakan si Vanessa alias sepeda enduro kesayangan yang berwarna hitam pink tersebut, tentu saja di sana merupakan surga bikepark maupun jalur AM yang bagus buat foto-foto di Jawa Timur. Untuk partner gowes kali ini, siapa lagi kalau bukan Om Andre, orang yang sama seperti yang diceritakan pada post Kinco Bike Park hampir dua tahun yang lalu.
    "Mau gowes kemana lagi sih Unee...corona corona gini," Ujar Andre saat berkumpul di titik temu kami, di Alun-Alun Batu.
    "Bikepark yang baru-baru mana aja sih? Yang biasanya kamu post di Instagrammu itu loh video-videonya." jawabku.
    "Akeh, "
    "Yang ada rock garden dengan batu-batuan segede kambing." Cerocosku asal. Lantas ia mencari sesuatu di galeri ponselnya.
    "Ini? Yang ini maksudmu?"
    Aku melongok ke layar ponselnya, "Iya ! Iya yang ini dimana?"
    "Di Sidoluhur Lawang sih. Besok saja kita kesana, sekalian ke Tutur Welang. Rugi kamu kalau nggak ke TW. Jalur enak banget disana. Hari ini kita ke Panderman dulu saja. Di kaki Gunung Panderman sana." 
    "Jalurnya apa ngeri Om? Apa bisa dengan kemampuanku yang abal-abal tiap tahun tiada peningkatan ini?" Tanyaku was-was.
    "Nanti kukasih tahu."

PANDERMAN BIKEPARK
Perjalanan menuju Panderman Bikepark dari Batu membutuhkan waktu sekira 30-45 menit. Namanya dikaki gunung Panderman, ya tentu saja seratus persen tanjakan super ngeri dong. Tapi tenang, saat itu kami loading (membawa sepeda ke titik start) menggunakan pick up yang sudah dimodifikasi khusus untuk angkut sepeda. Kalau tidak menggunakan pick up tentu saja bisa-bisa dengkulku sudah lepas menanjak sejauh dan seterjal ini.
    "Aku pernah gowes keatas." Ujar Om Andre tiba-tiba.
    "Serius? sendiri?" Ujarku yang sebenarnya tak kaget dengan kebiasaan Om yang satu ini.
    "Ya jelas sendirian aja. Orang gila mana yang mau gowes naik gunung setinggi ini pakai sepeda enduro," jawabnya terkekeh.
    "Gila, dengkul dewa tulang besi memang Om ini."
Titik start Panderman Bikepark terletak tepat di pintuk masuk pendakian Gunung Panderman, ada peraturan saat bermain dan gerbang dari bambu. Untuk menuju start, kami harus menuntuk sepeda yang cukup menanjak sejauh sekitar enam puluh meter.
    "LS ini, LS ! Katanya pemain enduro," Kata Om Andre setelah melihatku berhenti saat menuntun ditengah tanjakan sambil ngos-ngosan.
Panderman Bikepark
Lantas ia menjelaskan sekilas mengenai jalur yang ada di Panderman. Ada dua jalur, yang biasanya jadi favorit goweser adalah Minthi line dengan jarak sekitar 3 km karena cukup mudah, yang satunya adalah jalur Bebek yang mega teknikal dan level kesulitannya diatas Minthi.
Gunung Panderman Tampak Dibelakang
    "Mau nyoba yang mana Ne? Dua duanya kah?" Tawarnya.
    "Hmm..Minthi dulu saja deh. Yang gampang. Aku kan penakut." Ujarku mulai krisis rasa percaya diri karena sudah cukup lama tidak latihan enduro.
    "Pelan saja, dirolling saja dulu."
Awal mencoba Minthi line memang cukup pelan. Kecepatan hanya berkisar sekitar 20 km/jam saja. Beberapa obstacle memang bisa dirolling. Namun ada beberapa tanjakan diawal yang selalu membuatku menuntun entah itu gara-gara telat shifting ataupun dengkul yang memang lemah.
    "Sudah dua belas speed reek...masih nuntun saja." Komentarnya lagi-lagi. Iya dua belas speed, namun kekuatan dengkul masih dua tak. Hahaha...
    "Hei, setelah ini ada drop setinggi tiga karung, itu, pas dibawah pohon itu. Mau nyoba?"
    "Ya mau lah! Pendek saja kan itu." Jawabku menantang diri, sedikit meyakinkan walaupun sudah lama tak berlatih.
    "Oke, aku rekam ya. Speedmu tambahin. Badannya agak dibelakangin pas mau masuk air time. Jangan ragu. Sepedamu enak kok. Kamu mulai dari pohon itu aja." Komandonya. "Speednya yang kenceng, kamu yang bisa ngukur seberapa kencengnya. Kamu yang bisa ukur. Jangan ragu ! enak aja ini jumpingannya."
Sedikit deg-degan aku menuntun sepeda naik. Mempersiapkan diri, mengatur nafas, dan tentunya berdoa.
Tenang Une, kamu pasti bisa, jangan mikir macam-macam. Los !
    "Yoook....kamera udah siap !" Om Andre memberi aba-aba. Aku tarik nafas dan mulai menggeber sepeda dengan kencang versiku dan bersiap untuk take off.
Percobaan Kedua
    Jleeeg. ! Aman, aku nggak jatuh.
    "Gimana menurutmu landingnya? Enak gak?" Tanyanya kemudian.
    "Nggg...nggak Om."
    "Kurang apa?"
    "Nggak smooth."
    "Kamu memang kurang speed. Tertolong gara-gara travelmu yang tinggi. Mau coba lagi?"
    "Ayok!"
    "Lihat videomu ini. Coba analisa apa yang kurang."
    Setelah kulihat sejenak tayangan ulang aksiku barusan, maka aku menuntun kembali sepeda keatas. Padahal aku merasa speed sudah cukup kencang, tapi kenapa masih terasa kasar saat landing. Mungkin saat itu aku sedikit kagok atau ragu.
Kesempatan kedua ini aku berusaha aku perbaiki. Menurut Om Andre ini lebih baik walaupun speed masih kurang.
Puas mencoba dua kali, kami melanjutkan jalur. Setelahnya ada drop tinggi hampir sekitar dua meter, tentu saja walaupun sepedaku mumpuni, namun pikiran seram selalu menggelayuti.
Jangan ah, aku masih bujangan. Masa habis disakiti cowok, sekarang malah disakiti sepeda.
Minthi line ada beberapa jalur yang flat, lalu banyak kelokan tajam dan switchback. Ada turunan curam yang membuatku sempat terjatuh karena tidak bisa mengkontrol komposisi rem. 
    "Aman saja kan Om Unee..." tanya Om Andre.
    "Sangat aman. Tanahnya loh empuk!"
    Kami mencoba Minthi line sebanyak tiga kali run. Run terakhir aku lalui dengan cukup lancar dengan total waktu sembilan menit. Maklum, skill pas-pasan dan bukan atlit profesional :)

UMBARAN BIKEPARK
    "Mampir bentar aja ya, bikepark Umbaran di Sidoluhur. Rugi kalau nggak nyoba." Seru Om Andre. 
    "Treknya ngeri nggak?" Pertanyaanku lagi-lagi sedikit ketakutan. Setelah kejadian kampas rem yang menipis kemarin.
    "Awal sih kalau bagimu kecil aja itu. Yang sedikit ngeri itu pas mau masuk rock garden yang batunya segede indukan kambing. Nanti lewat chicken way saja, cuma ya gitu walaupun chicken way, tapi lumayan."
    Aku menelan ludah. "Aman nggak sih Om buatku?"
    "Halah, juara enduro nasional kok. Kamu biasanya main offroad, ya bisa lah !" Om Andre meyakinkanku. Aku menelan ludah sekali lagi. Ditambah lagi sesampainya di Umbaran Bikepark, ternyata ada beberapa murid dari Popo Ario Racing School (PARS) yang didominasi oleh anak seusia SD-SMP juga sedang jadwal latihan. Makin hilanglah rasa percaya diriku saat itu. Mampus gua!
    "Kita duluan ya. Kalau mereka duluan bakalan lama. Nunggu briefing dan lain-lain." Instruksi Om Andre. Umbaran Bikepark sendiri terdapat lapangan luas yang merupakan tempat latihan paralayang di Sidoluhur.
    "Nanti malah ganggu mereka latihan gara-gara kita lambat," Ujarku khawatir. 
    "Nggak. Paling nanti di rock garden legendaris aja yang bakalan macet."
Kami bertiga pun segera meluncur kedalam trek. Oh ya, saat itu kami bertiga, satunya sama atlit asli yang nggak mau disebutkan namanya. Oke, awal trek masih aman dan speed cukup dapat. Ada berm section yang nyaman sekali. Favorit ! Untuk obstacle tidak terlalu berbahaya dan bisa dirolling. Untuk orang dengan skill menengah kebawah masih bisa dilalui dengan aman. 
Pemanasan Rock Garden
"Yok siap-siap rock garden!" Sekitar sepuluh menit kami masuk trek, Om Andre memberi komando. Pemanasan rock garden Umbaran Bikepark mulai terasa. Tangga-tangga berbatu yang teknikal saat dirolling.
Aku meringis menatap sekumpulan batu-batu sebesar kambing dihadapanku. Sibuk mencari chicken way teraman. Kami berhenti cukup lama disana, hingga akhirnya para murid Racing School menyusul kami. Mereka juga berhenti di section rock garden, sama-sama melakukan coaching clinic.
Rock Garden Section yang Segede Kambing
Kesempatan ! aku bisa sedikit mencuri ilmu dari mereka. Memang tak semua peserta dapat melaluinya dengan mulus, dan setidaknya dapat menjadi hiburanku di pagi menjelang siang tersebut.
    "Giliranmu Ne. Ikuti line chicken way yang dilewati anak-anak tadi." Om Andre memberi saran. Aku menelan ludahku sekuat tenaga, lalu dengan gontai menuntun sepedaku keatas.
    "AYO OM UNE PASTI BERANI DAN HARUS BISA DONG!! SEMANGATTT !!" Katanya menyemangatiku. Om atlit asli menjagaku dari samping jalur sembari memberitahukan jalur yang aman dilalui.
    "Disini nggak perlu speed mbak. Tapi konsentrasi dan kontrol pengereman. Kuda-kuda harus kuat, yakin, dan jangan kebanyakan rem depan. Yok!" Om Atlit asli memberi saran terakhir sebelum aku mencobanya. Om Une harus bisa.
Aku menaiki sepedaku dengan pelan. Badanku benar-benar kumundurkan agar tidak terjungkal. Sukses ! Namun ada satu belokan diantara celah batu besar tidak bisa aku lewati. 
    "Mantap lumayan lah!" Seru Om Andre. Namu penderitaan rock garden tidak berhenti sampai disana. Masih ada turunan curam berbatu dan sedikit licin. Kalau rem los, bisa masuk jurang.
    "Berani? Bisa? Lihat Om Atlit asli lewat lebih dulu, nanti kamu contoh caranya dia ngerem."
    Om Atlit asli meluncurkan sepedanya dengan mulus dan sangat pelan. Ya namanya atlit, pasti lancar, haha. Tibalah giliranku, aku berusaha mengontrol rem. Rem belakang aku tarik penuh dan rem depan hanya sekitar setengah, dan itupun aku lakukan pull-release berkali-kali. Namun sial, di pertengahan aku merasa overspeed, dan aku akhirnya berhenti.
    "Ayo coba lagi Om Une!" 
    Aku turuti kata-kata itu untuk mencoba sekali lagi. Namun tetap saja aku mendapat sedikit overspeed ditengah jalur. Lantas aku memilih untuk turun dan menuntun sepeda saja demi keselamatan dan masa depanku.
Demi Keselamtan dan Masa Depan Infonya...
    "Memang sulit jalur ini Mbak. Asli. Teknikal. " Om Atlit asli membesarkan hatiku. Mukaku panas karena adrenalin terpompa dengan penuh. Edan-lah rock garden Umbaran ini.
    "Ini aja yang sulit. Kedepannya kecil aja buatmu." Kata Om Andre. Trek yang dilalui seusai section yang menyengsarakan itu hanya sekira 500 m, dan aman. Finish bikepark tersebut di perkampungan warga.
    "Gimana? Mau run lagi?" Tawar Om Andre. Aku menggeleng cepat. 
    "Ah, sudahlah, cukup tahu. Sekali saja. Keburu kesiangan ke Tutur Welang."
    "Hahahaha....kapok kayaknya Om Une kena rock garden section sebesar kambing !" Godanya sambil tertawa. Mukaku merah menahan malu. Benar-benar pengalaman berharga dalam dunia persepedaanku.

*Terima kasih Om Andre dan Om Atlit Asli atas coaching clinicnya !
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • Better Healing in Teluk Lape and Malahing
    Wisata bahari di Bontang dimana saja? Beras Basah? Itu sudah sangat-sangat biasa. Segajah? Ya itu salah satunya, tapi kali ini karena mengaj...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose