Better Healing in Teluk Lape and Malahing

Wisata bahari di Bontang dimana saja? Beras Basah? Itu sudah sangat-sangat biasa. Segajah? Ya itu salah satunya, tapi kali ini karena mengajak sang emak dan bapak yang jauh-jauh dari kampung halaman dan nggak mungkin ke Segajah karena kegiatan utama disana adalah snorkeling dan tentunya panas karena tidak ada tempat berteduh. Jadilah....Malahing menjadi salah satu tempat pilihan untuk mengajak bapak ibu mencari spot foto di hari Minggu sore.

Sebelum masuk ke cerita petualangan kecilku di Malahing, aku ingin menceritakan sedikit mengenai salah satu pemukiman ditengah laut Bontang selain Selangan yang menjadi salah satu nominator 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia pada tahun 2023. Kampung ini berdiri sejak tahun 1999 dengan perintisnya adalah Bapak Nasir Lakada dan kakaknya. Mereka melakukan perjalanan dari Mamuju, dan mendirikan rumah diatas laut, lalu lambat laun berkembang dan bertumbuh menjadi salah satu kampung di kelurahan Tanjung Laut dengan kurang lebih 62 kepala keluarga. Malahing sendiri kian bersinar dengan bantuan CSR dari PT Pupuk Kalimantan Timur dan PLN Peduli.

Jadi Malahing ini benar-benar perkampungan diatas laut, terpisah sekitar 4 km dari Bontang Kuala. Tidak ada pasir ataupun tanah, hanya ada bilah-bilah kayu ulin yang disusun membentuk jalan maupun lapangan kampung tempat warga menyalurkan olahraga atau permainan seperti voli, badminton ataupun sepak takraw.







Walau Malahing hanya kampung diatas laut, namun fasilitas sosial sudah cukup lengkap, seperti SD, TK dan PAUD, rumah ibadah, toko  yang menjual kerajinan masyarakat, dan yang paling menarik perhatianku adalah pojok literasi dengan jumlah bukunya lumayan banyak. Homestay dan resto apung juga tersedia bagi pengunjung yang ingin menjauh sejenak dari keriuhan di kota. Untuk sinyal? Aman, koneksi 4G kencang sudah tersedia disini. Listrik dan air bagaimana? Listrik sudah tersedia dengan PLTS bantuan dari  dinas perumahan dan permukiman, dan juga untuk air sudah dikelola oleh PDAM. Takjub juga sih aliran PDAM sudah masuh ke pemukiman ini, kukira penduduk hanya mengandalkan air tadah hujan di tandon untuk keperluan air tawar sehari-hari. Untuk keperluan sanitasi dan MCK juga telah tersedia septic tank terapung.

Dan perjalanan kita hari itu dimulai pada pukul 16:30 sore lebih sedikit karena kami baru sampai dari Samarinda. Perjalanan dengan perahu motor hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit dari Bontang Kuala. Namun tujuan kami sore itu tak ke Malahing saja, tapi melihat satwa yang menjadi primadona kota Bontang alias Kuntul Perak dan Bangau Tong-Tong yang spesiesnya mulai langka.

Laju perahu kami melambat mendekati dua rimbunan bakau ditengah laut, tak jauh dari perkampungan Malahing. Laut mulai jernih, dasar laut tampak dengan jelas.

"Kita ke Teluk Lape dulu, lihat Kuntul Perak dan spesies yang sudah langka, Bangau Tong-Tong," ujar Ino yang menjadi pramuwisata kami sore itu.

"Teluk apa mbak?" suamiku setengah berteriak sambil beradu dengan dengungan mesin kapal.

"Lape, Lape mas! Ini awalnya Teluk Love namanya, karena  dua mangrove ini ketika surut seakan-akan membentuk hati. Namun masyarakat Bugis lebih biasa menyebutnya Lape, jadilah Teluk Lape, lebih kearifan lokal."

Haha, Lape menurut lidah orang Indonesia memang lebih nyaman diucapkan.

"Ini burung-burung hanya ada sore hari aja mbak?" lanjut suamiku.

"Ya enggak, pagi siang juga ada. Cuma aku lebih suka lihatnya sore, karena suasananya enak, teduh, dan juga bisa menikmati sunset dan langit yang indah jika beruntung."

Emakku heboh sekali melihat para bangau beterbangan diterpa cahaya sore yang keemasan. Tangannya tak henti-henti menekan tombol rana kamera sesekali mengeluh dengan wajah berkerut kesal, "Aduh, apa ini kamera hape jelek. Mau ambil foto burung aja buram, jelek. Harusnya pakai kamera bagus yang lensanya puanjang gitu."

"Ya besok beli lewat keranjang hijau," timpalku santai.

"Mangrove juga sudah kami tanam untuk memperluas area mangrove, menjaga kelestarian mereka. Lihat, itu Bangau Tong-Tong, ukurannya sangat besar, lebih besar dari elang ! Mereka terbang bersama kuntul perak !" pekik Ino sambil menunjuk para satwa itu.

Duh, aku yang sudah bertahun-tahun di Bontang baru sekali ini lihat kuntul perak. Warnanya memang nggak perak, tapi putih bersih. Apalagi bangau tong-tong dengan nama ilmiah Leptoptilos javanicus, si bangau berleher jingga berkepala botak dan paruhnya panjang, baru pertama kali juga melihatnya.

Langit sore itu cerah dan jelita. Senja makin turun dan warnanya berubah menjadi ungu lembayung. Perahu kami memutar dan menuju kampung Malahing untuk menyapa warga dan melihat aktivitasnya.

Malahing sore itu ceria, anak-anak sibuk bermain bola di lapangan sekolah. Para balita sibuk melihat orang tuanya yang bermain voli sambil mengusili satu sama lain. Sedangkan kami sibuk berkeliling dan memotret sekitar, melihat keramba warga yang dihuni oleh beberapa jenis ikan dan lobster besar, dan juga homestay estetik serta spot foto yang membuat emakku berkali-kali ingin difotokan, dan mengamuk ketika hasilnya jelek. Namun ia semakin gembira menatap langit sore itu yang warnanya luar biasa indah.

Ah, dasar emak-emak senior.

Kunjungan kami saat itu adalah masa dikala malam hari bulan purnama berpendar bulat-bulatnya. Air laut pasang, sore menuju malam kian tinggi. Pelataran parkir Bontang Kuala terendam banjir air laut sebetis orang dewasa. Pemilik kendaraan bermotor, dan mungkin sepeda ketar-ketir melintasinya, bukan karena ada buaya, tapi proses oksidasi  yang menyebabkan karat menghantui kami jika telat sedikit menetralkannya dengan air tawar. Rangka rontok, perawatan makin mahal. Jadi jangan lupa selalu memastikan kondisi bulan sebelum mengunjungi Bontang Kuala ya.

Bagi yang ingin berkunjung ke Malahing atau wisata di seputar bontang bisa kontak kak Ino di : 081250595075.

Unesia Drajadispa

No comments: