• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
17 Agustus 2017
Pagi-pagi aku terbangun. Tampaknya waktu matahari terbit saat musim panas di Berlin dengan Sangatta tidak jauh beda. Pukul enam pagi sudah terang, dan aku bergegas menunaikan shalat shubuh yang sedikit kesiangan tersebut.
Julie sudah bersiap untuk menuju ke tempat kerjanya. Ia menuturkan bahwa tempat kerjanya dapat dicapai dengan menggunakan bus selama 45 menit.
"Bagaimana tidurmu semalam, Unesia? Nyenyak ngga?" Tanyanya dalam Bahasa Inggris, tentunya. Ia bertanya sembari mengunyah sereal gandum untuk paginya.
"Tentu saja. Aku capek, dan bersiap untuk menjelajah kotamu hari ini." Jawabku dengan wajah masih kusut, berminyak dan rambut acak-acakan.
"Oh ya, kamu bisa mengunduh aplikasi ini, untuk mempermudahmu menjelajah Berlin. Tenang saja, petunjuk mudah dimengerti, terlebih lagi kamu menguasai Deutsch sedikit." Ujarnya menenangkanku. Selanjutnya menunjukanku aplikasi VBB Bus und Bahn di gawainya.
"Unduh saja VBB, ketik tujuan dan tempat asalmu. Otomatis aplikasi ini akan memberitahumu rute dan transportasi apa yang harus kamu gunakan. Bisa digunakan untuk bus, maupun U/Regional Bahn. Ini salah satu aplikasi wajib bagi Berliner."
VBB versi web, untuk versi app kurang lebih saja
"Mirip seperti Next Stop Paris," gumamku sambil mengunduh aplikasi tersebut. 
"Jangan lupa beli tiket harian (tageskarte). Bisa dibeli di kios setiap Bahnhof. Sebelum masuk ke bus/bahn, jangan lupa divalidasi ke mesin-mesin berwarna merah di dekat tempat pemberhentian kereta." Urainya.
"Iya, nanti aku coba. Danke, Julie."
"Aku berangkat kerja dulu. Jangan segan-segan hubungiku kalau ada masalah selama perjalanan. Enjoy Berlin!" 
Lantas aku segera melompat untuk mandi. Dan bergegas untuk menjelajah Berlin.
S-Bahn yang terdekat dari flat Julie hanya berjarak sekitar 800 meter. Pagi di Berlin saat musim panas terasa sejuk, seperti di Lembang. Dan hal pertama yang kulakukan saat tiba di S-Bahn Sonnennallee adalah membeli tageskarte.
"Entschuldigung Sie...."Aku sedikit berteriak permisi dalam Deutsch dengan setengah kagok di kios depan stasiun S-Bahn. Penjaga warungnya nggak ada. Aku harus memanggilnya dengan Deutsch logat Suroboyoan kembali.
"Entschuldigung Sieeee....." Berteriak untuk kedua kalinya, suaraku menjadi lebih parau. Tak lama kemudian seorang ibu paruh baya datang dari luar sambil membawa sekerat soft drinks.
"Hei...hallo...Guten Morgen," Sapanya ramah, jalannya pelan dan sedikit terbungkuk. Duh, alamat ibu satu ini nggak bisa ngomong Bahasa Inggris. Karena, mayoritas penduduk Eropa yang sudah 'berumur' jarang menguasai bahasa Inggris, kecuali kids-kids jaman now yang mempelajari bahasa Inggris di Sekolahnya.
Dan kekhawatiranku benar terjadi.
"Hallo, Was würden Sie kaufen?"
Kurang lebih saya mendengar seperti itu. Apa yang akan anda beli? Dan aku menjawabnya sedikit terbata.
"Ich..Ich will ein tageskarte kaufen..."
Ein tageskarte
"Ach so," lantas wanita tersebut memberikan secarik kertas kecil bertuliskan tageskarte, dan valid selama 24 jam. Harganya 7€. Aku mengeluarkan beberapa uang receh Euro dan sen.
Mungkin karena melihat wajahku yang bukan seperti orang Jerman, Wanita itu melanjutkan penjelasan tentang penggunaan tageskarte tersebut dalam Deutsch. Aku memang tak memahami walau sudah berkata 'bitte, langsamer' alias 'pelankan dong bicaranya'. Dahiku mengerenyit mendengarkan penjelasannya.
Yang kutangkap dari bahasa tubuhnya, adalah sebelum naik U-Bahn harus validasi dulu tageskarte-nya. Olalaa....
Tinggal memantau jadwal kedatangan S/U Bahn. On time
Tujuan pertamaku adalan Branderburger Tor. Dari Sonnennalle/Baumschulenstraße menuju S Südkreuz dengan S42, lantas dilanjut dengan S25 arah Heningdorf. Tidak perlu takut salah arah, petunjuk sudah sangat...sangat jelas di setiap bahnhof. Tinggal ketik saja sesuai petunjuk Julie di VBB, dan petunjuk termudah serta terdekat moda transportasi sudah tersedia berdasarkan jadwal kedatangan. Tidak ada keterlambatan transportasi di Berlin, semua tertib dan teratur sesuai jadwal.
Masih difotoin tripod
Karena masih pukul setengah sembilan, denyut wisatawan masih belum terasa dan udara masih segar. Langit supercerah, tanpa awan segumpalpun. Seperti biasa, karena seorang diri, maka senjata andalan untuk berfoto pun dikeluarkan, tripod pink.
Di sekeliling Reichstag
Gerbang yang terletak di Pariser Platz terpampang nyata dihadapanku dengan patung dewi yang terbuat dari perunggu diatasnya. Selama ini hanya bisa kusaksikan dengan mupeng di buku Deutschkurs ku, dan kalian tahu....setiap aku menatap sampul buku Deutschkurs...tanpa sadar aku selalu melantunkan doa untuk bisa menyentuh bangunan tersebut.
Reichstag



Berjalan sekitar 500 meter, dibalik Brandenburger Tor tersebut kudapati Reichstag, atau dengan kata lain Gedung Parlemen. Sebenarnya aku udah membuat janji untuk masuk ke Dome Reichstag, akan tetapi janji pukul 2 siang, dan sekarang masih pukul sepuluh pagi, jadinya beberapa tourism place bisa aku kunjungi terlebih dahulu.
Dengan menumpang bus no 100, aku berniat untuk mengunjungi Check Point Charlie. Aku berhenti di Unter Den Linden, dan ternyata aku tak dapat menemukan letak Check Point Charlie. Berjalan secara acak, lantas aku masuk ke sebuah toko souvenir. Seperti yang pernah saya baca di blog, bahwa hampir semua toko souvenir menjual pecahan tembok Berlin disertai dengan sertifikat yang diklaim asli. Aku yakin, itu hanya akal-akalan penjual saja, runtuhnya tembok Berlin berpuluh-puluh tahun lalu, dan reruntuhannya baru dijual sekarang dengan kondisi cat yang masih mengkilap? Apakah meyakinkan?


World Clock di Alexanderplatz
Karena lapar, aku memutuskan untuk pergi ke Alexanderplatz, menurut info disana banyak dijual kedai makanan dan pedagang kaki lima yang menjajakan souvenir dengan harga terjangkau. Menu makan pagi yang kesiangan tersebut sama, doner kebab dengan ukuran yang superbesar. 
Sebenarnya aku sangat tertarik membeli sosis yang dijajakan oleh pedagang keliling, akan tetapi aku ingat, di Jerman, würst itu berarti sosis yang terbuat dari daging babi.
Sony Center

Selepas dari Alexanderplatz, aku mengunjungi Sony Center dengan menaiki U-Bahn Alexanderplatz menuju Potsdamer Platz. Sony Center hanya semacam mall terbuka, dan aku ternyata tak terlalu tertarik untuk mengelilinginya. Jalanan di Berlin dipenuhi oleh pipa-pipa yang berwarna biru atau pink yang malang melintang, entahlah apa fungsinya.
Potsdamer Platz Bahnhof



Mendekati pukul dua, segeralah bergegas ke Reichstag untuk memenuhi permission memasuki area Dome Reichstag.
Cara membuat permit untuk memasuki Dome Reichstag sangat mudah, cukup klik situs resmi German Bundestag dan pilih online registration, ikuti saja petunjuk pengisiannya, lalu pilih tanggal dan waktu kunjungan. Setelah itu permit akan terkirim ke email pengunjung, dan permit itulah yang harus dibawa ketika mengunjugi Reichstag (lebih bagus dan sopan di print out), dan itu tidak dipungut biaya!
Dapat Email Invitation Seperti ini

Sebelum memasuki lokasi,  tanda pengenal yang berlaku diperiksa (tentu saja paspor dan visa, bukan KTP atau SIM ya), tas diperiksa, selanjutnya dipersilakan masuk berkelompok dengan pengunjung lainnya bersama dengan seorang pemandu. Setelah itu menaiki lift kaca, dimana kita bisa ngintip sedikit isi gedung Parlemen, hehe.
Sebelum memasuki area Dome, kita dipinjami semacam alat translator dalam 5 bahasa (tidak termasuk Indonesia). Karena nggak paham-paham dengan kelima bahasa tersebut, maka translator nya disimpan dalam tas saja.
Dome's Terrace of Reichstag Building
Dome Reichstag sungguh splendid architecture, menurutku. Seperti rumah keong, dan aku masih tak percaya dapat mengunjungi salah satu gedung terpenting di Jerman tersebut. Rasanya sedikit kecewa nggak mengunjungi saat malam hari...karena berdasarkan referensi yang kubaca, lightning nya sungguh memukau !


Tampak dalam...pakai lensa fish eye biar efeknya bagus 
Puas berputar-putar dan berfoto di sekitaran dome, akhirnya saya melanjutkan perjalanan, saat itu masih pukul 4 sore. Julie pulang kerja dan sampai rumah sekitar pukul 6, dan aku masih memiliki waktu sekitar dua jam untuk menjelajah dan cari cowok Berlin !
Berdasarkan aplikasi VBB, untuk menuju Berliner Dom harus naik bus no 100 dari Reichstag, oke. Tujuan selanjutnya adalah Berliner Dom, salah satu tempat yang membuatku penasaran akan arsitekturnya yang indah. Gereja, dengan kubah hijaunya yang menawan. Di depan bangunan tersebut terdapat lapangan rumput dan air mancur, serta banyak warga Berlin yang leyeh-leyeh disana saat musim panas. Berjalan memutar sedikit dibelakang Berliner Dom, terdapat banyak kafe di pinggir sungai Spree.


Berliner Dom, atau Berlin Cathredal

"Hej Unesia! Wie Gehts?!" Sapa Julie tiba-tiba via aplikasi pesan instan. Tampaknya ia mengkhawatirkanku.
"Danke, gut. Ich bin hier!" Jawabku sambil menyertakan foto Berliner Dom.
"Nice...that's my favourite place :) "
Ia berkata bahwa ia telah tiba di flat-nya. Akupun segera kembali ke flat Julie, tubuh sudah letih dan kepikiran shalat yang belum terlaksanakan saat dhuhur.

"Kemana aja kamu?" Tanya Julie ketika aku mencapai rumahnya.
"Sightseeing," Jawabku singkat, dan aku menjelaskan beberapa pengalaman menarik di kota tempat ia dibesarkan. Mulai dari pengalaman ngomong Deutsch dengan warga lokal, hingga mencoba beberapa moda transportasi.
"Belum sempet ke East Side Gallery?" lanjutnya.
"Tembok Berlin?"
"Yaa....tapi memang sedikit jauh dari tempatku. Kamu wajib mengunjunginya, Unesia. Memang sudah dipenuhi graffiti dan lukisan dari beberapa seniman."
"Besok saja, jadi rencana besok aku mau pulang, paginya aku titipkan dulu koperku di Berlin Hauptbahnhof."
"Very Good, nikmati waktumu di Berlin."
Lantas kami istirahat malam itu. Aku meringkuk di sofa santai milik Julie.

18 Agustus 2017
Pagi hari aku sudah mulai mengepak barang bawaanku kedalam koper dan memastikan tak ada yang tertinggal. Ya, sore ini aku harus kembali ke tanah air untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dan melanjutkan perjalanan selanjutnya. Setelah membeli tageskarte, aku segera menuju ke Berlin Hauptbahnhof dengan bus M41 dari halte Sonnenallee. Kenapa aku nggak naik S-Bahn? Alasannya sederhana, Aku malas harus angkat koper pinjaman seberat 23 kilogram naik turun tangga.
Rencana awal sukses, nitip koper di halte senilai 5€, lalu beli croissant andalan di kedai roti Le Crobag yang rasanya favorit, menurutku. Turun kebawah, lalu beli segelas orangenschaft (jus jeruk) dimana penjualnya warga imigran Turki seharga 1€.
Pipa-pipa di Jalanan Berlin yang tak kuketahui fungsinya
Destinasi selanjutnya? Ke East Side Gallery. Cukup naik S-Bahn tujuan Berlin Südkreuz. Jalan sekitar sepuluh menit, sudah kelihatan temboknya.
Memang, sepanjang tembok dipenuhi gambar-gambar yang bernada sindiran, atau menyiratkan pesan maupun duka. Berikut contoh lukisannya.
Lukisan ini yang paling terkenal





Pesan dariku, jangan sekali-kali tergiur untuk mencoba ikut nimbrung di sulap jalanan berupa bola-bola yang ditukar-tukar dalam kotak. Memang sekilas mudah dan kita tertarik untuk ikut taruhan sebesar 50€. Tapi ingat, si pesulap tak semudah itu dikadalin pengunjung. Uang 50€ anda pasti akan hilang begitu saja.

Setelah dari East Side Gallery, aku mulai bingung mau kemana lagi. Rasa rindu akan tanah air mulai membuncah. Lantas aku berputar-putar saja di sekitaran Brandenburger Tor dan nongkrong sendiri di Holocaust monumental.
Holocaust Monumental

Sekitar pukul 4 sore aku menuju Bandara Tegel dengan menumpang bus TXL dari Berlin Hauptbahnhof selama 45 menit. Lantas setibanya di bandara Tegel, aku terkejut. Bandaranya kecil, kuno, kalah jauh mah sama Balikpapan. Menurut info, pembangunan Bandara tersebut terpengaruh oleh budaya Jerman Timur yang kuno, hmmm.
Bandara Tegel Otto Lilienthal
Sebelum boarding, aku sempat mengisi perut di kedai fast food, dan aku sedikit berbisik perlahan : "Selamat tinggal Berlin, terima kasih sudah membuat impianku sejak lama menjadi kenyataan. "

Berlin. 17-18 Agustus 2017
0
Share
Berlin merupakan kota kedua yang aku kunjungi saat aku singgah di Jerman. Bertolak dari Frankfurt am Main Hbf dengan ICE 1631 menuju Berlin Hbf  pada tanggal 16 Agustus 2017 pukul 3 sore waktu setempat. Aku paham kalau semua hal di Jerman sangat pünktlich (tepat waktu), maka tentu saja aku harus mengikuti aturan main negara tersebut. Dengan sedikit tergesa menggerek koper fiber berwarna jingga pinjaman di tangan kiri sembari membawa secontong kentang goreng porsi banyak berlumur mayones dengan tangan kanan yang kubeli di kedai stasiun seharga 2 Euro untuk mengganjal perut menuju Platform 13, saat itu waktu menunjukkan 10 menit lagi akan berangkat.
Kereta Cepat ICE yang membawaku bertolak ke Berlin
Aku memesan tiket ICE saat masih berada di Indonesia, reservasi secara online dan pembayaran dengan kartu kredit seharga 85 Euro. Tarif normal sih 80 Euro, akan tetapi aku juga memesan tempat duduk untuk menghindari tidak kebagian tempat duduk sepanjang perjalanan menuju Berlin dengan harga 5 Euro. Berdasarkan info dari bebrapa blog yang aku baca, disarankan untuk mereservasi seat sebelum keberangkatan, kenapa? Katanya, kalau misalnya semua penumpang mereservasi seat sehingga kamu harus dulu-duluan berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang belum memesan seat. Kalau nggak dapet seat? Harus ikhlas berdiri sepanjang perjalanan tanpa ampun, terlebih lagi jarak tempuhnya lumayan lama. Nah kalau ada seat yang kosong? Tentu saja boleh didudukin dong.
Tiket Online ICE
Sempat mondar-mandir di luar kereta, tampaknya aku sedikit panik gara-gara tak menemukan gerbong yang tertera di tiketku. Lantas aku beranikan diri bertanya pada petugas DB (Deutsche Bahn, PT KAI nya Jerman) yang sedang asyik merokok.
"Entschuldigung Sie..Wagoon 22? " 
Tanpa bersuara ia menunjuk gerbong didepannya. Astaga! Sudah jelas terpampang Wg 22 kenapa aku malah bertanya padanya? Hahaha.
"Nichtraucher?" Tanyaku sambil memperagakan orang merokok.
Petugas yang memakai anting hitam itu mengangguk, sembari mengucapkan danke lalu bergegas masuk ke gerbong tersebut.
Aku memilih gerbong yang bebas asap rokok, silent, dan dekat jendela. Maksudnya disini silent adalah tidak diperkenankan berbuat keributan, dan aku sengaja memilihnya agar dapat menikmati perjalanan langka ku saat itu.
Saat itu saya duduk disebelah gadis Jerman yang sepertinya sedang liburan musim panas ke Berlin (aku mengintip dari tiket yang ia bawa). Petugas kereta tinggal memindai pada QR Code yang berada pada E-tiket kita, lalu melubanginya. Dan nampaknya gerbong silent didominasi oleh para pekerja berjas dan berdasi yang melakukan perjalanan sembari mengerjakan pekerjaan kantor.
Didalam Kereta

Sedikit menyempatkan diri untuk remote kerjaan kantor dari sini :D

Waktu tempuh dari Frankfurt menuju Berlin selama 4 jam pas, jadi sampai di Berlin pukul 7 sore dan hari masih terang. Pemandangan yang disajikan sebenarnya tak jauh beda dengan pemandangan alam jalur kereta di Indonesia, seperti perkebunan, ladang gandum, rumah-rumah pedesaan Jerman yang 'dongeng' banget, dan yang paling menarik perhatianku adalah begitu banyaknya wind power plant yang menurut info kudapat memiliki kapasitas 45000 MW !
Menaiki kereta ICE bagai ketapel yang dilontarkan dan melesat cepat. Gerakannya halus, rapid dan tanpa sensasi grudak-gruduk yang kadang bikin mual. Kostenlos WiFi (WiFi gratis) tersedia dalam setiap gerbong, tapi tidak terlalu cepat.
Di Berlin, aku sudah membuat janji untuk tinggal bersama Julie Metzger, warga lokal asli Berlin melalui aplikasi couchsurfing. Setibanya di Berlin Hbf yang lebih pantas dibilang mall daripada stasiun karena bangunannya sangat luas  dan berdinding kaca, aku langsung mencari bus nomor M-41 yang menuju ke Sonnenallee, tempat flat Julie. Berdasar info, tiket bisa dibeli langsung ke sopir. Tarifnya sekitar 4 Euro. Mahal banget! Terkecuali kalau kamu punya tageskarte, tinggal menunjukkan saja ke sopir. Beres!
Stasiun 'Gambir' nya Berlin. Besaaar  !

Seperti Mall

Drama naik bus di Berlin pun dimulai, berawal dari membeli tiket yang mahal, hingga mata yang selalu mengawasi Google Maps untuk menghindari salah stop. Julie menginstruksikanku untuk berhenti di halte Sonnenallee, sekitar 8 stop dari Berlin Hbf. Tapi mungkin karena panik, maka aku berhenti di salah satu halte yang bertuliskan 'S Sonnenallee' tapi bukan itu tujuannya. Harusnya aku berhenti di halte yang bertuliskan 'Sonnenallee' saja.
Panik, aku menghubungi Julie, berikut kutuliskan percakapan via aplikasi pesan instan dalam versi Bahasa Indonesianya.
"Duh Jul? Aku salah stop kayaknya, gimana ini?" Aku mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris yang ngasal nyeplos, tentunya, disertai gambar halte tempatku salah stop.
"Harusnya kamu berhenti di halte yang tulisannya Sonnenallee saja. Tempatku masih jauh dari situ. Tunggu saja bus selanjutnya 10 menit lagi."
Lalu aku menunggu,  disekitar sana banyak terdapat kedai doner kebab milik warga imigran Turki. Tak lama kemudian bus M41 tiba. Dengan berat hati aku membayar bus senilai hampir 5 Euro tersebut. Tak ingin mengulang kesalahan sebelumnya, aku bertanya pada sopir berkepala gundul tersebut,
"Om, masih jauh nggak Sonnenallee?"
Om sopir menjawab dengan sangat ramah, Bahasa Inggrisnya cukup fasih. "Bentar aja neng, 4 stop lagi."
Empat stop lagi? Bayar hampir 5 Euro? Sontak aku tak mengikhlaskan uang yang aku keluarkan baru saja.
Jerman. Impianku Sejak SMP

Suasana Kota Berlin. Banyak Pipa-nya.
Aku membuka pesan masuk. Julie. Ia mengirimkanku pesan yang mengingatkan bahwa tidak perlu bayar ulang untuk naik bus dengan rute yang sama. Cukup menunjukkan tiket awalku tadi.
Aduh ! telat kamu kasih tahunya Jul! Euro senilai 3 roti tersebut melayang begitu saja !
Hanya sekitar 10 menit akhirnya sampai di halte Sonnenallee. Disana Julie sudah menungguku, dari luar ia sudah melambaikan tangannya. Pheew! Lega aku nggak salah stop lagi!
Setelah cipika cipiki sebentar, ia menanyakan keadaanku, apakah lapar atau lelah. Lantas ia mengajakku ke supermarket depan halte. Ia membeli terong (?), sepotong roti baguette, dan tomat. 
Gadis berusia setahun diatasku itu tinggal di sebuah flat bertingkat, yang biaya sewanya dirupiahkan bisa mencapai 8 juta rupiah perbulannya.
"Santai saja Unesia, lakukan apapun yang kamu inginkan. Anggap saja rumah sendiri."
Wah, serius Jul? Koprol sambil ngakak onlen bisa dong? Ujarku dalam hati. Lantas aku memilih membersihkan diri, lalu shalat. Kudengar Julie  sedang sibuk didapur, peralatan masak dan bunyi percikan minyak membaur, tampaknya ia masak sesuatu untuk makan malam.
"Maaf seadanya ya," Ia menyajikan di mangkok besar, semacam oseng-oseng sederhana yang terdiri dari terong, tomat, selada, telur orak-arik, dan taburan keju parmesan. Seperti biasa, masakan orang-orang Eropa selalu dicampuri keju kedalam masakannya, dan yang pasti tanpa nasi! Nasi nya disubstitusi dengan roti baguette yang dipotong kecil-kecil. Tapi tenang saja, hampir dua minggu aku berada di Eropa, tentu saja perutku sudah menjadi perut orang Eropa juga, hahahaha.
Kami bercerita banyak sebagai perkenalan awal di malam itu. Mulai dari seputar pengalaman, hobi, pekerjaan, dan lain sebagainya.
"Aku kerja di terapis di panti penyandang disabilitas. Berangkat pagi jam 7, pulang jam 5," Ceritanya dengan riang.
"Sama, aku juga kerja kantoran, sehari delapan jam kerja,"
"Jam istirahat kerja berapa lama di Indonesia?"
"Sejam, jam dua belas siang hingga jam satu,"
"Wah sama dong, Unesia. Oh ya negara mana saja yang pernah kamu kunjungi?"

"Ini baru trip abroad pertamaku. Dan Jerman menjadi salah satu negara yang paaaliiing ingin aku kunjungi. Saking pengennya aku sampai belajar bahasanya !"
"Ach so? Serius kamu sampai belajar bahasanya? Padahal banyak orang yang menganggap Deutsch itu lebih susah dari bahasa Inggris! Aku sendiri lagi belajar Bahasa Perancis." 
Lantas Julie mengajakku berbicara dengan bahasa dan logatnya, yang tentu saja berhasil membuatku kebingungan dan terdiam.
Une und Julie :)
"Well, Unesia. Wajarlah kalau kamu kebingungan karena mungkin nada bicara kami terdengar sangat cepat. Tapi aku suka dengan kemauanmu belajar bahasa kami, mungkin kamu bisa meningkatkannya dengan menjadi ekspatriat disini (Berlin)."
Aku berusaha mengatakan beberapa kosakata yang aku pahami. Gadis berambut pirang itu tersenyum dan gemas melihat logat bicaraku. Ia terkejut aku mengetahui beberapa kata sulit dan idiom dalam Deutsch.
"Wow! tampaknya kamu sudah jauh belajar Deutsch!"
"Ach so?" timpalku tersipu. Lalu ia mengajarkanku beberapa kosakata baru yang belum aku mengerti.

Fortgesetzt (bersambung).....
0
Share
Maskapai Lufthansa membawaku terbang dari Roma menuju Frankfurt selama dua jam dengan perasaan bahagia yang luar biasa. Serius, aku tak berlebihan. Entah sejak kapan aku ingin sekali mengunjungi Jerman. Mungkin semenjak pertandingan Piala Dunia 2006 di Jerman yang nonton aksi  keren pasukan Der Panzer adu pinalti saat melawan Argentina di perempat final? Atau sejak kelas 6 sekolah dasar saat mendapatkan pelajaran pengetahuan sosial mengenai administratif negara-negara Eropa? Buku pelajaran tersebut terasa sangat menarik bagiku, dan selalu kubaca setiap harinya bak novel asmara. Yang jelas aku pernah sangat kecewa dikala muatan lokal Bahasa Jerman yang kudapat di bangku SMU tak dilanjutkan ketika naik ke kelas sebelas, jadi hanya didapat setahun di kelas sepuluh saja. Sempat iri dengan adik kelas, mengapa mereka dapat sampai kelas sebelas?

Ketertarikanku akan hal-hal yang berbau Jerman tampaknya tak berhenti begitu saja. Saat semester pertama bangku kuliah, aku mencari informasi tentang kursus bahasa Jerman. Awalnya dapat dengan harga yang sangat mahal bagi anak kampusan sepertiku, lalu akhirnya ambil kelas bahasa Jerman di UPT Bahasa fasilitas Institut dengan harga yang terjangkau. Aku mengikuti Deutschkurs selama kurang lebih 1,5 tahun dan aktif mengikuti kegiatan berbau Jerman yang diselenggarakan oleh lembaga resmi pendidikan Bahasa Jerman di Surabaya. Dan selebihnya  belajar sendiri via dunia maya. Bahasa Jerman menjadi penyelamatku saat ujian TOEFL untuk syarat wisuda kampus tak memenuhi target. Sehingga aku coba tes dengan bahasa Jerman, dan ternyata lulus.
Lufthansa yang membawaku dari Fiumicino Aeroporto, Roma
Frankfurt International Airport ternyata sangat besar, padat dan sibuk. Sesaat seusai landing, si pesawat masih berputar-putar seperti mencari tempat parkir. Bandara ini juga merupakan kandang dari Lufthansa sendiri.
Berbekal bahasa Jerman ala-ala dan pengalaman transportasi Eropa pasca perjalanan di Belanda, Perancis, dan Italia kemarin, dengan sangat percaya diri aku harus menuju ke stasiun utama Frankfurt atau Frankfurt am Main Hauptbahnhof, karena disana terdapat jalur S-Bahn, U-bahn dan kereta cepat lainnya yang dapat mengantarkan kita kemana saja yang kita tuju. Setelah mengambil bagasi di belt no 8, saya segera membeli tiket (yang bodohnya aku ambil einzelfahrt atau sekali jalan yang tentunya lebih mahal) seharga 4€, dan itu hanya berlaku sekali jalan sekitar 20 menit! 
Wilkommen in Frankfurt am Main! 
Suasana senja di Pinggir Sungai Main
Gembok Cinta, masih ada aja di kota semaju ini

Aku cengar-cengir di stasiun Frankfurt. Rame, dan banyak orang berlarian kesana-kemari ngejar kereta. Karena tujuanku ingin menuju masjid Indonesia Frankfurt, maka inisatif untuk menitipkan koper di stasiun pun muncul, daripada gerek koper kesana kemari. Biaya penitipan tas di loker tarifnya 3€ untuk loker kecil, dan 5€ untuk loker besar, dan karena koperku hanya muat di loker besar, maka dengan terpaksa saya menitipkannya dengan receh 5€ dan jangka waktu maksimal 24 jam, yang bagiku sangat mahal...karena 5€ bisa untuk sekali makan, dan setelah dititipkan pun uangnya tak kembali :(
Sesuai petunjuk Google Maps, aku segera mengambil S-Bahn S9 tujuan Hanau dan berhenti di Mühlberg untuk menuju masjid Indonesia Frankfurt. Bodohnya aku lupa tak membeli tiket, dan tentu saja aku saat itu dinobatkan sebagai schwarzfahrer alias penumpang gelap. Memang di Jerman kita bisa naik kereta sesuka hati karena pemeriksaan tiket jarang dilakukan, tapi sekali kena pemeriksaan lumayan dendanya, di setiap kereta tertulis : Schwarzfahrer kostet 80€, alias penumpang gelap didenda 80€, duh mak...aku berdoa saja supaya tak ada pemeriksaan saat itu.
Dan ternyata aman. Suasana siang itu mendung pekat, dan tampaknya bakal ada angin kencang. Masjid tersebut harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit. Tak ada pilihan lain akhirnya aku jalan mengikuti petunjuk Google Maps. Aku yakin di tempatku berdiri adalah masjid tersebut, tapi tak ada tanda-tanda sama sekali. Kulirik google street, dan ternyata pas didepanku adalah bangunan masjidnya. Masjidnya dimana? Inikan toko bangunan? Pikirku saat itu. Tapi karena kulihat alamatnya sudah sesuai dengan petunjuk, maka kuberanikan masuk kedalam toko tersebut. Disinilah kemampuan Bahasa Jerman ala-ala mulai teruji.

Merenung di Pinggir Sungai
"Entschuldigung Sie..ehm..." kataku kagok sekali. Maklum baru pertama ngoceh sama orang Jerman asli. 
"Wie bitte..." Lanjutku makin kagok gara-gara ada cowok muda Jerman asli yang ganteng sekali.
Seorang bapak paruh baya menghampiriku, dan menanyakan maksudku dalam Deutsch yang sangat cepat. Duh, matilah aku !
"Maaf pak, apa benar disini Strahlenberger Weg 16?" balasku pakai Bahasa Inggris.
"Ya," jawabnya singkat dengan tatapan tajam.
"Tahu dimana tempat ini?" Tanyaku sambil menunjukkan Google Maps di ponselku. Ia mengamatinya, lalu menjawab. "Ya, disini Strahlenberger Weg 16, tapi saya tak tahu dimana tempat yang kamu maksud, disini lantai satu, coba kamu lihat di lantai dua atau tiga dengan naik tangga, mungkin yang kamu maksud ada di lantai tersebut."
Setelah mengucapkan terimakasih, aku langsung buru-buru menaiki tangga, lantai kedua, bukan, lantai ketiga, tak salah lagi, ada tulisan assalamualaikum dan.....sayangnya tutup. Pupus sudah harapan untuk numpang shalat dhuhur disana. Kuketuk pintunya, tapi nihil. Uh, aku menyandarkan tubuhku yang lelah. Ini Jerman, bung. Dimana kamu tak dapat menemukan masjid semudah menemukan cintamu #eh
Tak lama kemudian hujan deras turun, langit bergulung gelap, disusul angin kencang dan kilat. Aku ketakutan, lantas terduduk di tangga dan berpikir langkah yang dilanjutkan setelah ini. Sedikit menggembel tampaknya, tapi  menggembel elit di Masjid Jerman.
Hujan sedikit reda, lantas kuberanikan diri menembus rinai-rinai lembut yang turun dengan bersemangat menuju ke Stasiun Mühlberg, berharap dapat menemukan mesin automat penjual tiket otomatis agar tak dicap sebagai penumpang gelap lagi. Kan aku pendatang yang baik di negeri orang :) (boleh ditiru kalau yang ini)
Celakanya, di stasiun tersebut tak terdapat automat. Aku celingukan kesana kemari tapi hanya terdapat mesin penjual jajan otomatis. lantas aku berlari keatas dan mencari mesin tersebut, akan tetapi nihil. Lalu aku menyusuri lorong stasiun tersebut. Tidak ada.
Aku hanya bisa berdoa ," Ya Allah jauhkan hambamu ini dari denda 80€"
Frankfurt am Main Hauptbahnhof
Agaknya Allah selalu bersama orang musafir, Allah mengabulkan doaku. Empat stop hingga Frankfurt am Main Hbf tak ada pemeriksaan sama sekali. Dengan wajah tak berdosa sedunia, aku segera berlari ke platform atas. Lantas masuk ke salah satu toko buku, dan hanya sibuk melihat-lihat gambar majalah yang dijual karena sama sekali tak kumengerti isi bacaannya.
Selama di Frankfurt, saya menginap di rumah salah satu host yang saya kenal dari aplikasi couchsurfing. Aku akui, ini adalah pengalaman pertamaku jadi surfers (sebutan orang yang numpang di rumah warga lokal di aplikasi couchsurfing), bermodal nekat dan percaya saja menginap di rumah warga lokal tanpa saling mengenal sebelumnya. Rasa ragu aku tepis jauh-jauh, demi nginap gratisan dan dapat temen ngobrol. Aku di Frankfurt tak mengenal seseorangpun, dan dari referensi yang diberikan surfers sebelumnya positif, maka aku yakin menjadi surfers dengannya.
Gambar diambil saat aku berjalan sama Khurram, sore harinya

Kita janji bakal bertemu di Frankfurt am Main Hbf pukul 18.00 waktu setempat. Karena masih ada satu jam lagi, maka kusempatkan makan di jaringan gerai resto cepat saji disekitar situ, dan mulailah kemampuan bahasa Jermanku diuji kembali.
"Ein Fischburger und Ein Cola, bitte." Ujarku dengan mantap. Mas-mas penjualnya nggak bingung mendengar logatku yang medok Jowo, dan dia menimpali dengan bahasa Jerman yang....aneh.
"Hah?" Aku melongo bingung, eh, harusnya aku bilang wie bitte ya, atau pardon me.
Tampaknya mas penjual paham kalau aku orang yang memiliki keterbatasan kosakata dalam Deutsch. Maka ia menjelaskan dengan perlahan sambil menggerakkan isyarat tangannya, 
"Kleiner oder Großer?" 
Ealah mas, kalau itu mah kosakata yang sederhana. Mau cola yang ukuran kecil atau besar, berhubung dia ngomongnya cepat ditambah logat Frankfurt (halah kayak tahu), jadi yang terdengar 'klainoroser' 
Setelah drama kecil terjadi, aku segera mengambil koper pinjaman dan menunggu di gerbang utama stasiun, menunggu host-ku datang.
"Kamu dimana? Fotoin dong tempat kamu menunggu," Pinta sang host melalui pesan singkat. Tak lama kemudian akhirnya kami bertemu.
Namanya Khurram, cowok asli India yang bekerja di Jerman, kota Bad Vilbel. Usianya 26 tahun. Tingginya sama denganku, sekitar 155 cm. Sebenarnya aku lebih ingin dapat host cowok Jerman asli dan sebaya biar bisa jadian improvisasi bahasa jermanku. Tapi tak apalah, esensinya kan nginap gratis, hahaha.
"Halo, Ich bin Une." Sapaku. Lelaki India itu hanya tertawa, "Tapi aku lebih sering menggunakan bahasa Inggris sehari-hari disini. Dua tahun saya tinggal di Jerman, tapi tak mengerti bahasa Jerman." ujarnya santai.
Ia tinggal di sebuah flat, yang diwajibkan membayar sekitar 4,5 juta rupiah setiap bulannya. Aku tidur di sebuah kasur yang ruangannya sudah disekat sama dia. Oke, untuk semalam insyaallah bertahan dan aman. Toh dia muslim juga dan berjanji menjaga privasiku.

Khurram sangat baik, malamnya ia mengajakku berkeliling kota Frankfurt dan membayariku einzelfahrt. Lelaki berkacamata itu memperkenalkanku akan kota tempatnya tinggal, bagaimana transportnya, kebiasaan warganya, dan tempat-tempat wisata, dan kegiatannya sehari-hari. Saat itu aku mengunjungi Romerberg yang merupakan pusat kota Frankfurt (semacam alun-alun), tepian sungai Main, dan pusat perbelanjaan disana. 
"Tapi besok kamu bakal eksplor sendiri, karena aku harus bekerja. Maaf ya," Jelasnya.
"Sudah biasaaaa...."jawabku sambil nyengir. Tujuanku kan memang jalan sendiri.
Keesokan harinya aku keluar bersamaan dengan waktu ia berangkat kerja. Pagi hari di Frankfurt sangat sibuk, banyak mas-mas muda kantoran ganteng, yang style kerjanya rapi banget. Rambut berpomade, kumis tipis, kemeja lengan panjang slim fit nggak kusut, dan ada beberapa yang pake jas. Kami sama-sama menunggu S-Bahn, dan ada beberapa yang lari-lari sambil menggigit roti karena mengejar kereta. Mirip seperti di film-film barat. Tapi busyet deh parfum mas-masnya nyengat sekali :D
Petunjuk jalan Romerberg


Aku dan Khurram berpisah di stasiun, setelah mengucapkan beribu terimakasih, dan melanjutkan perjalanan untuk menjelajah Frankfut seorang diri tetapi sebelumnya menitipkan koper seharga 5€ dan membeli tiket tageskarte seharga 7€. Untuk info, tiket tageskarte merupakan tiket yang berlaku selama 24 jam terhitung sejak awal aktivasi dan dapat digunakan untuk seluruh moda transportasi umum di FRANKFURT, kalau di kota lain harus membeli lagi. Lebih murah, untuk full day travel di kota tertentu.
Warga Frankfurt ramah, saat berpapasan di loker mereka menyapaku, Guten Morgen, lalu Tschüß. Untunglah kemampuan Bahasa Jermanku masih mencukupi untuk membalas sapaan-sapaan tersebut, kheheheh.
Tujuan pertamaku adalah Romerberg. Menuju Romerberg dapat ditempuh dengan S-Bahn S1 turun di stasiun Hauptwache, lalu dilanjut dengan berjalan kaki selama 5 menit sesuai petunjuk google maps. Pagi itu masih sepi, dan kota ini banyak terdapat muslimah imigran Turki. Jadi seneeeng banget kalau disapa assalamualaikum.

Bergaya di Romerberg, tentu saja sama tripod
Untunglah matahari saat itu bersinar cerah. Aku makin semangat menekuri setiap tempat menarik di kota yang mengingatkanku dengan Samarinda. Kenapa Samarinda? Karena secara geografis, sama-sama dibelah oleh sungai besar, Mahakam dan Main. Eaaa....

European Central Bank
Aku duduk-duduk santai di tepi Main yang sejuk. Rasanya bahagia sekali diriku saat itu, bahagia karena Allah masih mengijinkanku menikmati pemandangan luar biasa ini. Lantas aku berjalan melintasi suspension bridge untuk menuju European Central Bank yang ada simbol Euro didepannya, seperti yang pernah kulhat di buku pelajaran Ekonomiku semasa SMP. 
Selain Romerberg, tepian Main, Foto-foto di depan bank, hal lain yang perlu dikunjungi adalah Kleinmarkthalle. Semacam pasar, tapi rapi, bersih, dan nggak becek. Apa yang dijual? Ya mirip seperti di Indonesia, ada rempah-rempah, daging (babi dan sapi), bunga hidup yang cantik, kue tradisional, buah, dan coklat. Aku nggak beli apa-apa, cuma mampir di setiap stan dan kepoin barang yang dijual. Pembelinya hanya tersenyum manis kearahku.


Pasar Tradisional di Frankfurt, bersih, yang jual sama beli sama-sama Ganteng


Kereta ICE yang membawaku menuju Berlin akan berangkat pukul tiga sore, dan pukul setengah dua aku harus segera kembali ke Frankfurt am Main Hbf, dan melanjutkan petualangan seru selanjutnya di ibukota Jerman.

Frankfurt dan semua bangunan tuanya selalu mempesona, dan memanggilku untuk kembali. Terima kasih banyak, Frankfurt am Main.

0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Better Healing in Teluk Lape and Malahing
    Wisata bahari di Bontang dimana saja? Beras Basah? Itu sudah sangat-sangat biasa. Segajah? Ya itu salah satunya, tapi kali ini karena mengaj...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose