#1 Aku Ingin Ke Jerman : Frankfurt am Main

Maskapai Lufthansa membawaku terbang dari Roma menuju Frankfurt selama dua jam dengan perasaan bahagia yang luar biasa. Serius, aku tak berlebihan. Entah sejak kapan aku ingin sekali mengunjungi Jerman. Mungkin semenjak pertandingan Piala Dunia 2006 di Jerman yang nonton aksi  keren pasukan Der Panzer adu pinalti saat melawan Argentina di perempat final? Atau sejak kelas 6 sekolah dasar saat mendapatkan pelajaran pengetahuan sosial mengenai administratif negara-negara Eropa? Buku pelajaran tersebut terasa sangat menarik bagiku, dan selalu kubaca setiap harinya bak novel asmara. Yang jelas aku pernah sangat kecewa dikala muatan lokal Bahasa Jerman yang kudapat di bangku SMU tak dilanjutkan ketika naik ke kelas sebelas, jadi hanya didapat setahun di kelas sepuluh saja. Sempat iri dengan adik kelas, mengapa mereka dapat sampai kelas sebelas?

Ketertarikanku akan hal-hal yang berbau Jerman tampaknya tak berhenti begitu saja. Saat semester pertama bangku kuliah, aku mencari informasi tentang kursus bahasa Jerman. Awalnya dapat dengan harga yang sangat mahal bagi anak kampusan sepertiku, lalu akhirnya ambil kelas bahasa Jerman di UPT Bahasa fasilitas Institut dengan harga yang terjangkau. Aku mengikuti Deutschkurs selama kurang lebih 1,5 tahun dan aktif mengikuti kegiatan berbau Jerman yang diselenggarakan oleh lembaga resmi pendidikan Bahasa Jerman di Surabaya. Dan selebihnya  belajar sendiri via dunia maya. Bahasa Jerman menjadi penyelamatku saat ujian TOEFL untuk syarat wisuda kampus tak memenuhi target. Sehingga aku coba tes dengan bahasa Jerman, dan ternyata lulus.
Lufthansa yang membawaku dari Fiumicino Aeroporto, Roma
Frankfurt International Airport ternyata sangat besar, padat dan sibuk. Sesaat seusai landing, si pesawat masih berputar-putar seperti mencari tempat parkir. Bandara ini juga merupakan kandang dari Lufthansa sendiri.
Berbekal bahasa Jerman ala-ala dan pengalaman transportasi Eropa pasca perjalanan di Belanda, Perancis, dan Italia kemarin, dengan sangat percaya diri aku harus menuju ke stasiun utama Frankfurt atau Frankfurt am Main Hauptbahnhof, karena disana terdapat jalur S-Bahn, U-bahn dan kereta cepat lainnya yang dapat mengantarkan kita kemana saja yang kita tuju. Setelah mengambil bagasi di belt no 8, saya segera membeli tiket (yang bodohnya aku ambil einzelfahrt atau sekali jalan yang tentunya lebih mahal) seharga 4, dan itu hanya berlaku sekali jalan sekitar 20 menit! 
Wilkommen in Frankfurt am Main! 
Suasana senja di Pinggir Sungai Main
Gembok Cinta, masih ada aja di kota semaju ini

Aku cengar-cengir di stasiun Frankfurt. Rame, dan banyak orang berlarian kesana-kemari ngejar kereta. Karena tujuanku ingin menuju masjid Indonesia Frankfurt, maka inisatif untuk menitipkan koper di stasiun pun muncul, daripada gerek koper kesana kemari. Biaya penitipan tas di loker tarifnya 3 untuk loker kecil, dan 5 untuk loker besar, dan karena koperku hanya muat di loker besar, maka dengan terpaksa saya menitipkannya dengan receh 5 dan jangka waktu maksimal 24 jam, yang bagiku sangat mahal...karena 5 bisa untuk sekali makan, dan setelah dititipkan pun uangnya tak kembali :(
Sesuai petunjuk Google Maps, aku segera mengambil S-Bahn S9 tujuan Hanau dan berhenti di Mühlberg untuk menuju masjid Indonesia Frankfurt. Bodohnya aku lupa tak membeli tiket, dan tentu saja aku saat itu dinobatkan sebagai schwarzfahrer alias penumpang gelap. Memang di Jerman kita bisa naik kereta sesuka hati karena pemeriksaan tiket jarang dilakukan, tapi sekali kena pemeriksaan lumayan dendanya, di setiap kereta tertulis : Schwarzfahrer kostet 80, alias penumpang gelap didenda 80, duh mak...aku berdoa saja supaya tak ada pemeriksaan saat itu.
Dan ternyata aman. Suasana siang itu mendung pekat, dan tampaknya bakal ada angin kencang. Masjid tersebut harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit. Tak ada pilihan lain akhirnya aku jalan mengikuti petunjuk Google Maps. Aku yakin di tempatku berdiri adalah masjid tersebut, tapi tak ada tanda-tanda sama sekali. Kulirik google street, dan ternyata pas didepanku adalah bangunan masjidnya. Masjidnya dimana? Inikan toko bangunan? Pikirku saat itu. Tapi karena kulihat alamatnya sudah sesuai dengan petunjuk, maka kuberanikan masuk kedalam toko tersebut. Disinilah kemampuan Bahasa Jerman ala-ala mulai teruji.

Merenung di Pinggir Sungai
"Entschuldigung Sie..ehm..." kataku kagok sekali. Maklum baru pertama ngoceh sama orang Jerman asli. 
"Wie bitte..." Lanjutku makin kagok gara-gara ada cowok muda Jerman asli yang ganteng sekali.
Seorang bapak paruh baya menghampiriku, dan menanyakan maksudku dalam Deutsch yang sangat cepat. Duh, matilah aku !
"Maaf pak, apa benar disini Strahlenberger Weg 16?" balasku pakai Bahasa Inggris.
"Ya," jawabnya singkat dengan tatapan tajam.
"Tahu dimana tempat ini?" Tanyaku sambil menunjukkan Google Maps di ponselku. Ia mengamatinya, lalu menjawab. "Ya, disini Strahlenberger Weg 16, tapi saya tak tahu dimana tempat yang kamu maksud, disini lantai satu, coba kamu lihat di lantai dua atau tiga dengan naik tangga, mungkin yang kamu maksud ada di lantai tersebut."
Setelah mengucapkan terimakasih, aku langsung buru-buru menaiki tangga, lantai kedua, bukan, lantai ketiga, tak salah lagi, ada tulisan assalamualaikum dan.....sayangnya tutup. Pupus sudah harapan untuk numpang shalat dhuhur disana. Kuketuk pintunya, tapi nihil. Uh, aku menyandarkan tubuhku yang lelah. Ini Jerman, bung. Dimana kamu tak dapat menemukan masjid semudah menemukan cintamu #eh
Tak lama kemudian hujan deras turun, langit bergulung gelap, disusul angin kencang dan kilat. Aku ketakutan, lantas terduduk di tangga dan berpikir langkah yang dilanjutkan setelah ini. Sedikit menggembel tampaknya, tapi  menggembel elit di Masjid Jerman.
Hujan sedikit reda, lantas kuberanikan diri menembus rinai-rinai lembut yang turun dengan bersemangat menuju ke Stasiun Mühlberg, berharap dapat menemukan mesin automat penjual tiket otomatis agar tak dicap sebagai penumpang gelap lagi. Kan aku pendatang yang baik di negeri orang :) (boleh ditiru kalau yang ini)
Celakanya, di stasiun tersebut tak terdapat automat. Aku celingukan kesana kemari tapi hanya terdapat mesin penjual jajan otomatis. lantas aku berlari keatas dan mencari mesin tersebut, akan tetapi nihil. Lalu aku menyusuri lorong stasiun tersebut. Tidak ada.
Aku hanya bisa berdoa ," Ya Allah jauhkan hambamu ini dari denda 80€"
Frankfurt am Main Hauptbahnhof
Agaknya Allah selalu bersama orang musafir, Allah mengabulkan doaku. Empat stop hingga Frankfurt am Main Hbf tak ada pemeriksaan sama sekali. Dengan wajah tak berdosa sedunia, aku segera berlari ke platform atas. Lantas masuk ke salah satu toko buku, dan hanya sibuk melihat-lihat gambar majalah yang dijual karena sama sekali tak kumengerti isi bacaannya.
Selama di Frankfurt, saya menginap di rumah salah satu host yang saya kenal dari aplikasi couchsurfing. Aku akui, ini adalah pengalaman pertamaku jadi surfers (sebutan orang yang numpang di rumah warga lokal di aplikasi couchsurfing), bermodal nekat dan percaya saja menginap di rumah warga lokal tanpa saling mengenal sebelumnya. Rasa ragu aku tepis jauh-jauh, demi nginap gratisan dan dapat temen ngobrol. Aku di Frankfurt tak mengenal seseorangpun, dan dari referensi yang diberikan surfers sebelumnya positif, maka aku yakin menjadi surfers dengannya.
Gambar diambil saat aku berjalan sama Khurram, sore harinya

Kita janji bakal bertemu di Frankfurt am Main Hbf pukul 18.00 waktu setempat. Karena masih ada satu jam lagi, maka kusempatkan makan di jaringan gerai resto cepat saji disekitar situ, dan mulailah kemampuan bahasa Jermanku diuji kembali.
"Ein Fischburger und Ein Cola, bitte." Ujarku dengan mantap. Mas-mas penjualnya nggak bingung mendengar logatku yang medok Jowo, dan dia menimpali dengan bahasa Jerman yang....aneh.
"Hah?" Aku melongo bingung, eh, harusnya aku bilang wie bitte ya, atau pardon me.
Tampaknya mas penjual paham kalau aku orang yang memiliki keterbatasan kosakata dalam Deutsch. Maka ia menjelaskan dengan perlahan sambil menggerakkan isyarat tangannya, 
"Kleiner oder Großer?" 
Ealah mas, kalau itu mah kosakata yang sederhana. Mau cola yang ukuran kecil atau besar, berhubung dia ngomongnya cepat ditambah logat Frankfurt (halah kayak tahu), jadi yang terdengar 'klainoroser' 
Setelah drama kecil terjadi, aku segera mengambil koper pinjaman dan menunggu di gerbang utama stasiun, menunggu host-ku datang.
"Kamu dimana? Fotoin dong tempat kamu menunggu," Pinta sang host melalui pesan singkat. Tak lama kemudian akhirnya kami bertemu.
Namanya Khurram, cowok asli India yang bekerja di Jerman, kota Bad Vilbel. Usianya 26 tahun. Tingginya sama denganku, sekitar 155 cm. Sebenarnya aku lebih ingin dapat host cowok Jerman asli dan sebaya biar bisa jadian improvisasi bahasa jermanku. Tapi tak apalah, esensinya kan nginap gratis, hahaha.
"Halo, Ich bin Une." Sapaku. Lelaki India itu hanya tertawa, "Tapi aku lebih sering menggunakan bahasa Inggris sehari-hari disini. Dua tahun saya tinggal di Jerman, tapi tak mengerti bahasa Jerman." ujarnya santai.
Ia tinggal di sebuah flat, yang diwajibkan membayar sekitar 4,5 juta rupiah setiap bulannya. Aku tidur di sebuah kasur yang ruangannya sudah disekat sama dia. Oke, untuk semalam insyaallah bertahan dan aman. Toh dia muslim juga dan berjanji menjaga privasiku.

Khurram sangat baik, malamnya ia mengajakku berkeliling kota Frankfurt dan membayariku einzelfahrt. Lelaki berkacamata itu memperkenalkanku akan kota tempatnya tinggal, bagaimana transportnya, kebiasaan warganya, dan tempat-tempat wisata, dan kegiatannya sehari-hari. Saat itu aku mengunjungi Romerberg yang merupakan pusat kota Frankfurt (semacam alun-alun), tepian sungai Main, dan pusat perbelanjaan disana. 
"Tapi besok kamu bakal eksplor sendiri, karena aku harus bekerja. Maaf ya," Jelasnya.
"Sudah biasaaaa...."jawabku sambil nyengir. Tujuanku kan memang jalan sendiri.
Keesokan harinya aku keluar bersamaan dengan waktu ia berangkat kerja. Pagi hari di Frankfurt sangat sibuk, banyak mas-mas muda kantoran ganteng, yang style kerjanya rapi banget. Rambut berpomade, kumis tipis, kemeja lengan panjang slim fit nggak kusut, dan ada beberapa yang pake jas. Kami sama-sama menunggu S-Bahn, dan ada beberapa yang lari-lari sambil menggigit roti karena mengejar kereta. Mirip seperti di film-film barat. Tapi busyet deh parfum mas-masnya nyengat sekali :D
Petunjuk jalan Romerberg


Aku dan Khurram berpisah di stasiun, setelah mengucapkan beribu terimakasih, dan melanjutkan perjalanan untuk menjelajah Frankfut seorang diri tetapi sebelumnya menitipkan koper seharga 5dan membeli tiket tageskarte seharga 7€. Untuk info, tiket tageskarte merupakan tiket yang berlaku selama 24 jam terhitung sejak awal aktivasi dan dapat digunakan untuk seluruh moda transportasi umum di FRANKFURT, kalau di kota lain harus membeli lagi. Lebih murah, untuk full day travel di kota tertentu.
Warga Frankfurt ramah, saat berpapasan di loker mereka menyapaku, Guten Morgen, lalu Tschüß. Untunglah kemampuan Bahasa Jermanku masih mencukupi untuk membalas sapaan-sapaan tersebut, kheheheh.
Tujuan pertamaku adalah Romerberg. Menuju Romerberg dapat ditempuh dengan S-Bahn S1 turun di stasiun Hauptwache, lalu dilanjut dengan berjalan kaki selama 5 menit sesuai petunjuk google maps. Pagi itu masih sepi, dan kota ini banyak terdapat muslimah imigran Turki. Jadi seneeeng banget kalau disapa assalamualaikum.

Bergaya di Romerberg, tentu saja sama tripod
Untunglah matahari saat itu bersinar cerah. Aku makin semangat menekuri setiap tempat menarik di kota yang mengingatkanku dengan Samarinda. Kenapa Samarinda? Karena secara geografis, sama-sama dibelah oleh sungai besar, Mahakam dan Main. Eaaa....

European Central Bank
Aku duduk-duduk santai di tepi Main yang sejuk. Rasanya bahagia sekali diriku saat itu, bahagia karena Allah masih mengijinkanku menikmati pemandangan luar biasa ini. Lantas aku berjalan melintasi suspension bridge untuk menuju European Central Bank yang ada simbol Euro didepannya, seperti yang pernah kulhat di buku pelajaran Ekonomiku semasa SMP. 
Selain Romerberg, tepian Main, Foto-foto di depan bank, hal lain yang perlu dikunjungi adalah Kleinmarkthalle. Semacam pasar, tapi rapi, bersih, dan nggak becek. Apa yang dijual? Ya mirip seperti di Indonesia, ada rempah-rempah, daging (babi dan sapi), bunga hidup yang cantik, kue tradisional, buah, dan coklat. Aku nggak beli apa-apa, cuma mampir di setiap stan dan kepoin barang yang dijual. Pembelinya hanya tersenyum manis kearahku.


Pasar Tradisional di Frankfurt, bersih, yang jual sama beli sama-sama Ganteng


Kereta ICE yang membawaku menuju Berlin akan berangkat pukul tiga sore, dan pukul setengah dua aku harus segera kembali ke Frankfurt am Main Hbf, dan melanjutkan petualangan seru selanjutnya di ibukota Jerman.

Frankfurt dan semua bangunan tuanya selalu mempesona, dan memanggilku untuk kembali. Terima kasih banyak, Frankfurt am Main.

Unesia Drajadispa

No comments: