Berlin merupakan kota kedua yang aku kunjungi saat aku singgah di Jerman. Bertolak dari Frankfurt am Main Hbf dengan ICE 1631 menuju Berlin Hbf pada tanggal 16 Agustus 2017 pukul 3 sore waktu setempat. Aku paham kalau semua hal di Jerman sangat pünktlich (tepat waktu), maka tentu saja aku harus mengikuti aturan main negara tersebut. Dengan sedikit tergesa menggerek koper fiber berwarna jingga pinjaman di tangan kiri sembari membawa secontong kentang goreng porsi banyak berlumur mayones dengan tangan kanan yang kubeli di kedai stasiun seharga 2 Euro untuk mengganjal perut menuju Platform 13, saat itu waktu menunjukkan 10 menit lagi akan berangkat.
Kereta Cepat ICE yang membawaku bertolak ke Berlin |
Aku memesan tiket ICE saat masih berada di Indonesia, reservasi secara online dan pembayaran dengan kartu kredit seharga 85 Euro. Tarif normal sih 80 Euro, akan tetapi aku juga memesan tempat duduk untuk menghindari tidak kebagian tempat duduk sepanjang perjalanan menuju Berlin dengan harga 5 Euro. Berdasarkan info dari bebrapa blog yang aku baca, disarankan untuk mereservasi seat sebelum keberangkatan, kenapa? Katanya, kalau misalnya semua penumpang mereservasi seat sehingga kamu harus dulu-duluan berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang belum memesan seat. Kalau nggak dapet seat? Harus ikhlas berdiri sepanjang perjalanan tanpa ampun, terlebih lagi jarak tempuhnya lumayan lama. Nah kalau ada seat yang kosong? Tentu saja boleh didudukin dong.
Tiket Online ICE |
Sempat mondar-mandir di luar kereta, tampaknya aku sedikit panik gara-gara tak menemukan gerbong yang tertera di tiketku. Lantas aku beranikan diri bertanya pada petugas DB (Deutsche Bahn, PT KAI nya Jerman) yang sedang asyik merokok.
"Entschuldigung Sie..Wagoon 22? "
Tanpa bersuara ia menunjuk gerbong didepannya. Astaga! Sudah jelas terpampang Wg 22 kenapa aku malah bertanya padanya? Hahaha.
"Nichtraucher?" Tanyaku sambil memperagakan orang merokok.
Petugas yang memakai anting hitam itu mengangguk, sembari mengucapkan danke lalu bergegas masuk ke gerbong tersebut.
Aku memilih gerbong yang bebas asap rokok, silent, dan dekat jendela. Maksudnya disini silent adalah tidak diperkenankan berbuat keributan, dan aku sengaja memilihnya agar dapat menikmati perjalanan langka ku saat itu.
Saat itu saya duduk disebelah gadis Jerman yang sepertinya sedang liburan musim panas ke Berlin (aku mengintip dari tiket yang ia bawa). Petugas kereta tinggal memindai pada QR Code yang berada pada E-tiket kita, lalu melubanginya. Dan nampaknya gerbong silent didominasi oleh para pekerja berjas dan berdasi yang melakukan perjalanan sembari mengerjakan pekerjaan kantor.
Waktu tempuh dari Frankfurt menuju Berlin selama 4 jam pas, jadi sampai di Berlin pukul 7 sore dan hari masih terang. Pemandangan yang disajikan sebenarnya tak jauh beda dengan pemandangan alam jalur kereta di Indonesia, seperti perkebunan, ladang gandum, rumah-rumah pedesaan Jerman yang 'dongeng' banget, dan yang paling menarik perhatianku adalah begitu banyaknya wind power plant yang menurut info kudapat memiliki kapasitas 45000 MW !
Menaiki kereta ICE bagai ketapel yang dilontarkan dan melesat cepat. Gerakannya halus, rapid dan tanpa sensasi grudak-gruduk yang kadang bikin mual. Kostenlos WiFi (WiFi gratis) tersedia dalam setiap gerbong, tapi tidak terlalu cepat.
Di Berlin, aku sudah membuat janji untuk tinggal bersama Julie Metzger, warga lokal asli Berlin melalui aplikasi couchsurfing. Setibanya di Berlin Hbf yang lebih pantas dibilang mall daripada stasiun karena bangunannya sangat luas dan berdinding kaca, aku langsung mencari bus nomor M-41 yang menuju ke Sonnenallee, tempat flat Julie. Berdasar info, tiket bisa dibeli langsung ke sopir. Tarifnya sekitar 4 Euro. Mahal banget! Terkecuali kalau kamu punya tageskarte, tinggal menunjukkan saja ke sopir. Beres!
Drama naik bus di Berlin pun dimulai, berawal dari membeli tiket yang mahal, hingga mata yang selalu mengawasi Google Maps untuk menghindari salah stop. Julie menginstruksikanku untuk berhenti di halte Sonnenallee, sekitar 8 stop dari Berlin Hbf. Tapi mungkin karena panik, maka aku berhenti di salah satu halte yang bertuliskan 'S Sonnenallee' tapi bukan itu tujuannya. Harusnya aku berhenti di halte yang bertuliskan 'Sonnenallee' saja.
Panik, aku menghubungi Julie, berikut kutuliskan percakapan via aplikasi pesan instan dalam versi Bahasa Indonesianya.
"Duh Jul? Aku salah stop kayaknya, gimana ini?" Aku mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris yang ngasal nyeplos, tentunya, disertai gambar halte tempatku salah stop.
"Harusnya kamu berhenti di halte yang tulisannya Sonnenallee saja. Tempatku masih jauh dari situ. Tunggu saja bus selanjutnya 10 menit lagi."
Lalu aku menunggu, disekitar sana banyak terdapat kedai doner kebab milik warga imigran Turki. Tak lama kemudian bus M41 tiba. Dengan berat hati aku membayar bus senilai hampir 5 Euro tersebut. Tak ingin mengulang kesalahan sebelumnya, aku bertanya pada sopir berkepala gundul tersebut,
"Om, masih jauh nggak Sonnenallee?"
Om sopir menjawab dengan sangat ramah, Bahasa Inggrisnya cukup fasih. "Bentar aja neng, 4 stop lagi."
Empat stop lagi? Bayar hampir 5 Euro? Sontak aku tak mengikhlaskan uang yang aku keluarkan baru saja.
Aku membuka pesan masuk. Julie. Ia mengirimkanku pesan yang mengingatkan bahwa tidak perlu bayar ulang untuk naik bus dengan rute yang sama. Cukup menunjukkan tiket awalku tadi.
Aduh ! telat kamu kasih tahunya Jul! Euro senilai 3 roti tersebut melayang begitu saja !
Hanya sekitar 10 menit akhirnya sampai di halte Sonnenallee. Disana Julie sudah menungguku, dari luar ia sudah melambaikan tangannya. Pheew! Lega aku nggak salah stop lagi!
Setelah cipika cipiki sebentar, ia menanyakan keadaanku, apakah lapar atau lelah. Lantas ia mengajakku ke supermarket depan halte. Ia membeli terong (?), sepotong roti baguette, dan tomat.
Gadis berusia setahun diatasku itu tinggal di sebuah flat bertingkat, yang biaya sewanya dirupiahkan bisa mencapai 8 juta rupiah perbulannya.
"Santai saja Unesia, lakukan apapun yang kamu inginkan. Anggap saja rumah sendiri."
Wah, serius Jul? Koprol sambil ngakak onlen bisa dong? Ujarku dalam hati. Lantas aku memilih membersihkan diri, lalu shalat. Kudengar Julie sedang sibuk didapur, peralatan masak dan bunyi percikan minyak membaur, tampaknya ia masak sesuatu untuk makan malam.
"Maaf seadanya ya," Ia menyajikan di mangkok besar, semacam oseng-oseng sederhana yang terdiri dari terong, tomat, selada, telur orak-arik, dan taburan keju parmesan. Seperti biasa, masakan orang-orang Eropa selalu dicampuri keju kedalam masakannya, dan yang pasti tanpa nasi! Nasi nya disubstitusi dengan roti baguette yang dipotong kecil-kecil. Tapi tenang saja, hampir dua minggu aku berada di Eropa, tentu saja perutku sudah menjadi perut orang Eropa juga, hahahaha.
Kami bercerita banyak sebagai perkenalan awal di malam itu. Mulai dari seputar pengalaman, hobi, pekerjaan, dan lain sebagainya.
"Aku kerja di terapis di panti penyandang disabilitas. Berangkat pagi jam 7, pulang jam 5," Ceritanya dengan riang.
"Sama, aku juga kerja kantoran, sehari delapan jam kerja,"
"Jam istirahat kerja berapa lama di Indonesia?"
"Sejam, jam dua belas siang hingga jam satu,"
"Wah sama dong, Unesia. Oh ya negara mana saja yang pernah kamu kunjungi?"
"Ini baru trip abroad pertamaku. Dan Jerman menjadi salah satu negara yang paaaliiing ingin aku kunjungi. Saking pengennya aku sampai belajar bahasanya !"
"Ach so? Serius kamu sampai belajar bahasanya? Padahal banyak orang yang menganggap Deutsch itu lebih susah dari bahasa Inggris! Aku sendiri lagi belajar Bahasa Perancis."
Lantas Julie mengajakku berbicara dengan bahasa dan logatnya, yang tentu saja berhasil membuatku kebingungan dan terdiam.
"Well, Unesia. Wajarlah kalau kamu kebingungan karena mungkin nada bicara kami terdengar sangat cepat. Tapi aku suka dengan kemauanmu belajar bahasa kami, mungkin kamu bisa meningkatkannya dengan menjadi ekspatriat disini (Berlin)."
Aku berusaha mengatakan beberapa kosakata yang aku pahami. Gadis berambut pirang itu tersenyum dan gemas melihat logat bicaraku. Ia terkejut aku mengetahui beberapa kata sulit dan idiom dalam Deutsch.
"Wow! tampaknya kamu sudah jauh belajar Deutsch!"
"Ach so?" timpalku tersipu. Lalu ia mengajarkanku beberapa kosakata baru yang belum aku mengerti.
Fortgesetzt (bersambung).....
Saat itu saya duduk disebelah gadis Jerman yang sepertinya sedang liburan musim panas ke Berlin (aku mengintip dari tiket yang ia bawa). Petugas kereta tinggal memindai pada QR Code yang berada pada E-tiket kita, lalu melubanginya. Dan nampaknya gerbong silent didominasi oleh para pekerja berjas dan berdasi yang melakukan perjalanan sembari mengerjakan pekerjaan kantor.
Didalam Kereta |
Sedikit menyempatkan diri untuk remote kerjaan kantor dari sini :D |
Waktu tempuh dari Frankfurt menuju Berlin selama 4 jam pas, jadi sampai di Berlin pukul 7 sore dan hari masih terang. Pemandangan yang disajikan sebenarnya tak jauh beda dengan pemandangan alam jalur kereta di Indonesia, seperti perkebunan, ladang gandum, rumah-rumah pedesaan Jerman yang 'dongeng' banget, dan yang paling menarik perhatianku adalah begitu banyaknya wind power plant yang menurut info kudapat memiliki kapasitas 45000 MW !
Menaiki kereta ICE bagai ketapel yang dilontarkan dan melesat cepat. Gerakannya halus, rapid dan tanpa sensasi grudak-gruduk yang kadang bikin mual. Kostenlos WiFi (WiFi gratis) tersedia dalam setiap gerbong, tapi tidak terlalu cepat.
Di Berlin, aku sudah membuat janji untuk tinggal bersama Julie Metzger, warga lokal asli Berlin melalui aplikasi couchsurfing. Setibanya di Berlin Hbf yang lebih pantas dibilang mall daripada stasiun karena bangunannya sangat luas dan berdinding kaca, aku langsung mencari bus nomor M-41 yang menuju ke Sonnenallee, tempat flat Julie. Berdasar info, tiket bisa dibeli langsung ke sopir. Tarifnya sekitar 4 Euro. Mahal banget! Terkecuali kalau kamu punya tageskarte, tinggal menunjukkan saja ke sopir. Beres!
Stasiun 'Gambir' nya Berlin. Besaaar ! |
Seperti Mall |
Drama naik bus di Berlin pun dimulai, berawal dari membeli tiket yang mahal, hingga mata yang selalu mengawasi Google Maps untuk menghindari salah stop. Julie menginstruksikanku untuk berhenti di halte Sonnenallee, sekitar 8 stop dari Berlin Hbf. Tapi mungkin karena panik, maka aku berhenti di salah satu halte yang bertuliskan 'S Sonnenallee' tapi bukan itu tujuannya. Harusnya aku berhenti di halte yang bertuliskan 'Sonnenallee' saja.
Panik, aku menghubungi Julie, berikut kutuliskan percakapan via aplikasi pesan instan dalam versi Bahasa Indonesianya.
"Duh Jul? Aku salah stop kayaknya, gimana ini?" Aku mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris yang ngasal nyeplos, tentunya, disertai gambar halte tempatku salah stop.
"Harusnya kamu berhenti di halte yang tulisannya Sonnenallee saja. Tempatku masih jauh dari situ. Tunggu saja bus selanjutnya 10 menit lagi."
Lalu aku menunggu, disekitar sana banyak terdapat kedai doner kebab milik warga imigran Turki. Tak lama kemudian bus M41 tiba. Dengan berat hati aku membayar bus senilai hampir 5 Euro tersebut. Tak ingin mengulang kesalahan sebelumnya, aku bertanya pada sopir berkepala gundul tersebut,
"Om, masih jauh nggak Sonnenallee?"
Om sopir menjawab dengan sangat ramah, Bahasa Inggrisnya cukup fasih. "Bentar aja neng, 4 stop lagi."
Empat stop lagi? Bayar hampir 5 Euro? Sontak aku tak mengikhlaskan uang yang aku keluarkan baru saja.
Jerman. Impianku Sejak SMP |
Suasana Kota Berlin. Banyak Pipa-nya. |
Aduh ! telat kamu kasih tahunya Jul! Euro senilai 3 roti tersebut melayang begitu saja !
Hanya sekitar 10 menit akhirnya sampai di halte Sonnenallee. Disana Julie sudah menungguku, dari luar ia sudah melambaikan tangannya. Pheew! Lega aku nggak salah stop lagi!
Setelah cipika cipiki sebentar, ia menanyakan keadaanku, apakah lapar atau lelah. Lantas ia mengajakku ke supermarket depan halte. Ia membeli terong (?), sepotong roti baguette, dan tomat.
Gadis berusia setahun diatasku itu tinggal di sebuah flat bertingkat, yang biaya sewanya dirupiahkan bisa mencapai 8 juta rupiah perbulannya.
"Santai saja Unesia, lakukan apapun yang kamu inginkan. Anggap saja rumah sendiri."
Wah, serius Jul? Koprol sambil ngakak onlen bisa dong? Ujarku dalam hati. Lantas aku memilih membersihkan diri, lalu shalat. Kudengar Julie sedang sibuk didapur, peralatan masak dan bunyi percikan minyak membaur, tampaknya ia masak sesuatu untuk makan malam.
"Maaf seadanya ya," Ia menyajikan di mangkok besar, semacam oseng-oseng sederhana yang terdiri dari terong, tomat, selada, telur orak-arik, dan taburan keju parmesan. Seperti biasa, masakan orang-orang Eropa selalu dicampuri keju kedalam masakannya, dan yang pasti tanpa nasi! Nasi nya disubstitusi dengan roti baguette yang dipotong kecil-kecil. Tapi tenang saja, hampir dua minggu aku berada di Eropa, tentu saja perutku sudah menjadi perut orang Eropa juga, hahahaha.
Kami bercerita banyak sebagai perkenalan awal di malam itu. Mulai dari seputar pengalaman, hobi, pekerjaan, dan lain sebagainya.
"Aku kerja di terapis di panti penyandang disabilitas. Berangkat pagi jam 7, pulang jam 5," Ceritanya dengan riang.
"Sama, aku juga kerja kantoran, sehari delapan jam kerja,"
"Jam istirahat kerja berapa lama di Indonesia?"
"Sejam, jam dua belas siang hingga jam satu,"
"Wah sama dong, Unesia. Oh ya negara mana saja yang pernah kamu kunjungi?"
"Ini baru trip abroad pertamaku. Dan Jerman menjadi salah satu negara yang paaaliiing ingin aku kunjungi. Saking pengennya aku sampai belajar bahasanya !"
"Ach so? Serius kamu sampai belajar bahasanya? Padahal banyak orang yang menganggap Deutsch itu lebih susah dari bahasa Inggris! Aku sendiri lagi belajar Bahasa Perancis."
Lantas Julie mengajakku berbicara dengan bahasa dan logatnya, yang tentu saja berhasil membuatku kebingungan dan terdiam.
Une und Julie :) |
Aku berusaha mengatakan beberapa kosakata yang aku pahami. Gadis berambut pirang itu tersenyum dan gemas melihat logat bicaraku. Ia terkejut aku mengetahui beberapa kata sulit dan idiom dalam Deutsch.
"Wow! tampaknya kamu sudah jauh belajar Deutsch!"
"Ach so?" timpalku tersipu. Lalu ia mengajarkanku beberapa kosakata baru yang belum aku mengerti.
Fortgesetzt (bersambung).....
No comments:
Post a Comment