• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Pasca final run hari kedua yang kulalui tanpa crash dengan terseok-seok di special stage 3 sekaligus pinalti 11 menit di liaison stage 4 karena terlampau lelah dan kebanyakan foto-foto, ditambah lagi ketidakjelasan status antigen/PCR di venue bagi pelaku perjalanan udara maupun laut keesokan harinya. Setelah kami menanyakan layanan antigen/PCR kepada panitia pagi harinya sebelum final run, eh ternyata semuanya ngeles mendadak yang menandakan tidak adanya layanan antigen/PCR di venue. Geblek. Kayak anggota dewan aja kebanyakan janji yang seolah-olah ditepati.

Aku dan para calon pelaku perjalanan esok pagi galau alang kepalang. Kami saling berkabar via pesan singkat untuk rencana antigen dimana, dan lawan berkirim pesankupun sudah panik.

"Gimana sih panitia kita dijanjikan ada swab di venue malah php. Kalau dadakan gini kita kan juga susah persiapannya. Masa disuruh swab di Mataram,"

"Iya om,"

"Acara selesai siang, belum packing sepeda, packing baju, mandi, dan lain-lain. Nyari kendaraannya pula, bisa-bisa nyampai Mataram layanan swab udah pada tutup." keluhnya tidak solutif. Aku menghela nafas kencang-kencang dan menggaruk kepalaku yang berkeringat. Emang dasar panitianya ngeselin banget.

Namun aku masih berusaha mencari klinik yang melayani swab untuk keperluan perjalanan di desa Sembalun. Dibantu Unul, istri dari Bang Daus diantarkannya aku dengan motor matic pinjaman ke Puskesmas Sembalun dan klinik gunung Rinjani didekat venue. 

"Kalau minggu layanan swab kami tutup kak, mohon maaf." begitulah jawaban yang kudapat dari petugas puskesmas Sembalun. "Bisa coba ke klinik Gunung Rinjani belakang pusat informasi, plangnya warna biru. Petugasnya juga berasal dari puskesmas sini kak,"

Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Unul langsung menuju klinik yang dimaksud. Klinik kosong, narahubung tidak dapat dihubungi. Kesal sekali rasanya, dan pula pagi itu cukup buru-buru karena final run di LS 3 segera dimulai.

"Jadi Une gimana...mau swab dimana?" tanya Unul membuatku kian kebingungan. Antigen sialan !

"Nggak tau, pikir setelah finish aja nanti Nul," keluhku pasrah. Kemungkinan terburuk juga di bandara Praya, semoga saja ada dan pagi sudah buka. Namun aku masih mengusahakan tidak tes antigen di bandara setempat untuk menghindari antrian atau tergesa-gesa. Ditambah lagi aku membawa tas sepeda yang pastinya menyengsarakanku apabila lokasi pengambilan sampel jauh dari bandara atau dilantai dua. Rekan kerja yang bermukim lama di Mataram aku hubungi untuk informasi klinik antigen/PCR selama 24 jam. Ia mengirimku beberapa kontak klinik namun setelah kuhubungi, mereka hanya mengaku buka hingga pukul sembilan malam.

"Ah, mana sempat kita Nul, berangkat ke Mataram dari Sembalun habis maghrib, nyampainya jam sepuluhan malam." 

"Jadi Une gimana?" tanya Unul kembali. Jemariku kembali berselancar di ponsel untuk memastikan klinik antigen/PCR di bandara sebagai opsi terakhir. Titik terang kudapatkan setelah laman resmi bandara Lombok Praya terdapat klinik antigen/PCR di lapangan parkir barat yang dibuka mulai pukul setengah enam pagi. Ah, urusan barang bawaan nanti bisa minta tolong dijagakan porterlah.

Papan penunjuk kawasan wisata

"Ayo ke bukit Selong yuk, cuma dua kilo dari sini, naiknya sepuluh menit," ajakku pada Unul dengan perut lapar plus gamang. Ia mengiyakan dengan semangat, mumpung masih di Sembalun dan pikiranku masih belum tenang gara-gara antigen.

Berkendara hanya sekira lima menit dengan berbekal google maps dan gunakan penduduk sekitar, akhirnya bertemu dengan jalan setapak kecil dengan plang kayu bertuliskan Bukit Anak Dara, kampung tenun, dan Bukit Selong. Kami berdua menuju Bukit Selong dan memarkir motor dengan retribusi lima ribu per pengunjung. Seandainya aku mendapatkan waktu cuti lebih panjang, mungkin Pergasingan dan Anak Dara kusambang jua. 

Jalan menuju Bukit Selong berupa tangga-tangga bersemen awalnya. Beberapa telah terangkat dan retak akibat sulur-sulur akar dari pohon disebelahnya. Iring-iringan sapi berkalung lonceng milik warga berpapasan dengan kami sepanjang jalur, sesuai dengan lirik lagu, "Jika hari sudah petang, sapi pulang ke kandang, saya turut dari belakang...yiiihaaa..."

Setelah anak tangga semen habis, maka dihadapkanlah kami dengan bukit dengan anak tangga dari tanah dan pegangan bambu. Cukup tinggi sih, tapi saranku kalian tetap mengenakan alas kaki yang nyaman ya, jangan wedges atau high heels. Dua santri cowok seusia anak SMP berlarian keatas bukit lengkap dengan kopiah, baju koko dan sarungnya yang berkibar. Mereka sibuk menahan sarungnya agar tak terlalu tersingkap.

Kutoleh kebelakang. Unul kelelahan, tapi aku menyemangati bahwa puncak sedikit lagi.

Hamparan sawah warga Sembalun yang berbentuk persegi tampak jajar genjang dari atas sini. Ada yang hijau, menguning dan cokelat karena telah dituai. Angin bertiup cukup kencang dan dingin meskipun cerah. Awan tipis berarak di punggung Pergangsingan yang indah. Perkampungan Sembalun dan puluhan masjid tampak dari atas sini. Para santri sibuk berfoto di spot foto berupa bintang dari bilah-bilah bambu. Salah satu dari mereka ada yang albino, dan mereka minta tolong diambilkan gambarnya.

Para santri berebut foto

Wajahku masih muram gara-gara antigen. Unul menanyaiku sekali lagi, aih sudahlah Nul, tampaknya bandara menjadi harapanku satu-satunya setelah aku tanya lagi ke panitia, mereka hanya menjawab, "Ah, kalo antigen aja banyak di Mataram nanti."

Kuajak Unul kembali, perutku sudah lapar parah. Kampung tenun sempat kami kunjungi sejenak untuk melihat hastakarya penduduk setempat. Ada lembaran kain tenun yang menggunakan pewarna alami dihargai setengah juta rupiah.

Une dan Unul

***

Pukul setengah sebelas malam aku sudah berada di Mataram. Awal check in di penginapan diseberang Universitas Mataram hal yang pertama ditanya adalah dimana klinik antigen 24 jam. Syukurlah mbak resepsionis dengan ramah menginformasikan klinik yang masih buka, yaitu di rumah sakit Biomedika Mataram. Setelah aku menghubungi rumah sakit tersebut untuk konfirmasi layanan antigen, pukul sebelas malam dengan memesan ojek daring aku langsung menuju kesana dengan drama mau ambil uang di mesin ATM yang error. Ah, syukurlah dini hari hingga pukul dua belas masih ada ojek daring yang mangkal, kalau nggak ada hampir aja aku nekat pinjem motor mbak-mbak resepsionis untuk menuju rumah sakit yang letaknya cukup jauh tersebut. Edan.

0
Share

Sejenak setelah aku berbisik padanya bahwa kita akan balapan di Rinjani pada awal November mendadak Baby Yoda jadi anak pendiam.


Baby Yoda siapa? Oh iya, belum aku kenalkan sosok Baby Yoda yang memang merupakan salah satu karakter favoritku di serial Star Wars Mandalorian yang menggemaskan itu. Namun, di tulisan kali ini Baby Yoda yang dimaksud adalah nama dari sepeda all mountain baruku. Ya, karena sosok sepedanya yang imut dan berwarna hijau pink, maka aku memberinya nama Baby Yoda.

Bukan tanpa alasan aku mengganti frame sepeda lamaku. Aku mencari frame dengan ukuran yang lebih kecil (untuk reach) dan spare part yang tidak terlalu rewel, maka jatuhlah pilihanku pada frame Santa Cruz Nomad 5 2022 CC setelah pertimbangan dan uring-uringan yang bikin galau seperti cari jodoh.

Singkat cerita seperti itu, dan setelah bike test di Tutur Welang karena tiga bulan sejak beli belum berjumpa anak baruku, maka diri ini bertekad untuk memboyongnya balapan di Rinjani. Karakter si Baby Yoda ini agak nakal di trek, tapi lebih mudah dikontrol daripada pendahulunya karena mungkin reach-nya yang lebih cocok dengan postur tubuhku ini ya.

Aku memberanikan diri mengajukan cuti kepada atasan dengan sedikit gentar dan bikin heboh orang lantai dua tempatku bekerja karena bulan lalu aku sudah mengajukan cuti dengan alasan penting untuk pulang kerumah, ada seseorang yang datang kerumah untuk berkenalan sama orang tuaku setelah 360 hari diri ini lebih memilih sendiri karena satu keluarga disakiti, hahaha. Syukurlah dengan berbekal surat sponsor dari klub akhirnya ijin balapan itupun diberikan dengan mudah, tentu saja Baby Yoda dan emaknya tertawa-tertawa gembira. Setelah dua tahun vakum balapan akhirnya ketemu lagi dengan acara balapan di tempat yang keren ini.

"Mama, ayo terbang lagi. Yoda mau main lagi." serunya dari balik tas.

"Iya jangan nakal ya." jawabku penuh halusinasi. Maklum nak, mamamu ini udah waktunya punya anak yang nerusin kiprah balapannya. Tinggal nikah saja sebentar lagi sama mas yang dua minggu lalu baru datang kerumah.

Cuti selama tiga hari itu sebenarnya cukup mepet dan melelahkan terpotong prologue dan free practice, namun aku bersyukur aja akhirnya diijinkan cuti buat memanjakan si Baby Yoda (dan sebenarnya emaknya juga). Alhamdulillah mas pun mengijinkan walau wajahnya tampak sedikit berat.

"Ya sudah, hati-hati. Nggak mungkin juga kan aku ngelarang kamu gowes," katanya dengan nada rendah. Aku janji pulang dengan selamat walau tubuhku akan memar-memar atau jalan yang terpincang-pincang. Aku janji mas.


Kamis, 4 November 2021

Perjalanan kedua bersama sepedaku yang menggemaskan. PCR yang bikin deg-degan pun akhirnya hasilnya menggembirakan alias negatif. Aku memilih berangkat dari Balikpapan karena pertimbangan waktu transit yang singkat (hanya 40 menit tanpa turun pesawat). Untuk akomodasi selama di Lombok dan Sembalun pun sudah aku koordinasikan dengan race director alias akrab dipanggil mang AT. Aku dapat satu tempat bermalam bareng rumah yang disewa panitia.

Awal mendarat di bandara Lombok bersua dengan hujan sangat deras. Untuk menuju Sembalun telah disiapkan satu mobil Toyota Hiace yang rencananya akan sharing cost dengan 7 peserta lainnya. Namun sayang hanya dua orang dan dua sepeda yang berangkat sore itu. Satu peserta lainnya adalah Om Adi dari Dragon Racing Team, Bekasi. 

"Cuma dua orang?" kami berdua serempak tanya ke Bang Maher, sopir asli Lombok yang masih berusia sekitar 30 tahunan.

"Iya, yang lainnya ternyata pada cancel berangkat besok semua." ujarnya.

"Duh, laper nih. Dari Jakarta belom makan," keluh Om Adi sambil mengelus perutnya dan memasang muka memelas. Aku juga merengek kelaparan.

"Oh, tahan lima belas menit saja bisa? Nanti kita makan di warung yang biasa dilanggan para tamu."

Kami mengangguk, dan dibawanya kami ke Resto Keker, desa Sukarara. Lokasinya lumayan menenangkan dan dekorasinya juga klasik khas Lombok dengan rumah adat mini ditengahnya, bahkan para pelayannya pun menggunakan kain songket khas Sukarara untuk menggantikan bawahan. Om Adi kalap pesan nasi dua porsi, plecing kangkung plus ayam taliwang. Dengan santainya dia bilang kalau nggak habis aku yang didapuk menjadi bagian penghabisan nasi.

Makan Siang Plus Sore Kami

"Wah wah wah...pembalap makannya harus banyak dong, biar besok kuat menghadapi kenyataan," serunya sambil mengunyah ayam pesanannya. Plecing kangkung menjadi favoritku dalam pesanan kali ini karena sambalnya sangat nikmat, gurih, dan tidak pedas. Kangkungnya pun segar dan renyah. Hujan dan kelaparan merupakan paduan sempurna untuk santapan sore yang sangat nikmat. Namun juga aku tak berani terlalu banyak karena besok harus prologue dan practice, khawatir mules on track.

Sepanjang perjalanan, Om Adi benar-benar nggak terlelap sama sekali. Ia sesekali merekam perjalanan menuju Sembalun dan melakukan wawancara pada Bang Maher. Aku yang duduk pas dibelakangnya hanya menguping sambil terkantuk-kantuk.

"Jadi julukan di Lombok itu kota apa?" tanyanya antusias.

"Pulau seribu masjid. Lihat aja setiap rukun tetangga yang memiliki kepala keluarga lebih dari empat puluh pasti ada satu masjid besar, sehingga setiap beberapa ratus meter ada masjid besar dikanan maupun dikiri."

"Wah balapan sama Indomaret dan Alfamart," celetukku dengan mata separuh tertutup. Mataku kembali segar ketika adzan maghrib berkumandang dan berhenti di salah satu masjid besar desa Terara.

Ditengah perjalanan menuju Sembalun hujan cukup deras. Bang Maher melambatkan laju mobilnya, ia berkata kabut bisa turun dalam suasana seperti ini.

"Wah seram.." Om Adi yang baru pertama kali ke Lombok dengan antusias membidikkan kameranya kejalan yang mulai berselimut kabut. Mirip seperti suasana di film hantu, rimbunan pohon merunduk kejalan dan berselubung kabut tipis.

Jalanan yang kulalui tak banyak berbeda sejak enam tahun lalu. Begitu lekat dalam ingatanku melihat salah satu lokasi tempat mobil colt yang memuat pendaki anyaran kami mogok. Iya, perjalanan kali ini menjadi obat rindu akan hawa Rinjani.


Jumat, 5 November 2021

Aku terbangun pagi-pagi pukul enam dengan shubuh yang kesiangan. Tidurku tak seberapa nyenyak karena memikirkan Baby Yoda yang masih pulas dalam tas. Maafkan emakmu yang tenaganya tak bisa menjadikanmu berdiri tegak dan siap untuk dipacu nak..

Aku mengganggu ketenangan para panitia disebelah rumah yang kuhuni bersama salah satu panitia cewek, Mbak Bekti. Oh ya, masyarakat sekitar menyebut rumah panggung yang kuhuni dengan sebutan Geleng. Hanya ada satu kamar di panggung, ada teras dibawah dan kamar mandi dibelakangnya. Imut sekali. Kalau tidur saat malam hari, banyak kumbang dan serangga terbang masuk ke kamar kami, hihihi...

Pemandangan diluar Geleng
Dua Geleng, jadi Geleng-Geleng

Salah satu panitia yang kurusuhi pagi itu adalah Om Erick Doran, salah satu track builder di enduro kali ini. Berani sekali kamu Une, tapi nggak apa-apa daripada hati yang tak tenang gara-gara sepeda yang belum dirakit sebelum prologue jam sembilan pagi ini.

Tugas selanjutnya ialah mencari tumpangan menuju titik start prologue, dari dulu ini selalu menjadi tantangan tersendiri bagi solo rider sepertiku. Namun rejeki memang, aku berkenalan dengan seorang cewek yang katanya jadi peserta dadakan yang daftar last minute. Namanya kak Ayu, asli Palembang, kerja di Lombok, dan suami di Tangerang, haha...tapi dia masih ngaku rider lokal Lombok, sehingga dia akrab sekali dengan para rider local boy. Masalah tumpangan pun aman, akhirnya aku kenal juga dengan Bli Nyoman, salah satu rider Goweser Lombok Happy alias GOLOH Bike. Ia menawarkan untuk gowes bareng ketika aku ingin kembali ke Lombok suatu hari nanti. 

Pasca Prologue
Teman-teman Baruku

Setelah prologue dengan trek yang tak terlalu sulit dan capaian waktu tiga menit, aku, kak Ayu bersama para Goweser Lombok Happy berencana mencoba stage yang paling viral dan ditunggu-tunggu dalam race kali ini, apalagi kalau bukan black stage untuk special stage 3. Kenapa dinamakan black stage? Tentu saja, karena sebagian besar 'lantai' dari lintasan ini adalah batu hitam bergelombang yang terkadang licin sebab pasir kering, menurut informasi yang kudengar, black stage adalah bekas aliran magma yang telah mengering dari perut sang Dewi Anjani yang sedang mual-mual.

Dari video yang kulihat, treknya tampak tak terlalu sulit dan kurasa bisa lebih kencang. Nyatanya, cukup susah menghafalkan line yang hendak dilintasi. Beberapa ada yang menjebak serta negatif sehingga perhitungan kecepatan rider pun harus diperhitungkan agar tidak terpeleset atau terjatuh. Kondisiku saat latihan cukup lapar sehingga agak gemetaran, kendati demikian mata dan gerakan harus tetap bersatu biar nggak cium lantai berbatu-batu, hehehe. Beruntunglah saat latihan aku ketemu Bang Daus, salah satu rekan MTB Indonesia dari Medan yang sempat race bareng di Ijen tahun 2018. Ia dengan sabar nungguin aku on track dan mengajariku teknik memilih dan melintasi line, huhuhu makasih ya Bang !

Trek sepanjang kurang lebih 1,8 km tersebut akhirnya kulalui dengan selamat walaupun sedikit terpeleset di bebatuan. Kami makan siang di warung rumahan didekat pusat informasi wisata Rinjani, masakannya enak namun pedas semua walau tanpa sambal.

"Bang ntar mau latihan dimana?" tanyaku pada Bang Daus setelah makan. Biasa nyari teman latihan.

"SS 1 dan 2 aja Ne,"

Sejenak aku teringat kata-kata kak Ayu jika SS tersebut itu karakternya sama seperti prologue dan titik startnya sangat jauh di Bawak Nao. Belum lagi drama dorong sepedanya disepanjang jalur pendakian Bawak Nao yang sangat melelahkan walaupun bisa ngojek tanpa melalui LS dengan tarif Rp 150,000 ,-.

"Nggak perlu dihafal itu, mending SS 3 aja yang jadi pr itu."

Menimbang perkataan dari kak Ayu yang orang lokal, hmm..benar juga sih kalau sekilas lihat videonya di SS 1 dan 2. Black stage alias SS 3 kalau hanya sekali latihan dijamin belum hafal line dan masih gemetaran.

Masih bisa nyengir Sebelum SS3

"Coba kontak Bli Nyoman Goloh, mungkin sore nanti mereka mau ke SS 3 lagi."

Bli Nyoman menjelaskan, bahwa timnya akan latihan ke SS 5 dan SS 6 dulu, baru jika ada sisa waktu akan ke SS 3. Dalam race kali ini, SS 5 dan SS 6 untuk kelas women, veteran dan junior tidak diwajibkan. Menurut beberapa rider SS 5 dan SS 6 itu cukup curam dan seram, terlebih lagi untuk lolos dari SS 1-4 juga sudah sangat menguras tenaga.

Power of Ibu-ibu. Une dan Unul

Rencana ikut ke SS 1 dan SS 2 setelah makan siang pun mencuat daripada ngganggur dan rebahan aja di Geleng. Aku terlambat untuk ikut kendaraan loading sehingga harus gowes sepanjang jalan (yang untungnya mayoritas turunan) untuk dijemput Unul pakai 'kereta' (orang Medan menyebut motor dengan kereta). Selanjutnya perjuangan pun dimulai, demi penghematan dan menghindari tanjakan, aku dan Unul bekerja sama untuk membonceng si Baby Yoda dengan susah payah. Tangan emaknya udah pegel megangin tubuhnya si Baby Yoda sepanjang perjalanan yang menanjak. Makanya jangan durhaka sama emakmu ini nak !

Ketemu Pendaki dari Bandung

Perjuangan selanjutnya setelah motor tidak bisa lewat adalah adegan penuh keringat alias dorong habis-habisan di jalan yang menanjak. Lewat hutan bermonyet, lalu sabana terik dimana aku acapkali bertemu dengan pendaki yang sedang turun lalu diajak untuk berfoto untuk sekedar penawar lelah dan penat. Kadang mulutku mulai menceracau karena lelah maupun kelebat rindu. Tawaran ojek yang seliweran aku tolak secara halus, ego mengatakan bahwa diriku masih mampu menuntun Baby Yoda hingga pos dua.

"Jauh banget kak, diatas sana.. Semangat !" para pendaki dari penjuru bumi pertiwi menyemangatiku. Baby Yoda menatapku iba, ia bilang hari sudah senja pukul setengah lima dan harus jaga stamina untuk pertandingan esok sehingga dapat memacunya dengan kencang dan selamat. Jangan memaksakan diri hari ini karena bisa kemalaman sampai pos dua.

Pemandangan sepanjang LS 1. Sangat indah saudara.

Ah, Baby Yoda terkadang lebih bijak daripada emaknya yang keras kepala ini.

Salah satu kang ojek menghampiri dan menawarkan jasanya. Berkat nasihat bijak Baby Yoda akupun mengiyakannya. Teknik membawa Baby Yoda bukan memangku seperti tadi, melainkan bertukar peran. Aku yang membawa motor, dan kang ojeknya yang menuntun sepedaku. Haha...edan ! Motor yang ia pakai adalah motor bebek yang ia modif bak motor trail sehingga lebih tinggi. Oke kemampuan naik motor pun diuji disini, dengan percaya diri aku menggeber motor milik kang ojek. Sepanjang jalan jika berpapasan dengan ojek lokal mereka menyalamiku.

"Wah ada ojek cantik lewat !"

"Wahh kenalan dong ojek baru nihh..."

Aku hanya senyam senyum malu sambil terkikik. Sampai pos dua pendakian (yang memang ternyata cukup jauh), Bang Daus hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat kedatanganku dengan motor modifan. Enduro-Jek ini namanya Bang !

Senja itu Rinjani sungguh cerah dan sangat cantik paripurna. Puncaknya tak tertutup awan dan diterpa sinar senja keemasan membuatnya elok sempurna, suasananya pun sejuk. Beruntung sekali aku mencoba SS 1 dan SS 2 hari ini, pemandangannya sangat indah untuk foto-foto. Baby Yoda dan emaknya pun kembali ceria melupakan LS yang menyebalkan tadi.

SS 1 dan SS 2 memiliki karakter yang hampir sama. Beberapa kali kami melewati hutan dengan lantai  penuh daun yang berbatu dan berakar. Asyik sekali! Lalu sabana yang kalau nggak full speed nggak asyik. Sempat aku terjatuh dan dengkulku menghantam batu, celanaku sobek, lututnya aman karena terlindung protector.

Masing-masing SS saat latihan aku lalui dengan rata-rata waktu 12-15 menit. SS 2 melintasi kebun kopi milik warga dan jalur trekking ke air terjun Mangku Sakti. Pukul setengah enam kami mencapai mobil loading milik panitia bersama dengan para bocah desa Bilok Petung yang menumpang di baknya.

Para Bocah Bilok Petung

Malam ini, malam sebelum race day. Aku meminta ijin kepada Mbak Bekti untuk melumuri kaki dan badan dengan minyak urut plus krim otot cespleng yang akan menimbulkan bau menyengat di Geleng yang kami tiduri malam itu.


Sabtu, 6 November 2021

Sempat kurang ngeh membaca pengumuman wave start list semalam, pagi pukul tujuh kurang seperempat aku masih bersantai-santai dikasur. Mbak Bekti bilang kak Ayu sudah siap, benar saja selang beberapa detik kemudian aku diteriakinnya.

"Neee...udah siaaap? Mau berangkat jam berapa?"

"Kan jam sebelas mbak mulainya..." jawabku enteng sambil rebahan.

"Iya kamu mau berangkat jam berapa dudul...kita bareng Bli Nyoman aja loadingnya pagi-pagi. Jalan LS pagi aja biar nggak panas dan lebih lama istirahatnya sebelum start."

Kulihat kembali jadwal di grup. Jam sebelas itu mulai jalan SS. Berarti kalau LS 2,5 jam ya bener aja berangkatnya jam segini. Kukira jam sebelas siang baru jalan LS, haha gila !

"Oohh...iyaa..iya mbak aku siap siap sepuluh menit aja!" jawabku sambil berlari terhuyung ke kamar mandi. Air dingin memacu tubuhku untuk segar kembali, jam tujuh lebih sepuluh kami menuju venue yang hanya seratus meter dari tempat kami.

"Soalnya kita harus ambil nomer, terus registrasi transponder. Biar kita bisa beli sarapan dulu, gitu...nggak terburu-buru," jelas kak Ayu. 

Aku mendapatkan nomor 110, sesuai urutanku saat prologue. Kelas women di RGIE (Rinjani Gravity International Enduro) ini hanya dibuka satu kelas saja, yaitu women open. Prediksi panitia untuk cewek hanya segelintir yang daftar, ternyata ada sembilan orang. Enam orangnya atlit asli, dan tentunya sisanya hanya tim penggembira saja, hehe.

"Kita race hore-hore saja," kata kak Ayu. Aku mengamini.

"Atlit jatuh gulung-gulung di trek, kita lari kenceng, mereka tetap juara,"

"Benar, nggak bisa dilawan. Podium sudah ada yang berhak."

"Finisher saja alhamdulillah karena treknya berat kak, haha... kecuali dibuka dua kelas masih bisa ngegas lah kita." ujarku. 

Untuk race hari pertama kami mendapatkan energy bar dari Strive, dan membawa stok air cukup banyak karena akan melewati LS panjang dan cuacanya yang sangat terik. Aku dan kak Ayu sempat membeli nasi bungkus dan menyantapnya di jalan menuju titik start LS.

Ada kejadian lucu saat menuju titik LS, kami tidak aktivasi transponder di petugas yang ada di jalanan. Alhasil kami diteriaki peserta lain di tempat start kalau disuruh nuntun sepeda dari jalan raya karena yang lainnya juga gitu. Alhasil kami harus putar balik untuk aktivasi transponder namun nggak turun di pinggir jalan seperti peserta yang lain dengan alasan ini adalah mobil loading pribadi, kalau mobil loading panitia baru diturunkan di pinggir jalan raya.

Istirahat sekira tiga puluh menit sambil menunggu wave lain mulai, akhirnya tiba giliranku pukul sembilan ditemani dengan Bang Daus. Waktu maksimal yang diberikan saat LS ini adalah dua jam setengah, ya prediksiku dua jam bisalah sampai pos dua jalan pelan-pelan.

Kaki siapa yang masih lelah mendorong di trek seperti ini? Yaitu kaki saya !

Cuaca sangat terik, tenggorokan kerontang dan berkali-kali peserta dibelakangku mendahuluhiku, nggak hanya manusia, kadang gerombolan sapi coklat pun berjalan gemulai mendahuluhiku. Ya ketika berpapasan dengan peserta lain aku sapa dengan senyuman saja sambil ngobrol basa basi plus keluhan LS neraka dengan nada sok akrab. Saat melintasi hutan sih suasananya sejuk, namun ketika sudah mencapai sabana, wuaduh panasnya minta ampun. Balap Enduro memang seperti ini, fisik, mental, stamina diperas dan diuji, jadi manajemen waktu, stamina dan logistik selama perjalanan LS harus diatur dengan baik. Kang ojek yang kemarin mengantarku berpapasan dan menawarkan jasanya kembali.

"Waduh om...ini udah balapan nggak boleh ngojek,"

"Oh gitu...yaudah semangat ya."

Jalanku sempoyongan. Ada beberapa kang ojek bertemu kembali dan mengenaliku kemarin sebagai ojek cantik menyemangatiku. Para pendaki Rinjani semuanya ngojek, aku aja yang nyeret si Baby Yoda sambil terseok-seok dan menahan rindu, eh. Tapi bukankah kamu nggak mengalami hal seperti ini sekali dua kali? Bukankah hal seperti ini yang dari kemarin kamu mimpikan? Kalau iya, rindu boleh, mengeluh jangan. 

Sungguh race musim ini penuh kerinduan yang mendalam.

"Kapok aku mas...mending dirumah aja masakin kamu hari Sabtu," ceracauku kapok yang spesial ditujukan ke mas yang nunggu dirumah walau ia tak mendengar. Keluhan itu mungkin hanya berlaku satu atau dua hari saja. Baby Yoda yang mendengar keluhanku auto ngakak kencang, rasain, bilangnya. Kalau punya anak ya harus tanggung jawab diajak jalan-jalan kayak gini dong biar nggak stress dirumah.

Tak kusangka jalan perlahan dengan tertatih-tatih sembari menikmati indahnya Rinjani dan ciptaan Allah, akhirnya sampai juga di pos sebelum start SS1. Mukaku merah sedikit legam, dan segera selonjoran memulihkan energi sebelum mulai SS1 yang butuh konsentrasi tinggi agar tidak terjungkal.

Special Stage 1

Jam sebelas tepat aku mulai jalan di SS1. Kuncinya adalah nggak terjatuh dan tetap berjalan walaupun pelan sebab kelelahan. Konsentrasi penuh, bismillah.

Baby Yoda anteng selama di trek hari pertama, nggak rewel minta cemilan. Dia tertawa-tawa senang dan memasang muka kesal kalau laju sepedanya mulai pelan sebab emakknya kecapekan.

"Sabar sayang, ayah nunggu dirumah. Ibu kan sudah janji pulang dengan selamat." ujarku berhalusinasi on track hingga hampir menabrak pohon kurus yang tak berdosa.

SS1 kulalui selama tiga belas menit, lalu SS2 pun sekitar delapan menit. Sempat di kebun kopi tersundul oleh salah satu peserta dari kelas veteran, untung omnya sabar, hehe.

Selesai balap hari pertama saat adzan dzuhur berkumandang. Aku segera pulang dan beristirahat untuk persiapan hari esok. Malamnya aku makan bakso dan sialnya dompetku tertinggal, syukurlah bertemu dengan Bli Nyoman dan kawan-kawan, sehingga selamatlah aku malam itu, haha. Ia menjelaskan bahwa akan absen di hari kedua karena wheelsetnya bengkok gara-gara ban yang bocor di SS2 ia paksa untuk tetap berlari. 


Minggu, 7 November 2021

Kak Ayu mengabarkan paginya bahwa ia berniat untuk tidak melanjutkan race hari kedua ini. Ia mengeluh demam dan nyeri pada ulu hatinya. Hari kedua tak membutuhkan mobil loading dan banyak peserta yang mengundurkan diri. Waktu maksimal untuk menempuh LS 3 adalah dua jam, dan aku start di wave paling bontot.

"Yah enggak seru kalo nggak ikut, tapi mulainya jam 9 sih, bisa istirahat dulu paginya minum obat siapa tahu membaik," rayuku pada kak Ayu dengan alasan tak mau sendiri.

"Iya..benar juga ya. Coba aku bujuk suamiku dulu...kalau boleh aku ikut semampunya aja."

"Kalau dibawa race biasanya langsung sembuh kok," aku makin mengompori, dan akhirnya dia bersedia ikut.

Menempuh LS 3 juga membutuhkan tenaga ekstra. Tanjakannya cukup mengerikan, kulihat kak Ayu berjalan sangat pelan sambil menahan sakit. Aku berjalan didepannya sesekali menoleh kebelakang, khawatir pingsan.

Banyak penduduk sekitar yang hendak menonton aksi kami di SS3, lantas kulihat kak Ayu diantar pakai motor trail dan sepedanya dibantu bawa karena ulu hatinya terasa nyeri. Aku ditawarin bonceng sepeda juga sama salah satu mekanik rider lokal, awalnya malu-malu akhirnya mau. Daripada pegel nanjak, haha, mending cheat sedikit. Toh peserta lain juga sudah nggak ada dibelakang kami, kami menjadi yang terakhir *ketawa jahat. Sehingga waktu tempuh LS 3 kami hanya sekitar 70 menit saja. Semoga Allah balas amal baikmu kakak.

Black stage yang garang menanti kami. Syukurlah cuacanya cerah, kalau hujan atau setelah hujan dijamin bebatuan ini sangat licin dan berbahaya. Pikiran mengenai line yang susah atau membingungkan atau ragu untuk diambil, mending dituntun saja, pikirku. Kalau terjatuh akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bangun dan menstabilkan mental, terkadang aku seperti itu. Bukannya kami hanya sebagai tim gembira? 

Kak Ayu mulai duluan, aku memperingatkannya untuk pelan dan tak perlu dipaksa karena kondisi badannya yang tak baik. Sebenarnya pikiranku juga sedang tak baik gara-gara layanan PCR/antigen di venue mendadak tidak ada kejelasan  dari panitia. Uh sialan, antigen dimana aku ini, penerbangan besok pagi pula.

Awal black stage kulalui dengan aman dan pelan, ya pokoknya nothing to lose, kalau ragu dituntun saja. Berkali-kali aku berhenti untuk plonga plongo bak kebo melihat line yang aman untuk dilalui, walau ada panah putih dan merah yang mengarahkan, namun aku masih saja kurang yakin. Masa bodo ada om-om fotografer didepanku lah, yang penting kan selamat dan bisa ketemu masnya setelah pulang. Di SS 3 ini memang aku sempat mengalami crash pelan gara-gara terpeleset jalur pasir curam yang licin sambil tertawa-tawa diabadikan om fotografer, selebihnya gunakan style asli lah, jalan sebisanya aja, kalau ada fotografer aja baru bergaya bak atlit. Jadinya untuk SS3 ini aku lalui selama sebelas menit plus drama berhenti gara-gara cari line paling aman.

Special Stage 3

LS 4 hanya diberikan waktu satu jam. Akh gila nih panitia, kondisi udah sangat lelah seperti ini masih disuruh jalan nanjak cukup jauh selama satu jam, trek SS lumayan pula ! Pikirku nggak apa-apalah kena pinalti waktu nantinya, yang penting kan selamat dan bisa ketemu masnya, hahaha.

Aku bertemu dengan salah satu peserta dari kelas veteran asli dari Mataram sepanjang LS. Kuajaklah ngobrol ngalor ngidul ditengah teriknya LS 4 agar tidak penat, salah satunya adalah ngobrol mengenai susu  kuda liar khas Nusa Tenggara Barat.

"Jadi Om sering minum susu kuda liar?" 

"Iya sering...kenapa?"

"Rasanya gimana?"

"Kalau diminum biasa ya asam gitu dik, jadi minumnya dicampur madu."

"Khasiatnya apa om?"

"Buat stamina aja sih,"

"Oh....kirain kalau minum tenaganya jadi kuat seperti kuda liar. Makanya kemarin sebelum race aku berniat untuk minum susu tersebut, siapa tahu nanti on track bisa sekuat dan seliar sang kuda."

Om yang terlupakan namanya tersebut mungkin terheran-heran melihat lawakan receh bocah tengil sepertiku. Percakapan ngalor ngidul pun berlanjut hingga kami berpisah di sebelum jembatan gara-gara aku ingin berfoto terlebih dahulu sambil istirahat.

Baby Yoda di Liaison Stage 4

Tanjakan mengular ternyata menanti setelah tanjakan. Aksi dorong Baby Yoda berlanjut, untung kamu frame carbon nak, jadi ringan. Suasana siang itu berawan, dan setelah mencapai start SS 4 aku tersadar bahwa kena pinalti 11 menit gara-gara kelamaan foto di tulisan Rinjani. Huh, sempat kesal antara aku yang lambat atau panitia yang memberi estimasi waktu LS 4 yang terlalu singkat, cuma satu jam padahal cukup panjang dan menanjak, huh, kesaaaal! Tapi ya mau berapapun waktunya tetap saja podium untuk yang berhak, hehehe...

Bisa dibilang SS 4 ini adalah stage yang paling santuy dan mudah. Ngeflow aja, ada beberapa section roller coaster dan rollingnya kencang, namun karena aku sudah lelah jadi aku merasa kecepatanku kurang maksimal mendekati garis finish. Sekali aku keluar jalur dan menggilas tai sapi yang setengah kering. Baby Yoda teriak jijik.

Aku mencetak hasil race ku setelah menukarkan transponder. Posisi sementara nomor lima, ah nggak mungkin, pikirku. Ada enam atlit disini, ya minimal posisi tujuh lah, haha. Dan ternyata benar aku berada di posisi tujuh dari sembilan peserta cewek. Capaian waktuku 50 menit termasuk sebelas menit pinalti di LS 4. Ah, kalau dihitung-hitung tanpa pinalti aku masuk posisi enam loh, kesel dah kelamaan dorong dan foto-foto di LS.

Pasca race, aku kembali menggalau tentang antigen. Aku curhat habis-habisan pada Unul mengenai antigen ini, dia menenangkanku dan mengajak ke Bukit Selong. Tampaknya disana memang tempat yang pas untuk berteriak sepuas-puasnya.

Ah, seru sekali berkenalan dengan teman-teman dari seluruh Indonesia. Esensi utama dalam setiap perjalananku adalah seperti itu siklusnya, berangkat sendiri - bertemu teman baru - tertawa bersama - race dengan selamat - berpisah - kembali pulang dan melepas kerinduan.

0
Share

Jika 380 hari yang lalu adalah perjalanan bersama engkau yang telah hilang, maka hari ini adalah perjalanan yang membuatku ingin segera pulang.

Bagaimana tidak? Jika sebelum keberangkatan aku telah berjanji padamu untuk pulang dan bertemu di akhir pekan. 

Rabu, 8 September 2021

Lamunan tentang sosok lelaki buyar sesaat ketika kulirik jam tangan yang tergeletak di matras metalikku. Pukul tujuh pagi waktu indonesia bagian tengah. Ah, bukankah aku harus segera menyiapkan makan pagi untuk mengisi perut enam manusia yang ada di lokasi ini. Bukankah seorang istri yang baik harus selalu siap siaga seperti ini bukan?

Ah! Delusi terhadapmu lagi. Dua ikat bayam yang diangkut dari Sangatta ternyata sudah membusuk dengan sempurna sebelum dimasak, serabut putih lembut menyelimuti tumpukan bayam sia-sia itu. Aku yang masih belajar sebagai calon istrimu tampaknya salah strategi mengatur prioritas sayuran untuk diolah sehingga terbuang sia-sia. Tempe yang tinggal separuhpun sudah mulai menurun kualitasnya diketahui dari ujungnya yang mulai lembek dan rapuh, segera kubaluri dengan telur dan tepung goreng instan plus sedikit tambahan ketumbar bubuk dengan harapan untuk menaikkan kualitas rasa dan aroma sehingga konsumennya tidak mual-mual.

Pagi itu kuoseng wortel, kubis, dan buncis dengan bumbu seadanya. Bawang merah, bawang putih, garam, gula, kecap manis dan tentu saja dua jumput micin untuk menggugah rasa. Selama ini aku tidak pernah menggunakan mononatrium glutamat murni untuk penyedap rasa masakan sekalipun, hanya saja pada kesempatan saat itu kulihat ada seperempat kilogram bungkus micin yang terbuka dan tampaknya sayang untuk dilewatkan. Hm, terkadang kesempatan itu sungguh menggoda iman.

Dua Om Payau sibuk menanak beras dalam kuali dengan tungku kayu bakar. Tentu saja rasa nasinya ada aroma agak sangit yang aku sukai. Setelahnya rendang hati payau hasil jeratan racikan Om Rusdy yang semalam kulihat dikerumuni lalat hijau, mereka panasi ulang agar terasa lebih nikmat untuk disantap saat pagi.

Hidangan siap pukul sembilan. Sarapan bersama dimulai, Satria mengambil lauk pauk plus nasi setelah ia menyantap kopi susu yang dicampur dengan remasan mi instan mentah dalam gelasnya. Ah, kalau orang kota mungkin menyebutnya sereal, yang aku menatapnya sedikit eneg.

"Kemana kita habis ini? ke Gua Tebo kah? Atau ke gua depan sungai sana," Satria memberikan opsi untuk perjalanan hari ini.

"Gua Tebo itu yang kemaren ya?" Bule memastikan. Satria mengiyakan. Duh, padahal nanjaknya lumayan tuh.

"Atau ke gua yang depan sungai ini?" telunjuknya mengarah ke mulut gua dengan hembusan angin sejuk dan beraroma guano. Gelap dan tampaknya kurang meyakinkan untuk dijelajahi.

"Ada apa didalamnya?" tanyaku. Pria asal Tepian Langsat itu menunjukkan gambar di ponselnya, sekilas mirip dengan gua Sampemarta, menyusuri sungai dalam gua hingga menemukan ceruk dengan tanaman hijau yang diterpa sinar matahari. Ia menjelaskan jalan susur sungai tidak terlalu jauh dan dangkal.

"Bawa air minum dan cemilan. Hati-hati tasnya basah, amankan ponsel atau kamera. Jangan lupa headlamp ya," instruksinya.

"Pake sandal jepit aman aja yah? Basah-basahan juga kan?" tanyaku.

"Iya bisa."

Alhasil ketika memasuki gua nan gelap tersebut, aku sering terpeleset hingga sandal yang terjebak didalam lumpur yang lengket. Berkali-kali aku mencabut sandal yang tertancap di lumpur. Bule dan Satria terpingkal-pingkal. Setelahnya aku menyadari bahwa karet sandalku agak molor dan kendor sebab terlalu sering aku cabut dari lumatan lumpur dengan cara menarik talinya.

Panjang susur sungai ini sekitar satu delapan ratus meter. Gua ini dipenuhi stalagtit dan stalagmit yang dapat bertumbuh dengan pola-pola yang menarik. Ada yang serupa jamur, menara, terumbu karang maupun menyerupai orang. Air yang mengalir dalam gua itu sangat jernih, mengingatkanku akan ilustrasi yang kudapati dalam buku geografi semasa SMU mengenai aliran sungai didasar gua. Zona epikarst pada karst merupakan daerah penyerapan air sehingga menyimpan dan mengalirkan air didasar gua. Masih ingat kan, kalau aku pernah menyebut karst adalah tandon raksasa dari Allah?

"Wah nggak nyangka nih aku, penampakannya kurang meyakinkan dari luar ternyata dalamnya bagus juga!" Bule berdecak sambil sibuk mengabadikan dengan kamera aksi. Sesaat kemudian ia menyesali kalau drone miliknya tidak ia bawa serta karena dayanya habis.

"Nah kita sudah diujung, kalau disusuri untuk menemukan hulu sungai ini harus menyelam dulu kesana," Satria menunjuk ke lubang sempit yang dipenuhi air. "Alirannya berasal dari Beriun, setelah tembus di karst sebelah ini."

"Woaaah..woaaah..." aku berdecak kagum. Ternyata karst ini memiliki hubungan satu sama lain walau letaknya berjauhan. Sungguh luar biasa alam Kutai Timur ini.

"Ada yang pernah nyelam kesana?" tanyaku.

"Ada dulu orang-orang gila aja. Padahal gelap dan nggak tahu disana ada apa, sedangkan mereka menyelam tanpa peralatan apapun. Kalau pakai tabung oksigen sih oke."

"Banyak ikan marsapi didalam ya?" Bule ikutan nimbrung nanya ikan yang biasanya hidup di perairan gua yang gelap. Bentuknya seperti belut atau ular besar, lazimnya disebut ikan sidat, kalau di Kalimantan disebut Marsapi.

Ujung Gua

"Ya habitatnya itu sudah. Besar-besar kayaknya didalam, kalau kita nyelam bisa-bisa kita dimakannya," kelakar Satria.

Setelah puas menapaki pasirnya yang lembut dan menikmati tempat yang super bersih tersebut, kami kembali ke camping ground dengan disambut lolongan lima ekor anjing yang membuatku sedikit terkejut.

"Joko! Amin!" teriak seorang lelaki dewasa dari camping ground kami, ia empunya lima ekor anjing tersebut yang salah duanya bernama Joko dan Amin. Satria mengenal baik pria yang bernama Pak Yunus tersebut, mereka berbincang akrab dan menjelaskan maksudnya untuk berburu disini.

"Kami pulang Sabtu nanti," Jelas Pak Yunus. Aku mendengarkan percakapan mereka sambil menyantap biskuit krim red velvet dan ditatap mesra oleh anjing-anjing yang menggemaskan. Sesekali mereka menggonggong sambil menatapku dengan wajah memelas.

Anjing milik Pak Yunus

"Kayaknya lapar pak," sahutku. "Itu ada sisa nasi,"

Sejurus kemudian Bule mendekatiku yang lagi ngemil, "Nggak packing kah Ne?"

"Lah bukannya pulangnya besok?" seruku terkejut dengan mulut penuh biskuit. Seruanku mengundang perhatian Satria yang mengangkut sisa logistik kami di dapur darurat.

"Yeee....kan sudah kubilang pulangnya hari ini,"

"Atau bareng kita mbak, baliknya Sabtu nanti," tawar pak Yunus sambil terkekeh.

"Si Une betah di Tebo sini Sat, tempatnya cozy sih." sambung Bule.

"Iya aku nggak suka di camp Tewet, itu sudah terasa di kota karena kedengaran chainsaw illegal logging."

"Nggak mandi dulu? Sebelum terpalnya mandinya kulepas."

"Boleh,"

"Ya makanya cepetan !" kata Satria.

Secepat kilat aku menyambar handuk dan alat mandiku menuju bilik mandi yang ditutupi terpal hijau. Mandi dengan air Sungai Marang yang jernih dan sejuk, yah semoga tidak yang terakhir kalinya. Namun perjalanan kembali ini menjadi perjalanan yang sangat dinantikan, karena aku dapat membalas pesanmu yang tertunda di hari Minggu, satu hari lebih cepat daripada janjiku.

Pukul setengah tiga sore kami meninggalkan camp Tebo yang cozy itu. Perjuangan keluar menuju hilir sungai Marang pun penuh perjuangan bagi Satria yang mengendalikan mesin ketinting dan Bule yang memegang dayung untuk mengamankan haluan depan. Mereka berdua harus lebih siaga karena trek pulang mengikuti aliran sungai sehingga laju perahu lebih cepat dan terkadang sulit dikendalikan. Terlebih lagi ditengah aliran sungai Marang terdapat banyak sekali halang rintang, seperti dahan rebah, kayu yang membuat sungai dangkal, batuan karst yang tajam, hingga dedaunan berduri yang dapat menyapu wajah kami jika tak sigap menghindar. Sedangkan tugasku selama di ketinting ngapain? Hanya rebahan saja, dan itu ternyata jenuh juga.

Perjalanan pulang semakin seru saat hujan mengguyur kami. Bule merasa tangannya sudah mulai pegal dan kram setelah mendayung terus menerus, ia makin penat karena tak bisa merokok ataupun vaping dikala hujan mengguyur.

"Masih lama kah hilir sungai Marang ini? Pegal tangan, penat juga aku, asam mulut nggak bisa sebat." keluh Bule ditengah perjalanan. Satria menyuruhnya bersabar karena masih separuh perjalanan.

Bule Sebagai Juru Dayung

"Rasanya perjalanan pulang makin lama," lanjutnya mengeluh tanpa melepas konsentrasinya akan halang rintang yang menghadang ketinting kami.

"Kita nggak sempat ke Gua Tengkorak nih, kesorean kita. Bisa-bisa keluarnya malam." teriak Satria bersaing dengan mesin ketinting jenis long tail tersebut.

"Yaaaah..."

Mendekati hilir sungai Marang yang membuat kami penat, kelompok pak Rusdy bersama dua Om Payau menambatkan perahunya di salah satu pondok. Mereka habis memancing dan memamerkan hasil pancingannya dengan girang.

"Ikan Salap....mana ikan Salap?" seruku mengabsen beberapa jenis ikan yang mereka tangkap.

"Inii...yang siripnya merah. Nanti malam kita goreng ." jelas dua Om Payau otomatis membuat perutku keruyukan.

Pukul setengah enam sore kami mencapai camp Tewet. Matahari senja bersinar dengan cerahnya menerpa gunung gemunung karst disamping camp kami hingga merona keemasan. Bule menyesal untuk yang kedua kalinya karena tidak dapat menerbangkan dronenya. Kami mengoloknya senang.

"Ahh...kamu Le, kalo pake hp atau kamera canggihpun kelihatan biasa saja."

"Ahh...rugi kamu Le, pemandangan seperti ini langka lo. Aku baru sekali ketemu pemandangan seperti ini." kata Om lain mendramatisir.

Dan ah...ah lainnya yang membuat si Bule makin mengusap wajahnya kecewa.

Untuk pesta puncak hari ini tampaknya dikontrol penuh oleh para lelaki. Mereka dengan sigap menanak beras dan membersihkan jerohan ikan. Om Rusdy meracik bumbu untuk sup ikan Baung, dan Om Heldy kebagian tugas untuk menggoreng ikan. Satria mengulek sambal bawang bermicin, dan malam ini kita menikmati dua sajian istimewa, ikan goreng dan sup ikan baung.

Om Heldy alias Payau 3 menanak beras

"Mau makan apa saja lengkap, payau, pelanduk, jukut (ikan dalam bahasa kutai) ada semua," ujar Om Rusdy.

Dan seperti yang kuduga,  aku menyantap hidangan pesta puncak itu cukup banyak. Dua ekor ikan salap yang kurindukan dan satu setengah piring nasi dilengkapi dengan sambel bermicin ramuan Satria yang sedap mantap. Alhasil sekitar hampir empat puluh lima menit aku terduduk ditepi sungai Jele dengan santapan yang sangat lezat. Semua sudah menghabiskan makan malam, tersisa aku yang masih menjilat-jilat jemariku.

"Tambah mbak, biar nggak kepuhunan." tawar Om Payau 2 menggeser panci sup ikan baung kearahku.

"Ampun Om, penuh perutku ini."

Setelah kegiatan makan malam, Bule  menyalin semua foto dan video  dari kamera aksiku. Selama tiga malam ini ia tak bertingkah aneh-aneh seperti di episode setahun lalu bak kesurupan tikus, karena sempat kuancam akan kulempar botol air mineral 1,5 L kearahnya jika berteriak tikus atau hewan lain.

Suasana Pagi dari Camp Tewet

Kamis di pagi hari, kami disambut suara derungan mesin chainsaw yang bersahut-sahutan disusul dengan berdebumnya suara pohon. Kami tahu itu illegal loging. Suara itu membuatku gusar, selain memekakkan telinga, namun juga khawatir salah satu tempat bermainku ini akan musnah dalam beberapa tahun kedepan.

"Pernah kami tegur mereka, namun juga serba salah karena mereka beralasan : Kami makan apa?" Bule menceritakan sekelumit pengalamannya. Ya, aku tahu ilegal logging memang membuatmu bertahan hidup, namun tidak bagi generasi penerusmu. Kalian mau mereka kehilangan kualitas udara terbaik yang kamu rampas untuk urusan perutmu kini? 

Ah, kalian penjahat mana mau tahu.

Bonus Penampakan Bule


0
Share

 "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat." 

Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan perjalanan untuk mengisi hari-hari cutiku. Di Sangatta, aku mengepak ulang dan melengkapi perbekalan yang belum ada, seperti sayur mayur yang dinanti-nanti para pemandu Gunung Gergaji.

"Bawa sayur ya, bosan kami sepuluh hari pas kegiatan makan kalengan terus," 

Bayam, kangkung, sayuran sop, tahu dan tempe kuborong secukupnya. Oh tidak, aku cukup kesulitan membawa dengan motor matic pinkku. Kuletakkan di sandaran kaki, dan ternyata hanya menyisakan sedikit ruang untuk pijakan kakiku yang harus berjejal juga dengan tenda berwarna jingga. Amat sangat tidak nyaman, terlebih lagi hujan mulai turun dan om-om penjual sayur menginformasikan kabar mengenai buruknya akses jalan selama hujan di Rantaupulung yang membuatku harus putar balik melalui Simpang Perdau.

"Hujan begini mbak, infonya dari media sosial di Rantaupulung ada jalan yang hampir putus dan rusak. Bahaya."

Sesaat setelah om penjual sayur menginformasikan hal yang mengkhawatirkan tersebut, hujan turun semakin deras. Bukannya keder, tapi makin kugeber motorku dalam balutan jas hujan merah jambu. Punggung tanganku yang setia menggenggam setir terasa dihujani ratusan jarum air ketika aku menerjang hujan. Clekit...clekit....clekit...

Kuapit dengan kuat sayuran di sandaran kaki agar tidak jatuh. Kakiku terlipat dan tak nyaman. Ah, mungkin tahu yang kubeli sudah hancur dengan himpitan kakiku. Bodo amat.

Lima belas menit setelah berkendara, cuaca bersinar terik. Namun sengaja tak kulepas jas hujanku karena menatap gumpalan awan di jalur yang akan kulalui hitam pekat dan bergemuruh kendati dalam tubuhku sudah berkeringat segar. Tangan kiriku kufungsikan sebagai wiper alami untuk menghapus sisa rintik hujan yang mengaburkan kaca helmku.

"Andai aku titisan sultan, akan kubeli satu unit mobil 4WD agar membuat perjalanan ini lebih nyaman." teringat kalimat pengandaian yang kutulis dalam bukuku. Namun sayang sang dewi realita menyadarkan bahwa diriku masih berada diatas motor yang berusia hampir empat tahun dan melaju diatas aspal panas yang mulai hancur. Memang, tampaknya akan lebih nyaman mengendarai mobil, namun aroma lelah petualanganmu tak seseru saat mengendarai motor hampir empat jam hingga pergelangan tanganmu kebas dan punggung tanganmu sedikit legam karena terbakar.

Hancurnya ruas jalanan Sangatta-Sepaso kian parah, ditambah hujan yang tiba-tiba lebat menimbulkan genangan air keruh bak kolam lele ditengah jalan. Jalanan licin berlapis debu coklat kemerahan. Motor tidak bisa kutarik gas kencang-kencang, selain bahaya tergelincir namun juga jarak pandang yang sungguh  terbatas dan buram. Masker medis abu-abu tua yang dikenakan pun sudah basah kuyup, air hujan sukses menyapu sudut-sudut bibirku yang dahaga.

Mobil, truk, ambulan, maupun kendaraan berbadan panjang dan lebar mengantre untuk bergantian melewati jalanan yang rusak. Antrian cukup panjang dan membuatku kurang sabar, sehingga pelan-pelan aku menyalip dari kanan. Aman, selamat. Namun disambutnya aku dengan jalanan rusak menganga bertubi-tubi.

Grubak!! Grubak!! Tubuhku terguncang, tas carrier miring. Kupastikan bahwa sayuran yang kujepit baik-baik saja. Setelahnya motorku hampir tergelincir karena licinnya jalan berpasir. Oleng, namun mati-matian kutahan dengan kakiku agar tak terjatuh di aspal dan menjadi santapan nikmat kendaraan yang mungkin melaju agak kencang dari arah belakangku.

Tidak, tidak! Aku telah berjanji padamu untuk bisa pulang dengan selamat, membalas pesanmu dan bertemu di akhir pekan.

Jemari tengah dan manis di kaki kananku tergores aspal basah karena saat itu hanya memakai sandal jepit untuk menghindari sepatu yang basah dan kotor. Sakit, panas, dan sangat perih. Aku merintih-rintih dan memeriksa kondisinya, ah, hanya berdarah sedikit dan terkelupas kulitnya. Hal ini sudah biasa bagi preman sepertiku, sehingga tak butuh lama aku melanjutkan perjalanan dengan perihnya luka yang terbasuh air hujan bercampur debu.

Tujuan 'pulang kampung' kali ini

Dua hari yang lalu : Jumat, 10 September 2021 

Tanggal keberangkatan baru kukonfirmasi pada Satria hari ini. Fix tanggal 5 September, hari Minggu setelah mengajukan cuti dadakan hari kamis sore kepada bos baruku. Semuanya serba mendadak, karena jadwal kegiatan Satria juga yang tak pasti kapan selesainya. Tak banyak berpikir ulang, kuhubungi Bule untuk keberangkatan hari Minggu dan keperluan apa saja yang wajib dibawa. Sengaja tak kuhubungi rekan yang lain, karena selain mendadak pasti juga akan muncul alasan-alasan dan keruwetan sebelum keberangkatan nantinya. Hanya Bule yang menyanggupi ajakan dadakanku saat itu.

"Dronemu awas ketinggalan," ancamku.

"Ini sekalian aku bawa udang papai buatan mamakku, sambal, ikan asin, dan cabe katokon,"

Awal keberangkatan diwarnai hujan lebat di Bontang. Rencana untuk berangkat pukul tujuh pagi harus mundur hingga pukul delapan karena mentari sudah mulai menyapa hari petualanganku. Luar biasa sekali saat cuti satu minggu harus melarikan diri berkedok pulang kampung  ke hutan demi menghindari masker dan kewajiban tes PCR. Untung saja emakku di kampung mafhum dengan tingkah liarku.

Minggu, 5 September 2021

Perjalanan satu tahun lalu yang hanya memakan waktu dua jam dari Sangatta menuju Hambur Batu, kini kunikmati dalam suasana berbeda dalam hujan yang membutuhkan waktu tiga jam. Bule sudah sampai di Hambur Batu bersama dengan Satria satu jam yang lalu dan kini diriku datang dengan raut tubuh kedinginan karena dusun tersebut masih diguyur hujan.

"Istirahat dulu, masih hujan. Kalau reda baru kita jalan." Satria berkata. Tanpa kusuruh Bule membantu untuk memuat barang bawaanku kedalam ketinting milik Satria. "Jika kalian hari ini nggak jadi ke camp Tebo' pun kami tetap kesana. Mau berburu."

"Jadi sama siapa saja?" tanyaku.

"Itu, ada Om Rusdy, Om Mu'i dan Om Heldy. Mereka sudah mau berangkat duluan."

"Kondisi sungai Jele?"

"Bagus, sama seperti tahun lalu kalian kesini."

Ah, iya. Akhir Agustus 2020 kami kesini, dan pada tahun 2021 berlanjut pada awal September kembali ke lokasi ini, dengan kondisi pandemi yang sama, motor yang sama, tas yang sama, sepatu yang sama, ponsel yang masih sama, hingga Bule yang penampakannya masih sama. Hanya saja perjalananku kali ini minus Lupi, karena dia sedang istirahat pemulihan pasca operasi, semoga cepat pulih sobat petualangku !

Gunung Gergaji masih berselimut kabut pekat kendati cuaca sudah mulai cerah pukul tiga sore. Cuaca saat itu sejuk dan segar, sehingga aku membutuhkan jaket selama perjalanan menuju Camp Tewet dengan ketinting merah yang warnanya tak berubah sejak tahun lalu milik Satria. Pemandangan yang disajikan masih tetap sama, flora, fauna, bekantan dan monyet yang saling memijat diatas dahan yang tinggi, namun bedanya hanya terselubung kabut yang tipis, sehingga nampak samar.

Kabut Pagi Karst Sangkulirang-Mangkalihat

Angin sungai dan percikan ademnya bertalu-talu menampar wajah kami untuk mengantar menuju Camp Tewet dengan jarak tempuh dua jam. Kacamataku sontak memburam.

Asap putih membubung dari arah camp Tewet, berbaur dengan kabut lembut sisa hujan di siang menjelang sore tadi. Tiga om-om yang mencapai camp Tewet terlebih dahulu menanak nasi dalam kuali alumunium diatas perapian batu yang disisipi kayu bakar. Beberapa dari mereka mengeluh kesulitan mempertahankan nyala dan bara api karena kondisi kayu yang lembap. Udara dan aroma camp Tewet tak berubah dari tahun lalu, hanya saja bagian depannya longsor karena abrasi saat air sungai naik sehingga beberapa pohon telah rebah. 

Naluri kewanitaan muncul saat melihat plastik sayur diturunkan dari ketinting. Daripada hanya duduk diam, kuambil dua ikat kangkung untuk ditumis. Bumbu hanya cukup dengan bawang merah, bawang putih, sejumput garam, dan kucuran kecap tanpa ukuran pasti. Masakan sehancur apapun, kalau di hutan seperti ini pasti segalanya terasa nikmat. Terbukti dari wajah om-om yang menyantapnya dengan lahap tanpa sepatah kata.

"Besok jam berapa ke Tebo?" tanyaku pada Satria setelah makan. Om-om lainnya bersiap kembali ke kapal untuk berburu.

"Makin pagi makin baik."

"Duluan ya !!" entah siapa om yang berteriak sembari melambaikan tangan dari ketinting yang gelap. Ketinting mereka melaju kearah hulu sungai Jele. Kami balas dengan lambaian dengan teriakan singkat, "Yo! Hati-hati!"

"Makanya kenapa aku bilang harus singgah dulu di camp Tewet saat mau ke Tebo. Karena perjalanan bisa seharian, dan juga melewati sungai Marang itu sangat melelahkan." lanjut Satria.

Alamat rumah kami selama di Camp Tebo'

"Berapa jam?"

"Empat jam an, kalau santai. Pernah saat itu jokinya gila satu setengah jam bisa sampai."

Camp Tebo'. Salah satu lokasi yang ingin aku kunjungi di kawasan Gunung Gergaji Karst Sangkulirang Mangkalihat gara-gara foto padang sabana cantik yang dipamerkan Satria setahun silam. Ia berkata, "Cuma padang savana kayak gini aja mau aja dikunjungin. Aku udah lama sekali nggak kesana, mudah-mudahan masih ingat rutenya."

"Ya bedalah suasananya!" kilahku manyun. "Sabana di dekat kampungku juga ada, tapi mereka dikelilingi bukit dan gunung berapi."

Satria mengangguk dan mengiyakan.

"Banyak camp di kawasan Gunung Gergaji, selain Camp Tewet, tapi ada juga Campt Tebo, Batu Raya, dan ada juga di kawasan Pengadan sana."

Kata Satria, "Cuma gini aja"

"Batu Raya gimana? Bagus nggak?" tanyaku terpancing.

"Ah, jalannya jauh. Sakit karena nggak ada sumber air. Nginepnya dalam gua pula."

"Guanya besar?"

"Ya, luas dan atap gua tinggi. Rock art paling banyak ditemukan ada di Batu Raya, sekitar 500 gambar dan sudah mulai rusak." lalu ia menunjukkan kondisi gua Batu Raya.

"Wah, ini luas banget! Jangan-jangan Batu Raya adalah aula pertemuan para manusia purba dulunya. Makanya banyak cap tangan disana."

"Ayo Ne, kita belum ke Batu Raya, tahun depan kita balik lagi." ajak Bule bersemangat.

"Hiliih...berat medannya. Kalian tahu, medannya seperti menanjak gua Karim tapi bawa carrier, air dan logistik." Satria menimpali dengan senyuman sinis.

Senin, 6 September 2021.

Pukul setengah sembilan pagi kami sudah siap berangkat setelah sarapan oseng-oseng tahu tempe yang terlalu asin sambil membayangkan rekan kerjaku pasti sedang mengikuti briefing rutin setiap Senin pagi di kantor. Gerimis dengan frekuensi sedang mengantarkan kami menuju Camp Tebo'. Bule berada di anjungan kapal dengan membawa dayung ulin, dan Satria mengenakan seraung lebar untuk melindungi wajahnya dari terpaan gerimis yang berlanjut menjadi panas.

Hilir Sungai Marang. Cukup deras

Satu jam kami diatas ketinting kearah hulu, maka tibalah kami di persimpangan sungai Marang yang beraliran deras. Awalnya sangsi bila aku dapat melaluinya dengan ketinting karena sungainya dangkal dan dasarnya batu, namun ternyata bisa dengan cara mendorong ketinting melalui sela-sela sungai yang sedikit dalam. Yang dorong siapa? Tentu saja Bule dan Satria, karena mendorong ketinting itu sangat berat, terlebih lagi melawan arah arus sungai yang deras.

"Nah ini baru perjalanan yang sesungguhnya." Satria berkata. Bule cengar-cengir mengamini, "Bakalan seru nih!"

Makan keseruan itu Le, jika setelahnya kamu harus menderita mengarahkan arah perahu dengan dayung yang sangat menyulitkan dan berat. Ia mulai mengeluh pegal-pegal dan tak jarang wajah kami tergores dengan dedaunan berduri atau akar gantung yang menjuntai.

Ceruk Kedanum dan Kedanung

Satu jam awal kami masih bahagia menikmati alam dan melintas dibawah ceruk Kedanum. Namun jam-jam selanjutnya tampak mulai penat karena medan yang susah dan penuh perjuangan bagi Satria dan Bule. Bagiku? Tinggal tiduran saja di ketinting, karena tenaga perempuan memang tak berarti apa-apa disini.

Setelah beristirahat sekitar tiga puluh menit dan melihat seekor babi hutan gemuk yang menyebrang sungai untuk sekedar minum, kami melanjutkan perjalanan yang menurut Satria sisa separuh perjalanan. Nikmati saja Une, ini liburan yang kamu mau. Tanpa sinyal, urusan duniawi dan pekerjaan yang mengganggu.

Camp kami, diambil dengan drone milik Bule

Setengah tiga sore kami tiba di Camp Tebo' yang ditandai dengan camp darurat terpal biru. Sebelumnya aku kira bakal menginap di sabana Tebo', ternyata bukan. Satria menyampaikan harus berjalan sekitar sepuluh kilometer untuk bertemu sabana. Diseberang camp Tebo' terdapat mulut gua yang berhembus angin beraroma guano. Dasarnya mengalir air yang jernih. Bagiku camp Tebo' bagaikan rumah, ada dapur, kamar mandi dengan tirai terpal hijau, dan suasana yang nyaman.

Dapur Darurat Kami

Tiga Om yang berburu semalam pun menyusul kedatangan kami. Mereka mengeluh tidak dapat Payau, namun hanya dapat tiga ekor pelanduk. Setelah mengolah dan membersihkan pelanduk hasil buruan, mereka bersiap untuk berangkat berburu kembali karena merasa belum puas. Untuk menu sore itu adalah daging pelanduk goreng tepung krispi plus sambal cabai katokkon karya Bule serta sambal matah buatanku.

Payau goreng krispy dan sambal legendaris

"Huuhh...haaaah....sambal telinga ini. Pedanya dari mulut tembus ke telinga." Bule ber huh hah mencicip sambal buatannya. Aku terkekeh. Rasakan.

Bule memainkan drone pada ketinggian 300 m pada sore yang cerah. Camp Tebo' yang hanya titik biru dari udara ternyata berada diantara pilar karst, dan tepat ditengah-tengah belantara Sangkulirang-Mangkalihat. Ribuan karst berbaris rapi dilatarbelakangi  Tondoyan dan Ilas Kenceng alias Batu Raya, dua bentangan sabana yang hendak kami datangi esok pun tak luput dari pantauan drone milik Bule.

Hm, itukah yang hendak aku kunjungi pada perjalanan berikutnya?

Selasa, 7 September 2021

Tiga Om kembali ke camp dengan karung putih menggembung tersampir di bahunya. Dua ekor payau berhasil dijerat, dan kami bersiap untuk trekking menuju sabana. Menurut Satria treknya hanya landai dan menanjak pada awalnya saja.

"Kuatkah jalan ini?" tantangnya.

"Huh meremehkan! Kemaren sudah latihan dihutan jalan sembilan kilo bawa carrier serasa anak panda." kataku menyombongkan diri.

Perjalanan ternyata tak sesulit saat menuju Karim atau Tewet. Tanjakan dengan batu resak (batuan lepas) kami lalui dengan lancar, dan berlanjut dengan hutan yang landai dan rapat.

Cengiran cap kuda

"Liat nih, jejak payau dimana-mana," Satria menunjuk lantai hutan yang dipenuhi guguran daun yang mulai menjadi humus. Tampak jejak sepatu bulat-bulat masih basah.

"Ah Payau jadi-jadian ini." ungkap Bule.

"Oh, jejak Om Payau." kataku. Bule dan Satria terkikik, dari sinilah istilah Om Payau muncul untuk menyebut Om Rusdy, Om Mu'i dan Om Heldy.

"Kijang satu untuk Om Rusdy yang senior. Kijang dua Om Mu'i dan Kijang tiga Om Heldy yang paling bontot."  sahutnya.

Sabana ditengah karst nyatanya tak sesejuk ilalang di padang Bromo. Panas menyengat, hembusan angin kuat dan cerah. Kami mewanti-wanti agar Bule lebih berhati-hati untuk menerbangkan dronenya supaya tidak dilontarkan angin atau disambar elang. Di padang ilalang ini banyak kami temukan jejak payau asli dan kotorannya yang lebih lonjong ketimbang tai kambing. 

Sabana tak hanya satu, kami berjalan melintas ilalang yang membara, sabana yang lain pun ditemui dengan model yang sama, namun satu ekor payaupun tidak kami temui. Konon kata Satria cukup banyak sebenarnya payau yang berkeliaran disini. Kalaupun kutemui, mungkin suasananya serasa di Rancaupas, Bandung.

"Sedikit aja sih situs di camp Tebo' ini. Hanya ada beberapa gua yang rock artnya tidak terlalu banyak, seperti gua Anus dan gua Berak." jelas Satria.

Proses Timelapse dengan tripod alami

"Apa? Berak?" seruku dan Bule terkejut dengan nama itu. "Apa ditemukan banyak fosil kotoran manusia purba disana?"

"Tapi sekarang sudah diganti namanya menjadi gua Wanadri."

"Itu lebih baik."

Perjalanan kami berakhir di camp Tebo' pukul empat sore. Aku sudah berandai-andai untuk mandi dan berendam di dingin dan jernihnya sungai Marang selepas perjalanan yang cukup membuatku gerah ini.

bersambung....

1
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose