Pasca final run hari kedua yang kulalui tanpa crash dengan terseok-seok di special stage 3 sekaligus pinalti 11 menit di liaison stage 4 karena terlampau lelah dan kebanyakan foto-foto, ditambah lagi ketidakjelasan status antigen/PCR di venue bagi pelaku perjalanan udara maupun laut keesokan harinya. Setelah kami menanyakan layanan antigen/PCR kepada panitia pagi harinya sebelum final run, eh ternyata semuanya ngeles mendadak yang menandakan tidak adanya layanan antigen/PCR di venue. Geblek. Kayak anggota dewan aja kebanyakan janji yang seolah-olah ditepati.
Aku dan para calon pelaku perjalanan esok pagi galau alang kepalang. Kami saling berkabar via pesan singkat untuk rencana antigen dimana, dan lawan berkirim pesankupun sudah panik.
"Gimana sih panitia kita dijanjikan ada swab di venue malah php. Kalau dadakan gini kita kan juga susah persiapannya. Masa disuruh swab di Mataram,"
"Iya om,"
"Acara selesai siang, belum packing sepeda, packing baju, mandi, dan lain-lain. Nyari kendaraannya pula, bisa-bisa nyampai Mataram layanan swab udah pada tutup." keluhnya tidak solutif. Aku menghela nafas kencang-kencang dan menggaruk kepalaku yang berkeringat. Emang dasar panitianya ngeselin banget.
Namun aku masih berusaha mencari klinik yang melayani swab untuk keperluan perjalanan di desa Sembalun. Dibantu Unul, istri dari Bang Daus diantarkannya aku dengan motor matic pinjaman ke Puskesmas Sembalun dan klinik gunung Rinjani didekat venue.
"Kalau minggu layanan swab kami tutup kak, mohon maaf." begitulah jawaban yang kudapat dari petugas puskesmas Sembalun. "Bisa coba ke klinik Gunung Rinjani belakang pusat informasi, plangnya warna biru. Petugasnya juga berasal dari puskesmas sini kak,"
Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Unul langsung menuju klinik yang dimaksud. Klinik kosong, narahubung tidak dapat dihubungi. Kesal sekali rasanya, dan pula pagi itu cukup buru-buru karena final run di LS 3 segera dimulai.
"Jadi Une gimana...mau swab dimana?" tanya Unul membuatku kian kebingungan. Antigen sialan !
"Nggak tau, pikir setelah finish aja nanti Nul," keluhku pasrah. Kemungkinan terburuk juga di bandara Praya, semoga saja ada dan pagi sudah buka. Namun aku masih mengusahakan tidak tes antigen di bandara setempat untuk menghindari antrian atau tergesa-gesa. Ditambah lagi aku membawa tas sepeda yang pastinya menyengsarakanku apabila lokasi pengambilan sampel jauh dari bandara atau dilantai dua. Rekan kerja yang bermukim lama di Mataram aku hubungi untuk informasi klinik antigen/PCR selama 24 jam. Ia mengirimku beberapa kontak klinik namun setelah kuhubungi, mereka hanya mengaku buka hingga pukul sembilan malam.
"Ah, mana sempat kita Nul, berangkat ke Mataram dari Sembalun habis maghrib, nyampainya jam sepuluhan malam."
"Jadi Une gimana?" tanya Unul kembali. Jemariku kembali berselancar di ponsel untuk memastikan klinik antigen/PCR di bandara sebagai opsi terakhir. Titik terang kudapatkan setelah laman resmi bandara Lombok Praya terdapat klinik antigen/PCR di lapangan parkir barat yang dibuka mulai pukul setengah enam pagi. Ah, urusan barang bawaan nanti bisa minta tolong dijagakan porterlah.
Papan penunjuk kawasan wisata |
"Ayo ke bukit Selong yuk, cuma dua kilo dari sini, naiknya sepuluh menit," ajakku pada Unul dengan perut lapar plus gamang. Ia mengiyakan dengan semangat, mumpung masih di Sembalun dan pikiranku masih belum tenang gara-gara antigen.
Berkendara hanya sekira lima menit dengan berbekal google maps dan gunakan penduduk sekitar, akhirnya bertemu dengan jalan setapak kecil dengan plang kayu bertuliskan Bukit Anak Dara, kampung tenun, dan Bukit Selong. Kami berdua menuju Bukit Selong dan memarkir motor dengan retribusi lima ribu per pengunjung. Seandainya aku mendapatkan waktu cuti lebih panjang, mungkin Pergasingan dan Anak Dara kusambang jua.
Jalan menuju Bukit Selong berupa tangga-tangga bersemen awalnya. Beberapa telah terangkat dan retak akibat sulur-sulur akar dari pohon disebelahnya. Iring-iringan sapi berkalung lonceng milik warga berpapasan dengan kami sepanjang jalur, sesuai dengan lirik lagu, "Jika hari sudah petang, sapi pulang ke kandang, saya turut dari belakang...yiiihaaa..."
Setelah anak tangga semen habis, maka dihadapkanlah kami dengan bukit dengan anak tangga dari tanah dan pegangan bambu. Cukup tinggi sih, tapi saranku kalian tetap mengenakan alas kaki yang nyaman ya, jangan wedges atau high heels. Dua santri cowok seusia anak SMP berlarian keatas bukit lengkap dengan kopiah, baju koko dan sarungnya yang berkibar. Mereka sibuk menahan sarungnya agar tak terlalu tersingkap.
Kutoleh kebelakang. Unul kelelahan, tapi aku menyemangati bahwa puncak sedikit lagi.
Hamparan sawah warga Sembalun yang berbentuk persegi tampak jajar genjang dari atas sini. Ada yang hijau, menguning dan cokelat karena telah dituai. Angin bertiup cukup kencang dan dingin meskipun cerah. Awan tipis berarak di punggung Pergangsingan yang indah. Perkampungan Sembalun dan puluhan masjid tampak dari atas sini. Para santri sibuk berfoto di spot foto berupa bintang dari bilah-bilah bambu. Salah satu dari mereka ada yang albino, dan mereka minta tolong diambilkan gambarnya.
Para santri berebut foto |
Wajahku masih muram gara-gara antigen. Unul menanyaiku sekali lagi, aih sudahlah Nul, tampaknya bandara menjadi harapanku satu-satunya setelah aku tanya lagi ke panitia, mereka hanya menjawab, "Ah, kalo antigen aja banyak di Mataram nanti."
Kuajak Unul kembali, perutku sudah lapar parah. Kampung tenun sempat kami kunjungi sejenak untuk melihat hastakarya penduduk setempat. Ada lembaran kain tenun yang menggunakan pewarna alami dihargai setengah juta rupiah.
Une dan Unul |
***
Pukul setengah sebelas malam aku sudah berada di Mataram. Awal check in di penginapan diseberang Universitas Mataram hal yang pertama ditanya adalah dimana klinik antigen 24 jam. Syukurlah mbak resepsionis dengan ramah menginformasikan klinik yang masih buka, yaitu di rumah sakit Biomedika Mataram. Setelah aku menghubungi rumah sakit tersebut untuk konfirmasi layanan antigen, pukul sebelas malam dengan memesan ojek daring aku langsung menuju kesana dengan drama mau ambil uang di mesin ATM yang error. Ah, syukurlah dini hari hingga pukul dua belas masih ada ojek daring yang mangkal, kalau nggak ada hampir aja aku nekat pinjem motor mbak-mbak resepsionis untuk menuju rumah sakit yang letaknya cukup jauh tersebut. Edan.
No comments:
Post a Comment