Uji Nyali di Tanduk Pandemi - Rinjani Geopark Enduro Race Bersama "Baby Yoda"

Sejenak setelah aku berbisik padanya bahwa kita akan balapan di Rinjani pada awal November mendadak Baby Yoda jadi anak pendiam.


Baby Yoda siapa? Oh iya, belum aku kenalkan sosok Baby Yoda yang memang merupakan salah satu karakter favoritku di serial Star Wars Mandalorian yang menggemaskan itu. Namun, di tulisan kali ini Baby Yoda yang dimaksud adalah nama dari sepeda all mountain baruku. Ya, karena sosok sepedanya yang imut dan berwarna hijau pink, maka aku memberinya nama Baby Yoda.

Bukan tanpa alasan aku mengganti frame sepeda lamaku. Aku mencari frame dengan ukuran yang lebih kecil (untuk reach) dan spare part yang tidak terlalu rewel, maka jatuhlah pilihanku pada frame Santa Cruz Nomad 5 2022 CC setelah pertimbangan dan uring-uringan yang bikin galau seperti cari jodoh.

Singkat cerita seperti itu, dan setelah bike test di Tutur Welang karena tiga bulan sejak beli belum berjumpa anak baruku, maka diri ini bertekad untuk memboyongnya balapan di Rinjani. Karakter si Baby Yoda ini agak nakal di trek, tapi lebih mudah dikontrol daripada pendahulunya karena mungkin reach-nya yang lebih cocok dengan postur tubuhku ini ya.

Aku memberanikan diri mengajukan cuti kepada atasan dengan sedikit gentar dan bikin heboh orang lantai dua tempatku bekerja karena bulan lalu aku sudah mengajukan cuti dengan alasan penting untuk pulang kerumah, ada seseorang yang datang kerumah untuk berkenalan sama orang tuaku setelah 360 hari diri ini lebih memilih sendiri karena satu keluarga disakiti, hahaha. Syukurlah dengan berbekal surat sponsor dari klub akhirnya ijin balapan itupun diberikan dengan mudah, tentu saja Baby Yoda dan emaknya tertawa-tertawa gembira. Setelah dua tahun vakum balapan akhirnya ketemu lagi dengan acara balapan di tempat yang keren ini.

"Mama, ayo terbang lagi. Yoda mau main lagi." serunya dari balik tas.

"Iya jangan nakal ya." jawabku penuh halusinasi. Maklum nak, mamamu ini udah waktunya punya anak yang nerusin kiprah balapannya. Tinggal nikah saja sebentar lagi sama mas yang dua minggu lalu baru datang kerumah.

Cuti selama tiga hari itu sebenarnya cukup mepet dan melelahkan terpotong prologue dan free practice, namun aku bersyukur aja akhirnya diijinkan cuti buat memanjakan si Baby Yoda (dan sebenarnya emaknya juga). Alhamdulillah mas pun mengijinkan walau wajahnya tampak sedikit berat.

"Ya sudah, hati-hati. Nggak mungkin juga kan aku ngelarang kamu gowes," katanya dengan nada rendah. Aku janji pulang dengan selamat walau tubuhku akan memar-memar atau jalan yang terpincang-pincang. Aku janji mas.


Kamis, 4 November 2021

Perjalanan kedua bersama sepedaku yang menggemaskan. PCR yang bikin deg-degan pun akhirnya hasilnya menggembirakan alias negatif. Aku memilih berangkat dari Balikpapan karena pertimbangan waktu transit yang singkat (hanya 40 menit tanpa turun pesawat). Untuk akomodasi selama di Lombok dan Sembalun pun sudah aku koordinasikan dengan race director alias akrab dipanggil mang AT. Aku dapat satu tempat bermalam bareng rumah yang disewa panitia.

Awal mendarat di bandara Lombok bersua dengan hujan sangat deras. Untuk menuju Sembalun telah disiapkan satu mobil Toyota Hiace yang rencananya akan sharing cost dengan 7 peserta lainnya. Namun sayang hanya dua orang dan dua sepeda yang berangkat sore itu. Satu peserta lainnya adalah Om Adi dari Dragon Racing Team, Bekasi. 

"Cuma dua orang?" kami berdua serempak tanya ke Bang Maher, sopir asli Lombok yang masih berusia sekitar 30 tahunan.

"Iya, yang lainnya ternyata pada cancel berangkat besok semua." ujarnya.

"Duh, laper nih. Dari Jakarta belom makan," keluh Om Adi sambil mengelus perutnya dan memasang muka memelas. Aku juga merengek kelaparan.

"Oh, tahan lima belas menit saja bisa? Nanti kita makan di warung yang biasa dilanggan para tamu."

Kami mengangguk, dan dibawanya kami ke Resto Keker, desa Sukarara. Lokasinya lumayan menenangkan dan dekorasinya juga klasik khas Lombok dengan rumah adat mini ditengahnya, bahkan para pelayannya pun menggunakan kain songket khas Sukarara untuk menggantikan bawahan. Om Adi kalap pesan nasi dua porsi, plecing kangkung plus ayam taliwang. Dengan santainya dia bilang kalau nggak habis aku yang didapuk menjadi bagian penghabisan nasi.

Makan Siang Plus Sore Kami

"Wah wah wah...pembalap makannya harus banyak dong, biar besok kuat menghadapi kenyataan," serunya sambil mengunyah ayam pesanannya. Plecing kangkung menjadi favoritku dalam pesanan kali ini karena sambalnya sangat nikmat, gurih, dan tidak pedas. Kangkungnya pun segar dan renyah. Hujan dan kelaparan merupakan paduan sempurna untuk santapan sore yang sangat nikmat. Namun juga aku tak berani terlalu banyak karena besok harus prologue dan practice, khawatir mules on track.

Sepanjang perjalanan, Om Adi benar-benar nggak terlelap sama sekali. Ia sesekali merekam perjalanan menuju Sembalun dan melakukan wawancara pada Bang Maher. Aku yang duduk pas dibelakangnya hanya menguping sambil terkantuk-kantuk.

"Jadi julukan di Lombok itu kota apa?" tanyanya antusias.

"Pulau seribu masjid. Lihat aja setiap rukun tetangga yang memiliki kepala keluarga lebih dari empat puluh pasti ada satu masjid besar, sehingga setiap beberapa ratus meter ada masjid besar dikanan maupun dikiri."

"Wah balapan sama Indomaret dan Alfamart," celetukku dengan mata separuh tertutup. Mataku kembali segar ketika adzan maghrib berkumandang dan berhenti di salah satu masjid besar desa Terara.

Ditengah perjalanan menuju Sembalun hujan cukup deras. Bang Maher melambatkan laju mobilnya, ia berkata kabut bisa turun dalam suasana seperti ini.

"Wah seram.." Om Adi yang baru pertama kali ke Lombok dengan antusias membidikkan kameranya kejalan yang mulai berselimut kabut. Mirip seperti suasana di film hantu, rimbunan pohon merunduk kejalan dan berselubung kabut tipis.

Jalanan yang kulalui tak banyak berbeda sejak enam tahun lalu. Begitu lekat dalam ingatanku melihat salah satu lokasi tempat mobil colt yang memuat pendaki anyaran kami mogok. Iya, perjalanan kali ini menjadi obat rindu akan hawa Rinjani.


Jumat, 5 November 2021

Aku terbangun pagi-pagi pukul enam dengan shubuh yang kesiangan. Tidurku tak seberapa nyenyak karena memikirkan Baby Yoda yang masih pulas dalam tas. Maafkan emakmu yang tenaganya tak bisa menjadikanmu berdiri tegak dan siap untuk dipacu nak..

Aku mengganggu ketenangan para panitia disebelah rumah yang kuhuni bersama salah satu panitia cewek, Mbak Bekti. Oh ya, masyarakat sekitar menyebut rumah panggung yang kuhuni dengan sebutan Geleng. Hanya ada satu kamar di panggung, ada teras dibawah dan kamar mandi dibelakangnya. Imut sekali. Kalau tidur saat malam hari, banyak kumbang dan serangga terbang masuk ke kamar kami, hihihi...

Pemandangan diluar Geleng
Dua Geleng, jadi Geleng-Geleng

Salah satu panitia yang kurusuhi pagi itu adalah Om Erick Doran, salah satu track builder di enduro kali ini. Berani sekali kamu Une, tapi nggak apa-apa daripada hati yang tak tenang gara-gara sepeda yang belum dirakit sebelum prologue jam sembilan pagi ini.

Tugas selanjutnya ialah mencari tumpangan menuju titik start prologue, dari dulu ini selalu menjadi tantangan tersendiri bagi solo rider sepertiku. Namun rejeki memang, aku berkenalan dengan seorang cewek yang katanya jadi peserta dadakan yang daftar last minute. Namanya kak Ayu, asli Palembang, kerja di Lombok, dan suami di Tangerang, haha...tapi dia masih ngaku rider lokal Lombok, sehingga dia akrab sekali dengan para rider local boy. Masalah tumpangan pun aman, akhirnya aku kenal juga dengan Bli Nyoman, salah satu rider Goweser Lombok Happy alias GOLOH Bike. Ia menawarkan untuk gowes bareng ketika aku ingin kembali ke Lombok suatu hari nanti. 

Pasca Prologue
Teman-teman Baruku

Setelah prologue dengan trek yang tak terlalu sulit dan capaian waktu tiga menit, aku, kak Ayu bersama para Goweser Lombok Happy berencana mencoba stage yang paling viral dan ditunggu-tunggu dalam race kali ini, apalagi kalau bukan black stage untuk special stage 3. Kenapa dinamakan black stage? Tentu saja, karena sebagian besar 'lantai' dari lintasan ini adalah batu hitam bergelombang yang terkadang licin sebab pasir kering, menurut informasi yang kudengar, black stage adalah bekas aliran magma yang telah mengering dari perut sang Dewi Anjani yang sedang mual-mual.

Dari video yang kulihat, treknya tampak tak terlalu sulit dan kurasa bisa lebih kencang. Nyatanya, cukup susah menghafalkan line yang hendak dilintasi. Beberapa ada yang menjebak serta negatif sehingga perhitungan kecepatan rider pun harus diperhitungkan agar tidak terpeleset atau terjatuh. Kondisiku saat latihan cukup lapar sehingga agak gemetaran, kendati demikian mata dan gerakan harus tetap bersatu biar nggak cium lantai berbatu-batu, hehehe. Beruntunglah saat latihan aku ketemu Bang Daus, salah satu rekan MTB Indonesia dari Medan yang sempat race bareng di Ijen tahun 2018. Ia dengan sabar nungguin aku on track dan mengajariku teknik memilih dan melintasi line, huhuhu makasih ya Bang !

Trek sepanjang kurang lebih 1,8 km tersebut akhirnya kulalui dengan selamat walaupun sedikit terpeleset di bebatuan. Kami makan siang di warung rumahan didekat pusat informasi wisata Rinjani, masakannya enak namun pedas semua walau tanpa sambal.

"Bang ntar mau latihan dimana?" tanyaku pada Bang Daus setelah makan. Biasa nyari teman latihan.

"SS 1 dan 2 aja Ne,"

Sejenak aku teringat kata-kata kak Ayu jika SS tersebut itu karakternya sama seperti prologue dan titik startnya sangat jauh di Bawak Nao. Belum lagi drama dorong sepedanya disepanjang jalur pendakian Bawak Nao yang sangat melelahkan walaupun bisa ngojek tanpa melalui LS dengan tarif Rp 150,000 ,-.

"Nggak perlu dihafal itu, mending SS 3 aja yang jadi pr itu."

Menimbang perkataan dari kak Ayu yang orang lokal, hmm..benar juga sih kalau sekilas lihat videonya di SS 1 dan 2. Black stage alias SS 3 kalau hanya sekali latihan dijamin belum hafal line dan masih gemetaran.

Masih bisa nyengir Sebelum SS3

"Coba kontak Bli Nyoman Goloh, mungkin sore nanti mereka mau ke SS 3 lagi."

Bli Nyoman menjelaskan, bahwa timnya akan latihan ke SS 5 dan SS 6 dulu, baru jika ada sisa waktu akan ke SS 3. Dalam race kali ini, SS 5 dan SS 6 untuk kelas women, veteran dan junior tidak diwajibkan. Menurut beberapa rider SS 5 dan SS 6 itu cukup curam dan seram, terlebih lagi untuk lolos dari SS 1-4 juga sudah sangat menguras tenaga.

Power of Ibu-ibu. Une dan Unul

Rencana ikut ke SS 1 dan SS 2 setelah makan siang pun mencuat daripada ngganggur dan rebahan aja di Geleng. Aku terlambat untuk ikut kendaraan loading sehingga harus gowes sepanjang jalan (yang untungnya mayoritas turunan) untuk dijemput Unul pakai 'kereta' (orang Medan menyebut motor dengan kereta). Selanjutnya perjuangan pun dimulai, demi penghematan dan menghindari tanjakan, aku dan Unul bekerja sama untuk membonceng si Baby Yoda dengan susah payah. Tangan emaknya udah pegel megangin tubuhnya si Baby Yoda sepanjang perjalanan yang menanjak. Makanya jangan durhaka sama emakmu ini nak !

Ketemu Pendaki dari Bandung

Perjuangan selanjutnya setelah motor tidak bisa lewat adalah adegan penuh keringat alias dorong habis-habisan di jalan yang menanjak. Lewat hutan bermonyet, lalu sabana terik dimana aku acapkali bertemu dengan pendaki yang sedang turun lalu diajak untuk berfoto untuk sekedar penawar lelah dan penat. Kadang mulutku mulai menceracau karena lelah maupun kelebat rindu. Tawaran ojek yang seliweran aku tolak secara halus, ego mengatakan bahwa diriku masih mampu menuntun Baby Yoda hingga pos dua.

"Jauh banget kak, diatas sana.. Semangat !" para pendaki dari penjuru bumi pertiwi menyemangatiku. Baby Yoda menatapku iba, ia bilang hari sudah senja pukul setengah lima dan harus jaga stamina untuk pertandingan esok sehingga dapat memacunya dengan kencang dan selamat. Jangan memaksakan diri hari ini karena bisa kemalaman sampai pos dua.

Pemandangan sepanjang LS 1. Sangat indah saudara.

Ah, Baby Yoda terkadang lebih bijak daripada emaknya yang keras kepala ini.

Salah satu kang ojek menghampiri dan menawarkan jasanya. Berkat nasihat bijak Baby Yoda akupun mengiyakannya. Teknik membawa Baby Yoda bukan memangku seperti tadi, melainkan bertukar peran. Aku yang membawa motor, dan kang ojeknya yang menuntun sepedaku. Haha...edan ! Motor yang ia pakai adalah motor bebek yang ia modif bak motor trail sehingga lebih tinggi. Oke kemampuan naik motor pun diuji disini, dengan percaya diri aku menggeber motor milik kang ojek. Sepanjang jalan jika berpapasan dengan ojek lokal mereka menyalamiku.

"Wah ada ojek cantik lewat !"

"Wahh kenalan dong ojek baru nihh..."

Aku hanya senyam senyum malu sambil terkikik. Sampai pos dua pendakian (yang memang ternyata cukup jauh), Bang Daus hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat kedatanganku dengan motor modifan. Enduro-Jek ini namanya Bang !

Senja itu Rinjani sungguh cerah dan sangat cantik paripurna. Puncaknya tak tertutup awan dan diterpa sinar senja keemasan membuatnya elok sempurna, suasananya pun sejuk. Beruntung sekali aku mencoba SS 1 dan SS 2 hari ini, pemandangannya sangat indah untuk foto-foto. Baby Yoda dan emaknya pun kembali ceria melupakan LS yang menyebalkan tadi.

SS 1 dan SS 2 memiliki karakter yang hampir sama. Beberapa kali kami melewati hutan dengan lantai  penuh daun yang berbatu dan berakar. Asyik sekali! Lalu sabana yang kalau nggak full speed nggak asyik. Sempat aku terjatuh dan dengkulku menghantam batu, celanaku sobek, lututnya aman karena terlindung protector.

Masing-masing SS saat latihan aku lalui dengan rata-rata waktu 12-15 menit. SS 2 melintasi kebun kopi milik warga dan jalur trekking ke air terjun Mangku Sakti. Pukul setengah enam kami mencapai mobil loading milik panitia bersama dengan para bocah desa Bilok Petung yang menumpang di baknya.

Para Bocah Bilok Petung

Malam ini, malam sebelum race day. Aku meminta ijin kepada Mbak Bekti untuk melumuri kaki dan badan dengan minyak urut plus krim otot cespleng yang akan menimbulkan bau menyengat di Geleng yang kami tiduri malam itu.


Sabtu, 6 November 2021

Sempat kurang ngeh membaca pengumuman wave start list semalam, pagi pukul tujuh kurang seperempat aku masih bersantai-santai dikasur. Mbak Bekti bilang kak Ayu sudah siap, benar saja selang beberapa detik kemudian aku diteriakinnya.

"Neee...udah siaaap? Mau berangkat jam berapa?"

"Kan jam sebelas mbak mulainya..." jawabku enteng sambil rebahan.

"Iya kamu mau berangkat jam berapa dudul...kita bareng Bli Nyoman aja loadingnya pagi-pagi. Jalan LS pagi aja biar nggak panas dan lebih lama istirahatnya sebelum start."

Kulihat kembali jadwal di grup. Jam sebelas itu mulai jalan SS. Berarti kalau LS 2,5 jam ya bener aja berangkatnya jam segini. Kukira jam sebelas siang baru jalan LS, haha gila !

"Oohh...iyaa..iya mbak aku siap siap sepuluh menit aja!" jawabku sambil berlari terhuyung ke kamar mandi. Air dingin memacu tubuhku untuk segar kembali, jam tujuh lebih sepuluh kami menuju venue yang hanya seratus meter dari tempat kami.

"Soalnya kita harus ambil nomer, terus registrasi transponder. Biar kita bisa beli sarapan dulu, gitu...nggak terburu-buru," jelas kak Ayu. 

Aku mendapatkan nomor 110, sesuai urutanku saat prologue. Kelas women di RGIE (Rinjani Gravity International Enduro) ini hanya dibuka satu kelas saja, yaitu women open. Prediksi panitia untuk cewek hanya segelintir yang daftar, ternyata ada sembilan orang. Enam orangnya atlit asli, dan tentunya sisanya hanya tim penggembira saja, hehe.

"Kita race hore-hore saja," kata kak Ayu. Aku mengamini.

"Atlit jatuh gulung-gulung di trek, kita lari kenceng, mereka tetap juara,"

"Benar, nggak bisa dilawan. Podium sudah ada yang berhak."

"Finisher saja alhamdulillah karena treknya berat kak, haha... kecuali dibuka dua kelas masih bisa ngegas lah kita." ujarku. 

Untuk race hari pertama kami mendapatkan energy bar dari Strive, dan membawa stok air cukup banyak karena akan melewati LS panjang dan cuacanya yang sangat terik. Aku dan kak Ayu sempat membeli nasi bungkus dan menyantapnya di jalan menuju titik start LS.

Ada kejadian lucu saat menuju titik LS, kami tidak aktivasi transponder di petugas yang ada di jalanan. Alhasil kami diteriaki peserta lain di tempat start kalau disuruh nuntun sepeda dari jalan raya karena yang lainnya juga gitu. Alhasil kami harus putar balik untuk aktivasi transponder namun nggak turun di pinggir jalan seperti peserta yang lain dengan alasan ini adalah mobil loading pribadi, kalau mobil loading panitia baru diturunkan di pinggir jalan raya.

Istirahat sekira tiga puluh menit sambil menunggu wave lain mulai, akhirnya tiba giliranku pukul sembilan ditemani dengan Bang Daus. Waktu maksimal yang diberikan saat LS ini adalah dua jam setengah, ya prediksiku dua jam bisalah sampai pos dua jalan pelan-pelan.

Kaki siapa yang masih lelah mendorong di trek seperti ini? Yaitu kaki saya !

Cuaca sangat terik, tenggorokan kerontang dan berkali-kali peserta dibelakangku mendahuluhiku, nggak hanya manusia, kadang gerombolan sapi coklat pun berjalan gemulai mendahuluhiku. Ya ketika berpapasan dengan peserta lain aku sapa dengan senyuman saja sambil ngobrol basa basi plus keluhan LS neraka dengan nada sok akrab. Saat melintasi hutan sih suasananya sejuk, namun ketika sudah mencapai sabana, wuaduh panasnya minta ampun. Balap Enduro memang seperti ini, fisik, mental, stamina diperas dan diuji, jadi manajemen waktu, stamina dan logistik selama perjalanan LS harus diatur dengan baik. Kang ojek yang kemarin mengantarku berpapasan dan menawarkan jasanya kembali.

"Waduh om...ini udah balapan nggak boleh ngojek,"

"Oh gitu...yaudah semangat ya."

Jalanku sempoyongan. Ada beberapa kang ojek bertemu kembali dan mengenaliku kemarin sebagai ojek cantik menyemangatiku. Para pendaki Rinjani semuanya ngojek, aku aja yang nyeret si Baby Yoda sambil terseok-seok dan menahan rindu, eh. Tapi bukankah kamu nggak mengalami hal seperti ini sekali dua kali? Bukankah hal seperti ini yang dari kemarin kamu mimpikan? Kalau iya, rindu boleh, mengeluh jangan. 

Sungguh race musim ini penuh kerinduan yang mendalam.

"Kapok aku mas...mending dirumah aja masakin kamu hari Sabtu," ceracauku kapok yang spesial ditujukan ke mas yang nunggu dirumah walau ia tak mendengar. Keluhan itu mungkin hanya berlaku satu atau dua hari saja. Baby Yoda yang mendengar keluhanku auto ngakak kencang, rasain, bilangnya. Kalau punya anak ya harus tanggung jawab diajak jalan-jalan kayak gini dong biar nggak stress dirumah.

Tak kusangka jalan perlahan dengan tertatih-tatih sembari menikmati indahnya Rinjani dan ciptaan Allah, akhirnya sampai juga di pos sebelum start SS1. Mukaku merah sedikit legam, dan segera selonjoran memulihkan energi sebelum mulai SS1 yang butuh konsentrasi tinggi agar tidak terjungkal.

Special Stage 1

Jam sebelas tepat aku mulai jalan di SS1. Kuncinya adalah nggak terjatuh dan tetap berjalan walaupun pelan sebab kelelahan. Konsentrasi penuh, bismillah.

Baby Yoda anteng selama di trek hari pertama, nggak rewel minta cemilan. Dia tertawa-tawa senang dan memasang muka kesal kalau laju sepedanya mulai pelan sebab emakknya kecapekan.

"Sabar sayang, ayah nunggu dirumah. Ibu kan sudah janji pulang dengan selamat." ujarku berhalusinasi on track hingga hampir menabrak pohon kurus yang tak berdosa.

SS1 kulalui selama tiga belas menit, lalu SS2 pun sekitar delapan menit. Sempat di kebun kopi tersundul oleh salah satu peserta dari kelas veteran, untung omnya sabar, hehe.

Selesai balap hari pertama saat adzan dzuhur berkumandang. Aku segera pulang dan beristirahat untuk persiapan hari esok. Malamnya aku makan bakso dan sialnya dompetku tertinggal, syukurlah bertemu dengan Bli Nyoman dan kawan-kawan, sehingga selamatlah aku malam itu, haha. Ia menjelaskan bahwa akan absen di hari kedua karena wheelsetnya bengkok gara-gara ban yang bocor di SS2 ia paksa untuk tetap berlari. 


Minggu, 7 November 2021

Kak Ayu mengabarkan paginya bahwa ia berniat untuk tidak melanjutkan race hari kedua ini. Ia mengeluh demam dan nyeri pada ulu hatinya. Hari kedua tak membutuhkan mobil loading dan banyak peserta yang mengundurkan diri. Waktu maksimal untuk menempuh LS 3 adalah dua jam, dan aku start di wave paling bontot.

"Yah enggak seru kalo nggak ikut, tapi mulainya jam 9 sih, bisa istirahat dulu paginya minum obat siapa tahu membaik," rayuku pada kak Ayu dengan alasan tak mau sendiri.

"Iya..benar juga ya. Coba aku bujuk suamiku dulu...kalau boleh aku ikut semampunya aja."

"Kalau dibawa race biasanya langsung sembuh kok," aku makin mengompori, dan akhirnya dia bersedia ikut.

Menempuh LS 3 juga membutuhkan tenaga ekstra. Tanjakannya cukup mengerikan, kulihat kak Ayu berjalan sangat pelan sambil menahan sakit. Aku berjalan didepannya sesekali menoleh kebelakang, khawatir pingsan.

Banyak penduduk sekitar yang hendak menonton aksi kami di SS3, lantas kulihat kak Ayu diantar pakai motor trail dan sepedanya dibantu bawa karena ulu hatinya terasa nyeri. Aku ditawarin bonceng sepeda juga sama salah satu mekanik rider lokal, awalnya malu-malu akhirnya mau. Daripada pegel nanjak, haha, mending cheat sedikit. Toh peserta lain juga sudah nggak ada dibelakang kami, kami menjadi yang terakhir *ketawa jahat. Sehingga waktu tempuh LS 3 kami hanya sekitar 70 menit saja. Semoga Allah balas amal baikmu kakak.

Black stage yang garang menanti kami. Syukurlah cuacanya cerah, kalau hujan atau setelah hujan dijamin bebatuan ini sangat licin dan berbahaya. Pikiran mengenai line yang susah atau membingungkan atau ragu untuk diambil, mending dituntun saja, pikirku. Kalau terjatuh akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bangun dan menstabilkan mental, terkadang aku seperti itu. Bukannya kami hanya sebagai tim gembira? 

Kak Ayu mulai duluan, aku memperingatkannya untuk pelan dan tak perlu dipaksa karena kondisi badannya yang tak baik. Sebenarnya pikiranku juga sedang tak baik gara-gara layanan PCR/antigen di venue mendadak tidak ada kejelasan  dari panitia. Uh sialan, antigen dimana aku ini, penerbangan besok pagi pula.

Awal black stage kulalui dengan aman dan pelan, ya pokoknya nothing to lose, kalau ragu dituntun saja. Berkali-kali aku berhenti untuk plonga plongo bak kebo melihat line yang aman untuk dilalui, walau ada panah putih dan merah yang mengarahkan, namun aku masih saja kurang yakin. Masa bodo ada om-om fotografer didepanku lah, yang penting kan selamat dan bisa ketemu masnya setelah pulang. Di SS 3 ini memang aku sempat mengalami crash pelan gara-gara terpeleset jalur pasir curam yang licin sambil tertawa-tawa diabadikan om fotografer, selebihnya gunakan style asli lah, jalan sebisanya aja, kalau ada fotografer aja baru bergaya bak atlit. Jadinya untuk SS3 ini aku lalui selama sebelas menit plus drama berhenti gara-gara cari line paling aman.

Special Stage 3

LS 4 hanya diberikan waktu satu jam. Akh gila nih panitia, kondisi udah sangat lelah seperti ini masih disuruh jalan nanjak cukup jauh selama satu jam, trek SS lumayan pula ! Pikirku nggak apa-apalah kena pinalti waktu nantinya, yang penting kan selamat dan bisa ketemu masnya, hahaha.

Aku bertemu dengan salah satu peserta dari kelas veteran asli dari Mataram sepanjang LS. Kuajaklah ngobrol ngalor ngidul ditengah teriknya LS 4 agar tidak penat, salah satunya adalah ngobrol mengenai susu  kuda liar khas Nusa Tenggara Barat.

"Jadi Om sering minum susu kuda liar?" 

"Iya sering...kenapa?"

"Rasanya gimana?"

"Kalau diminum biasa ya asam gitu dik, jadi minumnya dicampur madu."

"Khasiatnya apa om?"

"Buat stamina aja sih,"

"Oh....kirain kalau minum tenaganya jadi kuat seperti kuda liar. Makanya kemarin sebelum race aku berniat untuk minum susu tersebut, siapa tahu nanti on track bisa sekuat dan seliar sang kuda."

Om yang terlupakan namanya tersebut mungkin terheran-heran melihat lawakan receh bocah tengil sepertiku. Percakapan ngalor ngidul pun berlanjut hingga kami berpisah di sebelum jembatan gara-gara aku ingin berfoto terlebih dahulu sambil istirahat.

Baby Yoda di Liaison Stage 4

Tanjakan mengular ternyata menanti setelah tanjakan. Aksi dorong Baby Yoda berlanjut, untung kamu frame carbon nak, jadi ringan. Suasana siang itu berawan, dan setelah mencapai start SS 4 aku tersadar bahwa kena pinalti 11 menit gara-gara kelamaan foto di tulisan Rinjani. Huh, sempat kesal antara aku yang lambat atau panitia yang memberi estimasi waktu LS 4 yang terlalu singkat, cuma satu jam padahal cukup panjang dan menanjak, huh, kesaaaal! Tapi ya mau berapapun waktunya tetap saja podium untuk yang berhak, hehehe...

Bisa dibilang SS 4 ini adalah stage yang paling santuy dan mudah. Ngeflow aja, ada beberapa section roller coaster dan rollingnya kencang, namun karena aku sudah lelah jadi aku merasa kecepatanku kurang maksimal mendekati garis finish. Sekali aku keluar jalur dan menggilas tai sapi yang setengah kering. Baby Yoda teriak jijik.

Aku mencetak hasil race ku setelah menukarkan transponder. Posisi sementara nomor lima, ah nggak mungkin, pikirku. Ada enam atlit disini, ya minimal posisi tujuh lah, haha. Dan ternyata benar aku berada di posisi tujuh dari sembilan peserta cewek. Capaian waktuku 50 menit termasuk sebelas menit pinalti di LS 4. Ah, kalau dihitung-hitung tanpa pinalti aku masuk posisi enam loh, kesel dah kelamaan dorong dan foto-foto di LS.

Pasca race, aku kembali menggalau tentang antigen. Aku curhat habis-habisan pada Unul mengenai antigen ini, dia menenangkanku dan mengajak ke Bukit Selong. Tampaknya disana memang tempat yang pas untuk berteriak sepuas-puasnya.

Ah, seru sekali berkenalan dengan teman-teman dari seluruh Indonesia. Esensi utama dalam setiap perjalananku adalah seperti itu siklusnya, berangkat sendiri - bertemu teman baru - tertawa bersama - race dengan selamat - berpisah - kembali pulang dan melepas kerinduan.

Unesia Drajadispa

No comments: