• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Lagi-lagi sambil menyelam minum  air, sambil bekerja foto-foto juga. Kebetulan, lokasi pekerjaan berada di kampung Dayak Kayan di Miau Baru, Kecamatan Kongbeng, Kutai Timur. Setelah memeriksa progess pekerjaan selesai, saya dan Lutfi mencari spot unik nan menarik di desa Miau Baru, tak lain adalah sebuah Lamin adat di dekat Lapangan Desa Miau. Di lapangan tersebut terdapat dua patung yang terbuat dari kayu dan semacam totem, saya juga kurang mengetahui apa sebutannya. Lalu pondasi rumah itu disangga oleh batang-batang kayu yang telah diukir dengan motif raut muka manusia.
Di Lengannya tertulis Halui Wang, mungkin itu namanya??

Pintu masuk Lamin

Menurut info, setiap Minggu sore pukul lima diadakan tari-tarian di Lamin tersebut. Ugh, sayang pula aku sudah hendak kembali ke Bontang.
Motif rumit, favoritku karena it's so colorfull...
Lamin adat Dayak Kayan dipenuhi dengan ukiran unik yang didominasi warna kuning, hitam, merah dan putih. Menurut Rustam, rekan kerja di Muara Wahau yang merupakan warga Miau asli itu merupakan motif sulur-sulur tumbuhan.
Kami sempat bertandang ke rumah Rustam, di rumahnya banyak hasil karya khas Dayak Kayan, seperti Seraung (topi lebar), Mandau, Topi, Penggendong Bayi khas suku Dayak, dan beberapa karya lainnya. Pria Dayak Kayan itu juga menunjukkan motif ukiran yang masih berupa kertas kepadaku, ia sangat antusias melihatku terkagum-kagum akan karyanya.
Manik-manik. Full covered


"Apa penggendong bayi ini digunakan saat ada pesta saja?" tanyaku pada Rustam.
"Nggak, hari-hari biasa pun bayi digendong dengan itu,"
Aku terkagum-kagum. Mewah sekali penggendong bayi ini. Aku menekuri motif sulur-sulur rumit yang terdiri dari manik-manik berukuran mini tersebut.
"Lama itu mamak buat. Berbulan-bulan," Sambungnya. "Kalau dijual juga bisa sampai hampir sejuta."
Rustam, Pemuda Asli Dayak Kayan
Contoh pemakaian, cuma kurang bayinya aja itu :))

Tentu saja, kesempatan ini tak disia-siakan oleh saya dan Lutfi. Kami berfoto dengan atribut-atribut suku Dayak secara bergantian hingga lupa waktu, dan akhirnya rencana untuk mengunjungi kuburan suku Dayak yang unik terlewatkan karena saya harus segera kembali ke Bontang.
Semoga suatu saat saya masih bisa kembali ke Miau dan menonton pertunjukan tari-tarian (dalam bahasa Dayak disebut Kancet) Dayak Kayan.
0
Share
Di Kalimantan sudah banyak hutan dan berkali-kali keluar masuk hutan, tapi masih saja anak satu ini berniat 'ngincipi' hutan raya di kota lain saat pelesir sendiri.

Taman Hutan Raya Ir Djuanda di Dago Pakar, Bandung memang paling asyik dibuat menyendiri, tapi hati-hati kesambet hantu saja. Kondisi Tahura Ir Djuanda sendiri mirip seperti taman raya Purwodadi di Pasuruan, cuma karena didominasi oleh dipterokarp, maka jadi sedikit gelap dan rimbun, menurut saya.
Suasana Tahura
Banyak spot yang bisa dikunjungi dan dicoba, seperti hammock bertingkat. Sayangnya ketika ingin mencoba, pemiliknya mengatakan minimal harus tiga orang, atau tunggu saat tak ada pengunjung di hammock bertingkat tersebut. Bisa satu orang tapi hanya untuk hammock tunggal. Duh, di kosan juga ada yang seperti itu, kang !
Ada sekitar 10 spot yang bisa dikunjungi oleh pengunjung maupun peminat lintas alam, seperti Goa Jepang, Goa Belanda, Penangkaran Rusa, Jembatan Gantung dan beberapa curug (air terjun). Namun curug yang bisa dikunjungi hanya beberapa dikarenakan akses jalan masuk yang membahayakan dan katanya seram. Curug Omas merupakan spot terjauh dan curug terbesar di area tahura.
Goa Jepang merupakan spot terdekat dari pintu masuk, saya mencapainya dengan berjalan kaki selama 10 menit, tapi Goa Jepang disini tak sepanjang dan sama besar dengan di Bukittinggi. Hanya satu lorong lurus saja. Banyak jasa senter dan guide yang mengerubutiku tatkala aku sibuk mengambil gambar goa, lalu membujukku untuk menggunakan jasanya. Sayangnya, aku tidak tertarik.
Penampakan Goa Jepang
Perjalanan aku lanjutkan, sempat berpapasan pula dengan anggota pramuka yang sedang jelajah alam, nampaknya. Saat bertemu dengan sebuah warung, seorang ibu paruh baya dan pemuda tanggung yang tampaknya ibu-anak menawarkan jasa ojek untuk mengelilingi setiap spot disini.
"Ojek teh, jauh loh," Rayu sang ibu.
"Makasih bu, saya jalan kaki saja." tolakku sambil cengar-cengir.
"Jalan kaki? Jauh teh! ada sekitar enam kilo ke Curug Omas sana, di ujung hutan. Naik ojek aja, nanti aa nya anterin keliling setiap tempat disini,"
Ugh, tampaknya aku mulai tergiur. Entah benar atau tidak enam kilo, yang jelas jalan kaki sejauh itu pasti membuatku teler juga dengan kondisi mulai lapar seperti ini.
"Serius ?" aku tanya balik. Mulai tertarik ngojek karena memang info lengkap di internet tentang tempat wisata disini masih jarang.
"Iya teh, seratus deh sekali naik," Tawar ibu itu cepat. Ngok. Seratus ribu. Aku langsung malas dan kembali menolak dengan halus.
"Saya jalan kaki saja, tidak bawa uang." aku beralasan.
"Loh, kumaha atuh teh? nanti aa antar ke ATM dulu keluar," Rayu ibu itu makin kencang.
"Adanya lima puluh,"
Lalu mereka berdua berunding serius, dan deal limapuluh ribu untuk ongkos ojek kali itu. Cari aman memang harus sedikit modal. Apalagi aku sendiri, belum mengerti medan disana dan parahnya lagi aku pakai rok lebar. Masuk hutan pakai rok lebar? Tolong, haha. Mau ngemall neng?
Jembatan Gantung. Kalau difoto bagus, aslinya biasa saja
Jadinya aku ngojek saja dan sesuai janji aa ojek mengantarkan ke setiap tempat di tahura dan rela menunggu saat aku asyik berfoto. 
Untunglah ada ojek. Tempatnya serius jauh. Kecuali kalau memang niat berpetualang ya. Spot Gua Belanda kami lewati saja, skip ke jembatan gantung. Sayang itu hanya sebuah jembatan saja. jalan setelahnya tak bisa dilalui.
Rusa Bertotol Dari Istana Bogor
Puas berfoto, selanjutnya ke penangkaran rusa. Menurut aa ojek, rusa-rusa tersebut dari istana kepresidenan di Bogor. Wuah, jauh juga ya? Kondisi saat itu hanya tiga pengunjung saja, dan tampaknya masih warga sekitar Bandung. Rusa-rusa tersebut bertotol putih, aku memberikannya makan dengan seikat semak yang ditumpuk didekat kandang.
Selanjutnya ke Curug Omas Maribaya. Asli tempatnya memang super jauh sekali! Pengunjung di Curug Omas cukup ramai. Curugnya besar, deras dan tinggi. ada jembatan penghubung ke seberang. Aku beristirahat sebentar sambil makan nasi timbel disana.
Curug Omas Maribaya
"Dari bawah sini, kelihatan itu tebing keraton," kata aa sambil menunjuk keatas. Benar juga, tampak beberapa orang berfoto ria.
"Kalau mau kesana bisa aa antar." tawarnya lagi. Tapi sayangnya kutolak, dengan alasan membawa motor, dan juga jaraknya tak terlalu jauh katanya.
"Oh iya teh, jangan dibuang tiket masuk ke sini, nanti tunjukin saja ke petugas Tebing Keraton. Soalnya satu lokasi, biar nggak bayar dua kali." Lanjutnya, dan aku segera mengaduk-aduk isi tas mencari tiket masuk ke Tahura Djuanda yang senilai lima belas ribu tersebut, untunglah masih tersimpan baik.
Selepas dari Curug Omas dan membayar lima puluh ribu, aku segera menuju ke tebing keraton. Perjalanan memang tak seberapa jauh, tapi cukup ekstrim ketika menemui jalan berbatu menanjak. Meleng sedikit pasti sudah jatuh terkapar dan terluka. Setir kucengkeram erat-erat, sembari berdoa.
Untuk pengunjung yang membawa mobil bisa diparkir dibawah dan berjalan menanjak sejauh 2 km.
Jalan Masuk ke Tebing Keraton
Tebing Keraton, mendung
Kondisi Tebing Keraton saat itu mendung, tapi masih banyak pengunjung yang kebanyakan remaja datang dan berfoto ria. Tak banyak aku berfoto, karena tiba-tiba hujan angin mengguyur. Aku pontang-panting berlari melindungi kameraku. 
Sepulang dari tebing keraton, tampaknya perutku lapar lagi. Berdasarkan referensi yang aku baca, ada coffee shop di dekat sana, Armor Coffee. Tak kusia-siakan kesempatan itu, mampir sebentar minum kopi susu hangat dan pisang goreng, lalu melanjutkan perjalanan ke Lembang.
0
Share
"Seandainya pada tanggal 7 April aku tak ada acara di Sangatta, mungkin tahun ini aku hanya bisa gigit jari lagi menikmati festival panen Lom Plai di media, sama seperti tahun-tahun sebelumnya."
Kebetulan, Jumat 7 April aku lewat di Sangatta dan melihat baliho yang berisi pengumuman tentang festival Lom Plai, pesta panen Dayak Wehea di Muara Wahau, tepatnya hari Sabtu, tanggal 8 April. Wah besok dong? Rasanya dadakan sekali. Harusnya kalau tahu sebelumnya aku bisa siap-siap membawa kelengkapan fotografi dan pakaian ganti agar bisa lanjut ke Wahau dari Sangatta, tak usah kembali lagi ke Bontang.
Tapi tahun ini aku bertekad untuk tak melewatkan Lom Plai, aku harus kesana. Walaupun dadakan dan harus bolak balik Bontang-Sangatta lagi. Jadi, segera aku kontak rekan kerja di Muara Wahau untuk menanyakan travel ke Muara Wahau.

Kena PHP Travel
Siang harinya, aku sudah positif mendapatkan travel menuju Muara Wahau dari Balikpapan dan diperkirakan sampai di Bontang pukul 12 dini hari. Senang rasanya, jadi sudah bisa berkoar-koar ke rekan di Wahau bahwa aku besok pagi sampai disana untuk nonton Lom Plai di Nehas Liah Bing. Yes! Akhirnya tahun ini harapanku tercapai juga. Saking senangnya, hati ini rasanya berdegup kencang menanti keberangkatan.
Pukul delapan malam, tiba-tiba gawaiku berdering. Penggilan dari agen travel. Dengan semangat aku menerimanya, pasti kabar baik yang menginformasikan travel sedang menuju kearah Bontang. 
"Halo? Mbak Unesia?"
"Iya pak, dari travel?"
"Betul Mbak, jadi begini, mohon maaf, travel yang berangkat menuju Wahau sudah penuh, penuh barang maksudnya. Barusan pergantian shift operator, jadi operator sebelumnya mungkin lupa menginformasikan kalau ada penumpang dari Bontang."
Deg! Kepalaku pening seketika. Niatan untuk packing sebelumnya sudah menguap entah kemana. Mataku hampir berkaca-kaca membayangkan akhir pekanku dua hari kedepan bakal sepi seperti minggu-minggu sebelumnya.
"Terus bagaimana solusinya pak?" Todongku jengkel. Jelas ini kecerobohan operator travel. "Nggak ada yang lain?"
"Anu mbak, saya kasih solusi. Kalau mau ada travel yang berangkat jam 12 malam, sampai Bontang mungkin jam 5 pagi. Kalau mau yang itu, nanti saya siapkan satu seat, gimana? Saya tunggu konfirmnya sebelum jam 10 malam ya." 
"Hah? Saya ada acara adat pukul 8 pagi! Diatas jam 8 sudah nggak bisa masuk pak!" Sungutku. Waktu tempuh Bontang-Muara Wahau sekitar 4-5 jam, sedangkan apabila berangkat pukul 6 pagi, sudah jelas terlambat dan tak bisa mengikuti pesta panen Lom Plai.
"Wah gimana ya mbak, saya juga sedang cari solusi yang lain," elak suara dari seberang sana, membuatku mendengus kesal.
"Dari Bontang hanya satu orang pak! Dan nggak ada muatan lain. Bener-bener nggak bisa masuk ya?" Bujukku memelas.
"Nggak bisa mbak, yang berangkat kebetulan mobil kecil."
"Yasudah, saya tunggu infonya, makasih" Kataku sambil mengakhiri percakapan terkutuk itu. Mana bisa begitu, membatalkan liburan gara-gara keterbatasan transportasi itu bukan seorang Une.
Segera aku mencari alternatif angkutan yang lain. Rekan-rekan di kantor aku telepon satu persatu demi mendapatkan nomor travel yang lain, ataupun yang jurusan Bontang-Berau. Tapi nihil.
Hingga akhirnya ketika kebuntuan menyerang, entah pikiran apa yang mempengaruhiku untuk numpang mobil tangki, transportir bbm yang mengangkut solar untuk kebutuhan PLTD Muara Wahau. Ini sudah jam setengah sembilan malam, semoga masih ada yang masih menuju Bontang. Jadinya aku menghubungi salah satu rekan yang menangani teransportir bbm dan menanyakan apa masih ada tangki yang menuju Bontang malam ini.
"Wah, mba telat, sudah lepas dari Bontang semua Mba," jawab rekanku. Ugh, kepalaku makin pening terasa. Rasanya nonton Lom Plai tahun ini akan menjadi isapan jempol semata.
"Eh mba, masih ada satu yang menuju ke Bontang ternyata," Tiba-tiba kabar bahagia itu muncul di layar gawaiku. Mataku berbinar, harapan baru muncul. 
"Nanti kalau mau kesana, nitip sekalian spare part mesin Muara Wahau." lanjutnya dalam pesan singkat tersebut. Katanya 30 menit lagi sampai di simpang Sangatta. Maka dari itu, dengan secepat kilat aku packing dalam satu daypack, dan segera berangkat dengan hati yang kembali berdebar.
Alhamdulillah, Allah selalu bersama dengan orang-orang yang berkeinginan kuat !

Pagi di Wahau
Jembatan Kayu Menuju Desa Nehas Liah Bing
Menumpang di mobil tangki BBM, serasa menaiki bus. Tapi karena tangki tersebut bermuatan solar 10000 Liter, maka jalannya sedikit pelan dan tak melewati jalan pintas Rantau Pulung demi keselamatan. Jadi semakin lama. Sepanjang jalan aku ngobrol sok akrab dengan drivernya. Dan akhirnya sampai di Wahau pukul 5 pagi ! Total waktu tempuh 7,5 jam ! Tak apa, yang penting sampai dan akan segera menonton Lom Plai.
Kusempatkan untuk istirahat barang 1-2 jam. Jam 9 kami harus segera berangkat. Infonya kami tak bisa masuk diatas jam 10 pagi.
Saya pernah membaca sekilas, Dayak Wehea merupakan ksatria pelindung hutan adat Wehea, yang berjarak sekitar 60 km dari Muara Wahau (berdasarkan info, CMIIW). Dan bapak Ledjie Taq juga pernah menerima penghargaan Kalpataru dari Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menuju Nehas Liah Bing
Pukul 9 pagi, kami bersiap menuju Nehas Liah Bing, dimana acara pesta adat diselenggarakan. Beruntungnya tak jauh dari PLTD Muara Wahau, hanya sekitar 10 menit dengan sepeda motor. dan lagi ada guide lokal dari salah satu karyawan PLN Wahau yang kebetulan warga asli Nehas Liah Bing dan panitia Lom Plai 2017. Jadinya kita dipandu dari awal acara hingga dimintakan foto-foto dengan kepala adat, tentunya dengan bahasa mereka sendiri. Asyik !
Bapak Ledjie Taq
Awal datang kita menuju Sekretariat Lembaga Adat Wehea, menunggu wakil Bupati Kutai Timur datang untuk membuka acara. Acara pembukaan dilakukan di Sekretariat Lembaga  adat Nehas Liah Bing, di sebuah tempat persembahan dari beberapa bilah bambu yang disusun semacam altar dan dialasi tikar anyaman. Bapak kepala adat Ledjie Taq melukai seekor anak ayam dan meletakkannya di altar. Lalu mengoleskan darah yang masih menempel di pisau ke kening pejabat yang datang.
Upacara Pembukaan
"Ucapan selamat datang, agar dihindarkan dari hal-hal buruk yang terjadi selama disini," Jelas Jo, guide lokal dari PLN. Aku manggut-manggut.
Setelah itu kami menuju sungai Wehea untuk menonton lomba perang-perangan yang dilakukan diatas perahu panjang. Sebelumnya kami mampir di rumah salah seorang kerabat Jo, disana kami disuguhi makan.
"Ayo mbak, dimakan. Kalau pas acara Lom Plai, setiap rumah memasak besar-besaran, dan akan disuguhkan kepada setiap tamu yang mampir kerumahnya, baik kenal maupun tak kenal. Bebas mau makan di rumah siapa saja." Ujar Jo.
Seorang Warga Dayak Wehea
Aku mengambil semangkok soto ayam hangat (warga sana menyebutnya sup). Tak hanya sup yang disajikan, tapi ada juga Lemang (warga sana menyebutnya Pluq) dan Biang Bit (semacam dodol dari gula merah yang dibungkus daun pisang). 
"Warga memasak dari kemarin, sebagai salah satu wujud syukur. Sejarahnya dulu ada seorang puteri, namanya Long Diang Yung yang berkorban agar tak kekeringan lagi." Jelasnya. Kami berterima kasih pada Jo, tentu saja kalau tak ada dia, mungkin kita bingung  apa yang akan dilakukan di festival ini.
Beginilah Suasana Di setiap jalan Nehas Liah Bing, semarak dengan hiasan seperti ini
Ramai, seperti lebaran
Setelah puas makan kami menonton lomba perang-perangan diatas sungai Wehea. Dimana setiap perahu berisi sekitar 15 orang laki-laki yang saling melempar 'tombak' dari batang sejenis tebu kearah perahu lainnya. Tentu saja semakin seru karena ada beberapa perahu yang kehilangan keseimbangan dan terbalik, sehingga para pemain tercebur ke sungai sambil tertawa-tawa bangkit dan kembali ke perahu mereka. Aku ikut bersorak sorai melihatnya.
Perang

Seorang Pemuda tanggung beraksi
Lomba lainnya ada lomba balap perahu antar pria dan wanita, dimana setiap grupnya merupakan perwakilan dari setiap RT di desa Nehas Liah Bing. Suasana makin riuh ketika setiap perahu berusaha menyalip perahu yang lainnya.
Tari-tarian tradisional diatas rakit
Siang terik datang menjelang, waktunya makan siang. Sebelumnya aku sempat berkeliling kampung melihat suasana sekitar. Ramai dan meriah. Kampung dihias dengan janur yang diikat disepanjang jalan, entah apa maksudnya. Suasana di Nehas Liah Bing bagaikan lebaran, banyak makanan.
Balap perahu tradisional
Untuk makan siang, kami makan di salah satu rumah kerabat Jo, berbeda dengan rumah yang pertama, namun menu sama, khas festival Lom Plai. Dan tentunya, gratis ! Hebat, para warga memasak untuk setiap tamu , ada yang datang dari luar Kutai Timur, bahkan dari Jawa !
"Bentar lagi acara coret-coret wajah, sekalian siram-siraman sampai acara puncak," Jelas Jo. "Tapi ingat, nggak boleh marah, tapi boleh balas."
"Kalau marah dapat hukuman suruh kasih makan orang sekampung," Goda Lutfi, salah satu rekan di Wahau. Entah benar atau tidak.
Ini belum seberapa, masih pemanasan

Benar juga, tak lama kemudian wajahku menjadi hitam arang, akibat dari olesan arang dari pantat panci maupun wajan yang sudah diminyaki lalu dioles ke wajah. Dan pantat wajan panci itu berubah menjadi bersih, arangnya berpindah ke wajah pengunjung. Aku hanya pasrah dan menyodorkan pipi untuk dioles arang, lalu saling menertawakan satu sama lain melihat wajah yang menghitam.
Tak sedikit pula melihat anak-anak maupun dewasa berlari lintang pukang menghindari serangan arang maupun siraman air di acara yang disebut Pek Nai (Kalau tidak salah).
Acara puncak diselenggarakan pukul 2 siang. Diawali dengan tarian pembuka, lalu sambutan dan acara puncak, tarian hudoq.
Persiapan Menari

Acara Puncak.
Puluhan Hudoq dari berbagai usia berbaris, siap menari. Hudoq kecil, dewasa, pria maupun wanita. Mereka memakai kostum dari daun pisang dan topeng kayu yang tampaknya bikin gerah. Mereka menari diiringi musik tradisional seperti sape' atau gong, bergoyang-goyang lucu, terutama hudoq yang masih kecil. Rasanya pengen kutangkap dan kubawa pulang saja, hahaha...
Setelah mereka menari sebentar, lalu berbaris mengelilingi ketua adat. Tampaknya ada ritual sakral lagi. Para fotografer lain sibuk mengabadikan momen dari jarak dekat, sehingga menghalangi penonton belakangnya. Tentu saja aku sebal, ketapa tak diantisipasi pakai lensa tele atau yang lainnya sebelum ada acara seperti ini? Padahal sudah ada peringatan dilarang mengambil foto terlalu dekat. Benar-benar mengesalkan. Dalam situasi seperti ini tentu saja lensa tele-ku tak bermanfaat karena terhalang oleh orang-orang yang sibuk mengambil foto ataupun video.
Semua kalangan ikut menari
Anak-anak Wehea, tak mau ketinggalan
Potret Hudoq
Ritual selesai, para Hudoq kembali menari melingkar bersama anak-anak maupun warga wehea yang mengenakan pakaian adat. Dan juga mereka mengajak masyarakat bergabung untuk menari bersama.
Sungguh menyenangkan. Pengalaman yang menarik dan tak terlupakan ketika berinteraksi dengan warga lokal dan mengenal kearifan budayanya. Dan pengalaman ini makin membekas di hati mengingat perjuangan super nekat menuju ke Muara Wahau.


Bagaimana cara menuju Muara Wahau?
1. Dari Balikpapan menuju Muara Wahau bisa naik travel, seharga 350 ribu rupiah. Ditempuh selama 12 jam. Begitupun dari Bontang, Sangatta ataupun Samarinda. Dengan kendaraan bermotor.
2. Dari Berau ditempuh jalur darat selama 4 jam, dapat naik travel atau sewa kendaraan.

Nginap dimana?
Banyak penginapan di Muara Wahau, seperti Darris atau 88888888. Kalau saya cukup numpang di kantor PLN. Pesan jauh-jauh hari agar tidak over booked, apalagi ketika ada festival.

Do's and Don't
Patuhi aturan selama kegiatan Lom Plai. Itu sudah jelas. Bebaurlah dengan warga lokal yang sangat ramah. Mereka sangat senang apabila bertemu dengan warga luar dan tertarik dengan kebudayaannya. Oh ya, tolong jangan terlalu egois ketika mengambil gambar, (kecuali yang telah diijinkan) seperti terlalu dekat sehingga menghalangi penonton belakangnya. Bukankah sudah ada garis pembatasnya? Tolong berlaku bijak, jangan hanya demi memperoleh gambar bagus semata. Pakai lensa jarak jauh, yah walaupun hasil lebih bagus 'mendekat' tapi setidaknya bisa membuat penonton lain menikmati juga, 
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose