Demi Nonton Lom Plai, Seorang Gadis Nekat Sendirian Ke Muara Wahau

"Seandainya pada tanggal 7 April aku tak ada acara di Sangatta, mungkin tahun ini aku hanya bisa gigit jari lagi menikmati festival panen Lom Plai di media, sama seperti tahun-tahun sebelumnya."
Kebetulan, Jumat 7 April aku lewat di Sangatta dan melihat baliho yang berisi pengumuman tentang festival Lom Plai, pesta panen Dayak Wehea di Muara Wahau, tepatnya hari Sabtu, tanggal 8 April. Wah besok dong? Rasanya dadakan sekali. Harusnya kalau tahu sebelumnya aku bisa siap-siap membawa kelengkapan fotografi dan pakaian ganti agar bisa lanjut ke Wahau dari Sangatta, tak usah kembali lagi ke Bontang.
Tapi tahun ini aku bertekad untuk tak melewatkan Lom Plai, aku harus kesana. Walaupun dadakan dan harus bolak balik Bontang-Sangatta lagi. Jadi, segera aku kontak rekan kerja di Muara Wahau untuk menanyakan travel ke Muara Wahau.

Kena PHP Travel
Siang harinya, aku sudah positif mendapatkan travel menuju Muara Wahau dari Balikpapan dan diperkirakan sampai di Bontang pukul 12 dini hari. Senang rasanya, jadi sudah bisa berkoar-koar ke rekan di Wahau bahwa aku besok pagi sampai disana untuk nonton Lom Plai di Nehas Liah Bing. Yes! Akhirnya tahun ini harapanku tercapai juga. Saking senangnya, hati ini rasanya berdegup kencang menanti keberangkatan.
Pukul delapan malam, tiba-tiba gawaiku berdering. Penggilan dari agen travel. Dengan semangat aku menerimanya, pasti kabar baik yang menginformasikan travel sedang menuju kearah Bontang. 
"Halo? Mbak Unesia?"
"Iya pak, dari travel?"
"Betul Mbak, jadi begini, mohon maaf, travel yang berangkat menuju Wahau sudah penuh, penuh barang maksudnya. Barusan pergantian shift operator, jadi operator sebelumnya mungkin lupa menginformasikan kalau ada penumpang dari Bontang."
Deg! Kepalaku pening seketika. Niatan untuk packing sebelumnya sudah menguap entah kemana. Mataku hampir berkaca-kaca membayangkan akhir pekanku dua hari kedepan bakal sepi seperti minggu-minggu sebelumnya.
"Terus bagaimana solusinya pak?" Todongku jengkel. Jelas ini kecerobohan operator travel. "Nggak ada yang lain?"
"Anu mbak, saya kasih solusi. Kalau mau ada travel yang berangkat jam 12 malam, sampai Bontang mungkin jam 5 pagi. Kalau mau yang itu, nanti saya siapkan satu seat, gimana? Saya tunggu konfirmnya sebelum jam 10 malam ya." 
"Hah? Saya ada acara adat pukul 8 pagi! Diatas jam 8 sudah nggak bisa masuk pak!" Sungutku. Waktu tempuh Bontang-Muara Wahau sekitar 4-5 jam, sedangkan apabila berangkat pukul 6 pagi, sudah jelas terlambat dan tak bisa mengikuti pesta panen Lom Plai.
"Wah gimana ya mbak, saya juga sedang cari solusi yang lain," elak suara dari seberang sana, membuatku mendengus kesal.
"Dari Bontang hanya satu orang pak! Dan nggak ada muatan lain. Bener-bener nggak bisa masuk ya?" Bujukku memelas.
"Nggak bisa mbak, yang berangkat kebetulan mobil kecil."
"Yasudah, saya tunggu infonya, makasih" Kataku sambil mengakhiri percakapan terkutuk itu. Mana bisa begitu, membatalkan liburan gara-gara keterbatasan transportasi itu bukan seorang Une.
Segera aku mencari alternatif angkutan yang lain. Rekan-rekan di kantor aku telepon satu persatu demi mendapatkan nomor travel yang lain, ataupun yang jurusan Bontang-Berau. Tapi nihil.
Hingga akhirnya ketika kebuntuan menyerang, entah pikiran apa yang mempengaruhiku untuk numpang mobil tangki, transportir bbm yang mengangkut solar untuk kebutuhan PLTD Muara Wahau. Ini sudah jam setengah sembilan malam, semoga masih ada yang masih menuju Bontang. Jadinya aku menghubungi salah satu rekan yang menangani teransportir bbm dan menanyakan apa masih ada tangki yang menuju Bontang malam ini.
"Wah, mba telat, sudah lepas dari Bontang semua Mba," jawab rekanku. Ugh, kepalaku makin pening terasa. Rasanya nonton Lom Plai tahun ini akan menjadi isapan jempol semata.
"Eh mba, masih ada satu yang menuju ke Bontang ternyata," Tiba-tiba kabar bahagia itu muncul di layar gawaiku. Mataku berbinar, harapan baru muncul. 
"Nanti kalau mau kesana, nitip sekalian spare part mesin Muara Wahau." lanjutnya dalam pesan singkat tersebut. Katanya 30 menit lagi sampai di simpang Sangatta. Maka dari itu, dengan secepat kilat aku packing dalam satu daypack, dan segera berangkat dengan hati yang kembali berdebar.
Alhamdulillah, Allah selalu bersama dengan orang-orang yang berkeinginan kuat !

Pagi di Wahau
Jembatan Kayu Menuju Desa Nehas Liah Bing
Menumpang di mobil tangki BBM, serasa menaiki bus. Tapi karena tangki tersebut bermuatan solar 10000 Liter, maka jalannya sedikit pelan dan tak melewati jalan pintas Rantau Pulung demi keselamatan. Jadi semakin lama. Sepanjang jalan aku ngobrol sok akrab dengan drivernya. Dan akhirnya sampai di Wahau pukul 5 pagi ! Total waktu tempuh 7,5 jam ! Tak apa, yang penting sampai dan akan segera menonton Lom Plai.
Kusempatkan untuk istirahat barang 1-2 jam. Jam 9 kami harus segera berangkat. Infonya kami tak bisa masuk diatas jam 10 pagi.
Saya pernah membaca sekilas, Dayak Wehea merupakan ksatria pelindung hutan adat Wehea, yang berjarak sekitar 60 km dari Muara Wahau (berdasarkan info, CMIIW). Dan bapak Ledjie Taq juga pernah menerima penghargaan Kalpataru dari Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menuju Nehas Liah Bing
Pukul 9 pagi, kami bersiap menuju Nehas Liah Bing, dimana acara pesta adat diselenggarakan. Beruntungnya tak jauh dari PLTD Muara Wahau, hanya sekitar 10 menit dengan sepeda motor. dan lagi ada guide lokal dari salah satu karyawan PLN Wahau yang kebetulan warga asli Nehas Liah Bing dan panitia Lom Plai 2017. Jadinya kita dipandu dari awal acara hingga dimintakan foto-foto dengan kepala adat, tentunya dengan bahasa mereka sendiri. Asyik !
Bapak Ledjie Taq
Awal datang kita menuju Sekretariat Lembaga Adat Wehea, menunggu wakil Bupati Kutai Timur datang untuk membuka acara. Acara pembukaan dilakukan di Sekretariat Lembaga  adat Nehas Liah Bing, di sebuah tempat persembahan dari beberapa bilah bambu yang disusun semacam altar dan dialasi tikar anyaman. Bapak kepala adat Ledjie Taq melukai seekor anak ayam dan meletakkannya di altar. Lalu mengoleskan darah yang masih menempel di pisau ke kening pejabat yang datang.
Upacara Pembukaan
"Ucapan selamat datang, agar dihindarkan dari hal-hal buruk yang terjadi selama disini," Jelas Jo, guide lokal dari PLN. Aku manggut-manggut.
Setelah itu kami menuju sungai Wehea untuk menonton lomba perang-perangan yang dilakukan diatas perahu panjang. Sebelumnya kami mampir di rumah salah seorang kerabat Jo, disana kami disuguhi makan.
"Ayo mbak, dimakan. Kalau pas acara Lom Plai, setiap rumah memasak besar-besaran, dan akan disuguhkan kepada setiap tamu yang mampir kerumahnya, baik kenal maupun tak kenal. Bebas mau makan di rumah siapa saja." Ujar Jo.
Seorang Warga Dayak Wehea
Aku mengambil semangkok soto ayam hangat (warga sana menyebutnya sup). Tak hanya sup yang disajikan, tapi ada juga Lemang (warga sana menyebutnya Pluq) dan Biang Bit (semacam dodol dari gula merah yang dibungkus daun pisang). 
"Warga memasak dari kemarin, sebagai salah satu wujud syukur. Sejarahnya dulu ada seorang puteri, namanya Long Diang Yung yang berkorban agar tak kekeringan lagi." Jelasnya. Kami berterima kasih pada Jo, tentu saja kalau tak ada dia, mungkin kita bingung  apa yang akan dilakukan di festival ini.
Beginilah Suasana Di setiap jalan Nehas Liah Bing, semarak dengan hiasan seperti ini
Ramai, seperti lebaran
Setelah puas makan kami menonton lomba perang-perangan diatas sungai Wehea. Dimana setiap perahu berisi sekitar 15 orang laki-laki yang saling melempar 'tombak' dari batang sejenis tebu kearah perahu lainnya. Tentu saja semakin seru karena ada beberapa perahu yang kehilangan keseimbangan dan terbalik, sehingga para pemain tercebur ke sungai sambil tertawa-tawa bangkit dan kembali ke perahu mereka. Aku ikut bersorak sorai melihatnya.
Perang

Seorang Pemuda tanggung beraksi
Lomba lainnya ada lomba balap perahu antar pria dan wanita, dimana setiap grupnya merupakan perwakilan dari setiap RT di desa Nehas Liah Bing. Suasana makin riuh ketika setiap perahu berusaha menyalip perahu yang lainnya.
Tari-tarian tradisional diatas rakit
Siang terik datang menjelang, waktunya makan siang. Sebelumnya aku sempat berkeliling kampung melihat suasana sekitar. Ramai dan meriah. Kampung dihias dengan janur yang diikat disepanjang jalan, entah apa maksudnya. Suasana di Nehas Liah Bing bagaikan lebaran, banyak makanan.
Balap perahu tradisional
Untuk makan siang, kami makan di salah satu rumah kerabat Jo, berbeda dengan rumah yang pertama, namun menu sama, khas festival Lom Plai. Dan tentunya, gratis ! Hebat, para warga memasak untuk setiap tamu , ada yang datang dari luar Kutai Timur, bahkan dari Jawa !
"Bentar lagi acara coret-coret wajah, sekalian siram-siraman sampai acara puncak," Jelas Jo. "Tapi ingat, nggak boleh marah, tapi boleh balas."
"Kalau marah dapat hukuman suruh kasih makan orang sekampung," Goda Lutfi, salah satu rekan di Wahau. Entah benar atau tidak.
Ini belum seberapa, masih pemanasan

Benar juga, tak lama kemudian wajahku menjadi hitam arang, akibat dari olesan arang dari pantat panci maupun wajan yang sudah diminyaki lalu dioles ke wajah. Dan pantat wajan panci itu berubah menjadi bersih, arangnya berpindah ke wajah pengunjung. Aku hanya pasrah dan menyodorkan pipi untuk dioles arang, lalu saling menertawakan satu sama lain melihat wajah yang menghitam.
Tak sedikit pula melihat anak-anak maupun dewasa berlari lintang pukang menghindari serangan arang maupun siraman air di acara yang disebut Pek Nai (Kalau tidak salah).
Acara puncak diselenggarakan pukul 2 siang. Diawali dengan tarian pembuka, lalu sambutan dan acara puncak, tarian hudoq.
Persiapan Menari

Acara Puncak.
Puluhan Hudoq dari berbagai usia berbaris, siap menari. Hudoq kecil, dewasa, pria maupun wanita. Mereka memakai kostum dari daun pisang dan topeng kayu yang tampaknya bikin gerah. Mereka menari diiringi musik tradisional seperti sape' atau gong, bergoyang-goyang lucu, terutama hudoq yang masih kecil. Rasanya pengen kutangkap dan kubawa pulang saja, hahaha...
Setelah mereka menari sebentar, lalu berbaris mengelilingi ketua adat. Tampaknya ada ritual sakral lagi. Para fotografer lain sibuk mengabadikan momen dari jarak dekat, sehingga menghalangi penonton belakangnya. Tentu saja aku sebal, ketapa tak diantisipasi pakai lensa tele atau yang lainnya sebelum ada acara seperti ini? Padahal sudah ada peringatan dilarang mengambil foto terlalu dekat. Benar-benar mengesalkan. Dalam situasi seperti ini tentu saja lensa tele-ku tak bermanfaat karena terhalang oleh orang-orang yang sibuk mengambil foto ataupun video.
Semua kalangan ikut menari
Anak-anak Wehea, tak mau ketinggalan
Potret Hudoq
Ritual selesai, para Hudoq kembali menari melingkar bersama anak-anak maupun warga wehea yang mengenakan pakaian adat. Dan juga mereka mengajak masyarakat bergabung untuk menari bersama.
Sungguh menyenangkan. Pengalaman yang menarik dan tak terlupakan ketika berinteraksi dengan warga lokal dan mengenal kearifan budayanya. Dan pengalaman ini makin membekas di hati mengingat perjuangan super nekat menuju ke Muara Wahau.


Bagaimana cara menuju Muara Wahau?
1. Dari Balikpapan menuju Muara Wahau bisa naik travel, seharga 350 ribu rupiah. Ditempuh selama 12 jam. Begitupun dari Bontang, Sangatta ataupun Samarinda. Dengan kendaraan bermotor.
2. Dari Berau ditempuh jalur darat selama 4 jam, dapat naik travel atau sewa kendaraan.

Nginap dimana?
Banyak penginapan di Muara Wahau, seperti Darris atau 88888888. Kalau saya cukup numpang di kantor PLN. Pesan jauh-jauh hari agar tidak over booked, apalagi ketika ada festival.

Do's and Don't
Patuhi aturan selama kegiatan Lom Plai. Itu sudah jelas. Bebaurlah dengan warga lokal yang sangat ramah. Mereka sangat senang apabila bertemu dengan warga luar dan tertarik dengan kebudayaannya. Oh ya, tolong jangan terlalu egois ketika mengambil gambar, (kecuali yang telah diijinkan) seperti terlalu dekat sehingga menghalangi penonton belakangnya. Bukankah sudah ada garis pembatasnya? Tolong berlaku bijak, jangan hanya demi memperoleh gambar bagus semata. Pakai lensa jarak jauh, yah walaupun hasil lebih bagus 'mendekat' tapi setidaknya bisa membuat penonton lain menikmati juga, 

Unesia Drajadispa

No comments: