Lintas Alam Sendirian di Taman Hutan Raya Ir Djuanda, Dago Pakar, Bandung

Di Kalimantan sudah banyak hutan dan berkali-kali keluar masuk hutan, tapi masih saja anak satu ini berniat 'ngincipi' hutan raya di kota lain saat pelesir sendiri.

Taman Hutan Raya Ir Djuanda di Dago Pakar, Bandung memang paling asyik dibuat menyendiri, tapi hati-hati kesambet hantu saja. Kondisi Tahura Ir Djuanda sendiri mirip seperti taman raya Purwodadi di Pasuruan, cuma karena didominasi oleh dipterokarp, maka jadi sedikit gelap dan rimbun, menurut saya.
Suasana Tahura
Banyak spot yang bisa dikunjungi dan dicoba, seperti hammock bertingkat. Sayangnya ketika ingin mencoba, pemiliknya mengatakan minimal harus tiga orang, atau tunggu saat tak ada pengunjung di hammock bertingkat tersebut. Bisa satu orang tapi hanya untuk hammock tunggal. Duh, di kosan juga ada yang seperti itu, kang !
Ada sekitar 10 spot yang bisa dikunjungi oleh pengunjung maupun peminat lintas alam, seperti Goa Jepang, Goa Belanda, Penangkaran Rusa, Jembatan Gantung dan beberapa curug (air terjun). Namun curug yang bisa dikunjungi hanya beberapa dikarenakan akses jalan masuk yang membahayakan dan katanya seram. Curug Omas merupakan spot terjauh dan curug terbesar di area tahura.
Goa Jepang merupakan spot terdekat dari pintu masuk, saya mencapainya dengan berjalan kaki selama 10 menit, tapi Goa Jepang disini tak sepanjang dan sama besar dengan di Bukittinggi. Hanya satu lorong lurus saja. Banyak jasa senter dan guide yang mengerubutiku tatkala aku sibuk mengambil gambar goa, lalu membujukku untuk menggunakan jasanya. Sayangnya, aku tidak tertarik.
Penampakan Goa Jepang
Perjalanan aku lanjutkan, sempat berpapasan pula dengan anggota pramuka yang sedang jelajah alam, nampaknya. Saat bertemu dengan sebuah warung, seorang ibu paruh baya dan pemuda tanggung yang tampaknya ibu-anak menawarkan jasa ojek untuk mengelilingi setiap spot disini.
"Ojek teh, jauh loh," Rayu sang ibu.
"Makasih bu, saya jalan kaki saja." tolakku sambil cengar-cengir.
"Jalan kaki? Jauh teh! ada sekitar enam kilo ke Curug Omas sana, di ujung hutan. Naik ojek aja, nanti aa nya anterin keliling setiap tempat disini,"
Ugh, tampaknya aku mulai tergiur. Entah benar atau tidak enam kilo, yang jelas jalan kaki sejauh itu pasti membuatku teler juga dengan kondisi mulai lapar seperti ini.
"Serius ?" aku tanya balik. Mulai tertarik ngojek karena memang info lengkap di internet tentang tempat wisata disini masih jarang.
"Iya teh, seratus deh sekali naik," Tawar ibu itu cepat. Ngok. Seratus ribu. Aku langsung malas dan kembali menolak dengan halus.
"Saya jalan kaki saja, tidak bawa uang." aku beralasan.
"Loh, kumaha atuh teh? nanti aa antar ke ATM dulu keluar," Rayu ibu itu makin kencang.
"Adanya lima puluh,"
Lalu mereka berdua berunding serius, dan deal limapuluh ribu untuk ongkos ojek kali itu. Cari aman memang harus sedikit modal. Apalagi aku sendiri, belum mengerti medan disana dan parahnya lagi aku pakai rok lebar. Masuk hutan pakai rok lebar? Tolong, haha. Mau ngemall neng?
Jembatan Gantung. Kalau difoto bagus, aslinya biasa saja
Jadinya aku ngojek saja dan sesuai janji aa ojek mengantarkan ke setiap tempat di tahura dan rela menunggu saat aku asyik berfoto. 
Untunglah ada ojek. Tempatnya serius jauh. Kecuali kalau memang niat berpetualang ya. Spot Gua Belanda kami lewati saja, skip ke jembatan gantung. Sayang itu hanya sebuah jembatan saja. jalan setelahnya tak bisa dilalui.
Rusa Bertotol Dari Istana Bogor
Puas berfoto, selanjutnya ke penangkaran rusa. Menurut aa ojek, rusa-rusa tersebut dari istana kepresidenan di Bogor. Wuah, jauh juga ya? Kondisi saat itu hanya tiga pengunjung saja, dan tampaknya masih warga sekitar Bandung. Rusa-rusa tersebut bertotol putih, aku memberikannya makan dengan seikat semak yang ditumpuk didekat kandang.
Selanjutnya ke Curug Omas Maribaya. Asli tempatnya memang super jauh sekali! Pengunjung di Curug Omas cukup ramai. Curugnya besar, deras dan tinggi. ada jembatan penghubung ke seberang. Aku beristirahat sebentar sambil makan nasi timbel disana.
Curug Omas Maribaya
"Dari bawah sini, kelihatan itu tebing keraton," kata aa sambil menunjuk keatas. Benar juga, tampak beberapa orang berfoto ria.
"Kalau mau kesana bisa aa antar." tawarnya lagi. Tapi sayangnya kutolak, dengan alasan membawa motor, dan juga jaraknya tak terlalu jauh katanya.
"Oh iya teh, jangan dibuang tiket masuk ke sini, nanti tunjukin saja ke petugas Tebing Keraton. Soalnya satu lokasi, biar nggak bayar dua kali." Lanjutnya, dan aku segera mengaduk-aduk isi tas mencari tiket masuk ke Tahura Djuanda yang senilai lima belas ribu tersebut, untunglah masih tersimpan baik.
Selepas dari Curug Omas dan membayar lima puluh ribu, aku segera menuju ke tebing keraton. Perjalanan memang tak seberapa jauh, tapi cukup ekstrim ketika menemui jalan berbatu menanjak. Meleng sedikit pasti sudah jatuh terkapar dan terluka. Setir kucengkeram erat-erat, sembari berdoa.
Untuk pengunjung yang membawa mobil bisa diparkir dibawah dan berjalan menanjak sejauh 2 km.
Jalan Masuk ke Tebing Keraton
Tebing Keraton, mendung
Kondisi Tebing Keraton saat itu mendung, tapi masih banyak pengunjung yang kebanyakan remaja datang dan berfoto ria. Tak banyak aku berfoto, karena tiba-tiba hujan angin mengguyur. Aku pontang-panting berlari melindungi kameraku. 
Sepulang dari tebing keraton, tampaknya perutku lapar lagi. Berdasarkan referensi yang aku baca, ada coffee shop di dekat sana, Armor Coffee. Tak kusia-siakan kesempatan itu, mampir sebentar minum kopi susu hangat dan pisang goreng, lalu melanjutkan perjalanan ke Lembang.

Unesia Drajadispa

No comments: