• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Berlin merupakan kota kedua yang aku kunjungi saat aku singgah di Jerman. Bertolak dari Frankfurt am Main Hbf dengan ICE 1631 menuju Berlin Hbf  pada tanggal 16 Agustus 2017 pukul 3 sore waktu setempat. Aku paham kalau semua hal di Jerman sangat pünktlich (tepat waktu), maka tentu saja aku harus mengikuti aturan main negara tersebut. Dengan sedikit tergesa menggerek koper fiber berwarna jingga pinjaman di tangan kiri sembari membawa secontong kentang goreng porsi banyak berlumur mayones dengan tangan kanan yang kubeli di kedai stasiun seharga 2 Euro untuk mengganjal perut menuju Platform 13, saat itu waktu menunjukkan 10 menit lagi akan berangkat.
Kereta Cepat ICE yang membawaku bertolak ke Berlin
Aku memesan tiket ICE saat masih berada di Indonesia, reservasi secara online dan pembayaran dengan kartu kredit seharga 85 Euro. Tarif normal sih 80 Euro, akan tetapi aku juga memesan tempat duduk untuk menghindari tidak kebagian tempat duduk sepanjang perjalanan menuju Berlin dengan harga 5 Euro. Berdasarkan info dari bebrapa blog yang aku baca, disarankan untuk mereservasi seat sebelum keberangkatan, kenapa? Katanya, kalau misalnya semua penumpang mereservasi seat sehingga kamu harus dulu-duluan berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang belum memesan seat. Kalau nggak dapet seat? Harus ikhlas berdiri sepanjang perjalanan tanpa ampun, terlebih lagi jarak tempuhnya lumayan lama. Nah kalau ada seat yang kosong? Tentu saja boleh didudukin dong.
Tiket Online ICE
Sempat mondar-mandir di luar kereta, tampaknya aku sedikit panik gara-gara tak menemukan gerbong yang tertera di tiketku. Lantas aku beranikan diri bertanya pada petugas DB (Deutsche Bahn, PT KAI nya Jerman) yang sedang asyik merokok.
"Entschuldigung Sie..Wagoon 22? " 
Tanpa bersuara ia menunjuk gerbong didepannya. Astaga! Sudah jelas terpampang Wg 22 kenapa aku malah bertanya padanya? Hahaha.
"Nichtraucher?" Tanyaku sambil memperagakan orang merokok.
Petugas yang memakai anting hitam itu mengangguk, sembari mengucapkan danke lalu bergegas masuk ke gerbong tersebut.
Aku memilih gerbong yang bebas asap rokok, silent, dan dekat jendela. Maksudnya disini silent adalah tidak diperkenankan berbuat keributan, dan aku sengaja memilihnya agar dapat menikmati perjalanan langka ku saat itu.
Saat itu saya duduk disebelah gadis Jerman yang sepertinya sedang liburan musim panas ke Berlin (aku mengintip dari tiket yang ia bawa). Petugas kereta tinggal memindai pada QR Code yang berada pada E-tiket kita, lalu melubanginya. Dan nampaknya gerbong silent didominasi oleh para pekerja berjas dan berdasi yang melakukan perjalanan sembari mengerjakan pekerjaan kantor.
Didalam Kereta

Sedikit menyempatkan diri untuk remote kerjaan kantor dari sini :D

Waktu tempuh dari Frankfurt menuju Berlin selama 4 jam pas, jadi sampai di Berlin pukul 7 sore dan hari masih terang. Pemandangan yang disajikan sebenarnya tak jauh beda dengan pemandangan alam jalur kereta di Indonesia, seperti perkebunan, ladang gandum, rumah-rumah pedesaan Jerman yang 'dongeng' banget, dan yang paling menarik perhatianku adalah begitu banyaknya wind power plant yang menurut info kudapat memiliki kapasitas 45000 MW !
Menaiki kereta ICE bagai ketapel yang dilontarkan dan melesat cepat. Gerakannya halus, rapid dan tanpa sensasi grudak-gruduk yang kadang bikin mual. Kostenlos WiFi (WiFi gratis) tersedia dalam setiap gerbong, tapi tidak terlalu cepat.
Di Berlin, aku sudah membuat janji untuk tinggal bersama Julie Metzger, warga lokal asli Berlin melalui aplikasi couchsurfing. Setibanya di Berlin Hbf yang lebih pantas dibilang mall daripada stasiun karena bangunannya sangat luas  dan berdinding kaca, aku langsung mencari bus nomor M-41 yang menuju ke Sonnenallee, tempat flat Julie. Berdasar info, tiket bisa dibeli langsung ke sopir. Tarifnya sekitar 4 Euro. Mahal banget! Terkecuali kalau kamu punya tageskarte, tinggal menunjukkan saja ke sopir. Beres!
Stasiun 'Gambir' nya Berlin. Besaaar  !

Seperti Mall

Drama naik bus di Berlin pun dimulai, berawal dari membeli tiket yang mahal, hingga mata yang selalu mengawasi Google Maps untuk menghindari salah stop. Julie menginstruksikanku untuk berhenti di halte Sonnenallee, sekitar 8 stop dari Berlin Hbf. Tapi mungkin karena panik, maka aku berhenti di salah satu halte yang bertuliskan 'S Sonnenallee' tapi bukan itu tujuannya. Harusnya aku berhenti di halte yang bertuliskan 'Sonnenallee' saja.
Panik, aku menghubungi Julie, berikut kutuliskan percakapan via aplikasi pesan instan dalam versi Bahasa Indonesianya.
"Duh Jul? Aku salah stop kayaknya, gimana ini?" Aku mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris yang ngasal nyeplos, tentunya, disertai gambar halte tempatku salah stop.
"Harusnya kamu berhenti di halte yang tulisannya Sonnenallee saja. Tempatku masih jauh dari situ. Tunggu saja bus selanjutnya 10 menit lagi."
Lalu aku menunggu,  disekitar sana banyak terdapat kedai doner kebab milik warga imigran Turki. Tak lama kemudian bus M41 tiba. Dengan berat hati aku membayar bus senilai hampir 5 Euro tersebut. Tak ingin mengulang kesalahan sebelumnya, aku bertanya pada sopir berkepala gundul tersebut,
"Om, masih jauh nggak Sonnenallee?"
Om sopir menjawab dengan sangat ramah, Bahasa Inggrisnya cukup fasih. "Bentar aja neng, 4 stop lagi."
Empat stop lagi? Bayar hampir 5 Euro? Sontak aku tak mengikhlaskan uang yang aku keluarkan baru saja.
Jerman. Impianku Sejak SMP

Suasana Kota Berlin. Banyak Pipa-nya.
Aku membuka pesan masuk. Julie. Ia mengirimkanku pesan yang mengingatkan bahwa tidak perlu bayar ulang untuk naik bus dengan rute yang sama. Cukup menunjukkan tiket awalku tadi.
Aduh ! telat kamu kasih tahunya Jul! Euro senilai 3 roti tersebut melayang begitu saja !
Hanya sekitar 10 menit akhirnya sampai di halte Sonnenallee. Disana Julie sudah menungguku, dari luar ia sudah melambaikan tangannya. Pheew! Lega aku nggak salah stop lagi!
Setelah cipika cipiki sebentar, ia menanyakan keadaanku, apakah lapar atau lelah. Lantas ia mengajakku ke supermarket depan halte. Ia membeli terong (?), sepotong roti baguette, dan tomat. 
Gadis berusia setahun diatasku itu tinggal di sebuah flat bertingkat, yang biaya sewanya dirupiahkan bisa mencapai 8 juta rupiah perbulannya.
"Santai saja Unesia, lakukan apapun yang kamu inginkan. Anggap saja rumah sendiri."
Wah, serius Jul? Koprol sambil ngakak onlen bisa dong? Ujarku dalam hati. Lantas aku memilih membersihkan diri, lalu shalat. Kudengar Julie  sedang sibuk didapur, peralatan masak dan bunyi percikan minyak membaur, tampaknya ia masak sesuatu untuk makan malam.
"Maaf seadanya ya," Ia menyajikan di mangkok besar, semacam oseng-oseng sederhana yang terdiri dari terong, tomat, selada, telur orak-arik, dan taburan keju parmesan. Seperti biasa, masakan orang-orang Eropa selalu dicampuri keju kedalam masakannya, dan yang pasti tanpa nasi! Nasi nya disubstitusi dengan roti baguette yang dipotong kecil-kecil. Tapi tenang saja, hampir dua minggu aku berada di Eropa, tentu saja perutku sudah menjadi perut orang Eropa juga, hahahaha.
Kami bercerita banyak sebagai perkenalan awal di malam itu. Mulai dari seputar pengalaman, hobi, pekerjaan, dan lain sebagainya.
"Aku kerja di terapis di panti penyandang disabilitas. Berangkat pagi jam 7, pulang jam 5," Ceritanya dengan riang.
"Sama, aku juga kerja kantoran, sehari delapan jam kerja,"
"Jam istirahat kerja berapa lama di Indonesia?"
"Sejam, jam dua belas siang hingga jam satu,"
"Wah sama dong, Unesia. Oh ya negara mana saja yang pernah kamu kunjungi?"

"Ini baru trip abroad pertamaku. Dan Jerman menjadi salah satu negara yang paaaliiing ingin aku kunjungi. Saking pengennya aku sampai belajar bahasanya !"
"Ach so? Serius kamu sampai belajar bahasanya? Padahal banyak orang yang menganggap Deutsch itu lebih susah dari bahasa Inggris! Aku sendiri lagi belajar Bahasa Perancis." 
Lantas Julie mengajakku berbicara dengan bahasa dan logatnya, yang tentu saja berhasil membuatku kebingungan dan terdiam.
Une und Julie :)
"Well, Unesia. Wajarlah kalau kamu kebingungan karena mungkin nada bicara kami terdengar sangat cepat. Tapi aku suka dengan kemauanmu belajar bahasa kami, mungkin kamu bisa meningkatkannya dengan menjadi ekspatriat disini (Berlin)."
Aku berusaha mengatakan beberapa kosakata yang aku pahami. Gadis berambut pirang itu tersenyum dan gemas melihat logat bicaraku. Ia terkejut aku mengetahui beberapa kata sulit dan idiom dalam Deutsch.
"Wow! tampaknya kamu sudah jauh belajar Deutsch!"
"Ach so?" timpalku tersipu. Lalu ia mengajarkanku beberapa kosakata baru yang belum aku mengerti.

Fortgesetzt (bersambung).....
0
Share
Maskapai Lufthansa membawaku terbang dari Roma menuju Frankfurt selama dua jam dengan perasaan bahagia yang luar biasa. Serius, aku tak berlebihan. Entah sejak kapan aku ingin sekali mengunjungi Jerman. Mungkin semenjak pertandingan Piala Dunia 2006 di Jerman yang nonton aksi  keren pasukan Der Panzer adu pinalti saat melawan Argentina di perempat final? Atau sejak kelas 6 sekolah dasar saat mendapatkan pelajaran pengetahuan sosial mengenai administratif negara-negara Eropa? Buku pelajaran tersebut terasa sangat menarik bagiku, dan selalu kubaca setiap harinya bak novel asmara. Yang jelas aku pernah sangat kecewa dikala muatan lokal Bahasa Jerman yang kudapat di bangku SMU tak dilanjutkan ketika naik ke kelas sebelas, jadi hanya didapat setahun di kelas sepuluh saja. Sempat iri dengan adik kelas, mengapa mereka dapat sampai kelas sebelas?

Ketertarikanku akan hal-hal yang berbau Jerman tampaknya tak berhenti begitu saja. Saat semester pertama bangku kuliah, aku mencari informasi tentang kursus bahasa Jerman. Awalnya dapat dengan harga yang sangat mahal bagi anak kampusan sepertiku, lalu akhirnya ambil kelas bahasa Jerman di UPT Bahasa fasilitas Institut dengan harga yang terjangkau. Aku mengikuti Deutschkurs selama kurang lebih 1,5 tahun dan aktif mengikuti kegiatan berbau Jerman yang diselenggarakan oleh lembaga resmi pendidikan Bahasa Jerman di Surabaya. Dan selebihnya  belajar sendiri via dunia maya. Bahasa Jerman menjadi penyelamatku saat ujian TOEFL untuk syarat wisuda kampus tak memenuhi target. Sehingga aku coba tes dengan bahasa Jerman, dan ternyata lulus.
Lufthansa yang membawaku dari Fiumicino Aeroporto, Roma
Frankfurt International Airport ternyata sangat besar, padat dan sibuk. Sesaat seusai landing, si pesawat masih berputar-putar seperti mencari tempat parkir. Bandara ini juga merupakan kandang dari Lufthansa sendiri.
Berbekal bahasa Jerman ala-ala dan pengalaman transportasi Eropa pasca perjalanan di Belanda, Perancis, dan Italia kemarin, dengan sangat percaya diri aku harus menuju ke stasiun utama Frankfurt atau Frankfurt am Main Hauptbahnhof, karena disana terdapat jalur S-Bahn, U-bahn dan kereta cepat lainnya yang dapat mengantarkan kita kemana saja yang kita tuju. Setelah mengambil bagasi di belt no 8, saya segera membeli tiket (yang bodohnya aku ambil einzelfahrt atau sekali jalan yang tentunya lebih mahal) seharga 4€, dan itu hanya berlaku sekali jalan sekitar 20 menit! 
Wilkommen in Frankfurt am Main! 
Suasana senja di Pinggir Sungai Main
Gembok Cinta, masih ada aja di kota semaju ini

Aku cengar-cengir di stasiun Frankfurt. Rame, dan banyak orang berlarian kesana-kemari ngejar kereta. Karena tujuanku ingin menuju masjid Indonesia Frankfurt, maka inisatif untuk menitipkan koper di stasiun pun muncul, daripada gerek koper kesana kemari. Biaya penitipan tas di loker tarifnya 3€ untuk loker kecil, dan 5€ untuk loker besar, dan karena koperku hanya muat di loker besar, maka dengan terpaksa saya menitipkannya dengan receh 5€ dan jangka waktu maksimal 24 jam, yang bagiku sangat mahal...karena 5€ bisa untuk sekali makan, dan setelah dititipkan pun uangnya tak kembali :(
Sesuai petunjuk Google Maps, aku segera mengambil S-Bahn S9 tujuan Hanau dan berhenti di Mühlberg untuk menuju masjid Indonesia Frankfurt. Bodohnya aku lupa tak membeli tiket, dan tentu saja aku saat itu dinobatkan sebagai schwarzfahrer alias penumpang gelap. Memang di Jerman kita bisa naik kereta sesuka hati karena pemeriksaan tiket jarang dilakukan, tapi sekali kena pemeriksaan lumayan dendanya, di setiap kereta tertulis : Schwarzfahrer kostet 80€, alias penumpang gelap didenda 80€, duh mak...aku berdoa saja supaya tak ada pemeriksaan saat itu.
Dan ternyata aman. Suasana siang itu mendung pekat, dan tampaknya bakal ada angin kencang. Masjid tersebut harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit. Tak ada pilihan lain akhirnya aku jalan mengikuti petunjuk Google Maps. Aku yakin di tempatku berdiri adalah masjid tersebut, tapi tak ada tanda-tanda sama sekali. Kulirik google street, dan ternyata pas didepanku adalah bangunan masjidnya. Masjidnya dimana? Inikan toko bangunan? Pikirku saat itu. Tapi karena kulihat alamatnya sudah sesuai dengan petunjuk, maka kuberanikan masuk kedalam toko tersebut. Disinilah kemampuan Bahasa Jerman ala-ala mulai teruji.

Merenung di Pinggir Sungai
"Entschuldigung Sie..ehm..." kataku kagok sekali. Maklum baru pertama ngoceh sama orang Jerman asli. 
"Wie bitte..." Lanjutku makin kagok gara-gara ada cowok muda Jerman asli yang ganteng sekali.
Seorang bapak paruh baya menghampiriku, dan menanyakan maksudku dalam Deutsch yang sangat cepat. Duh, matilah aku !
"Maaf pak, apa benar disini Strahlenberger Weg 16?" balasku pakai Bahasa Inggris.
"Ya," jawabnya singkat dengan tatapan tajam.
"Tahu dimana tempat ini?" Tanyaku sambil menunjukkan Google Maps di ponselku. Ia mengamatinya, lalu menjawab. "Ya, disini Strahlenberger Weg 16, tapi saya tak tahu dimana tempat yang kamu maksud, disini lantai satu, coba kamu lihat di lantai dua atau tiga dengan naik tangga, mungkin yang kamu maksud ada di lantai tersebut."
Setelah mengucapkan terimakasih, aku langsung buru-buru menaiki tangga, lantai kedua, bukan, lantai ketiga, tak salah lagi, ada tulisan assalamualaikum dan.....sayangnya tutup. Pupus sudah harapan untuk numpang shalat dhuhur disana. Kuketuk pintunya, tapi nihil. Uh, aku menyandarkan tubuhku yang lelah. Ini Jerman, bung. Dimana kamu tak dapat menemukan masjid semudah menemukan cintamu #eh
Tak lama kemudian hujan deras turun, langit bergulung gelap, disusul angin kencang dan kilat. Aku ketakutan, lantas terduduk di tangga dan berpikir langkah yang dilanjutkan setelah ini. Sedikit menggembel tampaknya, tapi  menggembel elit di Masjid Jerman.
Hujan sedikit reda, lantas kuberanikan diri menembus rinai-rinai lembut yang turun dengan bersemangat menuju ke Stasiun Mühlberg, berharap dapat menemukan mesin automat penjual tiket otomatis agar tak dicap sebagai penumpang gelap lagi. Kan aku pendatang yang baik di negeri orang :) (boleh ditiru kalau yang ini)
Celakanya, di stasiun tersebut tak terdapat automat. Aku celingukan kesana kemari tapi hanya terdapat mesin penjual jajan otomatis. lantas aku berlari keatas dan mencari mesin tersebut, akan tetapi nihil. Lalu aku menyusuri lorong stasiun tersebut. Tidak ada.
Aku hanya bisa berdoa ," Ya Allah jauhkan hambamu ini dari denda 80€"
Frankfurt am Main Hauptbahnhof
Agaknya Allah selalu bersama orang musafir, Allah mengabulkan doaku. Empat stop hingga Frankfurt am Main Hbf tak ada pemeriksaan sama sekali. Dengan wajah tak berdosa sedunia, aku segera berlari ke platform atas. Lantas masuk ke salah satu toko buku, dan hanya sibuk melihat-lihat gambar majalah yang dijual karena sama sekali tak kumengerti isi bacaannya.
Selama di Frankfurt, saya menginap di rumah salah satu host yang saya kenal dari aplikasi couchsurfing. Aku akui, ini adalah pengalaman pertamaku jadi surfers (sebutan orang yang numpang di rumah warga lokal di aplikasi couchsurfing), bermodal nekat dan percaya saja menginap di rumah warga lokal tanpa saling mengenal sebelumnya. Rasa ragu aku tepis jauh-jauh, demi nginap gratisan dan dapat temen ngobrol. Aku di Frankfurt tak mengenal seseorangpun, dan dari referensi yang diberikan surfers sebelumnya positif, maka aku yakin menjadi surfers dengannya.
Gambar diambil saat aku berjalan sama Khurram, sore harinya

Kita janji bakal bertemu di Frankfurt am Main Hbf pukul 18.00 waktu setempat. Karena masih ada satu jam lagi, maka kusempatkan makan di jaringan gerai resto cepat saji disekitar situ, dan mulailah kemampuan bahasa Jermanku diuji kembali.
"Ein Fischburger und Ein Cola, bitte." Ujarku dengan mantap. Mas-mas penjualnya nggak bingung mendengar logatku yang medok Jowo, dan dia menimpali dengan bahasa Jerman yang....aneh.
"Hah?" Aku melongo bingung, eh, harusnya aku bilang wie bitte ya, atau pardon me.
Tampaknya mas penjual paham kalau aku orang yang memiliki keterbatasan kosakata dalam Deutsch. Maka ia menjelaskan dengan perlahan sambil menggerakkan isyarat tangannya, 
"Kleiner oder Großer?" 
Ealah mas, kalau itu mah kosakata yang sederhana. Mau cola yang ukuran kecil atau besar, berhubung dia ngomongnya cepat ditambah logat Frankfurt (halah kayak tahu), jadi yang terdengar 'klainoroser' 
Setelah drama kecil terjadi, aku segera mengambil koper pinjaman dan menunggu di gerbang utama stasiun, menunggu host-ku datang.
"Kamu dimana? Fotoin dong tempat kamu menunggu," Pinta sang host melalui pesan singkat. Tak lama kemudian akhirnya kami bertemu.
Namanya Khurram, cowok asli India yang bekerja di Jerman, kota Bad Vilbel. Usianya 26 tahun. Tingginya sama denganku, sekitar 155 cm. Sebenarnya aku lebih ingin dapat host cowok Jerman asli dan sebaya biar bisa jadian improvisasi bahasa jermanku. Tapi tak apalah, esensinya kan nginap gratis, hahaha.
"Halo, Ich bin Une." Sapaku. Lelaki India itu hanya tertawa, "Tapi aku lebih sering menggunakan bahasa Inggris sehari-hari disini. Dua tahun saya tinggal di Jerman, tapi tak mengerti bahasa Jerman." ujarnya santai.
Ia tinggal di sebuah flat, yang diwajibkan membayar sekitar 4,5 juta rupiah setiap bulannya. Aku tidur di sebuah kasur yang ruangannya sudah disekat sama dia. Oke, untuk semalam insyaallah bertahan dan aman. Toh dia muslim juga dan berjanji menjaga privasiku.

Khurram sangat baik, malamnya ia mengajakku berkeliling kota Frankfurt dan membayariku einzelfahrt. Lelaki berkacamata itu memperkenalkanku akan kota tempatnya tinggal, bagaimana transportnya, kebiasaan warganya, dan tempat-tempat wisata, dan kegiatannya sehari-hari. Saat itu aku mengunjungi Romerberg yang merupakan pusat kota Frankfurt (semacam alun-alun), tepian sungai Main, dan pusat perbelanjaan disana. 
"Tapi besok kamu bakal eksplor sendiri, karena aku harus bekerja. Maaf ya," Jelasnya.
"Sudah biasaaaa...."jawabku sambil nyengir. Tujuanku kan memang jalan sendiri.
Keesokan harinya aku keluar bersamaan dengan waktu ia berangkat kerja. Pagi hari di Frankfurt sangat sibuk, banyak mas-mas muda kantoran ganteng, yang style kerjanya rapi banget. Rambut berpomade, kumis tipis, kemeja lengan panjang slim fit nggak kusut, dan ada beberapa yang pake jas. Kami sama-sama menunggu S-Bahn, dan ada beberapa yang lari-lari sambil menggigit roti karena mengejar kereta. Mirip seperti di film-film barat. Tapi busyet deh parfum mas-masnya nyengat sekali :D
Petunjuk jalan Romerberg


Aku dan Khurram berpisah di stasiun, setelah mengucapkan beribu terimakasih, dan melanjutkan perjalanan untuk menjelajah Frankfut seorang diri tetapi sebelumnya menitipkan koper seharga 5€ dan membeli tiket tageskarte seharga 7€. Untuk info, tiket tageskarte merupakan tiket yang berlaku selama 24 jam terhitung sejak awal aktivasi dan dapat digunakan untuk seluruh moda transportasi umum di FRANKFURT, kalau di kota lain harus membeli lagi. Lebih murah, untuk full day travel di kota tertentu.
Warga Frankfurt ramah, saat berpapasan di loker mereka menyapaku, Guten Morgen, lalu Tschüß. Untunglah kemampuan Bahasa Jermanku masih mencukupi untuk membalas sapaan-sapaan tersebut, kheheheh.
Tujuan pertamaku adalah Romerberg. Menuju Romerberg dapat ditempuh dengan S-Bahn S1 turun di stasiun Hauptwache, lalu dilanjut dengan berjalan kaki selama 5 menit sesuai petunjuk google maps. Pagi itu masih sepi, dan kota ini banyak terdapat muslimah imigran Turki. Jadi seneeeng banget kalau disapa assalamualaikum.

Bergaya di Romerberg, tentu saja sama tripod
Untunglah matahari saat itu bersinar cerah. Aku makin semangat menekuri setiap tempat menarik di kota yang mengingatkanku dengan Samarinda. Kenapa Samarinda? Karena secara geografis, sama-sama dibelah oleh sungai besar, Mahakam dan Main. Eaaa....

European Central Bank
Aku duduk-duduk santai di tepi Main yang sejuk. Rasanya bahagia sekali diriku saat itu, bahagia karena Allah masih mengijinkanku menikmati pemandangan luar biasa ini. Lantas aku berjalan melintasi suspension bridge untuk menuju European Central Bank yang ada simbol Euro didepannya, seperti yang pernah kulhat di buku pelajaran Ekonomiku semasa SMP. 
Selain Romerberg, tepian Main, Foto-foto di depan bank, hal lain yang perlu dikunjungi adalah Kleinmarkthalle. Semacam pasar, tapi rapi, bersih, dan nggak becek. Apa yang dijual? Ya mirip seperti di Indonesia, ada rempah-rempah, daging (babi dan sapi), bunga hidup yang cantik, kue tradisional, buah, dan coklat. Aku nggak beli apa-apa, cuma mampir di setiap stan dan kepoin barang yang dijual. Pembelinya hanya tersenyum manis kearahku.


Pasar Tradisional di Frankfurt, bersih, yang jual sama beli sama-sama Ganteng


Kereta ICE yang membawaku menuju Berlin akan berangkat pukul tiga sore, dan pukul setengah dua aku harus segera kembali ke Frankfurt am Main Hbf, dan melanjutkan petualangan seru selanjutnya di ibukota Jerman.

Frankfurt dan semua bangunan tuanya selalu mempesona, dan memanggilku untuk kembali. Terima kasih banyak, Frankfurt am Main.

0
Share
Banyak kawan yang mempertanyakan seputar kebiasaan traveling-ku. Mulai dari yang serius, hingga bercandaan. Di kesempatan kali ini saya berusaha menjelaskan beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan dengan bahasa saya sendiri. Mungkin ada beberapa yang terdengar sarkas, tapi itulah saya. Silakan disimak :)

Frankfurt am Main
1. Dapet uang jalan darimana?
Yah, pertanyaan cukup mudah. Yang jelas ketika ada rejeki masuk, saya segera membaginya menjadi dua pos anggaran, anggaran operasi dan anggaran investasi (wuaduh kayak kerjaan aja). Buat apa? ya biar lebih mudah dan ketahuan uang habis dibuat apaan. Biasanya sih anggaran investasi dapat jatah lebih besar, karena anggaran traveling saya kelompokkan ke Anggaran Investasi. Kenapa? Karena traveling bagiku adalah investasi pengalaman untuk anak-anak di masa depan.
Kalau anggaran operasional biasanya buat bayar kos bulanan, makan, bensin, kosmetik, atau beli pulsa. 

2. Kenapa sih traveling nggak ngajak teman-teman?
Karena saya anaknya susah diatur. Kalau ngajak temen, berempat nih misalnya, dan sudah ditentukan tanggal jalan. Ketika semua sudah terencana, eh tiba-tiba salah satu ada yang ngeles nggak bisa ikut, dan ternyata diundur, begitu seterusnya hingga rencana jalan tersebut hanya sebatas angin lalu. Mending kalau ada kesempatan langsung jalan saja, nggak usah tunggu-tungguan.
Atau kalau misalnya jadi nih, kadang kita memiliki minat yang beda, dan maunya mereka jalan bareng terus, dan aku biasanya punya hobi yang agak nyeleneh. Daripada berantem nentukan destinasi atau tempat makan, makanya saya lebih suka sendiri. Keuntungannya sih kita bisa bebas menjelajah tanpa terikat waktu, dan sebagian besar rencana yang telah disusun berjalan sesuai arahan, kalau misalnya meleset atau terjadi hal-hal diluar dugaan, maka sebisa mungkin harus menyusun rencana cadangan. Disitu saya sering menyalahkan diri sendiri ketika rencana yang berjalan tidak sesuai yang diharapkan.
Dan juga ketika saya ingin pergi ke suatu tempat, saya nggak membocorkan ke masyarakat umum...haha. Seperti buat update-an status H-150 Reykjavik...dan lain-lain. Males dikepoin, males diomongin, dan males diancurin...haha.
Bukannya saya pelit info atau tertutup, tapi saya merasa lebih baik begitu. 

3. Kalau sendirian yang motoin siapa Ne?
Kalau swafoto seperti ini, takutnya yang dibilang cantik malah saya, bukan pemandangannya
Memang minusnya ketika jalan sendiri adalah nggak ada yang motoin. Susah, jujur. Ada sih tongsis atau action cam, cuma saya nggak suka saja. Kenapa? Tangan satunya nggak bebas gaya, dan badan nggak ter-capture seluruhnya. Dan orang bisa jadi lebih fokus ke muka. Minta tolong orang? Nggak enak banget. Kalau hasil foto kurang memuaskan kan sungkan juga nyuruh orang itu foto lagi. Jalan satu-satunya adalah bawa tripod. Memang cukup menyusahkan jalan kesana-kemari dengan tripod yang berat, ditambah air minum seliter dan tas daypack yang sudah berat dari sononya. Capek, tapi mau dikatakan apa lagi...kita tak akan..pernah satu (mualah nyanyi...)  Walaupun cukup lelah membawanya, cukup lelah lari-lari ngejar timer dan berpose di kamera sambil tahan malu, yang jelas aku sayang kamu tripod pink ku ! Soalnya kamu nggak pernah protes fotoin aku dengan gaya-gaya yang begituuu saja.

4. Kapan kawin nikah? Kok jalan terus?
Pertanyaan anak TK, xixixi. Anak TK pun bisa kalau cuma tanya kapan nikah atau manas-manasi kenapa kamu nggak nikah-nikah. Kalau kamu sudah dewasa, tentunya sambil bawain calon suami soleh didepanku sambil berkata, "Ada calon soleh, insyaallah sudah siap untukmu."
Yang jelas, nikah itu atas izin Allah. Kalau kamu masih bertanya kapan saya nikah berarti kamu mempertanyakan izin-Nya.
Saya traveling pun sambil ikhtiar ya, jangan salah. Xixixixi.

5. Nggak takut diapa-apain kalau jalan sendiri?
Kenapa takut? Saya punya Allah. Jujur ketika  traveling sendiri saya lebih banyak shalawat dan istighfar. Rasa khawatir sih ada. Kalau diapa-apain ya saya apa-apain balik, tripod pink bisa jadi senjata karena sudah saya modif bisa digunakan sebagai pedang (kalau ini bercanda, haha). Nggak takut kecopetan atau diculik Ne? Ya saya tinggal pasang wajah penculik atau pencopet juga, insyaallah aman, hehe. Kalau ingin tahu bagaimana wajah pencopet ala-ala saya, bisa langsung japri. Karena dirahasiakan, bukan untuk konsumsi publik.
Mungkin ada baiknya saya mulai belajar bela diri dan ilmu kebal senjata tajam ya :)

6. Kamu kok tahu jalannya sih?
Hello...kan ada google maps atau Waze. Petunjuknya sangat mudah dan jelas. Kalau bingung kan tinggal bertanya penduduk sekitar.

7. Oleh-olehnya mana ya? Kok nggak sampai sini?
Saya nggak janji. Oleh-oleh dibeli ketika tidak melebihi budget yang dianggarkan dan tidak melebihi kapasitas bagasi yang telah ditetapkan maskapai. Soalnya kalau saya jalan sendiri, harus tenteng semua barang bawaan sana-sini tanpa ampun :) Tapi kalau untuk pribadi, teman dekat dan keluarga selalu saya belikan. Bagiku pulang selamat adalah tujuan utama, dan oleh-oleh adalah bonus. Mohon dimengerti ya :)

8. Kamu pas traveling ke Luar Negeri shalatnya bagaimana?
Untuk shalat di luar negeri cukup mudah. Shubuh, Maghrib dan Isya bisa dilaksanakan di penginapan. Untuk dhuhur dan Ashar memang selalu tiba saat kita diluar. Masjid memang sulit ditemukan. Solusinya mudah, ketika tiba waktunya makan siang, saya cari rumah makan halal, biasanya mereka menyediakan tempat shalat. Bisa jamak takhir atau jamak taqdim. Insyaallah, Islam tak menyulitkan orang yang berpergian.
Apalagi ada aplikasi Muslim Pro yang bisa menunjukkan arah kiblat dan remind waktu shalat di seluruh dunia.

9. Bentar lagi mau jalan kemana lagi, Ne?
Sudah dijelaskan di point nomor dua. Rahasia yah, tiba-tiba ada fotonya. Nanti kalau sudah woro-woro, belum berangkat ke tempat tujuan sudah rame titip oleh-oleh.

Foto Keren ini Difotoin Mas Tripod Loh
10. Motivasimu traveling apa sih?
Saya bisa traveling bukan karena banyak duit atau pemberani. Saya bisa traveling atas izin Allah melihat ciptaan-Nya yang maha luas, membuat hati lebih peka dan sadar atas kebesaran Allah sehingga bersyukur. Serta sesuai dengan surat Ar-Rum ayat 22 bahwa diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah menciptakan langit dan bumi serta berlain-lainan bahasa serta warna kulit manusia. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda bagi yang mengetahui.

11. Duitmu nggak habis ya buat jalan-jalan terus?
Selama pakai uang halal, bisa memanajemen anggaran dan selalu bersyukur, insyaallah rejeki itu selalu ada.

12. Kamu cuti bukannya pulang kampung ketemu emak, tapi malah jalan!
Orang tuaku sangat mendukung hobi dan impian saya. Siapa bilang saya tak pernah pulang kampung ketemu emak. Saya jadwalkan setahun 2 kali untuk pulang kampung. Sisanya untuk menjelajah~

13. Sejak kapan suka traveling? Dan siapa traveler favorit yang menginspirasimu?
Sejak saya bekerja. Traveler favorit yang menginspirasi sih tidak ada, saya terinspirasi traveling gara-gara ayat Al-Quran (lihat poin no 10) yang menggerakkanku agar segera melangkah di bumi Allah.


Mungkin ada pertanyaan tambahan dari pembaca, silakan saja. Insyaallah kalau ada waktu saya akan memperbaharui jawaban dan pertanyaannya. Maaf kalau banyak yang tersinggung, tapi itu memang jawaban apa adanya. Semoga terhibur :)

Berjalan sendiri bukan berarti kamu kesepian, tapi kamu pemberani !


0
Share
Tak banyak wisatawan yang mengetahui kota tersebut. Haarlem? Haarlem itu dimana? Haarlem Shake? Bukan, Haarlem adalah ibukota Nord Holland, di sebelah utaranya Amsterdam. Kota ini kecil, sepi, nggak ada wisatawan (karena memang jarang yang tahu). Jangankan wisatawan, penduduknya saja jarang terlihat karena rumah-rumah kebanyakan dalam kondisi tertutup.


Dari Amsterdam menuju Haarlem sangat mudah, tinggal cari kereta dari Amsterdam Centraal yang menuju Den Haag Centraal via Amsterdam Sloterdijk. Hanya beberapa stop saja akan sampai di stasiun Haarlem . Jarak tempuh hanya sekitar 20 menit saja.
Welkom naar Haarlem

Pilih Kereta dengan jurusan seperti diatas. Saat itu saya dapat di platform 2

Beruntung sekali saya mengikuti trip milik mbak Tita tersebut, bebas eksplor tanpa batasan waktu. Jadi saya eksplor ke kota sebelah sah-sah saja. Tak seperti paket tur biasa yang destinasi utama sudah ditentukan, dan kebanyakan itu-itu saja, sudah terlampau banyak dipadati turis ! Dan menurut saya kecil kemungkinan bisa eksplor ke Haarlem.
Stasiun di Haarlem, konon katanya yang tertua di Belanda



Sangat sepi

Oh ya kota Haarlem merupakan destinasi yang wajib aku datangi di Belanda, karena berdasarkan informasi yang aku dapat di internet, kota ini cantik, ada kincir tua Adriaan de Molen, dekat dari Amsterdam, dan sepi. Pas untuk jiwa-jiwa kesepian sepertiku. #eeaaa . Dan seperti biasa, yang khas dari Belanda adalah kanal. Di Haarlem pun ada kanal-kanal yang dilewati kapal dan canal cruise, dan menurutku kanal nya lebih lebar daripada di Amsterdam.
Jadi tak peduli saya mau kesana sendirian ya okee...
Jangan lupa untuk top up OV Chipkaart, karena naik kereta keluar kota harus memiliki saldo kartu minimal 20 Euro, jaga-jaga kalau misalnya ada pemeriksaan kartu, kalau ketahuan saldo dibawah 20 Euro kan gawat !
Adriaan de Molen
Canal Cruise, Tak Seramai di Amsterdam
Sebenarnya tujuan saya ke Haarlem adalah lihat kincir tua yang kurang terkenal tersebut. Kebanyakan orang tahu kincir hanya di Kinderdijk atau Zaanse Schans, saya tak mengunjungi kedua tempat tersebut karena malas berfoto dan terganggu oleh wisatawan lain.
Kondisi Haarlem saat itu memang benar-benar sepi, mendung, gerimis dan dingin. Warung-warung makan tutup, dan transportasi di kota itu hanya ada bus yang lewat beberapa menit sekali. Sempat senang ada warung makan Indonesia, sayangnya tutup juga :( Alhasil saya kelaparan keliling Haarlem sambil menahan sedikit pusing gara-gara dingin, lapar, dan jet lag perdanaku.
Warung Makan yang membuat kelaparan
Hanya berjalan sekitar satu kilo dari stasiun Haarlem, maka Adriaan de Molen (Molen dalam bahasa Indonesia artinya Kincir) pun kelihatan. Aku mempercepat langkahku agar bisa segera sampai sebelum hujan, tapi sayang hujan pun turun dan saya berteduh di halte bus bersama bapak-bapak dari Chili yang mengajakku mengobrol dalam bahasa Spanyol.

Syukurlah hujan tak lama kemudian reda. Saya berkeliling kota Haarlem yang sunyi tersebut, dan mencoba mendekati kincir angin tersebut dan mengamati dari dekat. Pengunjung dapat menaiki kincir, tapi pengunjungnya pun sepi. Saya memilih duduk di bangku-bangku pinggir kanal didekat kincir tersebut. Suasana masih mendung dan dingin, ditambah sendiri dan kondisi kelaparan karena tidak ada satupun toko yang buka. Menyedihkan? Bukan, bagiku itu syahdu !
Duduk-duduk saja
Sayang, saya tak bisa berlama-lama di Haarlem. Harus segera kembali ke Amsterdam untuk melanjutkan perjalanan ke Paris. Saya sangat merekomendasikan kota Haarlem untuk dikunjungi. Cantik sekali dan cocok bagi penikmat sepi!
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose