• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Setelah semalam 'numpang' di rumah Ingky di Bukittinggi, kini waktunya bertolak ke kosan Uni Yova di Baso, sekitar 45 menit dari Bukittinggi. Karena Uni Ingky harus bertolak ke perantauannya. 
Baso itu udah nggak masuk Bukittinggi, tapi masuk kabupaten Agam. Tetep saja udaranya dingin karena masih terletak dikaki Gunung Singgalang dan Marapi.
Jujur saya cukup bingung naik apa kalau jalan-jalan ke Bukittinggi? Mau naik motor pun motornya ngga ada. Jadinyaaa...sesuai arahan Uni Yova aku nekat ngangkot dari Baso ke Bukittinggi.
Pertama naik angkot warna Biru, turun di Terminal Aur Kuning, dengan ongkos lima ribu rupiah. Aku sih memberanikan diriku, insyaallah aman-aman saja. Tentu saja google maps di tanganku dalam posisi on terus, takutnya nyasar atau kebablasan.
Setelah turun di Aur Kuning, langsung aku naik angkot no 13 (tulisannya tigo baleh) warna merah. Turun di Pasar Atas (aku masih ingat kata-kata Ingky kalau Jam gadang termasuk kawasan Pasar Atas).
"Pasa Atas Nii?" tanya sopir angkot tigo baleh padaku.
Aku ngangguk aja, masih kagok gitu lah walaupun paham maksudnya.
"Surang nii? Karajo di siko?" Tanyanya lagi.
Duh mati, kali ini artinya apa coba? Hahaha. Dengan konyol aku meniru kata-katanya sambil mengrenyitkan dahi.
"Suraang?" 
Abang sopir kebingungan, lalu ia berhasil menerka kalau aku ternyata bukan orang Minang. Dan obrolan pun mengalir begitu saja.
"Uni belajar baso Minang, gampang aja kok, kayak bahasa Indonesia,"
"Sikit-sikit bisa bang,"
"Tuh bisa!" serunya sumringah.
"Ado nak kawan karajo di siko..." kataku percaya diri, tapi bingung mau ngelanjutin apa lagi. Si abang makin senang mendengarkan aku berbahasa Minang walaupun terpatah-patah dan dicampur bahasa Indonesia.
Perjalanan dengan angkot tigo baleh pun diiringi lagu-lagu Minang sepanjang jalan...

Aku turun di kawasan pertokoan, mau beli makan siang terlebih dahulu. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke Lobang Jepang. Menurut Google Maps jalan kaki hanya 7 menit. Ah dekat ! Tapi tetap saja aku kebingungan dan tanya warga sekitar.
Persiapan Uji Nyali
Ternyata Lobang Jepang, Ngarai Sianok dan 'Tembok Cina' itu jadi satu di Taman Panorama. Cukup membayar lima belas ribu rupiah, maka bisa mendapatkan semuanya. Sambil menenteng tripod pink dengan pedenya aku menuju Lobang Jepang.
Saingan Sama Mister Tukul
Karena hari Senin, jadi tempat wisata cukup sepi. Lobang Jepang pun sepi. Aku melihat turunan tangganya cukup curam dan remang-remang, angin dingin pun silir-silir mengalir. Setelah melakukan pemanasan sambil membaca peta, aku pun memberanikan diri turun kebawah, sendirian.
Baru beberapa langkah, aku menoleh keatas, belum ada orang yang turun. Hatiku makin deg-degan. Mau putar balik tubuh, tapi tanggung sudah jauh-jauh kesini. Ya sudah aku nekat turun ke lorong gelap yang kabarnya tempat romusha itu. Didalam dingin, aku makin deg-degan. Mau maju kedepan kok gelap? Yang terdengar hanya gema langkah kakiku saja. Aku menatap ruang amunisi yang gelap, dan hanya ada bayanganku saja. Perbanyak berdoa kalau tak ada apa-apa. Belum lagi teringat cerita penampakan tentara jepang yang membuat uji nyali siang hari ini makin terasa mengerikan.
Cukup seram bukan? Khukhukhu.....
Disaat 'horor'  seperti ini aku masih sempat foto dengan self timer. Berharap semoga tak ada yang ikut berfoto.
Karena aku mendengar langkah cukup ramai didepan sana, maka aku nekat melangkahkan kaki kedepan. Ternyata ada sekelompok anak sekolah bersama satu pemandu. Tapi aku melanjutkan perjalanan hingga lorong penjara. Karena makin takut aku berbalik diri, mau kembali!
Ruang Amunisi
Konon dibawah ruangan ini ada mayat-mayat pekerja yang dibuang
Tak kusangka saat perjalanan kembali ternyata ada rombongan cowok-cowok yang terheran-heran melihat cewek aneh berjalan sendirian di tempat horor kayak gini. Lalu sang pemandu menghampiri kami dan menemani kami menjelajah Lobang sambil menjelaskan sejarahnya yang cukup mengerikan, mulai dari penyiksaan, pembunuhan, hingga ditendang jatuh ke ngarai. 
Perjalanan Bersama Lima Lelaki yang Baru Dikenal
"Uni berani, cowok sendiri aja nggak pasti berani, takuik!" Puji sang pemandu. Aku cuma nyengir.
Puas menjelajah Lobang Jepang, aku dan rombongan cowo-cowo yang keturunan Banjar itu menuju ke Janjang Koto Gadang, 'Tembok Cina' nya Bukittinggi. Jalan kesanapun cukup melelahkan, naik turun, belum lagi naik ke 'Tembok Cina' nya, cukup melelahkan karena tinggi! Lumayan untuk pemanasan Kerinci.Pemandangan ngarai pun menjadi sajian utama dari Janjang Koto Gadang, capek dan kesal pun menghilang entah kemana. Yah, sudah jauh dan mahal ke Sumbar, mengapa nggak habis-habisan saja? Hahaha !
Ngarai Sianok
Jembatan Menuju Janjang Koto Gadang
Jangan Salah Fokus
Janjang Koto Gadang
Setelah bertemu teman baru di Taman Panorama, aku memutuskan kembali ke Baso. Rencana awalnya aku bareng mereka, tapi karena mobilnya bermasalah, maka aku hanya numpang sampai pasar atas dan naik angkot kembali ke Baso. Nggak berani pulang terlalu malam, takut nggak dapet angkot juga sih nantinya.
Pengalaman hari ini sungguh luar biasa. Berpetualang di tempat orang sendiri, bertemu kawan-kawan baru, berinteraksi dengan warga lokal, dan uji nyali di Lobang Jepang. Sayangnya, hari itu telah berlalu. Kenapa ya hari yang menyenangkan terasa begitu cepat berlalu? Haha.
0
Share
Sudah bukan rahasia umum lagi kalau bumbu-bumbu masakan Padang itu joss banget dilidah. Terasa rempah-rempahnya. Tak terkecuali di Bukittinggi, lidah Jawaku pun harus membiasakan makanan dengan citarasa Minang selama disana. Apa saja contohnya? 

1. Sate Danguang-Danguang
Abang Penjual lagi sadar kamera
Kata Ingky memang bukan khas Bukittinggi, tapi Sate yang terletak di Jalan M Syafei (daerah stasiun) sempat menjadi menu makan malam kami. Tampilannya memang mirip sate. Ada yang sate jantuang, lidah, jerohan atau daging. Bumbunya sedikit pedas, tapi rasanya enak banget! (bumbunya yang enak) Biasanya dimakan dengan ketupat (katupek) dan taburan bawang goreng renyah. Lebih joss lagi diminum dengan bandrek, biar bisa menghangatkan tubuh dimalam dinginnya Bukittinggi.
Satu porsi sate Danguang-Danguang dihargai ampek baleh ribu rupiah (Empat Belas Ribu).
Nyaaam...

2. Nasi Pical
Kamek juo bang :D
Nah, kalau nasi pical ini rasanya mirip dengan pecel-pecel di Jawa. Ada sayuran, katupek, karupuak dan ada mi-nya. Satu porsi dihargai lima belas ribu rupiah. Nasi pical menjadi menu sarapanku setelah menjelajah pasar lorong dan membeli pical di Pasar Los Lambuang.
Pakai mie
3. Nasi Kapau
Nasi Kapau, ada tanbunsu yang menggemaskan
Nasi yang aku kira mirip dengan nasi Padang. Ternyata enggak! Bumbunya terasa beda dan porsinya lebih banyak. Aku lihat ada usus gede bumbu kuning paling menarik perhatianku disana selain lauk-lauk lainnya yang disusun bertingkat dimeja dan penjual mengambil lauk pauk dengan entong yang bergagang panjang. Usus gede itu ternyata adalah usus sapi yang diisi oleh telur dan dikenal dengan nama tanbunsu. Satu porsi nasi kapau dihargai 25 ribu rupiah. Nasi Kapau banyak ditemui di Pasar Los Lambuang saat pagi hari, banyak lapau Nasi Kapau, Seperti Ni Er, Ni Linda, Ni Cah, dan lain-lain. Nasi Kapau ini khasnya Bukittinggi loh! Asal jangan kalap saja ya, ingat kolesterol! 
Menurut Teman-teman, kalau Nasi Kapau dibungkus (tidak dimakan di tempat) porsinya bisa lebih banyak loh! Huaaa..
Banyak Ni-Ni
Banyak Macam Lauknya
Demikian tiga macam kuliner yang sempat aku cicipi di Bukittinggi, yah semoga bisa menjadi referensi bagi temen-temen ya !
0
Share
Setan traveling mulai merayapiku kembali. Ia berhasil membuatku nekat ngacir sendiri ke Sumatera Barat. Yah memang ada niatan ke Kerinci, tapi kemarin sekalian mampir ke Bukittinggi karena akses ke Kerinci lebih dekat melalui Sumbar. Jadi 3 hari (mulai tanggal 1 Oktober- 3 Oktober) saya stay di Bukittinggi. Kebetulan di sana ada kawan satu angkatan saat diklat dulu.
Bukittinggi, Kota Impian untuk Dikunjungi (pakai tripod fotonya karena jomblo)
Perjalanan panjang dari Bontang ke Bukittinggi cukup melelahkan. Berangkat 30 September pukul 10 malam WITA untuk menuju bandara Sepinggan selama 6 jam, lalu dilanjut pesawat ke Jakarta 2 jam. Transit selama 2,5 jam di CGK lalu lanjut terbang ke Padang selama 1,5 jam. Ditambah lagi bawa keril seberat 15 kilogram ! Sendirian pula! 
Saya memilih penerbangan paling pagi supaya sampai di Padang tak terlalu sore. Sekitar jam 12 WIB sudah landing di Padang, dan masih nunggu angkutan yang membawaku ke Bukittinggi penuh dahulu, sekitar 1 jam lah :D
Di Ranah Minang ini roaming-ku dimulai. Mirip seperti saat traveling ke Makassar, kanan kiri menggunakan bahasa daerahnya. Ehm, dengan berbekal sedikit pelajaran bahasa Minang dari temenku saat diklat dulu, aku memberanikan diri untuk mengaplikasikannya walaupun dengan logat Suroboyoan. Ah bodo amat, yang penting kelihatan Minang-nya !
Perjalanan menuju Bukittinggi membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan tarif travel 50 ribu rupiah (ini jauh lebih murah dari Kaltim). Saya yang baru pertama menginjakkan kaki di Sumatera terkagum-kagum. Dikelilingi perbukitan hijau nan sejuk dan tak terlalu ramai membuatku tak kuasa tidur sepanjang perjalanan walaupun tubuh terasa sangat lelah. Travel yang ditumpangi sempat berhenti di rumah makan padang, dan disinilah kemampuan bahasa Minang saya mulai diuji, cukup kagok saja bayar makan sambil ngomong Minang logat Suroboyoan.
"Nggg...nasi ciek, teh manih ciek, karupuak tigo, barapo Ni?" Kataku dengan pede.
"Anam Baleh,"
Untungnya aku tahu itu berapaan, haha.
Atap Banjuang Dimana-Mana
Perjalanan makin mengasyikkan ketika menembus perbukitan sejuk dan air terjun di Lembah Anai. Tak lama kemudian memasuki kota Padang Panjang. Atap banjuang khas Minang pun terlihat dimana-mana. Perkantoran, toko, sekolah semuanya menggunakan konstruksi atap khas Minang tersebut.
Jembatan Limpapeh
Jam Gadang yang Legend
Travel yang membawaku aku minta berhenti di pintu keluar terminal Aur Kuning, karena temenku Uni Ingky yang asli Bukittinggi hendak menjemputku disana.
Jam Gadang Malam Hari
Bukittinggi sangat sejuk, tentu saja. Alasannya karena berada di kaki gunung Singgalang dan Marapi. Saya yang biasa hidup di daerah tropis kedinginan. Jaket tak pernah lepas dari tubuhku.
Karena saat itu malam Minggu, maka pusat kota Bukittinggi ramai. Ditambah ada pengajian malam 1 Muharram. Oh ya, pusat kotanya terletak di Jam Gadang, dan di sekelilingnya banyak pusat perbelanjaan, dari Mall hingga Pasar Atas. Aku dan Ingky makan malam sate Danguang-Danguang di dekat Jam Gadang (untuk kisah lengkapnya tentang kuliner dapat disimak di post selanjutnya).
Sayang sekali saya belum sempat berjalan di jembatan Limpapeh yang menghubungkan Kebun Binatang dan benteng Fort de Kock karena saya sudah cukup teler berjalan di sekitar pusat kota. Tempat wisata di Bukittinggi terpusat di sekitar Jam Gadang, jadi kita bisa berjalan kaki saja mengelilinginya. Seperti Ngarai Sianok, Benteng Fort de Kock, dan Lobang Jepang. Jadi cukup memudahkan wisatawan jomblo dan pas-pasan seperti saya, haha. Tak perlu kebingungan mencari transportasi umum, cukup dengan sepasang kaki saja.
Kalau Capek ada Kuda, hieee
Kesan awal Bukittinggi? Bukittinggi itu seperti Kota Batu kalau di Jawa Timur. Menyejukkan hati dan pikiran.Rasanya pikiran jadi lebih sehat melihat perbukitan, perkebunan dan gunung yang selalu berdampingan, Singgalang dan Marapi yang memberikan kesejukan dan kesuburan di sekitarnya.

Tips di Bukittinggi :
1. Banyak travel dari Bandara Internasional Minangkabau Padang ke Bukittinggi. Usahakan hubungi terlebih dahulu daripada kebingungan cari di Bandara. Kemarin saya pakai ErTe Travel, mobilnya Avanza, sesuai rekomendasi dari temanku.
2. Roaming? Takut ditipu? Nggak kok, warga disana ramah terhadap pengunjung.
3. Tempat wisata di Bukittinggi terpusat di sekitar Jam Gadang. Cukup andalkan Google maps, sepasang kaki dan tanya ke warga sekitar. Kalau ingin keliling kota bisa naik angkut warna merah, angkot nomor 13 (tulisan di angkotnya tigo baleh). Tarifnya empat ribu rupiah sekali jalan.
4. Yang nggak betah adem jangan lupa bawa jaket ya!
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose