• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Mungkin, dengan adanya konsep Pelabuhan modern seperti ini, pikiran berdesak-desakan saat  hendak menaiki kapal laut tidak ada. Bagaimana tidak, setiap penumpang yang akan bepergian dengan kapal laut dihubungkan dengan garbarata dari gate pelabuhan menuju pintu masuk kapal penumpang. Lalu siap untuk mengarungi samudera untuk menuju destinasi selanjutnya.
Masih Lengang

Ya, dengan konsep baru nan modern pelabuhan Tanjung Perak yang gaulnya disebut Gapura Surya Nusantara, penumpang tak perlu khawatir mengalami pengalaman kurang menyenangkan seperti diatas, dan juga desain pelabuhan penumpang yang dibangun oleh PT Pelindo IV yang berkapasitas 4000 penumpang ini sudah setara dengan bandara. Bersih, dilengkapi dengan eskalator, air conditioner dan ornamen-ornamen ala 'bahari' serta warna-warna ocean blue.
Arsitekturnya Ocean Banget ya


Ornamen Bubbles di langit-langit ruang tunggu
Saya berkesempatan mengunjungi Gapura Surya Nusantara bersama adik saya. Kebetulan letaknya juga tak terlalu jauh dengan rumah nenek saya, eh sampai disana pukul 10.30 WIB ternyata akses menuju rooftop Surabaya North Quay Belum dibuka, dan baru dibuka pukul 11.00 WIB, dan itu gratis, tanpa dipungut biaya.
Berpura-pura telepon yang ada di kapal


Suasana Rooftop SNQ

Karena hari Sabtu, ada beberapa pengunjung dari luar kota yang sekedar datang untuk berfoto atau bersantai bersama keluarga. Kebetulan saat itu ada KM Sirimau yang sedang bersandar, jadi saya asyik mengamati bongkar muat penumpang yang mengingatkanku pada 18 tahun silam, ketika saya merapat di Tanjung Perak dengan KM Umsini dari Ternate. Waktu tempuh sekitar 7 hari di lautan, dengan transit Manado, Makassar, Balikpapan, dan Surabaya. Waktu itu pelabuhan Tanjung Perak belum semegah sekarang, turun dari kapal pun rebutan, dan saya ingat betul saat itu sempat terjepit penumpang lain dan ditarik turun paksa sama almarhum kakek saya.
Photo Corner

Foodcourt di lantai paling atas
Di rooftop Surabaya North Quay, terdapat foodcourt, tapi sayangnya masih belum buka karena saat itu kami menjadi pengunjung pertama. Jadi kegiatan saat itu hanya gantian foto-foto sama si adik sambil mengamati kapal peti kemas yang berlalu-lalang.
Pelabuhan Tanjung Perak, menjadi mesin waktuku 18 tahun silam, dimana perang agama di Maluku meletus, lalu sekeluarga memutuskan pindah ke Jawa dengan kapal penumpang yang penumpangnya overload, daan....semua berputar jelas saat itu.

(Gambar diambil dengan Sony Xperia Z5 Compact dan YiCamera 2)
0
Share
"Saya mencium bau-bau petualangan di Sangatta"

Apakah petualangan aneh saya berhenti begitu saja ketika mendapat tanggung jawab yang lebih besar? Mungkin tidak.

Tampak Dari Kejauhan
Justru kini bermukim di kota baru, malah makin gencar dan gatal mencari destinasi unik yang jarang dieksplorasi, dan tentu saja sedikit ada tantangan.
Kali ini, saat saya mendapat kesempatan ke Muara Wahau (lagi). Entah mengapa salah satu unit kerja dibawah PLN Sangatta ini mampu membiusku untuk sering mengunjunginya. Alasannya sederhana; LENGKAP. Maksudnya adalah lengkap wisatanya, mulai dari wisata alam dan wisata budaya.
Rencana awal kami mengunjungi Muara Wahau memang untuk berdinas, hanya saja kami tergoda dengan hari esok yang kebetulan jatuh di hari Sabtu. Wah hari  libur dong? jadinya rencana awal yang harusnya tidak bermalam di Muara Wahau, jadi bermalam dan lanjut ke hari Sabtunya, tentu saja dengan iming-iming 'main' ke air terjun di km 53 atau Karst Kongbeng.
Jadinya usai bertugas di hari Jumat, kami berburu durian lokal dan lanjut ke jembatan gantung Nehas Liah Bing.
Saya bertemu dengan Rustam, warga Miau asli yang pernah saya tulis di postingan sebelumnya. Pria bertubuh gempal itu menginformasikan bahwa akan diadakan acara untuk penyambutan kedatangan menteri di Miau. Sayang acaranya jatuh pada hari Jumat, dan itu masih jam kantor.
Karena malam harinya hujan turun cukup deras, maka niat untuk menunjungi air terjun lenyap sekeita, mengingat jaraknya yang cukup jauh dan jalur yang dilewati merupakan jalur logging PT Narkata Rimba yang berupa tanah merah, dimana ketika terguyur hujan akan merubah menjadi tanah liat yang super lengket. Jadinya kita beralih ke tempat wisata lain, yaitu Karst Kongbeng (masih masuk dalam kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat) yang akses jalannya masih memungkinkan untuk dilalui.
Sungai Kecil Di Gua Kongbeng
Kalau ditempuh dari Sangatta,menuju Karst Kongbeng yang terletak di Desa Kongbeng Indah dapat dilalui lewat simpang payung (ada gapura khas pahatan bali). Masuk ke kanan (ada petunjuk juga kearah Gua Kongbeng) dan ditempuh sejauh 12 km (kurang lebih 45 menit) dengan kondisi jalan ada yang baik, berbatu, maupun becek.
Pintu Masuk

Mulut Gua Angin
Untuk tiket masuk? Gratis. Walaupun hari libur tapi pengunjung hanya kami berempat saja, lalu disusul dua pengunjung dari Tenggarong, mereka hanya berfoto saja dan kembali. Tapi tidak bagi kami, rasa penasaran pun menjebak kami untuk eksplor ceruk-ceruk gua yang terdapat disana. Gua yang pertama kami kunjungi adalah Gua Angin. Mengapa disebut gua angin? Karena saat kita berdiri di mulut gua, maka kita akan mendapati angin berhembus dari mulut gua, angin plus bau guano, alias kotoran keleawar. Awalnya sempat mual dengan bau kotoran yang mengandung fosfat dan potassium tersebut, tapi akhirnya terbiasa juga.
Sayangnya kondisi gua kotor, banyak sampah berserakan, banyak vandalisme dan gambar-gambar mesum. Dan tentu saja banyak terdapat bungkus obat batuk cair dan minuman berenergi. Wah cocok, untunglah saya tak menemukan bungkus atau jejak jejak alat kontrasepsi disana, haha.
Nampaknya gua angin merupakan gua terbesar dan terdalam, kami tak masuk sampai dalam, karena tampak menakutkan juga. Selain itu kondisi juga lembab dan licin. Kami hanya asyik berteriak dimulut gua sambil mendengarkan gema-gema yang memantul kembali.
Kami naik menuju gua yang lain, terdapat plang penunjuk dengan nama gua padi. Dengan sedikit berhati-hati  kami naik ke gua selanjutnya. Ternyata kondisi gua tersebut lebih terang dan asyik buat berfoto. Langit-langitnya tinggi, stalagtit dan stalagmit beraneka bentuk terdapat disana. Deposit mineral tersebut terus-menerus meneteskan air sehingga ukuran bertambah panjang. Tak hanya material tersebut yang kami temukan, tapi juga jejak-jejak manusia ditemukan disana-sini (baca : sampah). Saya tak tahu pasti ada berapa jumlah gua di Karst Kongbeng tersebut, akan tetapi jejak-jejak manusia purbakala tak kami temui disana (seperti cap tangan atau yang lain).
Bergaya di Gua Padi?
Sempat Kukira Kuburan

Gua kedua ini tak terlalu dalam, kami bisa memasukinya bermodalkan senter ponsel. Di tengah-tengah gua kami menemukan semacam altar umat Hindu yang tersusun dari bebatuan pipih dan diselimuti dengan kain putih dan kuning serta sisa-sisa sesajen dan peralatan sembahyang.
Saat itu, si Asad ngajakin kami naik ke puncak karst, karena penasaran aku iyakan saja, dan tak kusangka lainnya pun ikut mengiyakan. Jadinya kami nekat menuju puncak lewat jalur disebelah Gua Angin. Treknya lumayan menantang, terjal 60 derajat hingga 'panjat tebing' 90 derajat ! Ya, benar-benar 90 derajat dengan bebatuan karst yang cukup kasar dan tajam untuk dipanjat. Setengah mati naiknya.
Manjat dengan Sepatu Safety

Pecinta Alam Kagetan
Suasana di 'pos' paling mentok
Sekitar 6 meter dinding karst sudah kami lalui. Kakiku gemetaran dan keringat mengucur deras. Tanjakan masih menantang didepan. Setelah beristirahat sebentar kami lanjutkan melibas tanjakan, dan ternyata perjalanan tinggal sedikit lagi tapi tak kami lanjutkan. Bukan karena lelah, tapi memang medan terlalu terjal, licin dan berbahaya. Kami berpikir dua kali sebelum melanjutkan, sebelum celaka konyol dan masuk portal berita. Terlebih lagi kami memanjat apa adanya, tanpa karmantel, harness, webbing dan karabinner. Jadinya kita hanya puas berfoto di pos pemberhentian yang bagi kami cukup tinggi tersebut. Pemandangan berupa perkebunan sawit terhampar luas dan tower-tower karst yang menjulang.
Fantastic Four ?
Perjalanan turun pun lebih menantang. Lutut sudah gemetar, dan tenaga sudah habis sedangkan masih dituntut berkonsentrasi untuk menuruni turunan 90 derajat tersebut. Alhamdulillah semuanya selamat, dan siap melanjutkan perjalanan ke Sangatta.
0
Share
Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk menjelajahi tempat-tempat baru untuk bahan pembaharuan postingan di blog. Semenjak saya mendapat surat mutasi tugas ke kota sebelah, Sangatta, rutinitas saya terasa makin padat dan selain sibuk pindahan plus adaptasi dengan suasana baru,  waktu untuk eksplorasi makin berkurang. Yah, semoga saja di Sangatta saya mendapat banyak teman baru yang lebih seru untuk diajak eksplorasi ya !
Pintu Masuk Hotel

Noni Belanda cari jodoh
Waktu Idul Fitri 1438 H menjadi momen yang tepat untuk sekedar pulang kampung, ketemu orang tua dan saudara. Hm, tentunya kalau aku tak cukup itu saja, kalau silaturahmi sudah biasa saat lebaran, maka saat untuk mengunjungi tempat keren pun menjadi agenda yang luar biasa di lebaran kali ini. Surabaya, kota pahlawan, banyak situs -situs kuno peninggalan jaman penjajahan Belanda, salah satunya adalah Hotel Majapahit (dahulu bernama hotel Yamato/Oranje, dan kabarnya telah beberapa kali ganti nama). Dari dulu saya penasaran akan arsitektur unik di hotel yang terletak di Jalan Tujungan dan dekat dari rumah nenek tersebut, sebelumnya saya memang pernah memasuki hotel tersebut karena ada acara konser musik klasik, akan tetapi belum sempat menjelajahi setiap sudut hotelnya.
Emak gua
"Ibu pernah nginap disana. Kamarnya luas, perabotannya antik, kuno. Terkesan horor." Jelas ibuku yang berkesempatan menginap disana sekali. Ya, aura seram dan lawas memang kental terasa saat berjalan di lorong-lorong tuanya. berbagai perabotan jaman baheula terpajang di semacam ruang tamu didepan Balai Adhika, seperti gramophone, setrika arang, piano, meja marmer, serta lukisan mevrouw dan meneer versi grayscale. Uh seram, rasanya setiap langkahku dilirik mereka berdua. *ngacir*
Gramophone dan lorong tua

Nah...ini dia Meneer dan Mevrouw yang Bikin Bergidik. Wajahnya bisa dibuka tutup untuk berfoto ria

Terlepas dari kisah antiknya, hotel ini merupakan hotel paling historis bagi warga Surabaya, bahkan Indonesia. Bagaimana tidak, perang di Surabaya yang dipicu oleh tertembaknya Jendral AWS Mallaby dan kisah heroik arek-arek Suroboyo yang merobek warna biru di bendera Belanda yang berkibar di puncak hotel Yamato tanggal 19 September 1945. Ya, mereka ingin sang Dwi Warna yang berkibar disana, bukan bendera Belanda! Mungkin hampir seluruh buku IPS menampilkan gambar heroik tersebut.
Classic Garden

Sebelumnya saya cukup ragu, bolehkah iseng tiba-tiba masuk ke hotel buat foto-foto. Hm, tapi hotel Majapahit kan heritage site of Surabaya, mengapa tidak diijinkan masuk? Dan benar saja, saya bisa masuk begitu saja bersama sang ibu yang fotogenik dan bapak, lalu sibuk mencari spot foto di hotel berbintang lima tersebut. Bagi yang mau menginap, rata-rata kamar memiliki room rates senilai diatas satu juta rupiah. Untuk president suites bisa mencapai empat juta rupiah !
President Suite

Suasana disaat Senja


Halaman Berumput yang membuatku ingin berguling ria


Dan ternyata, saya sangat betah berada disana. Jauh sekali dari kesan angker. Taman berumput yang luas dikelilingi oleh bangunan tua berkaca mozaik, air mancur dan pepohonan tua yang rindang. Uh, rasanya saya ingin bergulung dan berlari di rerumputan bak permadani tersebut. Sungguh indah dan menyejukkan berada di hotel yang menjadi impianku untuk mengunjunginya tersebut. Hotel ini benar-benar bagaikan time machine bagi pengunjungnya, seakan-akan membawaku kembali ke satu abad yang lalu.
Spot jam Kuno yang siap membawamu ke masa lampau
Naik ke lantai dua, saya menemui spot keren banget dengan jam analog besar yang masih berfungsi dengan baik. Dan kelanjutannya sudah bisa ditebak, saya dan ibu rebutan foto dengan gaya terbaiknya. *norak ya?*
Yang paling lucu, ketika saya mencoba toiletnya, baru masuk sudah disambut dengan bau wangi khas, lalu sempat kebingungan mencari tuas untuk penyiram, daaan ternyata...tuas tersebut tergantung diatas! Bukan tertempel di bak penampungan air seperti biasanya. Benar-benar toilet yang unik, kloset yang dipakai pun modelnya kuno, merk SANITAN, nah...apa itu? Bahkan tempat pantatnya pun terbuat dari kayu !

Wastafel Antik

Toiletnya, hehe
Kami berkeliling di Hotel Majapahit hingga Maghrib datang menjelang. Lampu-lampu lorong pun dinyalakan. Suasana makin terasa mewah dan unik. Sesaat saya merasa seperti menjadi noni Belanda di Eropa abad ke 20 masehi.
Pengunjung pun bisa berfoto diluar hotel...dengan suasana seperti di Paris *plakk*
Yah, hotel ini...bagiku tak hanya menyimpan kisah heroik, tapi juga historis dan romantis!

Foto diambil dengan kamera Sony A6000 dan Sony Xperia Z5 Compact



0
Share
Siapa yang tak berdecak gembira dapat panggilan dinas satu minggu (Une membacanya liburan dan jelajah tempat baru) di Banjarbaru, kota yang hampir setahun yang lalu pernah aku kunjungi dalam kunjungan singkatku. Lagi-lagi spot yang dikunjungi ketika berada di luar kota adalah TAHURA, alias Taman Hutan Raya. 
Berawal dari kopi darat sederhana bersama rekan kerja yang bernama Hendra (nama sebenarnya) dan saat ini bertugas di Bangkanai, aku merengek untuk minta petunjuk jalan ke arah bukit Telang di Pelaihari. Sayangnya ia menolak untuk mengantarkanku kesana dengan alasan lupa jalan dan hendak kembali ke tempat kerjanya.
"Duh sori Une, aku lupa jalan, besok juga aku mau balik ke Bangkanai, jauh pula !" keluhnya sambil membayangkan betapa ngeri dan jauhnya jalan ke Bangkanai.
"Atau mau ke Mandiangin saja?" Tawarnya memberikan opsi. "Kalau kesana insyaallah aku masih ada waktu buat nganterin."
"Mandiangin Riam Kanan?" Timpalku.
"Iya searah dengan Riam Kanan, tapi nanti ambil belokan yang kanan, ada tulisan Taman Hutan Raya Sultan Adam." Lalu Hendra menggeser-geser layar ponselnya, seperti mencari sesuatu. "Pas itu kami kesana sama travel blogger seperti ini kondisinya."
Mataku berbinar. Pemandangannya sungguh keren, seperti negeri diatas awan, mirip Puncak B29 di Lumajang. 
Jajaran bukit, dibaliknya terdapat Riam Kanan
"Iya! Iya! Kesana saja!" Pintaku penuh harap. Berharap dapat berfoto diatas kabut tipis menggumpal seperti gambar yang ditunjukkan Hendra padaku. Tentu saja, seperti biasa aku tak akan membiarkan hari liburku terbuang sia-sia. Apalagi untuk ke Banjarbaru, hari Sabtu aku sudah stay, padahal acaranya masih hari Senin.
Kondisi Jalan sudah bagus
"Tapi untuk mendapatkan view seperti itu untung-untungan. Saat itu sehari sebelumnya hujan deras, eh besoknya muncul kabut seperti itu, mendung juga." kata Hendra memperingatkan agar aku tak terlalu kecewa apabila tak mendapatkan view seperti itu.
"Lalu, apa Banjar masuk musim hujan saat ini?" tanyaku.
"Terkadang hujan sih. Tapi coba saja kita kesana. Kalau kesana dekat saja, aku masih bisa nganterin. Jadi besok jam berapa? Jam 5 habis subuh kujemput ya,"tawarnya. Tanpa berpikir panjang langsung kuiyakan penawarannya.
Para Pemburu Kabut Sutra Ungu
Tepat jam lima pagi aku dijemput Hendra. Jalanan masih sepi, sayup-sayup masih terdengar doa-doa selepas subuh yang dilantunkan di masjid-masjid yang kami lalui. Motor Hendra melaju membelah jalanan subuh menuju Mandiangin yang ditempuh selama 45 menit. Dari bundaran Banjarbaru, tinggal lurus saja kearah Mandiangin,
Sampai pintu gerbang Tahura, kami ditarik karcis per-orang lima ribu rupiah. Penjaga mengatakan bahwa kami bisa mengendarai motor hingga puncak repeater, puncak tertinggi Tahura.
"Beruntung, dulu kami kesini hanya diperkenankan bawa motor hingga warung-warung dekat kolam pemandian. Lalu berjalan ke Puncak Repeater setengah mati." kata Hendra.
Kolam, yang katanya pernah memakan korban
Aku celingukan sambil merapatkan jaketku melihat jurang-jurang dibawahku. Mana kabutnya? Kok cuma sedikit? Nggak menggumpal? Batinku sudah sedikit kecewa.
"Kita mau foto-foto dimana?" tawar Hendra sambil memberhentikan laju kendaraannya di pinggir pos yang banyak orang mendirikan tenda dan berfoto ria.
"Kamu dulu dimana? Yang banyak kabutnya itu lo," aku mulai merujuk tentang kabut. Tak henti-henti memburu sosoknya.
"Ya disini, Une. Dulu jam segini kabutnya sudah banyak, atau mau lanjut ke Repeater?" hiburnya sambil menunjuk puncak yang makin banyak orang mendirikan tenda. Aku mengangguk.
Panorama dari Puncak Repeater
Menuju puncak repeater membutuhkan treking ringan selama sepuluh menit dari tempat parkir. Di puncak sudah terdapat banyak muda-mudi pemburu sunrise dan kabut sepertiku.
Tampaknya, sang kabut masih jauh di pegunungan sana. Sinar keemasan mulai menembus cakrawala. Matahari akan segera terbit. Namun perlahan, sang kabut mulai merangkak mendekati puncak repeater. Aku terpana, dan segera mengambil kamera ponselku. Sedikit kecewa karena tidak membawa mirrorless kesayangan. Dari puncak tampak perbukitan yang berbaris dan Riam Kanan.
"Kabutnya sudah sampai di pos tempat kita berhenti tadi," Ujar Hendra. "Apa mau turun sekarang?"
"Iya, cepat. Keburu hilang!" Ujarku semangat sembari berlari menuruni puncak repeater, bak anak kecil yang kegirangan bertemu dengan kabut bersulam emas dari sinar matahari pagi.


Menyibak Semak
Aku dan Hendra mencari spot menarik sambil menyibak semak-semak yang menutupi langkah kami. Ya, aku ingin lebih dekat dengan sang kabut emas itu. Hendra berujar, betapa beruntungnya aku bisa menemukan dua keajaiban Tahura sekaligus, yaitu kabut emas dan matahari terbitnya yang menakjubkan !
Ketupat Kandangan vs Ikan Gabus (Haruan)
Tentu saja perut kami keroncongan pasca melakukan trekking ringan. Kami memilih melepaskan rasa lapar dengan menyantap ketupat kandangan di Martapura, warung langganan Hendra.
Kabut bersulam emas, aku kan selalu merindunya !
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Better Healing in Teluk Lape and Malahing
    Wisata bahari di Bontang dimana saja? Beras Basah? Itu sudah sangat-sangat biasa. Segajah? Ya itu salah satunya, tapi kali ini karena mengaj...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose