• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Merupakan sebuah hal yang wajib ; Cuti dengan membawa sepeda. Alasannya sederhana, karena rute untuk bersepeda disekitar kampung halaman cukup banyak, dengan menawarkan pemandangan yang sangat menarik. Walaupun pada awalnya perjuangan membawa sepeda kedalam pesawat membutuhkan perjuangan dan effort yang cukup besar.

Apalagi kalau bukan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang berjarak hanya sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor dari rumah. Taman Nasional ini cocok untuk dikunjungi orang-orang dengan berbagai macam hobi, sebut saja bersepeda, mendaki gunung, fotografi, trail running, hingga cocok untuk melepaskan rasa galau disini. Daaaan, akupun sebenarnya terpancing rasa iri gara-gara melihat foto-foto rekan gowes yang sering berkeliaran di media sosial. Uh! Memang lebih baik tampaknya kalau hidup ini tanpa media sosial. Dijamin tak akan ada rasa iri yah, hehehee...
Kepada siapa lagi aku lemparkan ajakan gowes ke Jemplang kalau bukan kepada Mas Eko. Ia mengiyakan ajakanku dengan mengajak dua rekan lainnya.
"Berangkat pagi, jam 3 lah." Ujarnya. "Nanti kita shalat subuh di Ranupani saja."
Pos TNBTS Lumajang
Perjalanan menuju Ranupani ternyata membutuhkan waktu dua jam. Pukul lima kami sampai disana dengan kondisi langit yang sudah terang, sehingga shalat subuh pun kesiangan. Padahal biasanya di Kaltim pukul lima masih gelap gulita !
Kami berfoto sejenak di pinggiran danau Ranupani, bergulat dengan suhu sekitar 10 derajat celcius. Dan kemudian lanjut menuju Jemplang, untuk sekedar ngopi maupun nge-mie mengisi tenaga serta menghangatkan badan sebentar.
Panorama Sebelum Jemplang
"Nah ini, setelah ini masuk aja turun kebawah," Ujar Mas Eko menunjukkan jalan tanah berbatu setelah tulisan Jemplang. "Nanti ada beberapa spot untuk berfoto, kita berhenti disana."
Awalnya jalan rolling flat, datar, lalu turunan ringan berbatu dan berdebu karena menurut info warga sekitar tidak turun hujan. Lalu kutemui jalur yang menanjak ringan dan berbatu. Sangat ringan. Yang aku rasa bisa melewatinya, karena selama perjalanan hobi gowesku ini, tanjakan yang lebih tinggipun bisa aku lampaui. Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga kali kayuhan nafasku sudah terasa sangat sesak dan terengah-engah. Tenggorokanku mendadak super duper kering. Pandanganku mulai agak menggelap.
Jalur-jalur yang Sempat Membuat Sesak Nafas
"Jangan pingsan, tolong..."
Lantas kuhentikan laju sepedaku diatas semak yang mengering. Aku turunkan google pink dan mengusap wajah. Fahmi yang sedari awal berada didepanku pun akhirnya kembali menghampiri.
"Loh loh, kenapa mbak? Aman aja kah ini? Istirahat dulu aja." Fahmi menenangkanku sambil menyodorkan minumannya.
"Aku sudah bawa," balasku sambil mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengembalikan pandangan yang sempat menggelap. "Aneh, biasanya di Kalimantan kuat dan aman saat nanjak. Ini kok jadi seperti ini," aku bertanya-tanya keheranan.
"Iya mbak, oksigennya tipis disini, dataran tinggi. Santai saja mbak, jangan terlalu digaskan."
Olala ! Aku baru ingat. Ini Bromo, bukan Sangatta yang titik tertinggi hanya ratusan meter. Kulirik penunjuk altitude di jam tanganku, 2300 mdpl. Ribuan kilometer diatas permukaan air laut. Tentu saja ritme pernafasan harus diatur sebaik mungkin agar tiba-tiba tidak pingsan.
"Amankah yang dibelakang?" Mas Eko yang berada paling depan bertanya kepada kami.
"Amaaaan mas! Mbaknya cuma perlu istirahat sebentar." jawab Fahmi dengan berteriak melawan deru angin pegunungan.
"Sudahlah, kita lanjut aja mas." Ajakku setelah menghela nafas panjang. Rasanya metabolisme tubuhku mulai terbiasa beraktifitas di ketinggian. Tidak sesak lagi.
"Yakin mbak? Santai saja dulu nggak apa-apa. Toh kita ini gowes santuy ceria ceritanya. Nggak ada target waktu kan. Yang penting bahagia, dan foto-foto."
"Aman kok. Sudah mulai biasa." ujarku meyakinkan.
"Kalau mau teler istirahat saja mbak. Tapi bentar lagi full turunan ini. Yok!" Ujar Fahmi semangat.
Akhirnya Terpecahkan Misteri New Zealand Low Budget Level
Wah turunan? Tubuhku mulai bersemangat mendengar kata-kata itu. Cocok sekali untuk sepeda enduro yang aku pacu saat ini.
Roda sepeda membelah menuruni setapak berdebu bukit-bukit sekitar Jemplang. Terkadang kami harus berhenti menjaga jarak tatkala debu mulai menghalangi pandangan maupun menyebabkan kami terbatuk-batuk. Jalur single track yang nge-rail pun menjadi tantangan khas saat melalui jalur-jalur di perbukitan Bromo. 
"Uh...!" Aku terjatuh kedepan karena buramnya debu ditambah ban depan yang masuk ke jalur rail. Syukurnya hanya terjatuh ringan dan tanahnyapun empuk. Ah, sudah biasa bagi preman sepertiku.
Jalur yang terhalang pohon tumbang, menyisakan luka gores di lengan kananku. Turunan kian terjal, hingga panorama ala 'New Zealand' pun mulai membentang didepan mata.
Lembah di Bawah Bukit Teletubbies
"Kita naik ke bukit kecil sana, biar makin sip," Instruksi Mas Eko. Dan memang, pemandangan 360 derajat tampak dari sana. Angin tak lagi sepoi-sepoi, berganti dengan hembusan yang menerbangkan debu-debu halus.
Puas diterpa debu, kami lanjut turun menuju kawasan bukit Teletubbies, awal perjalanan meluncur mendekati lembah New Zealand, lalu berganti dengan tanaman perdu. Jarak yang kami tempuhpun tak jauh, hanya sekira 10 km saja. Jalurpun tak jauh berbeda dengan awal tadi, berpasir dan banyak pohon tumbang.
Hanya sekitar 2,5 jam kami berhasil mencapai Bukit Teletubbies plus waktu foto-foto. Karena hari itu adalah Selasa dan masih masa pandemi, maka pengunjung terbilang sangat sedikit. Sumpah, seumur hidup baru pertama kalinya aku kesini, walaupun jarak dari rumah terbilang dekat. Pemandangan yang disuguhkan sukses membangkitkan hasrat meracuni teman-teman yang belum pernah kesana.

Gimana, kamu sudah kepengen belum? Sudah keracunan belum?
0
Share
Laksana menstruasi yang datangnya setiap bulan, hasrat kemping bulanan pun mencuat tak terbendung. Bulan November ini aku belum melaksanakan kemping sama sekali, dan suasana cuti di Lumajang ini agaknya pas untuk dilepaskannya renjana tersebut. Terlebih lagi aku membawa tenda, sleeping bag, kompor, dan cooking set untuk menunjang kegiatan tersebut selama berada di kampung.
Hafidh. Tiba-tiba aku teringat nama seorang teman yang pernah kuajak untuk naik Penanggungan sekitar enam tahun silam. Sudah lama pula aku tidak berkabar dengannya, terakhir ia bekerja di Gresik, entah kalau sekarang. Mudah-mudahan ia masih punya waktu luang dan berkenan untuk membersamai acara kemping cantik ini.
Kabar membahagiakan pun tiba, tanpa banyak alasan ia mengiyakan ajakanku. Katanya bulan November ini ia sering pulang kampung ke Lumajang, dan ia akan mengajak salah seorang sobat karibnya yang bernama Hamid.
"Tenang, aku punya teman yang siap diajak kapanpun." Bebernya yakin.
Rencana  awal kami memlilih Ranukumbolo untuk destinasi kami. Akupun membuka laman Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) untuk mengetahui persyaratan apa saja yang diperlukan selama era 'New Normal' ini. Darisanalah aku mendapatkan info kuota pendakian ke Ranukumbolo pada tanggal yang kami maksud sisa dua orang alias sudah penuh. Karena dari TNBTS mensyaratkan pendaki minimal tiga orang, sehingga sisa slot dua orang itu sudah tidak bisa diisi maupun diganggu gugat.
"Oh penuh ya? kita ke Ranu Regulo saja kalo gitu," Opsi kedua pun dilontarkan Hafidh. Karena memang aku sudah kebelet, ya aku mengiyakan saja. Apalagi aku belum pernah kesana dan menurut info jarak tempuh hanya sekitar lima belas menit jalan kaki dan tiket masuk gratis.

DRAMA DI POS TNBTS
Dua minggu pasca perbincangan melalui pesan singkat itu, aku, Hafidh, dan Hamit  sudah bersiap dengan perlengkapan masing-masing untuk menuju Ranupane yang berjarak sekitar 90 menit dari pusat kota Lumajang. Kendaraan kami saat itu adalah motor matic dan motor bebek milik Hafidh dengan barang bawaan yang sangat banyak.
"Kalian bawa apa saja sih? Kayak cewek aja bawaannya, banyak dan ribet! Gitu mau nambah bawa panggangan jagung, bisa buka lapak kita diatas," Omelku khas ibu-ibu pada cowok-cowok yang ternyata kuketahui membawa jagung beserta bumbunya dan arang untuk dibakar.
"Maklumlah Ne, kita kan kurang piknik. Terakhir kami kemping tahun lalu di B29, itupun kemping bunuh diri. Nggak bawa tenda disuhu sedingin itu." Ujar Hafidh.
"Kalo sekarang kita kan kemping cantik. Well prepared." Tambahnya.
Sekira pukul sembilan pagi kami menuju Ranupani. Pemandangan menuju ke Ranupani masih tetap indah dan merindukan. Hingga akhirnya Hafidh melambatkan laju motornya di Pos TNBTS. Firasatku tidak enak, sepertinya akan ditanyai hal yang aneh.
"Mau kemana?" Tanya penjaga TNBTS yang tampak masih bocah kepada kami.
"Kemping," Jawab Hafidh pelan.
"Kemana?"
"Ranu Regulo."
"Bawa surat sehat nggak?"
Tanyanya dengan wajah datar.
Aku dan Hafidh melirik sekilas. Kita kan nggak bawa surat sehat!
"Wajib ya?" tanyaku.
"Kan sudah disosialisasikan sejak tiga bulan lalu, mbaknya kurang apdet kayaknya." Sindirnya dengan wajah yang tetap datar. "Kalau cuma main saja nggak apa-apa tanpa surat, tapi kalau sampai nginap, wajib surat sehat ya. Kalian turun saja ke Senduro cari Puskesmas atau praktik dokter umum."
Sejauh itu? Pikirku kesal. 
"Dekat saja, cuma lima menit turun ke Senduro." Jawabnya asal. "Daripada kalian nggak jadi ngecamp kalian."
Hafidh tahu wajahku sudah bersiap-siap untuk pasang kuda-kuda nonjok. Ia menenangkanku. "Sudahlah, kita kesini mau camping, senang-senang. Kita turun saja, nggak usah cari musuh."
Plegmatis sekali jawabannya. Tapi aku tetap tak terima, aku kembali menanyakan ke penjaga tersebut.
"Itu yang mobil nggak kamu berhentikan?"
"Itu nggak kemping mbak. Lewat saja."
"Tahu darimana?" cecarku tegas gemas melihat ke-sok tahuannya. Bisa saja mereka menyimpan peralatannya didalam mobil dan beralasan hanya menuju Tumpang.
"Ya tahu. Yang kami cegah adalah pesepeda motor,"
Siapa yang Tega Melewatkan Suasana Seperti Ini ?
Oh, dari sini aku tahu. Kesadaran penjaga TNBTS masih kurang. Kendaraan yang berlalu lalang belum diperiksa secara mendetail. Coba kalau kami tancap gas pasti mereka juga nggak ambil pusing, atau juga pura-pura bego naik keatas dengan menggunakan mobil dengan alasan main. 
"Namanya juga protokol kesehatan mbak. Ini saya juga disuruh bos saya."
"Protokol kesehatan gimana maksudnya Mas? Kamu sendiri nggak pake masker. Lucu nggak?" Balasku setelah melihat tulisan wajib masker dan cuci tangan di pos TNBTS.
"Iya-iya mbak, maskerku masih dicuci. Nanti kupakai." Ujarnya ngeles dan males-malesan.
Dan akhirnya kami bertiga turun kembali ke Senduro mencari praktik dokter umum untuk pengurusan surat sehat. Untunglah kami berhasil mendapatkannya, walau awalnya kami mendapati tempat praktik tersebut tutup, dan akhirnya aku menelponnya. 
Sekitar satu jam waktu terbuang untuk pengurusan surat tersebut. Syukurlah kami berangkat pagi, jadi sisa waktu untuk ke Ranu Regulo masih banyak, sehingga kedongkolan kami pun bisa mereda.

DAN KEMBALI CERIA !
Panorama seperti ini yang acapkali disetarakan dengan Ranu Kumbolo
Tiba di Ranupani saat tengah hari. Masih ada waktu ibadah dan makan siang. Kejadian tak mengenakkan tadipun sudah terlupakan bersama dengan rawon untuk santap siang.  Trekking menuju Ranu Regulo pun sangat dekat, landai selama sepuluh menit dimulai dari sebelah pos pendakian Ranu Pani. Ranu Regulo merupakan salah satu danau yang terletak di TNBTS dengan ketinggian 2100 mdpl. Acap kali disebut adiknya Ranu Kumbolo karena luasan danau yang lebih kecil dan ada dua bukit mengelilingi danau. Sangat indah dan lebih tenang. Untuk tempat mendirikan tenda kami mencari tempat yang agak jauh dari pintu masuk agar lebih sepi dan privat.
Kami pergi pada bulan November, saat musim penghujan, maka suhu tak terlalu dingin walaupun kami sempat diterjang hujan deras pada sore harinya sekitar satu jam. Setelahnya hanya hujan rintik-rintik disertai guntur dan kilatan petir. Permukaan danau diselubungi kabut lembut nan syahdu pasca diguyur hujan. Pemandangan yang benar-benar aku cari dan rindukan selama ini.
Syahdu
Obrolan demi obrolan pun mengalir diantara aku, Hafidh dan Hamit hingga malam menjelang. Tema apapun kami bahas saat itu mulai obrolan yang ringan, berat, hingga rencana masa depan. Hamitpun tak ketinggalan melontarkan peribahasa dan kiasan andalannya, menurut Hafidh, temannya itu jadi sering melontarkan kiasan karena pacarnya anak jurusan Sastra Indonesia.
Senja, Am Abend
Dingin menusuk pun mulai terasa saat malam kian merambat. Rasa hendak kencing dan kentut antara kami pun sering tak tertahankan. Melodi dat dut dat dut pun saling bersahutan hingga menjelang tidur. Tak ayalpun ribut karena aroma busuk sang kentut.

KEMBALI KE RUMAH
"Jam setengah sembilanlah kita balik ke parkiran motor. Aku harus segera balik ke Gresik, besok kerja." ujar Hafidh.
"Iya, jangan sampai fatigue." Ujarku.
"Kayaknya ini bakalan jadi kemping terakhir karena Desember aku mau nikah,"
"Ya istrimu ajak juga lah ! Masa aku harus kehilangan temen kemping di Lumajang." jawabku
"Dia nggak suka."
"Baiklah. Solo camping akan dimulai!" Ujarku penuh semangat karena lega akhirnya pada bulan ini berhasil menginap di alam bebas kembali. Namun bukan di Kalimantan Timur, tapi di Jawa Timur.
Terima kasih atas Perkemahan Sabtu Minggu ini, dan sampai bersua kembali, Hafidh dan Hamit !
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose