• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Prelude :
Aku kerja di PLN,
Aku alumni ITS tahun 2013.
Selama perkuliahan, akademikku standar-standar saja, tak ada yang menonjol. Rata-rata. IPK ku hanya 3.2, paling rendah satu kelas.
Begitu lulus, aku mengikuti diklat prajabatan PLN angkatan 37, mulai pos awal perjuangan : Batujajar hingga puncak prajabatan : Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Semuanya berlalu begitu cepat dan penuh perjuangan, dan pada akhirnya aku penempatan di Bontang, Kalimantan Timur yang merupakan daerah PLN Indonesia Timur, kekuasaan Vickner Sinaga Direktur Operasi Indonesia Timur.

9 April 2014
Aku menjadi golongan putih, lebih memilih keberangkatan ke Balikpapan pada tanggal 9 April. Takjubku akan Bandara Sepinggan saat itu. Mirip mall dengan hutan didalamnya. Dingin. Sepintas kulihat ramainya Balikpapan seperti Malang. Disini banyak orang Jawa, orang perantauan. Aku merasa betah.

10 April 2014
Sekitar enam jam aku menjelajah beberapa ruas jalan di Bumi Etam, sempat juga diwarnai dengan insiden ban pecah. Takjub untuk yang kedua kalinya aku melihat obor raksasa di sepanjang Muara Badak, sebut saja dalam bahasa awam kilang minyak atau rig.

14 April 2014
Hari pertama kerja. Duniaku yang harus aku hadapi, tentulah beda jauh dengan mahasiswa yang kadangkala masih banyak waktu santai. Yang terpenting jangan takut, bisa menguasai diri dan lingkungan. Awal perkenalan saat code of conduct, aku sebutkan usia masih dua puluh tahun lulusan D3 Teknik Elektro, ITS. Tentu saja aku nggak mengada-ngada. Beberapa terdengar pekikan heran rekan kantor : wow, masih muda ya….

Haruskah aku bangga atau malah menjadi amanah yang dibebankan padaku? Bagaimana tidak, aku lulusan ITS, masih muda pula. Saya tidak menyombongkan diri, banyak yang mengatakan usia muda, lulus dari Institut terbaik di negeri ini, pinternya kayak apa itu?
Siapa yang tidak tahu ITS? Banyak orang mengatakan institut terbaik di bagian timur, walau masih banyak juga yang menyebutnya Institut Teknologi Surabaya. Memang, terbaik. Banyak lulusan ITS yang kompeten, ahli, sukses. Dan aku? Mungkin.
Masuk ITS tahun 2010 memang pilihanku murni, tanpa tekanan. Aku merasa mantap masa depanku ada di ITS. Walau sebenarnya aku ini nggak pintar juga, tapi aku yakin doa dan restu orang tua, serta malaikat-malaikat yang mendoakanku selama aku test masuk yang membuatku tembus di institut impianku ini.
Tiga tahun kemudian aku wisuda dan harus bersiap memasuki dunia kerja. Sebenarnya hati ini masih ragu juga. Pikiran semacam : udah bodoh, pendek, gendut, jelek, hidup pula membuatku keder juga. Siapa mau melirik orang yang seperti itu? Sedih memang, tapi setidaknya aku punya rasa percaya diri untuk mengalahkan itu semua.
Aku orang yang nggak pintar, sekali lagi aku ingatkan, peringkat IPKku paling rendah, jelas-jelas itu menandakan bahwa kemampuan akademikku tidak mumpuni dibandingkan temanku yang jelas-jelas IPKnya menyentuh 3,5.
Tapi anehnya, kenapa orang-orang mengatakan aku adalah lucky charm girl, alias gadis beruntung. Beruntung hanya karena setelah lulus langsung dapat pekerjaan, tanpa menganggur sama sekali.
Aaah….itu hanya faktor doa orang terdekat saja !
Ada lagi yang membuatku merasa nggak enak hati. Menjadi alumni ITS, bangga juga. Apalagi saat memperkenalkan riwayat pendidikan atau menuliskan biografi diatas selembar kertas. Anak ITS, selalu dianggap pintar. Bangga sih bangga, tapi aku harus rendah hati dan banyak belajar juga, karena kemampuanku memang nggak sesuai dengan apa yang dibayangkan orang.
Kan sudah aku ingatkan : aku nggak pintar.
Pernah suatu kali aku berbincang dengan pegawai, aku tanya dia lulusan mana, dan dia jawab : “Aaah…paling malas aku kalau ditanya kuliahan, yang lainnya pada lulusan ITS, UI, aku kuliahnya aja nggak bener di universitas nggak jelas pula”
Pernah juga aku diajak berbincang dengan asisten manajer : “Mbak kan dari ITS, pasti bisa Elektronika….bla..blaa…blaa….kebetulan ini ada inovasi bagaimana kalau turut serta…”
Dan juga dengan Supervisor : “Kamu coba bikin software atau apa gitu, lulusan ITS biasanya bisa kok, aku aja lulusan (menyebut salah satu universitas swasta) bisa…”
Jleb.
Ternyata, disamping kebanggaan itu juga terselip beban berat juga. Beban itu adalah bagaimana menjaga nama almamater ITS agar tetap dikenal baik dan kompeten dalam pekerjaannya. Jangan sampai aku tidak berbuat apa-apa untuk Negara dan perusahaan ini. Aku ini masih muda, dan yang muda, yang berinovasi. Baru 4 hari bekerja, sudah banyak beban mental seperti ini !
Kini yang menjadi tugas paling berat adalah : Bagaimana caranya untuk tetap menjadi alumni ITS yang Cerdas, Amanah, dan Kreatif ?

Bontang, 18 April 2014
0
Share

Aku pulang, ya, aku Pulang !

Pulang kemana emang?

Ya pulang ke rumah emak! Mana mungkin aku pulang ke hatimuuuu…

Begitulah, 3 bulan itu terasa lama apabila kita lalui dengan penantian pulang kampung. Kapan pulang? Apakah mungkin aku masih bisa pulang kampung? Aku sudah capek di rantau! Kangen emak, kangen bapak, adik dan hewan peliharaan…. (berat nih yang terakhir kayaknya)
On Job Travelling selama 3 bulan cukup menguras tenaga juga. Ini baru OJT capeknya kayak gini. Kadangkala aku berpikir, bagaimana kalau semisalnya udah kerja full time? Apakah masih bisa menahan rasa lelah untuk melayani sang suami? Semoga Iya!
Tiket sudah kupesan dua minggu sebelum kepulanganku. Seperti biasa, Garuda jadi langganan gara-gara daftar Garuda Frequent Flyer, jadi sebisa dan sesering mungkin harus pakai garuda untuk naik grade dari blue menjadi silver. Semua ini gara-gara menteri keuangan PLN Labuan Bajo, Mas Isce yang gencar promosi GFF, jadilah kami rame-rame berburu tiket Garuda (aslinya buat gaya-gayaan aja).
Hari yang kunanti akhirnya datang juga. Sebenarnya ngenes juga sih mau ninggalin propinsi kepulauan ini mengingat petualanganku yang serba seru disini, tapi semua itu demi melepas kerinduan sama orang yang tersayang di kampung, aku harus lebih merelakan ke-ngenes-an itu aku rasakan.
Sekitar dua jam melayang bersama Garuda dengan pesawat Bombardier CRJ 1000 Next Generation dengan penumpang 80% anak PLN, akhirnya landing juga di Juanda. Awal ketemu emak aku langsung jingkrak-jingkrak kayak anak cewek baru puber yang disenyumin cowok cakep.
Sebenarnya jingkrak-jingkrakku bukan gara-gara ketemu emak dan bapak saja, tapi bayangan akan travelling bersama seorang cowok (cakep juga sih) sudah terbayang jelas di benakku. Sebut saja dia Hafidh (bukan nama samaran). Rencana sudah disusun selama OJT, dari rencana jalan-jalan hingga pemalakan liar masalah oleh-oleh dan traktiran. Huft -_-

31 Maret 2014, akhirnya hari itu tiba ! 

1. Antrukan Pawon
“Jadinya kita kemana?” aku tanya pada Hafidh. Sialan, gugup juga. Kenapa juga aku selalu bingung kalau ngomong sama orang satu ini. Aku mengutuk dalam hati.
“Antrukan Pawon, iya kan mbak?” jawabnya.
“Oh,”  aku menjawab singkat, lalu langsung naik ke boncengan dan melanjutkan jawabanku dalam hati dengan bahasa Manggarai, “Iyooooo ite, Cunca Antrukan Pawon eee….”
Ini rencananya kami bakal mengunjungi beberapa air terjun di Gucialit, sekitar kawasan kebun teh. Bersama partnerku yang berusia 20 tahun tapi bermuka bayi dan dua orang temannya yang sudah stand by di Gucialit.
Setelah melakukan pertemuan kecil dengan mas Irawan (bosnya g’OWA : semacam organisasi bocah Gucialit) lalu kami melanjutkan perjalanan ke tujuan utama kami, yaitu Antrukan Pawon.
Perjalanan ke Antrukan Pawon? Beberapa ruas jalan ada yang rusak dan berliku. Tapi kami disuguhi dengan pemandangan alam dengan hawa yang sejuk dan sayup-sayup gemericik air dengan siulan burung. Damai sekali rasanya, cocok untuk melepaskan pikiranku dari kekusutan masalah keteknikan PLN yang tak kunjung usai. Berkali-kali aku merusut kedepan gara-gara kondisi jalan yang menurun, kadangkala juga aku teriak kecil, refleks sih, bukan alay atau cari perhatian.
Melewati beberapa ruas jalan macadam, akhirnya sampai juga di ‘pos’ awal trekking. Wadow, masih trekking pula bro, katanya Mas Irawan jalan Cuma 15 menit. Okelah, kecil untuk bocah preman sepertiku.
Tapi, kata siapa 15 menit. Katanya orang Manggarai-Flores : ‘Joak eeee..’ alias tipu-tipu.  Jalan menuju air terjunnya sekitar 30 menit untuk berangkatnya, dan 45 menit untuk kembali karena jalan yang naik.
Dibalik Gua
Penampakan Antrukan Pawon? Mirip seperti Madakaripura bayi, Air terjun dibalik gua. Membentuk tirai air diantara batu yang membingkainya. Lumut-lumut tumbuh subur disela bebatuan, beberapa diantaranya membuat sebongkah batu menjadi lapuk. Kesalahan trekking kali ini sama seperti edisi pendakian bukit cinta : Tidak membawa air minum setetes pun. Padahal trekkingnya cukup membuat sweat out. Capek juga.
Antrukan Pwaon Dari Sisi Atas.
2. Semingkir
Selanjutnya kemana? Katanya Hafidh, bertekad untuk mau mengunjungi seluruh air terjun di Gucialit, mumpung disini. Aku sih iya-iya aja, kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Semingkir
Mencari Hati yang Terbawa Aliran Air #eeaa
Tujuan selanjutnya adalah Semingkir alias air terjun bayi (Haduh semua-semua disebut bayi ya :P) maksudnya adalah air terjun kecil, bisa dipanjat dindingnya. Airnya segar dan lebih jernih daripada di Antrukan Pawon. Diantara air terjun yang lainnya, aku paling suka dengan air terjun ini, soalnya tekstur dinding air terjunnya unik ! Mungkin air telah mengikisnya setiap hari sehingga membentuk pola mirip seperti sisik ikan. Pengorbanan untuk mencapai kesini dibayar dengan empat buah lebam di betis kiriku gara-gara freefall dari motor dan kakiku membentur batu.

3. Kali Gedang 
Kali Gedang
Katanya Christina Perri : One Step Closer, hahah

Tak jauh dari Semingkir terdapat air terjun Kali Gedang, wajar lah dinamakan kali Gedang karena disana merupakan perkebunan pisang. Aku sempat ‘mbrasak’ atau menerabas semak-semak untuk lebih mendekatkan diri dengan air terjunnya. Susah juga untuk ‘mbrasak’ nya. Salah jalan sedikit bisa terjun konyol ke kolam :)
Kami sempat bikin sepasang pasangan mabuk cinta di atas bebatuan terusik sehingga tak lama kemudian mereka melarikan diri. Entah gara-gara malu atau malas melihat wajah-wajah usil kita, hahaha.

4. Air Terjun Kertowono 
Air Terjun Kertowono

Destinasi yang terakhir adalah air terjun Kertowono, atau air terjun yang paling terkenal di Gucialit. Disana sudah ada warung dan retribusi parkir. Dari tiga air terjun yang telah kami kunjungi, hanya ini saja yang cukup ramai pengunjungnya, untuk air terjun sebelumnya, kalau nggak diisi orang pacaran ya anak-anak kecil yang mandi rame-rame. Tapi menurutku air terjun ini terkesan kurang alami, tampak seperti kolam, tidak seperti terakhir aku kesini, tahun 2009 saat aku kelas 12  SMA.
Oh ya, sekedar saran, kalau mau ke air terjun di kawasan Gucialit, jangan saat musim kemarau panjang, karena airnya bakalan kering >_<

Walau destinasi terakhir, rasanya belum lengkap kalau belum berfoto di kawasan kebun teh dan rumah tua disekitarnya. Pemandangannya yang bagus, didominasi dengan perbukitan dengan pohon tehnya, nampak seperti di film Heart, hahaha.
Mirip-mirip Heart :D
Kata Hafidh Aku Mirip Penunggu Rumah Kuno ?
Setelah itu kami mengucapkan terima kasih pada Mas Irawan, dan selanjutnya aku harus memenuhi pemalakan yang sudah dilakukan oleh Hafidh. Kalau tidak, aku mau digelundungin hidup-hidup katanya -_-

Dear Hafidh, see you next trip :D
1
Share
The local people (Manggaraian) call the ikat weaving from Manggarai with Songke. That's one of beauty handycraft from Flores which have high difficulties.
Songke !
Every region in Indonesia has their own ikat weaving, such as Ulos from Batak. But in East Nusa Tenggara, every regency has their own ikat weaving, such as Ende, Timor, Sumba, Maumere. Every craft has a different model, type, function, and purpose.
I did on job training at PLN Labuan Bajo, West Manggarai, Flores, and i got a lucky chance to visited the World heritage of Flores, Wae Rebo. It's so far from Labuan Bajo, but i struggle to did it.That's rare chance, may i'll never got it again !
I've felt comfortable with this ancient site. All the peoples are humble and friendly. I bought their handycraft, that's a songke, 500000 IDR, it's kinda expensive i think. -_-
 Songke interested me, it's so colorfull, and has unique theme, dominant in black because it's mean humble. Mama (women who's live at Wae Rebo) made it (ikat weaving) more less 3 months ! Wow! how patient they are...i shall gave them four thumbs up ! Yey!
Me? Just for fashion !
Caci fight dancer, wears Songke
At usuall, local people wear songke when they dancing (ex Caci fight) , attending the traditional ceremonies, and obituary. Now i have a Songke, for what? Just for fashion and collect all ikat weaving from Indonesian !

Caci fight dancer picture source : http://www.orangflores.com/tarian-caci.html

0
Share
".....karena tidak ada Harpa, maka Sasando Rote pun jadi...."

Kupang, 27 Maret 2014
Itu berarti 2 hari lagi aku berada di Kupang, sebelum kepulanganku ke Surabaya 29 Maret 2014. Sebenarnya ada satu target lagi yang harus diselesaikan di Kota Karang ini : "Belajar (sedikit) Sasando Rote"
Keahlian merajukku mulai keluar. Merajuk ke teman OJT yang paling baik hati sedunia : Ittaq Qullaha Sabhara. Kebetulan dia OJT di PLN Rayon Kupang, sehingga aku bisa minta antarkan ke Oebelo, tempat pengerajin Sasando itu berada.
Tigapuluh menit sudah, roda itu menggelinding konstan dari kantor Wilayah PLN NTT, sekitar 50 km/jam. Aku yang mengenakan rok dan terpaksa bonceng miring, merasa pegal di sekitar pinggang dan tanganku yang pegal juga gara-gara mati-matian memegangi rok agar tidak tergiling kedalam roda sehingga mengulang tragedi dua bulan lalu di Labuan Bajo.
 Akhirnya aku mencapai desa Oebelo. Kami segera masuk kedalamnya dan berkenalan dengan Bapak Jeremias Pah, yang merupakan Bapak dari Berto Pah, peserta Indonesia Mencari Bakat 1. Wih, beruntung sekali aku bisa berkenalan dengan beliau. :3
Guru Besar Sasando :D
Begitu aku masuk, tanganku langsung gatal ingin segera belajar alat musik yang berbentuk seperti kerang tersebut. Tanpa basa-basi aku memelas minta ajarin sama Pak Jeremias. "Pak tolong ajarin..."
Mejeng dulu walaupun kucel
Tanpa jawaban, Beliau yang awalnya berpakaian biasa, langsung mengambil sarung tenun khas Rote Ndao, syal dan topi Ti'i Langga. Beliau juga asli Rote Ndao. Wew, aku ditawarin pakai topi ti'i langga juga, lucu nih kepalaku tampak mirip keong, haha.
Mukanya tegang, kepalanya jadi mirip keong
Dengan senang hati beliau mengajariku dengan sasando elektrik, katanya bangga ada generasi muda, terutama yang berasal dari luar NTT mempelajari alat musik ini. Awal aku belajar, diajari pola jari dan memetiknya. Ternyata senarnya keras dan kaku banget, lumayan menusuk daging. Saat aku memetik dua senar, selip terus, suaranya fals.  Padahal aku sudah sesumbar kalau aku sudah bisa main biola, eh ternyata suara yang dihasilkan dari petikan sasandoku seperti itu, jadi maluuuu....
Sekitar 15 menit aku belajar memetik, lumayan juga jariku kram. Tidak heran jari Pak Jeremias tergores dimana-mana. Oh ya, untuk belajar sasando di Pak Jeremias, 2 jam 250 ribu. Katanya besok sudah bisa langsung tampil, apalagi yang punya dasar musik, bakal cepet bisa.
Aku bergumam sedih dalam hati "Pak, aku mau pulang ke Jawa, nggak mungkin bisa belajar Sasando lagiii.."
Tapi aku puas sempat belajar sasando...walau cuma fingering saja. Asyik suaranya, mirip-mirip harpa tapi asli dari Indonesia. Salut dengan beliau, dapat melestarikan budaya Indonesia dan anak-anaknya dapat melantunkan petikan sasando hingga mendunia...
Thank's for this masterclass, Mr. Jeremias Pah !

Di kediaman Pak Jeremias juga dijual topi ti'i langga, tenun ikat, dan miniatur sasando berbagai ukuran. Aku beli yang kecil, seharga IDR 80000. Buat kangen-kangenan sama sasando kalau sudah tidak bersua lagi nantinya... :')
0
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose