• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

 Siapa kira, gurauan yang awalnya kuanggap receh pada malam-malam terakhir Ramadhan 1443 Hijriah di selasar masjid bersama seorang kawan, diamini oleh para malaikat dan menyampaikannya kepada Sang Khalik. Pagi itu begitu dingin di salah satu sepuluh malam terakhir Ramadhan kala itu. Entah malam ganjil atau genap, aku tetap bermalam di masjid walau jarak tempuhnya jauh dari indekosku.

"Tahun depan kayaknya nggak bisa lagi deh nginap-nginap di masjid, tarawih, qiyamul lail di masjid, shalat idul fitri..." gumamku cengar cengir pada temanku.

"Lah emang kenapa mbak?"

"Ya...bakalan sibuk ngurus bayi. Menyusui lah, ganti popok lah," ujarku menggaruk-garuk kepala. Bingung apabila hal itu terjadi, apa yang harus kulakukan? Aku kan paling cuek sama anak-anak.

"Oh iya ya, mbak dua minggu lagi mau nikah. Aamin mbak...semoga beneran ya ! Mengurus anak juga pahala loh mbak,"

"Makanya nikmati malam-malam di masjid tahun ini." kelakarku lalu segera bersiap untuk santap sahur.

Aku seorang manusia biasa hanya bisa menganggap itu adalah sebuah gurauan belaka, sehingga beberapa hari kemudian sudah menjadi obrolan biasa yang terlupakan. Namun para malaikat mencatat ucapanku sebagai doa mustajab di sepuluh malam terakhir. Allah mengabulkan 'gurauan baik' itu.

Sekira empat minggu setelah menikah, aku mengeluh telat haid. Tak pernah seterlambat ini. Gejala yang kurasakan seperti hendak haid; paha pegal, pinggang pegal, payudara terasa lebih sensitif. Tak ada perasaan mual sama sekali.

Lantas aku melakukan uji kehamilan mandiri beberapa kali. Awal pengujian masih negatif, lalu selang dua hari garis merah tipis mulai tampak, dan selanjutnya jiwa eksperimenku muncul, tiga hari kemudian aku mencoba dengan beberapa alat uji dengan merk berbeda, dan hasilnya positif semua.

Benar-benar kuingat wajah suami bangun tidur yang melihat hasil uji tersebut. Wajah mengantuk sambil bahagia. 

"Dek..positif?"

"Nanti malam ya kita ke dokter kandungan, memastikan."

Dan ternyata usia kehamilanku dari hari pertama haid terakhir telah berusia 5 minggu. Kantong kehamilan kecil yang kelak menjadi rumah pertamamu tampak di rahimku. Hatiku berdetak kencang, aku hamil?

"Belum tampak janinnya ya bu. Nanti bulan depan kontrol lagi, kita cek janin dan denyut jantungnya. Sementara ini saya resepkan suplemen asam folat ya, diminum rutin setiap hari."

Hanya kalimat 'Alhamdulillah' yang kuasa kami ucapkan. Sepanjang perjalanan pulang...eh beli makan malam aku memeluk erat pinggang suami yang memboncengku diatas motor pink dengan mata dan rongga hidung yang basah. Tak percaya Allah menitipkan kepercayaan dalam sekelip mata usia pernikahan kami.

"Jaga baik-baik ya dek," hanya itu pesan yang suami sampaikan dengan suara yang bergelut dengan angin malam.

Aku membenamkan wajahku ke punggung lebarnya, namun sayangnya terhalang visor helm.

Bulan selanjutnya aku dengan diantar suami kembali kontrol. Jujur perasaanku gugup, takut ini hanyalah kehamilan kosong atau janin tak berkembang. Saat namaku dipanggil, keringat mengalir di tengkuk. Perawat mengoles gel dan sang dokter menempelkan transduser dan menggeser-gesernya diatas perutku.

"Ini sudah tampak ya janinnya bu, masih kecil...sekitar 2,5 cm. Air ketubannya cukup ya, jantungnya sudah bisa berdetak, ini suaranya."

"Dug dug dug dug dug"

Kami mendengar bersama suara detak jantungmu untuk yang pertama kali. Air mataku kembali menetes, perasaanku...entahlah...hangat...hangat sekali. Kuyakin suamipun merasakan hal yang sama.

"Detak jantungnya normal ya bu,"

"Dok...kalau kami melakukan perjalanan dengan pesawat aman ya?" tanyaku. Pekan depan kami akan babymoon ke Manado.

"Terbang dalam usia kehamilan berapapun aman. Kecuali diatas 35 minggu...ada maskapai yang memberi kebijakan dilarang terbang di usia kehamilan sekian. Saya buatkan surat keterangan ya,"

Dan itu adalah penerbangan serta petualangan pertamamu, sayang.

Kontrol kehamilan ketigapun kembali kami lalui dengan hati yang bergetar. Kata orang trimester pertama alias hamil muda itu rawan keguguran. Apalagi masa-masa organogenesis, alias pembentukan organ. Apakah perkembangan si kecil terganggu gara-gara aku berulah snorkeling di Bunaken bulan lalu?

"Mas, tiap kontrol aku kok takut ya," 

"Sama dek, takut si kecil kenapa-napa."

Aku mengelus perutku yang belum membuncit. Kamu lagi ngapain sayang?

Kontrol yang ketiga kali adalah saat pertama kalinya aku dan suami melihatmu dalam bentuk yang lebih utuh. Kepala, hidung, tangan, tubuh, dan kaki kecilmu yang nantinya senantiasa kubelai telah menunjukkan bentuknya. Rahimku tampak meregang, dokter mengubah tampilannya dalam visual 3D, sudah berbentuk manusia mini, dengan wajah yang belum tampak jelas dan tangan-tangan yang masih kecil.

"Ketubannya normal ya bu, detak jantungnya juga bagus, Alhamdulillah. CRL (Crown Rump Length/panjang janin) sekitar 7,89 cm. Normal untuk usia kehamilan sekian."

Aku mengelus dada lega. Kebandelanku ternyata masih membuat si kecil aman didalam rahim. Ia juga tak menimbulkan hal hal yang membuat aktivitasku terganggu setiap harinya. Tidak mual, ngidam, pusing, apalagi anti sama aroma suami, malah makin sayang.

Kami melihat pergerakan si kecil untuk pertama kalinya, ia bisa berguling membelakangi kami, menunjukkan ruas tulang belakangnya, mengangkat kedua tangannya dan memamerkan jemari kecilnya dan mengepal-ngepal seolah-olah menyapa orang tuanya.

"Hai ayah, hai ibu."

Sekuat tenaga kutahan air mata haru ini. Dalam islam, usia empat bulan memang telah ditiupkan ruh dan percakapan pertama si kecil dengan sang pencipta.

Semoga kelak kamu jadi anak sholeh/sholehah, sayang.

Perasaan gusar di kontrol keempat ini sudah mulai berkurang, namun perubahan fisik mulai nyata kurasa. Perut membuncit, frekuensi buang air kecil yang sering, dan telapak kaki yang mulai nyeri. Kakimu sudah bisa terlipat karena ukuranmu yang semakin besar. Semakin rajin bergerak lucu dengan berat sekitar 260 gram.

"Lingkar kepalanya normal ya bu,"

"Panjangnya berapa dok?"

"Kalau usia segini sudah ukur beratnya bu, bukan panjang lagi karena kakinya sudah bisa terlipat."

Paha kecilmu lucu sekali. Tanganmu mengepal dan bergerak-gerak.

Kamu makin besar, sayang. Gerakanmu sudah mulai bisa kurasa walaupun samar. Kombinasi tinjuan, tendangan, bak orang yang berlaga pencak silat. Tapi kamu jadi pendiam kalau perut ibu dielus ayah. Kenapa sayang? Padahal ayah sedang menyapamu :(

Hasil USG di kontrol kali ini semuanya dalam kondisi normal, hanya saja posisimu masih sungsang. Kamu terbaring dengan plasenta yang menaunginya, bak payung raksasa. Posisi plasenta juga sangat mepet dengan jalan lahir ibu. Mohon bantuannya ya sayang...komunikasi dengan si plasenta agar bisa bergeser sedikit keatas atau tumbuh melebar keatas sehingga tak menutupi pintu keluarmu nanti. Kalau tertutup, harus jebol dinding ibu dulu dong, hahaha ! Tapi tak mengapa, demi bisa memelukmu, sayang.

Ketika dokter mengubah dalam tampilan 3D, tampak tubuh mungilmu membelakangi kami, meringkuk dan memeluk kepalamu. Seperti pose ngambek, habis dimarahi karena nggak boleh beli balon.

"Ada keluhan hingga sekarang bu?"

Aku mantap menjawab, "Tidak ada dok! Semuanya baik-baik saja."

Kulalui masa kehamilan ini dengan bahagia. Keluhan kecil pun masih mampu kukendalikan sehingga hari-hari masih dapat dilalui seperti biasa. Hamil kebo, orang bilangnya. Namun sebenarnya aku hanya berusaha memengaruhi psikisku saja, jangan sampai ngidam, jangan sampai malas-malasan. Ibu hamil bukan orang sakit !

Dan satu lagi kejutan yang ayah ibu dapatkan, kamu seorang perempuan sayang !

Tendangan-tendanganmu yang awalnya serasa elusan ringan, kini mulai terasa kian kencang. Ketika ibumu tiduran, anggota tubuhmu mulai bergerak-gerak membuatku tertawa dan gemas. Rasanya ingin kutelan kamera pengawas agar dapat mengintai kegiatanmu setiap saat. Tapi aku tahu itu adalah hal yang bodoh bin mustahil.

Kontrol di bulan November, beratmu sudah 1,2 kg dan kondisi sehat. Kepalamu sudah berada di jalan lahir di minggu 27 ini. Tapi kenapa kamu tak mau menampakkan wajahmu kepada kami? Malu ya sayang? Padahal ibu sudah ngobrol ke kamu sebelum kontrol kalau kami ingin lihat wajahmu di dalam alam rahim. Setiap bulannya bapak dan ibu sudah rela antri dua jam untuk kontrol yang hanya selama sepuluh menit...dan harapan untuk lihat wajah kecilmu...

Aha! Di bulan Desember ini aku sudah tahu trik bagaimana biar nggak ngantri lama di klinik dokter kandungan. Pulang kerja, aku langsung tulis nama di daftar antrian, alhasil dapat nomer tujuh. Dipanggilnya juga nggak lama, sekitar 45 menit dari kedatangan calon ayah dan ibumu, yeey !

Sejujurnya, badanku mulai merasa berubah di bulan kedelapan ini. Sering kram, kebas di jari tangan, pergelangan tangan ngilu, sesak nafas saat tidur, hiks. Tapi semua itu tak berasa apapun saat kondisimu diperiksa oleh bu dokter bahwa semua kondisinya normal dan beratnya sudah 2,1 kg...tapi....kepalamu berputar lagi keatas, alias sungsang ! 

Denyut jantungku berdebar, waduh nanti ini, nanti itu...walau kusadar ini bukan kondisi berbahaya.

"Dok..masih bisa muter nggak ya? Atau sudah mentok posisinya? Atau perlu gerakan khusus?" kuberondong bu dokter dengan pertanyaan-pertanyaan penuh kegusaran.

"Bisa, nanti saya ajarin caranya. Nanti sering-sering saja dilakukan dirumah ya,"

Ternyata gerakannya cukup bikin pegal, anakku. Jadi mohon kerjasama yang baik ya sayang, kita bertiga ini tim yang kuat dan hebat. Maafkan aku yang jarang ngelus kamu dan ngajak ngobrol akhir-akhir ini karena capek kerja di akhir tahun.

"Dok wajahnya kelihatan nggak ya?"

"Wah ini menghadap kebawah lagi..tapi coba kita lihat dari samping ya,"

Tampilan USG berubah menjadi 3D. Wajahmu terhalang lengan dan paha, persis seperti mau senam lantai.

Bu dokter menggerak-gerakkan transduser di perutku dengan harapan tangan dan pahamu mau turun. 

Nyatanya tidak, tanganmu hanya bergerak sedikit. Kamu  pemalu ya sayang? Atau mau bikin kejutan penuh cinta pada kami awal Februari nanti?

Pekan ke 35, si kecil sudah menggendut dengan berat 2,6 kilogram. Kepalanya sudah dibawah, tapi belum masuk panggul. Kata bu dokter sih normal semua, tapi disuruh kurangi konsumsi makanan manis supaya beratmu nggak melonjak di akhir masa kehamilan sehingga bisa lahiran dengan prevaginam. Tapi kamu memang pemalu seperti bapakmu, wajah kamu tutupi dengan lengan, hanya kelihatan sedikit dari samping. Telapak kaki kecilmu kelihatan jelas saat itu. Kata bu dokter aman, tidak ada celah di bibirmu ya sayang :)

Dua pekan lagi kontrol, mudah-mudahan kepalamu masih bertahan dibawah ya sayang :) Aku juga harus lebih rajin bergerak, jalan kaki dan berenang, biar kepala kecilmu cepat turun kebawah, haha !

Sudah masuk pekan ke 37. Kepalamu masih dibawah namun belum masuk panggul. Kondisimu di alam rahim masih sangat baik. Sekira dua puluh satu hari lagi waktumu untuk pindah dunia. Hati kami makin berdebar nak, akupun makin rajin berjalan kaki ditemani ayahmu agar kepalamu bisa segera masuk panggul dan merasakan gelombang penuh cinta, hehehe.

Pekan ini antenatal care sudah tiap minggu. Rabu ini kami kontrol ke dokter yang berbeda di rumah sakit yang rencana kami tuju untuk bersalin, karena dokter yang kami langgan sedang sakit. Perasaanku biasa saja, tak ada prasangka apapun, badan masih terasa sehat walau selangkangan terasa sudah tertekan sehingga keinginan untuk buang air kecil makin tak terkendali. Tampaknya kepala kecilmu sudah masuk panggul ya sayang :)

Pak dokter melakukan pemindaian USG padaku, bagian bawah pusar sedikit ia tekan untuk memastikan posisi kepalamu. Beliau berkata, "Wah, kepalanya sudah masuk panggul sih ini. Ketubannya terhitung cukup, walau sudah sedikit berkurang. Tali pusarnya sudah tua nih, dan plasentanya sedikit berkapur ya kalau sudah hamil tua gini. Beratnya sekitar 3,4 kg, wah ibu ini udah gede banget bayinya. Nggak usah makan manis dan kurangi karbo ya, diet! Setengah mati nanti kalau lahiran normal."

Aku tersenyum malu-malu saat itu. Perasaan udah nggak minum manis deh.

"Ini sudah aterm (cukup umur) ya, kalau lahiran sekarang ya bisa-bisa aja. Coba cek detak jantungnya ya,"

Wajah pak dokter yang berkaus merah itu berkerut. Lalu mengulanginya lagi.

"Wah bu, detak jantungnya agak kurang baik ya. Cepet ini 180, normalnya kan 160an. Saya CTG ya malam ini untuk memastikan keakuratannya."

Kami menyetujuinya, lalu diantar oleh perawat ke ruang bersalin yang superdingin untuk dilakukan kardiotokografi.

"Santai saja ya bu, " ujar sang perawat sembari mengoleskan gel dan menempelkan piringan hitam ke perut besarku.

"Ditunggu sepuluh menit ya,"

Sepuluh menit berlalu, dievaluasi oleh dokter hasilnya masih kurang baik. Lalu diulang sekali lagi, hasil masih reaktif, detak jantung takikardi alias terlalu cepat. Lalu perawat memberikanku oksigen dan memasukkan cairan intravena. Katanya dengan resusitasi cairan, diharapkan detak jantung janin membaik.

"Tenang dik, jangan gugup, tarik nafas ya." pak suami menenangkanku. Memegang tangan.

Aku berusaha untuk sangat tenang. Hujan saat itu turun dengan derasnya pukul setengah dua belas malam, aku menggigil.

"Bu, mau rawat inap saja ya malam ini. Ini detak jantung masih buruk, janin didalam nggak sejahtera ini." kata pak dokter yang berdasarkan pengalaman teman lain terkenal ceplas ceplos dan to the point sesaat setelah membaca hasil CTG. "Tapi saya konsultasikan ke dokter yang biasanya merawat ibu, kan ini biasanya bukan saya. Biar keputusannya di beliau."

Aku dan suami berunding, dan mengiyakan tawarannya. Eh, ternyata perawat masuk dan mengabarkan bahwa bu dokter yang biasanya merawatku untuk dilakukan prosedur sectio caesaria malam itu juga untuk menyelamatkan ibu dan janin.

"Siap kan bu?"

Betapa terkejutnya aku. Harapan untuk lahiran natural hilang sudah. Latihan nafas selama ini serasa sia-sia. Jungkir balik hingga pinggang sakit untuk memutar kepala janin rasanya pun sia sia karena harus berakhir di meja operasi.

"Mas..." aku menggenggam lengan suami.

"Dik...kita tak tahu yang terbaik yang mana. Sudahlah, kita turuti saran dokter ya, demi kamu dan si kecil." jawabnya dengan wajah gusar juga. "Nanti pakaian bayi dan kopermu kubawa sekalian, aku mau urus administrasi dulu."

Beruntung sekali semua keperluan bersalin sudah aku siapkan sebulan yang lalu untuk mengantisipasi kejadian darurat seperti ini. Jantungku makin berdebar antara panik dan tak sabar. Jadi dini hari nanti aku sudah jadi ibu? Aku sudah bisa menggendong si kecil keesokan harinya? Sungguh...Allah maha menentukan. Cuti kerja sudah kuajukan per tanggal 1 Februari, dan tanggal 26 Januari ternyata aku akan segera menjadi ibu.

"Sudah siapkah untuk menarik nafas pertamamu di dunia? Sudahkah kamu berlatih mengecap jempol untuk persiapan menyusu?" lamunku sesaat, lalu dibuyarkan oleh deritan pintu yang dibuka oleh perawat berhijab kelabu.

"Bu...ternyata operasinya dijadwalkan besok pagi pukul delapan. Saya antar ke kamar rawat dulu untuk istirahat ya bu, besok subuh terakhir minum air dan konsumsi madu atau makanan manis. Jam enam sudah mandi dan pakai baju operasi ya bu."

Aku berjalan tertatih menuju kamar. Suami menguatkanku. 

"Dik, istirahat ya. Jangan terlalu dipikirkan, semua akan baik-baik saja."

Hujan menderas, aku tak bisa tidur nyenyak. Hanya tetesan cairan infus yang terdengar dini hari itu. Pak suami pulang mengambil perlengkapan bersalin, hingga pagipun tiba. Aku segera mandi dan berganti pakaian operasi warna biru.

Setelah dites alergi antibiotik dan dinyatakan aman, maka pukul setengah delapan aku yang terbaring diatas ranjang dibawa menuju ruang operasi. Gimana perasaanku saat itu? Pasrah dan jujur aku gusar, gusar sekali. Semuanya sangat mendadak, namun harus segera dilaksanakan. Pikiran buruk aku buang jauh-jauh.

Ruang operasi sangat dingin, persis seperti di tivi-tivi. Aku segera dipindahkan ke ranjang operasi dan dibawa ke kamar operasi nomer dua. Tangan suami yang hangat segera aku lepaskan karena pendamping tidak diperkenankan masuk untuk mendampingi apalagi bikin vlog operasi bak artis masa kini. Metode operasi yang digunakan saat itu adalah ERACS, yang diyakini jangka waktu penyembuhannya lebih cepat.

Tulang belakangku dibius epidural. Sesaat bagian pinggang kebawah terasa hangat...lalu kebas dan mati rasa.

"Sudah kesemutan bu? Efeknya memang begitu ya," 

"Iya dok,"

"Kalau telentang gini  sesak nafas?"

"Iya..kalau hamil tidur telentang sering susah nafas.." aku menjawab parau nan serak.

Di ruang operasi itu aku betemu dengan dokter kandungan yang biasa merawatku. Beliau menyemangati, berkata kalau diinduksi dengan denyut jantung takikardi dikhawatirkan sang janin tidak kuat. Lalu selanjutnya aku dibaringkan, tanganku direntangkan, dipasang kain hijau untuk menghalangi pandanganku, dan sesaat hanya terasa perutku ditekan-tekan. Rasanya mengantuk sekali, ujung kakiku lemas dan tak bisa digerakkan. lampu operasi yang menyilaukan tak menghalangi rasa kantukku. Para dokter dan perawat yang terlibat operasi tampak santai dan sesekali bernyanyi lagu malaysia lawas.

Tiga puluh menit kemudian, ada tangis yang pecah. Seorang bayi. Tangisnya masih tersedak, lalu akhirnya melengking di ruang dingin pagi itu. Aku terkesiap bangun, namun air mataku serasa beku. Perawat menunjukkan sang bayi itu kepadaku yang baru bergelar ibu.

"Ibu...ini anaknya perempuan ya, kita inisiasi menyusui dini dulu,"

Makhluk kecil itu ditempelkan di dadaku untuk awal menyusui dan mendapatkan kolostrum. Kamu sangat pintar sayang, bisa menyusu dengan lancar! Perawat dan dokter semua memujimu.

"Saya bawa keluar untuk bertemu ayahnya ya,"

Si kecil dengan berat 3,1 kg dan panjang 48 cm bertemu ayahnya untuk pertama kali dan dikumandangkan adzan di telinga kanannya. Operasi selama 45 menit berakhir, dan perutku terasa lapar luar biasa. Aku melihat baju operasiku penuh darah dan air ketuban, dan akhirnya segera dimobilisasi ke kamar untuk berkumpul bersama anggota keluarga baruku. Perjuangan selanjutnya menanti untuk mengASIhi, belajar bangkit kembali pasca operasi ERACS setelah delapan jam yang penuh derita, hingga jadwal tidur kami yang berubah drastis. Ya, ibu harus rela mati hidup untuk buah hatinya.

Selamat datang di dunia, sayang !

Tak ada rumah secanggih rahim. Ia bisa menghidupi setetes air, menjadi segumpal darah, gumpalan daging hingga manusia utuh yang siap terlahir ke dunia. Disana pula makhluk kecil itu melakukan percakapan pertama dengan sang pencipta.

Tiga puluh delapan minggu bertumbuh dengan damai di rumah pertamamu, berkawan dengan tembuni, berkubang di air ketuban. Dan kini kamu bersiap memasuki masa transisi dari alam rahim ke dunia. 

Mari kita berusaha dan hidup bersama.

Kelak ibu ingin memberikan tulisan ini kepadamu, tatkala kamu sudah tumbuh besar dan bisa menelaah kata-kata dalam tulisan ini.

Ayah dan ibu sayang kamu, tumbuh dengan kuat dan sehat nak. Kami ingin melihatmu tumbuh dewasa bersama-sama.


Bonus :

Rumah pertama si kecil yang sudah kosong, kata bapaknya siap diisi kembali :')

0
Share

20 Juli 2022 

Jalan berkelok-kelok kami lintasi dari Tondano menuju Manado diiringi dengan lantunan musik masa kini yang menemani babymoon kami. Siapa lagi yang menjadi navigator kami kalau bukan sang Google Maps.

Rute yang dilintasi memang sempit, naik turun dan ada yang melalui perkampungan warga yang membuat kami menjadi ragu; apakah berada di jalan yang benar atau maps yang menyesatkan? Lantas kutelusuri rute di maps yang ternyata masih bisa dilalui hingga tujuan. Syukurlah kondisi jalan yang tak rusak, sehingga pak suami tetap tenang dan senang mengemudi tanpa keluhan.

"Mual nggak dek?" pak suami bertanya memecah keheningan sore.

"Ehm..sedikit sih, tapi nggak pengen muntah. Aku rebahan sebentar ya." jawabku lalu melepas sabuk pengaman dan menidurkan sandaran kursi depan mobil sewaan tersebut. Di trimester pertamaku ini mual yang dialami sangat ringan, rasanya seperti perut yang kenyang lalu dipaksa gowes melintasi tanjakan. Obatnya hanya rebahan dan istirahat, niscaya tiga puluh menit setelahnya badanku pulih kembali.

Tak terasa kami sudah masuk kota Manado menjelang maghrib. Macet, suasana khas ibukota, dan anehnya kondisi penerangan jalan yang minim sehingga gelap dan membingungkan kami. Aku berulang kali salah dalam membantu navigasi pak suami, sehingga ia cukup kesal melihat bakat alami wanita yang katanya kurang cakap membaca maps.

Manado Tua Kala Senja

"Sudah-sudah biar aku aja sini yang baca maps !" ia mengambil ponsel dan meletakkan di pahanya. Aku hanya diam, nggak berani bantu lagi. Takut salah, hahaha.

Pukul setengah delapan malam kami tiba di hotel di sekitaran area Megamas untuk beristirahat. Kondisi badan kami sama-sama lelah, dan setelah membersihkan badan kami berencana langsung tidur.

"Kemana kita besok ini?" tanya pak suami.

"Kemana ya? Muter-muter kota saja? Biasanya sih kalau orang kesini ya ke Bunaken sana," aku memberi saran sambil menyisir rambutku dengan jari, khawatir pendapatku ditolak gara-gara sedang hamil.

"Ya sudah lihat besok aja."

*

Paginya setelah sarapan, kami berjalan kaki di area Megamas yang tepi laut. Megamas adalah pusat bisnis kota Manado, the Heart of Manado katanya. Laut biru jernih dan bersih, kian sempurna dengan paduan langit yang maha cerah. Dari kejauhan tampak Manado Tua yang menantiku untuk kesana.

"Lautnya bersih banget ya dek, nggak kayak di Bontang. Padahal disini kan sebelahnya pertokoan, kok bisa bersih begini ya?" pak suami melontarkan pembuka percakapan pagi

"Iya, hebat ya. Nggak kayak di Bontang, lautnya kotor, keruh dan banyak sampah. Kalau aku jadi ikan di perairan Bontang, bakal stress dan bunuh diri." gurauku setelah teringat salah satu sudut laut di pemukiman kota Bontang. Kotornya bukan main, segala jenis sampah terapung disana seperti sandal putus, kursi plastik, botol plastik, diapers hingga pembalut wanita.

Kok ya tega orang-orang mengotori habitat ikan kayak gitu.

"Jadi kita kemana nih?"

"Lihat jembatan Soekarno yuk," ajakku.

"Habis itu?"

"Yaa..nanti kita liat,"

Kami sempat berputar-putar kebingungan menentukan destinasi selanjutnya setelah melalui jembatan Soekarno, lalu aku memberanikan diri untuk mengajak ke Bunaken walau hari itu sudah cukup siang. Sebelumnya aku diam-diam menghimpun informasi dari rekanku yang bermukim di Manado, perjalanan menyebrang hanya 30 menit, cukuplah kalau berangkat siang ini.

"Kalau dadakan, kami biasanya lewat dermaga Marina cari kapal untuk nyebrang," jelas Mbak Teti kepadaku via pesan singkat.

"Terus apalagi tipsnya mbak?"

"Bawa makanan, kalau beli disana harganya preman. Pengalaman sih aku,"

"Oh iya, kalau ke Bunaken nggak snorkeling ya rugi...kalau di pulaunya aja ya nggak ada apa-apanya, Ne, cuma orang jualan saja. Nanti biasanya sama kapalnya dibawa ke tengah kalau mau snorkeling."

"Siaaap mbak,"

Itu info yang kudapat sebelum menuju ke Bunaken, dan Pak Suami langsung mengiyakan saja ajakanku. Nah, bumil jadi senang dong, dan kami menuju dermaga Marina untuk mencari kapal.

Aku bertanya pada seorang pria mengenai keberangkatan ke Bunaken, setelah sebelumnya sempat bingung karena nggak ada keterangan sewa kapal atau informasi, eh ternyata beruntung aku bertanya kepada orang yang tepat, beliau yang bernama Ramadhan merupakan pemandu yang biasa membawa wisatawan ke Bunaken. 

"Wah kebetulan saja kita baru antar pengunjung juga dari sana." katanya.

"Berapa sewa kapal biasanya Om?" tanyaku.

"Berapa yang berangkat?"

"Dua aja om, siang ini."

"Biasanya sih 1,6 juta sudah pulang pergi tapi nggak ke Siladen. Kapal kami muat sekitar 15 orang, biasanya cuma 30 menit dan ada kacanya untuk melihat terumbu karang nanti. Atau mau naik speed? Harganya kurang lebih aja kok." tawarnya pada kami.

Kapal yang kami sewa menuju Bunaken

"Kapal besar aja, istri lagi hamil. Kalau speed terbanting-banting nanti." kata pak suami. "Kalau ke Manado Tua Om?"

"Ya agak jauh...sekitar satu jam lebih, biasanya dua juta kalau mau kesana. Tapi disana nggak ada apa-apa cuma perkampungan biasa."

Sebelum keberangkatan, Om Ramadhan mengantar kami ke minimarket untuk belanja cemilan, setelah itu bersiap-siap untuk menyebrang trip dadakan ini. Kalau dihitung biaya sewa kapal 1,6 juta dengan 15 penumpang jadinya sangat terjangkau dong ya.

"Oh iya, mau snorkeling disana? Kalau mau nanti saya antar ketengah, saya guide nanti di spot yang bagus. Saya nggak usah dibayar, cukup disewakan saja alat snorkelingnya Rp 150,000,-"

Aku dan pak suami deal dengan semua penawarannya. Kuyakinkan kembali bahwa snorkeling itu aman buat bumil muda, karena snorkeling hanya selam dangkal seperti renang biasa dan tak ada perbedaan tekanan yang membuat dekompresi. Lagipula, siapa yang tega melewatkan indahnya Taman Laut Bunaken yang terkenal ini ?

Pak suami tak henti-hentinya mengabadikan panorama yang kami lewatkan. Om Ramadhan menawarkan kami untuk difotokan berdua, hingga akhirnya ia memasang kaca di kapal untuk melihat taman laut Bunaken yang memang sangat indah itu. Sang nahkoda memelankan laju kapalnya. 

"Ini sudah banyak karang yang rusak, dulu area sini masih banyak karangnya."

Lagi-lagi kami mendengarkan fakta yang menyedihkan. Pengrusakan.

Tiket masuk Taman Nasional Bunaken hanya lima ribu per orang, setelahnya kami menyewa perlengkapan snorkeling yang lengkap berupa fin, snorkel plus kacamata, dan pelampung yang berupa body suit.

"Nggak diving aja sekalian, biar lebih dekat lihat ikannya. Ada guidenya kok, kalau belum pernah juga bisa. Rp 500,000 saja mumpung disini." rayu pemilik persewaan.

"Nggak dulu Om...lagi hamil," tolakku masuk akal walau jiwa bar-barku sebenarnya tertantang.

Kami dibawa ke tengah-tengah walau sebenarnya newbie. Om Ramadhan bilang yakin bahwa kami bisa karena waktu kami hanya singkat disini. Sebelumnya kami mendengarkan maklumat singkat dari pemandu, pemanasan dan mencoba membiasakan diri bernafas dengan snorkel, yang ternyata ini adalah pengalaman pertama Pak Suami.

Yaakkk..bumil banyak tingkah

Untuk jaga-jaga, Om Ramadhan memberikan ban yang ia tarik sebagai pegangan kepada kami. Aku yang sedang hamil berusaha untuk sesantai mungkin saat snorkeling agar tidak kelelahan dan kram. Yang penting kepalanya tetap di air.

Tak dapat kami pungkiri, pesona dasar laut Bunaken menyihir kami dan membuatku lupa diri kalau ternyata aku sedang hamil. Indah sekali! Para ikan menggemaskan berduyun-duyun mengerubuti tangan kami yang menggenggam remahan biskuit. Sesekali kami melihat penyu besar yang berenang  kearah palung laut yang gelap. Aku dan pak suami bergidik ketakutan saat berada diatas palung, rasanya seperti mau jatuh.

Kamera action kuserahkan kepada Om Ramadhan untuk mengabadikan seluruh keajaiban kala itu. Ia menunjukkan pada kami dua ekor penyu yang berkejaran lalu bersenggama. Aku hanya bisa membatin sambil malu-malu saja, karena nggak mungkin juga aku ngakak di dalam air, bisa-bisa tersedak dan batuk-batuk.

Waktu snorkeling kami hanya sekitar 90 menit saja, dan itu sudah sangat melelahkan. Kami segera naik ke  kapal dan memutuskan untuk ganti baju di darat saja. Dan hal yang mengejutkan menimpaku, lampu indikator kamera actionku tak dapat menyala sama sekali saat diisi ulang. Aku panik! Sebenarnya bukan panik karena kamera rusak, tapi panik apabila hasil rekaman tadi hilang dan tak tersimpan. Karena kamera tersebut bisa dibeli kapanpun, namun kenangan seperti ini membutuhkan lebih banyak tenaga, biaya dan tentu saja waktu yang lapang untuk mengulanginya.

"Gimana dek? Tadi kulihat pas omnya ngrekam di bawah laut lampu recordingnya aktif kok, mestinya kesimpen lah,"hibur pak suami.

"Iya mudah-mudahan mas," jawabku dengan nada galau. Lalu sore itu kami belanja oleh-oleh di kawasan Tikala dengan perasaan tak tenang sama sekali gara-gara kamera yang terindikasi rusak dan hilangnya rekaman di Bunaken tadi.

*

Kawasan Megamas

Sebelum sewa mobil berakhir, kami gunakan untuk berkeliling kawasan Megamas pada malam hari. Warung-warung makanan seperti ikan, bakso, hingga olahan babi berjejer disana. Ada juga kawasan hiburan malam. Sebenarnya kami sempat mengunjungi Kampung Tinutuan pada malam hari di Wakeke untuk menikmati bubur Manado disana, namun sayangnya saat malam tutup dan kami harus puas menikmati Bubur Manado dan Es Kacang Merah di salah satu kedai di Megamas.

Kuliner Wakeke, kalau malam tutup
Duet Es Kacang Merah dan Tinutuan

Untuk mengisi waktu sebelum kembali ke perantauan, kami sempat jalan-jalan di salah satu Mall di Manado, Manado Town Square untuk nonton bioskop dan makan berdua. Setelahnya nyore di tepi laut depan hotel bersama warga lokal yang asyik memancing dan menikmati matahari terbenam.

Titik Nyore Kami

Sabtu kami harus kembali ke perantauan agar masih ada jeda waktu beristirahat, dan kabar buruknya...kamera actionku tampaknya rusak, dan ketika kartu memori kupindah di laptop, tak ada satupun video rekaman di Bunaken.

Aaaah...!!! Aku lemas dan kesal, namun harus ikhlas. Suatu saat aku ingin kembali bersama si kecil dengan kamera yang lebih baik.

Pak suami mengamini perkataanku. Sungguh babymoon kali ini banyak cerita yang dapat memahami satu sama lain dan menguatkan ikatan baru yang terjalin diantara kami. 


Informasi sewa kapal dari dermaga Marina :

Ramadhan (WhatsApp : 087895709091 Telp : 082348396098)

0
Share
Satu-satunya yang kuingat dari Tomohon bukanlah pasar ekstrim yang menjual aneka satwa tangkapan yang eksotis untuk dikonsumsi atau dijadikan obat, melainkan penyesalanku tidak mengikuti acara balap enduro di Tomohon tiga tahun yang lalu yang bertepatan dengan kegiatan TIFF atau Tomohon International Flower Festival 2019, dimana salah satu treknya adalah melewati pasar ekstrim Beriman yang kanan kirinya tergantung ular, kelelawar, bahkan kepala babi.

"Ke Tomohon mau kemana aja kita?" tanya Pak Suami.
"Ke Pasar ekstrim aja pengen lihat ular-ular." tukasku bersemangat walau reaksinya sebetulnya sudah bisa kutebak.
"Nggak, pokoknya nggak boleh. Kamu itu lagi hamil, nanti disana banyak penyakitnya terus kamu sakit gimana?" 

Dan terjadi lagi...hamil menjadi alasan pamungkas untuk menahan keinginan liarku.

"Bentar aja, kan pakai masker," bujukku.
"Kamu itu dibilangin yang baik kok ndableg...sudah ke tempat yang lebih aman kan banyak juga disana !"
"Huh, dasar pelit !" ucapku manyun dan merajuk. Pak Suami bergeming dan sudah mulai terbiasa melihat kelakuan istrinya yang ekstrim ini, hahaha. Ia pun tak mengubah keputusannya.
Menuju Tomohon, kami memilih untuk lewat kota Bitung karena ingin tahu atmosfer kota Bitung yang tampaknya menjadi kota pelabuhan tersibuk di Sulawesi Utara ini. Suasana kota tersebut cukup ramai, dan ada beberapa jalan yang sempit dan padat namun kondisi jalanan yang sudah baik. Aku pernah membaca bahwa salah satu titik  menyelam terbaik ada di pulau Lembeh, di sisi selatan Bitung.

Bitung ternyata pun memiliki kawasan ekonomi khusus (KEK) pula, baru kuketahui saat hendak memasuki tol Bitung-Manado. Tol tersebut sangat sepi walaupun tarifnya sangat murah, nggak sampai Rp 30,000 ,-. Tampaknya warga lokal lebih menyukai lewat jalan normal daripada jalan bebas hambatan ini.
Karena menuju area dataran tinggi, pastinya jalan berkelok-kelok dan tidak lebar. Spanduk untuk turut memeriahkan TIFF 2022 bulan depan terpasang dikanan kiri. 
Exit Tol Manado
"Dek...mual nggak lewat jalanan kayak gini?" Pak Suami nanya lagi.
"Hah? Mual? Ya nggak lah, gini aja sudah biasa bagi preman sepertiku. Si kecil kan kuat sejak dalam kandungan!" jawabku bangga sambil menepuk-nepuk ringan perutku yang masih belum buncit. Pak Suami memasang wajah untuk meledekku.
"Kita sangat beruntung loh mas, hanya selang beberapa minggu saja kita sudah diberi kepercayaan oleh sang pencipta. Niat honeymoon berdua eh malah sudah ada bocil di perutku,"
"Iya dek, alhamdulillah. Sehat selalu ya, bumilku, jangan bertingkah yang aneh-aneh makanya."

Dari tol keluar di Manado, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam dua puluh menit hingga mencapai penginapan yang kami pilih, yaitu Grand Master di desa Kaskasen. Udara sore di Tomohon sangat sejuk karena berada di lembah dua gunung yang tak terlalu tinggi, yaitu Lokon dan Mahawu. Lokon sediri terlihat jelas dari penginapan kami.
Gunung Lokon dari Penginapan Grand Master
Sedikit iseng aku mencari informasi tentang pendakian ke dua gunung tersebut, Lokon membutuhkan sekitar tiga jam, dan Mahawu hanya sekira sepuluh menit dengan meniti tangga beton yang telah ada. Sepuluh menit? Tentu saja jiwa penasaranku ingin mencoba kesana, namun....kini aku tak traveling sendirian lagi bro, ada titah baginda suami yang harus dituruti biar menyandang gelar istri sholehah, hahaha.

"Kemana saja kita dek? Jangan ke pasar beriman ya," tegasnya.
"Iya tahu, ke taman bunga nih bagus, nggak jauh dari sini kok. Habis itu wajiblah kita ke danau Linow." jawabku setelah membaca referensi wisata yang sekiranya aman buat ibu hamil trimester pertama.
"Oke Gas,"

Pagi itu kami langsung check out, dan menuju taman bunga tersebut tak terlalu jauh dari penginapan. Namun ada dua taman bunga yang berdekatan, kami sempat kebingungan hendak menuju yang mana, lantas kami coba satu taman bunga Mahoni terlebih dahulu. Tapi karena sepi dan tak ada penjaganya, maka taman bunga pelangi menjadi tujuan berikutnya. Dari sana gunung Lokon yang berwarna hijau dan panorama kota Tomohon dapat kami nikmati dengan sangat jelas dengan membayar tiket retribusi sebesar Rp 15,000 ,- per orang. Cocok lah buat main film india-indiaan, lari-larian sambil nyanyi ditengah taman bunga.
Casting film india, bukan film Suara Hati Istri
Danau Linow merupakan tujuan yang tak boleh terlewatkan saat mengunjungi Tomohon. Hanya berbekal maps, perjalanan menuju Danau Linow tak mengalami kendala yang berarti. Saat itu pusat Kota Tomohon mulai berbenah untuk menyambut festival TIFF 2022 yang konon merupakan Pasadenya-nya Indonesia.
Tiket masuk Danau Linow dikenakan Rp 30,000 ,- per kepala yang dapat ditukar dengan minuman teh atau kopi. Karena saat itu adalah hari Rabu, maka suasana sepi dan kencan kami berlangsung dengan sempurna, hihihi. Suasana Danau Linow sangat sejuk dan sepoi-sepoi. Samar tercium aroma sulfur dari air danaunya yang berwarna hijau muda dan tosca. Dari jauh juga terlihat kepulan asap putih dan terdengar gemuruh dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Lahendong.
Pokoknya Linow keren banget suasananya! Aku dan Pak Suami menikmati suasana siang itu sembari menikmati pisang goreng keju dan mendiskusikan tujuan mana selanjutnya, karena menurut kami masih terlalu awal untuk menuju ke Manado.
"Ke Danau Tondano kah?" Pak Suami menawarkan opsi yang tak pernah berani kuungkapkan.
"Eh? Ya ayo-ayo aja. Nggak kejauhan?" aku memastikan bahwa ia tak merubah pikirannya.
"Sayang kalau sampai sini nggak ke Tondano,"
Akupun akhirnya menurut. Sebenarnya penasaran juga sih danau yang sering disebutkan di buku pelajaran IPS semasa SD sebagai danau terbesar di Sulawesi Utara itu.

IPDN Kampus Sulawesi Utara. Kami melewati lokasi ini saat menuju Tondano
Lagi-lagi kami dimanjakan oleh jalanan yang sangat mulus. Pak Suami jadi semangat nyetir karena ini adalah hal yang langka di Kalimantan. Sesampainya disana perut kami kelaparan, namun tak perlu khawatir karena di tepi danau banyak tempat makan yang menawarkan masakan olahan ikan yang insyaallah halal ya teman-teman. Khasnya Ikan Nike yang hidup di perairan danau Tondano plus tambahan perkedel milu alias dadar jagung.
Tempat yang kami kunjungi di sekitar Danau Tondano adalah Astound Hill, yang merupakan lokasi yang cocok untuk menikmati Danau Tondano dari ketinggian, lalu makan di tempat makan yang menyediakan tempat sholat. Tondano sangat luas, tepiannya terdapat eceng gondok yang berkembang biak dengan subur.

Nah, udah siap untuk menyimak keributan petualangan kami di kota selanjutnya?

0
Share

 "Ayo mau jalan kemana kita?" tawar pak suami padaku setelah perhelatan pernikahan yang melunglaikan diselenggarakan. Memang, kami belum sempat berpetualang bersama saat minggu-minggu tersebut. Sibuk bertandang ke rumah saudara, berkenalan, dan mengeksplor beberapa wisata air di Klaten.

Singkatnya sih mau diajak honeymoon, begitu.

Mengajak makhluk petualang sepertiku tampaknya harus sangat teliti dan anti-umum saat memilih destinasi yang dituju. Pada awalnya pak suami mengajak ke Labuan Bajo, dan akupun menyetujuinya karena cukup banyak lokasi yang menantang disana. Namun ada kisah indah yang menggagalkan rencana tersebut, badanku mulai terasa tak enak, pegal-pegal dan telat haid hampir sepekan. Tak pernah aku telat selama ini, kecuali...kecuali...AKU HAMIL.

Naluri tajam mengatakan, bahwa aku berada dalam fase permulaan berbadan dua. Strip tes kehamilan kubeli beraneka merk untuk bereksperimen dengan urin segar pada pagi hari. Pertama kucoba dengan tangan bergetar...masih sangat samar. Dua hari setelahnya, aku cek dengan merk yang sama, garis kedua menebal. Pak suami ikut penasaran atas eksperimen pagiku.

"Gimana dek?"

"Masih samar...coba lagi tiga hari kemudian," kataku santai. Beberapa sumber mengatakan bahwa hormon hCG pada awal kehamilan meningkat dengan cepat dari hari-kehari sehingga jika benar aku hamil, semestinya beberapa hari kedepan garisnya akan tegas.

Dan benar saja, hari hari setelahnya tatkala urin pagi kukeluarkan dan kutampung di gelas bekas air mineral, tiga merk alat tes kehamilan kucoba dengan tangan bergetar, dan hasilnya sudah bisa kutebak, positif dua garis tegas semua.

Aku tak heboh, namun tak kupungkiri jantungku berdetak kencang. Suami masih tertidur, sengaja hasilnya kutaruh di dekat pintu masuk kamar mandi agar ia nanti mengetahuinya sendiri.

"Dek.. itu garis dua beneran? Kamu hamil beneran dek?" tanyanya selepas dari kamar mandi dengan mata berbinar dan rambut berantakan.

"Hehe...kita pastikan ke dokter nanti malam mas, kita malam mingguan ke dokter kandungan." jawabku sambil peluk-peluk bahagia.

Dan setelah dilakukan ultrasonografi pertama di luar kulit rahimku, ditemukan gestational sac alias kantong kehamilan yang masih sangat kecil. Dokter menyatakan aku hamil lima minggu.

Sepanjang jalan pulang, aku memeluk suami sambil berlinang air mata. Tak percaya secepat ini kami diberi kepercayaan oleh sang pencipta.


Kabar kehamilan tersebut membuat kami mengatur ulang rencana perjalananan. Pak suami yang orangnya memang peduli, taat dan tanggap, menawarkan agar perjalanan honeymoon yang akhirnya jadi babymoon ini ditunda demi keselamatan bumil dan buah hati katanya.

"Kata dokter kemaren nggak boleh capek-capek. Gimana?"

"Hehhh cuma gini aja. Daripada nanti udah punya bocil malah nggak sempat jalan-jalan." tantangku mulai keras kepala. "Yang penting destinasinya nggak terlalu berat dan menguras fisik insyaallah masih bisa,"

"Jadi mau kemana kita? Labuan Bajo jelas coret ya..Bali? Bandung?" tawarnya. "Aku pengen glamping-glamping dek, yang penting kamu nggak terlalu capek lah."

Aku menggaruk kepala, tidak memberi jawaban pasti saat itu. Yang jelas destinasi kali ini harus spesial bersama orang yang spesial !

Dua minggu kemudian, pak suami memberikan satu destinasi yang sama sekali tak terlintas dalam pilihanku, namanya pun terdengar asing dan membuatku harus menggali informasi lebih dalam di mesin pencari. Namun hasilnya masih minim.

Ini dia yang bumil cari.

"Ayo nanti kita ke Likupang," ajaknya.

"Wah dimana itu? Kamu tahu darimana sih?" selidikku.

"Ya dari yutub lah...nggak sengaja lihat kanal yang isinya tentang destinasi wisata super prioitas Indonesia. Tapi aman nggak kandunganmu? Kalau ragu kita ke Bali aja deh, yang lebih ramah buat bumil-bumil gitu. Bali juga bagus loh dek,"

"Ah nggak mau ! Likupang nih bagus juga, masih alami nggak banyak pembangunan. Dan tentu aja pasti nggak rame. Ke Bali nanti aja kalau sudah punya bocil, kalo ke Likupang nggak cocok juga buat bocil karena aksesnya yang mungkin masih susah dan kurang bocil friendly. Udahlah, ayo kapan lagi babymoon berdua gini..." 

"Tapi dek, kamu itu hamil, kita nggak tahu lo akses disana kayak gimana," pak suami kumat sifat taatnya. Aku manyun nggak sabar melanjutkan perdebatan.

"Hamil ya hamil aja. Nanti dua minggu lagi kita sekalian cek ke obgyn apakah kandunganku sehat dan layak buat terbang." tantangku. "Kalau kondisi nggak memungkinkan yaudah batal aja,"

Dua minggu setelahnya, dengan hati berdebar aku memeriksakan kandungan ke dokter. Trimester pertama alias hamil muda banyak yang mengatakan jika sangat rawan keguguran, duh apalagi ditambah tingkahku yang barbar dan masih sering lupa angkat-angkat kira-kira gimana ya kondisi si kecil di rahim?

"Ya, ini kondisinya bagus ya, normal. Masih kecil sekali, sekitar 2,5 cm dan kondisi air ketuban cukup,"

Lalu sang dokter mendengarkanku detak jantungnya yang cepat untuk pertama kali. Aku terharu mendengarnya, melihat tubuh mungilnya yang selama 40 minggu akan kubawa kemana-mana.

"Dok, kalau hamil muda begini...boleh naik pesawat atau tidak?"

Ia menjawab dengan tegas dan jelas, bahwa dibolehkan hamil muda atau usia berapapun melakukan perjalanan udara dengan kondisi kandungan yang baik, kecuali diatas 35 minggu. Lalu surat layak terbang pun ia buatkan saat itu juga.

"Jadi gimana mas? Likupang?" godaku memelas.

"Ayo, aku sih ayo aja."

Hore ! Bumil senang, calon bayi pun ikutan riang. Semoga kamu sehat dan kuat ya dalam perjalanan pertamamu ini.

***

Jika biasanya sebatang kara menapaki suatu perjalanan dan mengambil keputusan, kini ada seseorang yang menemaniku untuk berdiskusi dan mengingatkan kecerobohan atau kebandelanku. Penerbangan kami dari Balikpapan, dan transit semalam di Makassar untuk menikmati sejenak angin malam di Losari dan konro bakar karebosi. Pak suami memelototiku agar tak mencicipi konro miliknya karena makanan yang dibakar harus dijauhi dulu selama masa kehamilan.

"Pokoknya apapun yang dibakar jangan dimakan dulu." titahnya tegas. Kalau nggak ada pak suami paling juga membandel.

Penerbangan pertama bersama sang janin di perut dan suami berjalan dengan lancar tanpa keluhan apapun. Ibu pernah bercerita saat masa kehamilannya yang cukup bandel, tepat saat mengandungku.

"Nggak apa-apa, pas hamil kamu ibu main ke Manado dan Makassar tuh, buktinya aman-aman saja."

Waduh, sekarang malah anaknya yang berulah dan berpetualang seperti ini. Mudah-mudahan sang janin kuat dan pak suami selalu sabar.

Manado, Bandar Udara Sam Ratulangi kami tapaki setelah dua jam penerbangan dari Makassar disambut dengan hujan deras. Rekam jejakku di kota ini masih terbilang payah, karena hanya pernah transit sekali saat mengungsi dari Maluku dengan kapal Umsini saat sarapan pagi. Masih teringat jelas, karena usiaku sudah enam tahun.

Pak suami menghubungi kontak penyewaan mobil. Kami sepakat menyewa minibus manual (sebut saja avanza) dengan tarif sewa perhari Rp 350,000 ,- , eh ternyata kami dapat ultra rejeki, yaitu mobil yang kami sewa bukan avanza, tapi Wuling Almaz yang notabene bodinya lebih gagah kalau dipakai berpetualang, haha. Bapak penyewa bilang itu mobil baru, jadi hanya ada surat jalan dan belum ada STNK-nya. Oh ya, untuk teman-teman yang solo traveler bisa naik minibus DAMRI tujuan Likupang dari bandara Sam Ratulangi ya.

Perut kami kelaparan dibawah hujan. Pilihan awal makanan cepat saji pun tergusur setelah kutanyakan rekomendasi tempat makan di area bandara kepada temanku yang bermukim disana. Pondok Teterusan menjadi pilihan karena olahan woku belanga yang terkenal nikmat dan searah juga untuk menuju ke Likupang.

Jalan menuju Likupang tak sulit, hanya sempit dan berkelok kelok. Jalanan basah dilalui, sesekali kanan kiri kami perkebunan kelapa dan tower transmisi yang belum selesai. Pemandangan yang baru saja kami nikmati beberapa waktu lalu saat masih melayang di angkasa selain pulau Manado Tua.

"Jalannya disini bagus ya, nggak ada yang rusak." pak suami membuka pembicaraan saat aku mulai terkantuk-kantuk.

"Iya, seperti di Toraja juga. Banyak gereja disini." timpalku melihat jejeran gereja setiap 50 meter. 

"Ceweknya juga cantik-cantik disini,"

"Cowoknya juga ganteng-ganteng." balasku dengan nada sedikit cemburu. Aku membuang wajah menatap jalan. Anjing menjadi satwa yang paling sering kudapati dengan berbagai pose, mulai dari anjing kencing, anjing bercinta, hingga anak-anak anjing yang berkejaran ceria.

Hanya membutuhkan waktu sekira dua jam untuk mencapai Likupang. Dan karena kebodohanku membaca maps, kami malah masuk ke pasar Likupang yang jalannya sempit dan ramai. Pak Suami memasang wajah kecut, mengkerut.

"Dek, kita itu bukan ke Likupangnya, tapi ke Casabaio Resort lho, bukannya belok kanan sana? Yang tadi itu?"

"Aduh iya eh mas, maaf.. tapi lewat gang situ bisa tembus juga kok, ke Desa Maen" kataku menatap layar maps lekat-lekat.

"Yakin? Sempit loh itu," Ia berusaha keras mencari putar balik dan akhirnya dengan susah payah putar balik di parkiran minimarket.

"Eh..kayaknya bisa sih mas.. dilihat saja dulu,"

Bodi mobil yang agak gemoy akhirnya dapat lolos di gang kecil itu, beruntung tak ada kendaraan roda empat dari arah berlawanan. Kontur jalanan masih tetap mulus, setidaknya tidak menambah kerutan kesal di wajah suamiku.

"Nggak kusangka di jalanan yang jauh dari ibukota ini mulus juga,"

"Gara-gara jadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) kali ya? jadi semua ruas jalan diperbaiki," timpalku yang sesekali melihat jalanan yang menghitam, sepertinya belum lama mengalami perbaikan.

"Ntar malam cari makannya gimana ini dek?"

"Waduh iya juga ya, kayaknya kawasan hotel sepi, atau terpaksa kita makan roti dulu nih," aku sibuk mencari warung terdekat dari hotel di aplikasi maps. 

"Eh, ada ini warung Lamongan, mudah-mudahan buka. Satu-satunya harapan kita."

Mendekati hotel, perkampungan penduduk kian rapat dan padat. Masjid dan penduduk muslim makin sering kami temui disana, sehingga membuat urusan perut kita menjadi sedikit tenang. Suasana saat itu masih mendung dan rintik-rintik, membuatku berdoa makin kencang agar besok cerah.

Casabaio resort, Terbaik lah buat Babymoon!

Lapangan golf luas tepi laut menyambut kami sebelum memasuki lobi Casabaio. Hari itu tak banyak tamu, karena bukan musim liburan atau festival. Seluruh tamu mendapatkan kamar dalam satu lantai yang sama. Di sore yang kelabu itu kami menyempatkan diri untuk melihat fasilitas di sekeliling hotel yang terbilang sangat lengkap, ada jacuzzi, kolam air hangat, kolam renang, gazebo yang menghadap pantai, olahraga air, dan outdoor wedding venue. Wuaaah....baru kali ini aku jalan-jalan bagaikan putri raja, biasanya kan hanya ngemper di kantor PLN sambil bawa motor, haha.

Malamnya, kami putuskan untuk makan malam di warung Lamongan tersebut dengan harapan masih buka. Alhamdulillah ternyata buka, menu masih lengkap dan cukup ramai. Penjualnya orang Lamongan asli dan kami berdua memesan soto plus gorengan tahu. Andalan banget nih warung kalau teman-teman main ke Casabaio dan cari makanan yang halal.

***

Pagi hari sangat cerah membuat perasaanku turut bersemangat. Dengan kondisi tubuh yang masih pegal tapi ingin jalan kami memaksakan untuk makan pagi dan berjalan-jalan di area hotel milik orang Korea yang sangat luas ini. Siang ini kami putuskan untuk check out dan langsung menuju Pantai Pulisan, Paal dan akhirnya lanjut ke Tomohon.

Pantai Privat Cantik dari Casabaio resort

Menu makan pagi di Casabaio tak bervariasi, namun cukup sekali untuk memberi kami energi menjalani petualangan hari itu. Sambal dabu-dabu dan ikan tentu saja menjadi menu favoritku, karena aroma dan rasanya mengingatkanku saat bermukim di Maluku.

Jalanan yang kami lewati selama di Likupang

Untuk menuju pantai Pulisan lagi-lagi kami hanya mengandalkan maps, dan sudah ada beberapa pentunjuk yang dibuat oleh warga lokal maupun dinas perhubungan. Jalanan di Minahasa Utara ini masih mulus dan pohon kelapa masih menjadi sajian utama pemandangan perjalanan kami. 

Homestay Rumah Warga yang dibangun oleh PUPR

Mendekati pantai Pulisan, jalanan pun menyempit. Banyak rumah warga yang difungsikan sebagai homestay dengan desain rumah yang sama. Terdapat lambang PUPR di setiap rumah warga yang difungsikan sebagai homestay tersebut, tampaknya bantuan dari kementrian PUPR untuk turut mendukung salah satu dari tujuh destinasi wisata super prioritas ini ya.

"Empat puluh ribu,"  seorang ibu menarik tiket masuk ke pantai Pulisan kepada kami. Wah, mahal sekali sih ini. Kukira retribusi ngawur eh sekalinya memang ada tulisan tarif per jenis kendaraan yang terpampang di gerbang masuk. Yasudahlah, namanya juga wisata.

Pantai pulisan tak seberapa luas, di tepi pantai ada kedai-kedai makanan yang seluruhnya tutup! Aku sendiri mau berfoto tapi kok terganggu jajaran warung tersebut...dan akhirnya kami memilih untuk berjalan ke dermaga beton yang dibangun oleh kementrian PUPR tersebut.

Tak lama kami berada disana, kami langsung bertolak menuju pantai Paal. Jaraknya tak terlalu jauh, namun kejutan-kejutan menanti kami disana. Untuk retribusi masuk, ya sama lah Rp 40,000 ,-. Lalu kami parkirkan kendaraan di sebelah mobil pengunjung lain, saat itu hanya ada dua mobil yang terparkir disana.

Baru beberapa menit, ada lelaki menghampiri kami untuk meminta memindahkan mobil, katanya rawan kejatuhan buah ketapang. Pak suami pun menuruti karena alasan itu masuk akal, daripada harus ketok magic dulu sebelum pulang nanti kan. Nah setelah memindahkan mobil ke tempat lain pun, seorang bapak tua mendatangi kami dan mengatakan wajib bin harus bayar lima puluh ribu untuk parkir dan wajib bin harus lagi duduk di kursi-kursi dan meja yang telah ia sediakan.

Pak Suami menolak, mengatakan bahwa kunjungan kami hanya sebentar saja, ia juga mengatakan lebih seru duduk beralas pasir saja. Aku merengut dan langsung mengambil posisi duduk di pasir sambil ngunyah keripik kentang. Aku merasa ekor matanya mengawasiku dengan tajam.

Namun bapak tua itu tampaknya tak menyerah untuk memeras kami. Karena pak suami berhati malaikat, ia melakukan negoisasi kepada bapak tua tersebut untuk membayar Rp 30,000 ,- sebab kunjungan kami tak lama. Pak Suami akhirnya menyuruhku duduk di kursi hasil pemerasan itu. Bapak tua mulai bercerita kenangan-kenangan masa mudanya yang membuat kami manggut-manggut saja.

Pantai Paal, Tempat Pemerasan Terjadi

Pantai Paal, pantai ini cukup indah dengan gradasi airnya dan garis pantainya panjang. Namun banyak warung warga di sepanjang pantai dan tentu saja dalam kondisi tutup. Tak jauh dari sana terdapat bukit Larata yang tentu saja menggodaku agar mendakinya, dan sudah bisa diduga pak suami mati-matian melarang tingkahku seperti itu.

"Kamu hamil muda, sudah nggak usah aneh-aneh."

Panorama yang paling membuatku takjub selama perjalanan

Perjalanan di Minahasa Utara selesai sudah, dan saatnya bertolak ke Tomohon melewati pemandangan yang sangat indah serta pertambangan emas. Gunung-gunung di tepi lautnya benar-benar mirip seperti kontur alam di Maluku.

Sedikit tips perjalanan dariku, semoga bermanfat :

1. Cuaca sangat mempengaruhi suasana hati dan hasil gambar. Pastikan untuk mengunjungi kawasan ini saat musim panas.

2. Menjelajah Likupang, Marinsow dan sekitarnya lebih leluasa apabila membawa kendaraan sendiri. Namun bersiaplah dengan pengeluaran tak terduga seperti kisahku di Pantai Paal ya.

3. Bawa bekal sendiri. Terkadang warung di tempat wisata tutup atau menawarkan harga dengan harga yang mengejutkan. Hahaha.

4. Oleskan tabir surya agar kulit tidak perih setelah mengujungi lokasi tersebut.

5. Untuk solo traveler, bisa menggunakan minibus Damri dari bandar udara Sam Ratulangi.

0
Share
Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga deutschland INFLIGHT ITALY jakarta Jambi jawa barat JAWA TENGAH jawa timur kalimantan selatan KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis rusia SULAWESI SELATAN Sulawesi Utara SUMATERA BARAT Yogyakarta

Popular Posts

  • ABOUT ME
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • White Thread over the Blue Sky…
    Apa itu? Jet? Mungkin itu ekornya jet… Yang kebetulan melintas… Dan mungkin ekornya tuh terdiri dari kumpulan titik-titik uap air...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Naik Argo Bromo Anggrek Bersama Adik Laki-Laki
    Rekam jejakku dalam hal perkeretaapian tak baik. Tentu saja karena bermukim di luar Sumatera dan Jawa yang sama sekali tak ada alat transpor...
  • Weekend Fresh, Without DRUGS !!! ~~Pelangi Untuk Masa Depan
    Tepatnya seminggu yang lalu di skulku. Bersamaan dengan pengambilan rapot sisipan yang ’menyebalkan’ Untunglah ortuku jinak-jinak merpati, j...
  • Bukit Bangkirai : Destinasi Impian Dari Awal Menempati Kalimantan Timur
    Sudah menjadi tradisiku dari dulu kalau hendak menempati suatu tempat yang baru harus mengetahui potensi wisata andalan maupun tempat-tempa...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose