• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Rekam jejakku dalam hal perkeretaapian tak baik. Tentu saja karena bermukim di luar Sumatera dan Jawa yang sama sekali tak ada alat transportasi kereta api untuk menunjang kenyamanan kami untuk melakukan perpindahan dan pergerakan. Hm. Sungguh sepenuhnya hanya bergantung dengan kendaraan bersetir bundar plus jalanan berombak khas Kalimantan, ketinting di perairan yang santer dengan isu buaya maupun jalur udara yang tentu saja tak murah.

Terhitung sejak 2018 silam aku terakhir menaiki si ular besi ini, dan itu pula di negeri Vladimir Putin dengan kereta peluru andalannya, SapSan. Setahun sebelumnya aku juga menjajal kereta cepat mirip pelor terbaik di negeri Adolf Hitler yang dikelola oleh Deutsche Bahn. Di negeri sendiri aku ingat betul terakhir menaiki kereta eksekutif dari Jakarta ke Bandung tahun 2016 dengan jarak tempuh sekitar tiga jam dari Stasiun Gambir menuju Bandung Kota.

Namun, kuakui memang layanan BUMN Kereta Api Indonesia ini kian membaik dari waktu kewaktu, serius. Aku mengingat lagi, ada sekitar tujuh perjalanan dengan kereta api yang dikelola oleh PT KAI sejak aku terlahir di dunia. Ibu pernah bilang saat kecil pernah naik kereta ekonomi menuju Banyuwangi, namun yang kuingat saat itu kereta yang lusuh, berdesak-desakan pedagang asongan, toilet yang pesing, dan kloset bolong yang mana kotoran manusia akan langsung terhempas ke rel kereta dan bergulung bersama angin. Sehingga muncul slogan pembelit lidah : laler menclok nang rel (lalat hinggap di rel). Apa mungkin si 'laler' itu hinggap karena sisa-sisa kotoran manusia yang bergulung dari lubang jamban kloset sang ular besi? Tak ada yang tahu.

Ada petunjuk jaraknya. Ah kalau di Kaltim segitu bisa pakai mobil

"Sekarang walau ekonomi juga sudah bagus dan bersih kok," kata ibu saat aku melihat situs pemesanan tiket kereta daring. Aku memilih eksekutif dengan alasan ingin memanjakan sang adik laki-laki sebelum aku menikah dengan laki-laki pilihanku. Harganya memang terpaut jauh, hampir empat kali lipat.

"Jadi ingat dulu kelas dua SMA, ke Jakarta naik Argo Bromo Anggrek pertamaku selama sepuluh jam dari Pasar Turi hingga Gambir. Pas melek pagi sebelahnya monas," kenangku. Perjalanan keduaku bersama Argo Bromo Anggrek sama-sama menuju Jakarta saat aku duduk di semester tiga kuliah, rekreasi keluarga bersama nenek. Pulang dan pergi juga kereta yang sama.

Dan ini perjalanan kereta pertamaku selama pandemi. Syaratnya sama, harus menyertakan keterangan negatif antigen. Antigen disediakan di stasiun dengan tarif seragam, Rp 35,000 ,-.

"Sial, dikerok lagi hidungku seminggu empat kali." batinku kesal. Tapi demi adik laki-laki yang sudah kebelet sekali ke toko bahan kue besar milik jurutama masak favoritnya, Tintin Rayner, maka aku dan hidungku harus tabah.

+1, artinya adalah stasiun ini satu meter diatas permukaan air laut

Keberangkatan kami Senin itu pukul 9.15 WIB. Syukurlah kami berdua sama-sama negatif hasilnya ditengah badai omicron ini. Begitu ular besi menyapa kami sekitar sepuluh menit sebelum keberangkatan, aku dan adikku merasa sangat antusias, berdebar dan tidak sabar. Tentu saja di era digital ini kami mengabadikan dengan kamera ponsel untuk kenang-kenangan.

"Duh deg-degan aku," kata si Ayes sambil senyum-senyum menenteng plastik bekal kami untuk menuju gerbong yang tertera pada tiket. Ya, maklum, ini rekreasi berdua kami yang pertama dan Ayes pun kurasa juga sangat jarang bepergian dengan si ular besi ini.

Peluit panjang berbunyi, tepat pukul 9.15 kereta itu mulai melaju. Bersamaan itu kami menerima pengumuman bahwa kereta ini  akan berhenti di tiga stasiun, yaitu Bojonegoro, Tawang Semarang dan Gambir Jakarta. Tujuan kami adalah Tawang, yang ditempuh sekitar tiga jam lima belas menit. Karena masih dalam masa pandemi, setiap penumpang mendapatkan hygiene kit dalam pouch plastik berisi satu masker KF95 dan tisu basah. Bagus banget !

Gerbong yang kami duduki saat itu sangat bersih, wangi dan cukup lebar. Warna kursi didominasi oleh warna biru dan tentunya sudah reclining seat. Ada hiasan anggrek imitasi warna ungu di pintu kami awal masuk. Sandaran kaki cukup membantu kaki agar tetap rileks sepanjang perjalanan. Toiletnya bagaimana? Bersih, ada ornamen gambar wanita yang menandakan toilet wanita diatas kloset duduk dan sudah ada wastafel yang dilengkapi sabun cuci tangan. Toiletnya wangi pula ! Berbeda dengan toilet Argo Bromo Anggrek terakhir yang kutumpangi dulu. Dan karena pas sambungan antar gerbong, maka goyangannya cukup parah saat aku berada di toilet.

Penumpang di gerbongku tak ramai, hanya sekitar sepuluh orang saja dari lima puluh tempat duduk yang ada. Ada dua petugas dari gerbong restorasi menawarkan makanan atau cemilan kepada kami. Pemandangan khas sawah, pedesaan, dan rumah-rumah warga yang masih tradisional menjadi sajian utama pagi itu. Dan aku baru sadar kalau kereta ini ternyata dilengkapi sambungan hotspot gratis.

Pukul satu kurang lima belas kami berhenti di stasiun Tawang, Semarang dengan arsitekturnya yang kuno yang mengingatkanku pada kisah fiksi buaya Sing Bahu Rekso di Stasiun Tawang di Webtoon . Dan kondisi stasiun tak seberapa ramai. Ada replika ikon kota Semarang "Lawang Sewu" tiga dimensi yang asyik untuk berfoto di pintu keberangkatan. Kami menumpang taksi untuk menuju hotel tempat kami menginap untuk beristirahat sejenak. Taksi itu melewati kota lama Semarang saat siang hari yang terik. Segar juga mata karena di Bontang tidak kutemui bangunan-bangunan kuno yang artistik seperti ini.

Namun kuakui, ini adalah perjalanan paling menyenangkan bersama adikku. Berdua dan intim, dimana kami dapat mengobrol, curhat dan saling menasihati dengan nyaman, bebas dan lepas hingga terbahak. Jarang kami mendapatkan waktu seperti ini karena domisiliku yang jauh dan juga sebentar lagi kami akan meniti jalan masing-masing....aku menikah dan dia mungkin sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan pilihannya, sehingga quality time seperti ini adalah sesuatu yang langka terjadi.

Toko Bahan Kue Impian Adikku

Tapi memang aku tak setengah-setengah membahagiakan si Ayes. Tujuan utama kami ke Semarang hanyalah ke toko bahan kue Tintin Rayner dan membeli lumpia plus tahu bakso favoritnya. Malamnya kami menginap di hotel bintang empat dan keesokan siangnya kembali ke Surabaya dengan kereta yang sama; Argo Bromo Anggrek dari Gambir ke Pasar Turi. Praktis kami hanya dua puluh empat jam di ibukota Jawa Tengah ini.

"Ah, ternyata enak ya naik kereta. Kapan-kapan kalau mudik atau pulang kampung naik kereta lagi ah !" seru Ayes cengar-cengir.

"Ya mudah-mudahan saja kamu ditempatkan di Jawa." godaku menyeringai dan ia pura-pura tidur.

0
Share

Wah, nampaknya diriku sudah sekian lama tidak menulis tentang dunia 'perkemahan'. Jika tahun lalu postingan pertama di tahun 2021 adalah kemping di pantai, maka postingan pertama di tahun 2022 adalah staycation di hotel bintang empat di pusat ibukota. Apakah jiwa petualanganku sudah perlahan luntur sejak ada rencana berumah tangga dalam waktu dekat ?

Une berlebihan deh. Sebenarnya tidak luntur, namun hanya mengurangi frekuensi kemping sejenak sebab pada akhir pekan kini aku lebih sering mengunjungi tempat-tempat pelepas penat sekitar Bontang, atau mengantarkannya untuk membeli beberapa perabotan rumah tangga. Iya, bersama seorang lelaki yang aku ceritakan pada beberapa postinganku sebelumnya *emotsenyummalu. Kadang juga aku membuatkannya masakan sederhana yang rasanya biasa saja, dan juga kue-kue hasil eksperimenku yang menurutnya enak dan kadang terlalu manis.

"Mas, aku Sabtu Minggu ini mau ke Samarinda, acara sama temen-temen satu bagian." kataku padanya saat makan malam.

"Oh...berapa orang? Nginap dimana? Aku Sabtu masuk kerja nih."

"Ya sebagian ada sekitar lima orang, aku sekamar sendiri di Mercure."

"Mau kemana aja?"

"Paling nonton, terus naik kapal di Mahakam. Ngemall, beli skin care."

"Oh nitip sesuatu boleh?"

"Apa itu? Apa?" tanyaku berdebar.

"Jas hujan, di ACE Hardware."

Kirain nitip biar aku pulang selamat gitu mas..


Hari keberangkatan disambut dengan kondisi badanku yang kurang baik. Sedikit oleng. Aku semobil dengan Ojan sebagai driver mobil rental innova yang kondisinya sudah tak nyaman. Berulang kali kami diklakson oleh mobil yang berpapasan dengan kami karena disangkanya mobil travel.

"Hari ini kamu jadi kekasih bayaranku ya," kelakarku saat melaju  di jalan poros Samarinda yang serasa berombak karena ada beberapa titik yang rusak cukup parah.

"Bayarannya mahal loh," jawabnya.

Perjalanan yang dulunya kami tempuh rata-rata tiga jam, kini menjadi lebih tiga puluh menit. Rencana menonton Spiderman di XXI City Centrum pun menjadi telat sekitar 15 menit. Di teater aku hanya terduduk menahan kondisi tubuhku yang tidak fit, lalu ijin untuk check in  terlebih dahulu untuk beristirahat sebelum naik kapal Mahakam nanti sorenya.

Ibis dan Mercure adalah hotel yang termasuk baru di Samarinda, dua hotel itu tergabung menjadi satu dengan sharing kolam renang dan pusat perbelanjaan City Centrum. Mall tersebut juga masih sepi, dan lokasi yang paling sering dikunjungi adalah spot foto instagrammable yang tiket masuk untuk berfoto adalah sekitar Rp 65,000 ,-. Solaria, XX1, JJ Steak, dan Croffle kekinian Dear Butter menjadi lokasi selanjutnya yang ramai dikunjungi.

Pusat perbelanjaan selanjutnya yang dekat dari Mercure adalah Samarinda Central Plaza yang berjarak sekitar 500 meter saja. SCP sendiri pusat perbelanjaan yang cukup lengkap, karena sudah ada XXI, Farmers Market, departement store dan Ace Hardware, sehingga tak perlu jauh-jauh ke Big Mall untuk mencari titipannya si mas di Ace Hardware.

Lobi Mercure

Pintu masuk Mercure berada di lantai pertama, bersebrangan dengan Solaria dan Dear Butter, lantas segera aku check in yang tanpa ditarik deposit atas nama Ojan sebagai pemesan di aplikasi perjalanan dan menuju kamar yang sudah disiapkan di lantai tujuh tanpa menunggu kamar harus dibersihkan dan sebagainya.

Lorong Lantai 7, ada dispenser air untuk isi ulang air minum yang ramah lingkungan.

Mercure sendiri terdiri dari dua belas lantai, lantai pertama lobi, lantai kelima kolam renang dan restoran, dan ada beberapa lantai yang menjadi gedung pertemuan. Awal masuk kamar, aku sempat mendokumentasikan sedikit atmosfirnya, ya sebenarnya tak jauh beda dengan hotel-hotel yang pernah kusinggahi sebelumnya,  hanya saja ini ada kulkas mini dan hair dryer yang sangat membantu untuk  mengeringkan rambut sebelum berhijab.

Karena sedikit tergesa, aku lupa tak memesan tipe kasur Queen, dan dapatnya yang twin. Padahal kalau sendiri gini lebih enak queen biar puas gulung-gulungnya, hehe. Kalau sama suami nanti pun pasti lebih leluasa 'gulung-gulung' juga, wkwkkw.

Televisi di kamar pun sangat lebar, terdapat meja dan kursi didekat jendela yang mana pemandangan yang kudapat adalah kolam renang dan hotel Ibis diseberangnya.

Untuk amenities di kamar mandi ada sabun cair, shampo dan body lotion yang wanginya segar menurutku. Pun jika dirasa kurang bisa menghubungi nomor ekstension yang tertempel dibawah cermin kamar mandi, dan juga masih dalam masa pandemi, maka setiap kamar disediakan hand sanitizer mini.

Untuk makanan bagaimana? Sarapan disediakan pukul tujuh hingga pukul sepuluh di restoran di lantai lima (aku lupa nama restorannya) yang satu lantai dengan kolam renang. Dan saat jam sarapan aku salah menuju lobi karena kebiasaan sarapan di restoran yang satu lantai dengan lobi hotel, hehe.

Sebelum masuk, kami diwajibkan memakai sarung tangan plastik, mengenakan masker dan mencuci tangan untuk menghindari penyebaran covid. Tentunya aku cukup was-was memegang piring keramik dengan tangan yang berbalut plastik, karena super licin bak belut ! Namun karena ini prokes dari manajemen hotel yang menerapkan CHSE (Clean, Health, Safety, Environment) maka akupun harus mematuhi walaupun telapak tanganku berkeringat karena kegerahan. Menunya cukup bervariasi, ya standar hotel-hotel bintang empat lah, ada buah, jus buah, makanan tradisional, roti, puding, sereal, cake dan pastry. Dan rasanya juga enak sih untuk nasi goreng teri medannya, karena gurih dan aroma margarinnya terasa.

Teman-teman kantor yang sehotel denganku menemani anaknya yang sedang berenang. Aku dan Ojan sebagai kekasih bayaranku hanya duduk di kursi malas pinggir kolam dan berfoto-foto saja, sudah tua, malas renang rame-rame, haha. Aku menjadi orang pertama yang check out siang itu karena ada urusan terkait skin care. 

Staycation selanjutnya sama suami di Samarinda? Bisa jadi pilihan lagi nih :)

2
Share

Pasca final run hari kedua yang kulalui tanpa crash dengan terseok-seok di special stage 3 sekaligus pinalti 11 menit di liaison stage 4 karena terlampau lelah dan kebanyakan foto-foto, ditambah lagi ketidakjelasan status antigen/PCR di venue bagi pelaku perjalanan udara maupun laut keesokan harinya. Setelah kami menanyakan layanan antigen/PCR kepada panitia pagi harinya sebelum final run, eh ternyata semuanya ngeles mendadak yang menandakan tidak adanya layanan antigen/PCR di venue. Geblek. Kayak anggota dewan aja kebanyakan janji yang seolah-olah ditepati.

Aku dan para calon pelaku perjalanan esok pagi galau alang kepalang. Kami saling berkabar via pesan singkat untuk rencana antigen dimana, dan lawan berkirim pesankupun sudah panik.

"Gimana sih panitia kita dijanjikan ada swab di venue malah php. Kalau dadakan gini kita kan juga susah persiapannya. Masa disuruh swab di Mataram,"

"Iya om,"

"Acara selesai siang, belum packing sepeda, packing baju, mandi, dan lain-lain. Nyari kendaraannya pula, bisa-bisa nyampai Mataram layanan swab udah pada tutup." keluhnya tidak solutif. Aku menghela nafas kencang-kencang dan menggaruk kepalaku yang berkeringat. Emang dasar panitianya ngeselin banget.

Namun aku masih berusaha mencari klinik yang melayani swab untuk keperluan perjalanan di desa Sembalun. Dibantu Unul, istri dari Bang Daus diantarkannya aku dengan motor matic pinjaman ke Puskesmas Sembalun dan klinik gunung Rinjani didekat venue. 

"Kalau minggu layanan swab kami tutup kak, mohon maaf." begitulah jawaban yang kudapat dari petugas puskesmas Sembalun. "Bisa coba ke klinik Gunung Rinjani belakang pusat informasi, plangnya warna biru. Petugasnya juga berasal dari puskesmas sini kak,"

Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Unul langsung menuju klinik yang dimaksud. Klinik kosong, narahubung tidak dapat dihubungi. Kesal sekali rasanya, dan pula pagi itu cukup buru-buru karena final run di LS 3 segera dimulai.

"Jadi Une gimana...mau swab dimana?" tanya Unul membuatku kian kebingungan. Antigen sialan !

"Nggak tau, pikir setelah finish aja nanti Nul," keluhku pasrah. Kemungkinan terburuk juga di bandara Praya, semoga saja ada dan pagi sudah buka. Namun aku masih mengusahakan tidak tes antigen di bandara setempat untuk menghindari antrian atau tergesa-gesa. Ditambah lagi aku membawa tas sepeda yang pastinya menyengsarakanku apabila lokasi pengambilan sampel jauh dari bandara atau dilantai dua. Rekan kerja yang bermukim lama di Mataram aku hubungi untuk informasi klinik antigen/PCR selama 24 jam. Ia mengirimku beberapa kontak klinik namun setelah kuhubungi, mereka hanya mengaku buka hingga pukul sembilan malam.

"Ah, mana sempat kita Nul, berangkat ke Mataram dari Sembalun habis maghrib, nyampainya jam sepuluhan malam." 

"Jadi Une gimana?" tanya Unul kembali. Jemariku kembali berselancar di ponsel untuk memastikan klinik antigen/PCR di bandara sebagai opsi terakhir. Titik terang kudapatkan setelah laman resmi bandara Lombok Praya terdapat klinik antigen/PCR di lapangan parkir barat yang dibuka mulai pukul setengah enam pagi. Ah, urusan barang bawaan nanti bisa minta tolong dijagakan porterlah.

Papan penunjuk kawasan wisata

"Ayo ke bukit Selong yuk, cuma dua kilo dari sini, naiknya sepuluh menit," ajakku pada Unul dengan perut lapar plus gamang. Ia mengiyakan dengan semangat, mumpung masih di Sembalun dan pikiranku masih belum tenang gara-gara antigen.

Berkendara hanya sekira lima menit dengan berbekal google maps dan gunakan penduduk sekitar, akhirnya bertemu dengan jalan setapak kecil dengan plang kayu bertuliskan Bukit Anak Dara, kampung tenun, dan Bukit Selong. Kami berdua menuju Bukit Selong dan memarkir motor dengan retribusi lima ribu per pengunjung. Seandainya aku mendapatkan waktu cuti lebih panjang, mungkin Pergasingan dan Anak Dara kusambang jua. 

Jalan menuju Bukit Selong berupa tangga-tangga bersemen awalnya. Beberapa telah terangkat dan retak akibat sulur-sulur akar dari pohon disebelahnya. Iring-iringan sapi berkalung lonceng milik warga berpapasan dengan kami sepanjang jalur, sesuai dengan lirik lagu, "Jika hari sudah petang, sapi pulang ke kandang, saya turut dari belakang...yiiihaaa..."

Setelah anak tangga semen habis, maka dihadapkanlah kami dengan bukit dengan anak tangga dari tanah dan pegangan bambu. Cukup tinggi sih, tapi saranku kalian tetap mengenakan alas kaki yang nyaman ya, jangan wedges atau high heels. Dua santri cowok seusia anak SMP berlarian keatas bukit lengkap dengan kopiah, baju koko dan sarungnya yang berkibar. Mereka sibuk menahan sarungnya agar tak terlalu tersingkap.

Kutoleh kebelakang. Unul kelelahan, tapi aku menyemangati bahwa puncak sedikit lagi.

Hamparan sawah warga Sembalun yang berbentuk persegi tampak jajar genjang dari atas sini. Ada yang hijau, menguning dan cokelat karena telah dituai. Angin bertiup cukup kencang dan dingin meskipun cerah. Awan tipis berarak di punggung Pergangsingan yang indah. Perkampungan Sembalun dan puluhan masjid tampak dari atas sini. Para santri sibuk berfoto di spot foto berupa bintang dari bilah-bilah bambu. Salah satu dari mereka ada yang albino, dan mereka minta tolong diambilkan gambarnya.

Para santri berebut foto

Wajahku masih muram gara-gara antigen. Unul menanyaiku sekali lagi, aih sudahlah Nul, tampaknya bandara menjadi harapanku satu-satunya setelah aku tanya lagi ke panitia, mereka hanya menjawab, "Ah, kalo antigen aja banyak di Mataram nanti."

Kuajak Unul kembali, perutku sudah lapar parah. Kampung tenun sempat kami kunjungi sejenak untuk melihat hastakarya penduduk setempat. Ada lembaran kain tenun yang menggunakan pewarna alami dihargai setengah juta rupiah.

Une dan Unul

***

Pukul setengah sebelas malam aku sudah berada di Mataram. Awal check in di penginapan diseberang Universitas Mataram hal yang pertama ditanya adalah dimana klinik antigen 24 jam. Syukurlah mbak resepsionis dengan ramah menginformasikan klinik yang masih buka, yaitu di rumah sakit Biomedika Mataram. Setelah aku menghubungi rumah sakit tersebut untuk konfirmasi layanan antigen, pukul sebelas malam dengan memesan ojek daring aku langsung menuju kesana dengan drama mau ambil uang di mesin ATM yang error. Ah, syukurlah dini hari hingga pukul dua belas masih ada ojek daring yang mangkal, kalau nggak ada hampir aja aku nekat pinjem motor mbak-mbak resepsionis untuk menuju rumah sakit yang letaknya cukup jauh tersebut. Edan.

0
Share

Sejenak setelah aku berbisik padanya bahwa kita akan balapan di Rinjani pada awal November mendadak Baby Yoda jadi anak pendiam.


Baby Yoda siapa? Oh iya, belum aku kenalkan sosok Baby Yoda yang memang merupakan salah satu karakter favoritku di serial Star Wars Mandalorian yang menggemaskan itu. Namun, di tulisan kali ini Baby Yoda yang dimaksud adalah nama dari sepeda all mountain baruku. Ya, karena sosok sepedanya yang imut dan berwarna hijau pink, maka aku memberinya nama Baby Yoda.

Bukan tanpa alasan aku mengganti frame sepeda lamaku. Aku mencari frame dengan ukuran yang lebih kecil (untuk reach) dan spare part yang tidak terlalu rewel, maka jatuhlah pilihanku pada frame Santa Cruz Nomad 5 2022 CC setelah pertimbangan dan uring-uringan yang bikin galau seperti cari jodoh.

Singkat cerita seperti itu, dan setelah bike test di Tutur Welang karena tiga bulan sejak beli belum berjumpa anak baruku, maka diri ini bertekad untuk memboyongnya balapan di Rinjani. Karakter si Baby Yoda ini agak nakal di trek, tapi lebih mudah dikontrol daripada pendahulunya karena mungkin reach-nya yang lebih cocok dengan postur tubuhku ini ya.

Aku memberanikan diri mengajukan cuti kepada atasan dengan sedikit gentar dan bikin heboh orang lantai dua tempatku bekerja karena bulan lalu aku sudah mengajukan cuti dengan alasan penting untuk pulang kerumah, ada seseorang yang datang kerumah untuk berkenalan sama orang tuaku setelah 360 hari diri ini lebih memilih sendiri karena satu keluarga disakiti, hahaha. Syukurlah dengan berbekal surat sponsor dari klub akhirnya ijin balapan itupun diberikan dengan mudah, tentu saja Baby Yoda dan emaknya tertawa-tertawa gembira. Setelah dua tahun vakum balapan akhirnya ketemu lagi dengan acara balapan di tempat yang keren ini.

"Mama, ayo terbang lagi. Yoda mau main lagi." serunya dari balik tas.

"Iya jangan nakal ya." jawabku penuh halusinasi. Maklum nak, mamamu ini udah waktunya punya anak yang nerusin kiprah balapannya. Tinggal nikah saja sebentar lagi sama mas yang dua minggu lalu baru datang kerumah.

Cuti selama tiga hari itu sebenarnya cukup mepet dan melelahkan terpotong prologue dan free practice, namun aku bersyukur aja akhirnya diijinkan cuti buat memanjakan si Baby Yoda (dan sebenarnya emaknya juga). Alhamdulillah mas pun mengijinkan walau wajahnya tampak sedikit berat.

"Ya sudah, hati-hati. Nggak mungkin juga kan aku ngelarang kamu gowes," katanya dengan nada rendah. Aku janji pulang dengan selamat walau tubuhku akan memar-memar atau jalan yang terpincang-pincang. Aku janji mas.


Kamis, 4 November 2021

Perjalanan kedua bersama sepedaku yang menggemaskan. PCR yang bikin deg-degan pun akhirnya hasilnya menggembirakan alias negatif. Aku memilih berangkat dari Balikpapan karena pertimbangan waktu transit yang singkat (hanya 40 menit tanpa turun pesawat). Untuk akomodasi selama di Lombok dan Sembalun pun sudah aku koordinasikan dengan race director alias akrab dipanggil mang AT. Aku dapat satu tempat bermalam bareng rumah yang disewa panitia.

Awal mendarat di bandara Lombok bersua dengan hujan sangat deras. Untuk menuju Sembalun telah disiapkan satu mobil Toyota Hiace yang rencananya akan sharing cost dengan 7 peserta lainnya. Namun sayang hanya dua orang dan dua sepeda yang berangkat sore itu. Satu peserta lainnya adalah Om Adi dari Dragon Racing Team, Bekasi. 

"Cuma dua orang?" kami berdua serempak tanya ke Bang Maher, sopir asli Lombok yang masih berusia sekitar 30 tahunan.

"Iya, yang lainnya ternyata pada cancel berangkat besok semua." ujarnya.

"Duh, laper nih. Dari Jakarta belom makan," keluh Om Adi sambil mengelus perutnya dan memasang muka memelas. Aku juga merengek kelaparan.

"Oh, tahan lima belas menit saja bisa? Nanti kita makan di warung yang biasa dilanggan para tamu."

Kami mengangguk, dan dibawanya kami ke Resto Keker, desa Sukarara. Lokasinya lumayan menenangkan dan dekorasinya juga klasik khas Lombok dengan rumah adat mini ditengahnya, bahkan para pelayannya pun menggunakan kain songket khas Sukarara untuk menggantikan bawahan. Om Adi kalap pesan nasi dua porsi, plecing kangkung plus ayam taliwang. Dengan santainya dia bilang kalau nggak habis aku yang didapuk menjadi bagian penghabisan nasi.

Makan Siang Plus Sore Kami

"Wah wah wah...pembalap makannya harus banyak dong, biar besok kuat menghadapi kenyataan," serunya sambil mengunyah ayam pesanannya. Plecing kangkung menjadi favoritku dalam pesanan kali ini karena sambalnya sangat nikmat, gurih, dan tidak pedas. Kangkungnya pun segar dan renyah. Hujan dan kelaparan merupakan paduan sempurna untuk santapan sore yang sangat nikmat. Namun juga aku tak berani terlalu banyak karena besok harus prologue dan practice, khawatir mules on track.

Sepanjang perjalanan, Om Adi benar-benar nggak terlelap sama sekali. Ia sesekali merekam perjalanan menuju Sembalun dan melakukan wawancara pada Bang Maher. Aku yang duduk pas dibelakangnya hanya menguping sambil terkantuk-kantuk.

"Jadi julukan di Lombok itu kota apa?" tanyanya antusias.

"Pulau seribu masjid. Lihat aja setiap rukun tetangga yang memiliki kepala keluarga lebih dari empat puluh pasti ada satu masjid besar, sehingga setiap beberapa ratus meter ada masjid besar dikanan maupun dikiri."

"Wah balapan sama Indomaret dan Alfamart," celetukku dengan mata separuh tertutup. Mataku kembali segar ketika adzan maghrib berkumandang dan berhenti di salah satu masjid besar desa Terara.

Ditengah perjalanan menuju Sembalun hujan cukup deras. Bang Maher melambatkan laju mobilnya, ia berkata kabut bisa turun dalam suasana seperti ini.

"Wah seram.." Om Adi yang baru pertama kali ke Lombok dengan antusias membidikkan kameranya kejalan yang mulai berselimut kabut. Mirip seperti suasana di film hantu, rimbunan pohon merunduk kejalan dan berselubung kabut tipis.

Jalanan yang kulalui tak banyak berbeda sejak enam tahun lalu. Begitu lekat dalam ingatanku melihat salah satu lokasi tempat mobil colt yang memuat pendaki anyaran kami mogok. Iya, perjalanan kali ini menjadi obat rindu akan hawa Rinjani.


Jumat, 5 November 2021

Aku terbangun pagi-pagi pukul enam dengan shubuh yang kesiangan. Tidurku tak seberapa nyenyak karena memikirkan Baby Yoda yang masih pulas dalam tas. Maafkan emakmu yang tenaganya tak bisa menjadikanmu berdiri tegak dan siap untuk dipacu nak..

Aku mengganggu ketenangan para panitia disebelah rumah yang kuhuni bersama salah satu panitia cewek, Mbak Bekti. Oh ya, masyarakat sekitar menyebut rumah panggung yang kuhuni dengan sebutan Geleng. Hanya ada satu kamar di panggung, ada teras dibawah dan kamar mandi dibelakangnya. Imut sekali. Kalau tidur saat malam hari, banyak kumbang dan serangga terbang masuk ke kamar kami, hihihi...

Pemandangan diluar Geleng
Dua Geleng, jadi Geleng-Geleng

Salah satu panitia yang kurusuhi pagi itu adalah Om Erick Doran, salah satu track builder di enduro kali ini. Berani sekali kamu Une, tapi nggak apa-apa daripada hati yang tak tenang gara-gara sepeda yang belum dirakit sebelum prologue jam sembilan pagi ini.

Tugas selanjutnya ialah mencari tumpangan menuju titik start prologue, dari dulu ini selalu menjadi tantangan tersendiri bagi solo rider sepertiku. Namun rejeki memang, aku berkenalan dengan seorang cewek yang katanya jadi peserta dadakan yang daftar last minute. Namanya kak Ayu, asli Palembang, kerja di Lombok, dan suami di Tangerang, haha...tapi dia masih ngaku rider lokal Lombok, sehingga dia akrab sekali dengan para rider local boy. Masalah tumpangan pun aman, akhirnya aku kenal juga dengan Bli Nyoman, salah satu rider Goweser Lombok Happy alias GOLOH Bike. Ia menawarkan untuk gowes bareng ketika aku ingin kembali ke Lombok suatu hari nanti. 

Pasca Prologue
Teman-teman Baruku

Setelah prologue dengan trek yang tak terlalu sulit dan capaian waktu tiga menit, aku, kak Ayu bersama para Goweser Lombok Happy berencana mencoba stage yang paling viral dan ditunggu-tunggu dalam race kali ini, apalagi kalau bukan black stage untuk special stage 3. Kenapa dinamakan black stage? Tentu saja, karena sebagian besar 'lantai' dari lintasan ini adalah batu hitam bergelombang yang terkadang licin sebab pasir kering, menurut informasi yang kudengar, black stage adalah bekas aliran magma yang telah mengering dari perut sang Dewi Anjani yang sedang mual-mual.

Dari video yang kulihat, treknya tampak tak terlalu sulit dan kurasa bisa lebih kencang. Nyatanya, cukup susah menghafalkan line yang hendak dilintasi. Beberapa ada yang menjebak serta negatif sehingga perhitungan kecepatan rider pun harus diperhitungkan agar tidak terpeleset atau terjatuh. Kondisiku saat latihan cukup lapar sehingga agak gemetaran, kendati demikian mata dan gerakan harus tetap bersatu biar nggak cium lantai berbatu-batu, hehehe. Beruntunglah saat latihan aku ketemu Bang Daus, salah satu rekan MTB Indonesia dari Medan yang sempat race bareng di Ijen tahun 2018. Ia dengan sabar nungguin aku on track dan mengajariku teknik memilih dan melintasi line, huhuhu makasih ya Bang !

Trek sepanjang kurang lebih 1,8 km tersebut akhirnya kulalui dengan selamat walaupun sedikit terpeleset di bebatuan. Kami makan siang di warung rumahan didekat pusat informasi wisata Rinjani, masakannya enak namun pedas semua walau tanpa sambal.

"Bang ntar mau latihan dimana?" tanyaku pada Bang Daus setelah makan. Biasa nyari teman latihan.

"SS 1 dan 2 aja Ne,"

Sejenak aku teringat kata-kata kak Ayu jika SS tersebut itu karakternya sama seperti prologue dan titik startnya sangat jauh di Bawak Nao. Belum lagi drama dorong sepedanya disepanjang jalur pendakian Bawak Nao yang sangat melelahkan walaupun bisa ngojek tanpa melalui LS dengan tarif Rp 150,000 ,-.

"Nggak perlu dihafal itu, mending SS 3 aja yang jadi pr itu."

Menimbang perkataan dari kak Ayu yang orang lokal, hmm..benar juga sih kalau sekilas lihat videonya di SS 1 dan 2. Black stage alias SS 3 kalau hanya sekali latihan dijamin belum hafal line dan masih gemetaran.

Masih bisa nyengir Sebelum SS3

"Coba kontak Bli Nyoman Goloh, mungkin sore nanti mereka mau ke SS 3 lagi."

Bli Nyoman menjelaskan, bahwa timnya akan latihan ke SS 5 dan SS 6 dulu, baru jika ada sisa waktu akan ke SS 3. Dalam race kali ini, SS 5 dan SS 6 untuk kelas women, veteran dan junior tidak diwajibkan. Menurut beberapa rider SS 5 dan SS 6 itu cukup curam dan seram, terlebih lagi untuk lolos dari SS 1-4 juga sudah sangat menguras tenaga.

Power of Ibu-ibu. Une dan Unul

Rencana ikut ke SS 1 dan SS 2 setelah makan siang pun mencuat daripada ngganggur dan rebahan aja di Geleng. Aku terlambat untuk ikut kendaraan loading sehingga harus gowes sepanjang jalan (yang untungnya mayoritas turunan) untuk dijemput Unul pakai 'kereta' (orang Medan menyebut motor dengan kereta). Selanjutnya perjuangan pun dimulai, demi penghematan dan menghindari tanjakan, aku dan Unul bekerja sama untuk membonceng si Baby Yoda dengan susah payah. Tangan emaknya udah pegel megangin tubuhnya si Baby Yoda sepanjang perjalanan yang menanjak. Makanya jangan durhaka sama emakmu ini nak !

Ketemu Pendaki dari Bandung

Perjuangan selanjutnya setelah motor tidak bisa lewat adalah adegan penuh keringat alias dorong habis-habisan di jalan yang menanjak. Lewat hutan bermonyet, lalu sabana terik dimana aku acapkali bertemu dengan pendaki yang sedang turun lalu diajak untuk berfoto untuk sekedar penawar lelah dan penat. Kadang mulutku mulai menceracau karena lelah maupun kelebat rindu. Tawaran ojek yang seliweran aku tolak secara halus, ego mengatakan bahwa diriku masih mampu menuntun Baby Yoda hingga pos dua.

"Jauh banget kak, diatas sana.. Semangat !" para pendaki dari penjuru bumi pertiwi menyemangatiku. Baby Yoda menatapku iba, ia bilang hari sudah senja pukul setengah lima dan harus jaga stamina untuk pertandingan esok sehingga dapat memacunya dengan kencang dan selamat. Jangan memaksakan diri hari ini karena bisa kemalaman sampai pos dua.

Pemandangan sepanjang LS 1. Sangat indah saudara.

Ah, Baby Yoda terkadang lebih bijak daripada emaknya yang keras kepala ini.

Salah satu kang ojek menghampiri dan menawarkan jasanya. Berkat nasihat bijak Baby Yoda akupun mengiyakannya. Teknik membawa Baby Yoda bukan memangku seperti tadi, melainkan bertukar peran. Aku yang membawa motor, dan kang ojeknya yang menuntun sepedaku. Haha...edan ! Motor yang ia pakai adalah motor bebek yang ia modif bak motor trail sehingga lebih tinggi. Oke kemampuan naik motor pun diuji disini, dengan percaya diri aku menggeber motor milik kang ojek. Sepanjang jalan jika berpapasan dengan ojek lokal mereka menyalamiku.

"Wah ada ojek cantik lewat !"

"Wahh kenalan dong ojek baru nihh..."

Aku hanya senyam senyum malu sambil terkikik. Sampai pos dua pendakian (yang memang ternyata cukup jauh), Bang Daus hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat kedatanganku dengan motor modifan. Enduro-Jek ini namanya Bang !

Senja itu Rinjani sungguh cerah dan sangat cantik paripurna. Puncaknya tak tertutup awan dan diterpa sinar senja keemasan membuatnya elok sempurna, suasananya pun sejuk. Beruntung sekali aku mencoba SS 1 dan SS 2 hari ini, pemandangannya sangat indah untuk foto-foto. Baby Yoda dan emaknya pun kembali ceria melupakan LS yang menyebalkan tadi.

SS 1 dan SS 2 memiliki karakter yang hampir sama. Beberapa kali kami melewati hutan dengan lantai  penuh daun yang berbatu dan berakar. Asyik sekali! Lalu sabana yang kalau nggak full speed nggak asyik. Sempat aku terjatuh dan dengkulku menghantam batu, celanaku sobek, lututnya aman karena terlindung protector.

Masing-masing SS saat latihan aku lalui dengan rata-rata waktu 12-15 menit. SS 2 melintasi kebun kopi milik warga dan jalur trekking ke air terjun Mangku Sakti. Pukul setengah enam kami mencapai mobil loading milik panitia bersama dengan para bocah desa Bilok Petung yang menumpang di baknya.

Para Bocah Bilok Petung

Malam ini, malam sebelum race day. Aku meminta ijin kepada Mbak Bekti untuk melumuri kaki dan badan dengan minyak urut plus krim otot cespleng yang akan menimbulkan bau menyengat di Geleng yang kami tiduri malam itu.


Sabtu, 6 November 2021

Sempat kurang ngeh membaca pengumuman wave start list semalam, pagi pukul tujuh kurang seperempat aku masih bersantai-santai dikasur. Mbak Bekti bilang kak Ayu sudah siap, benar saja selang beberapa detik kemudian aku diteriakinnya.

"Neee...udah siaaap? Mau berangkat jam berapa?"

"Kan jam sebelas mbak mulainya..." jawabku enteng sambil rebahan.

"Iya kamu mau berangkat jam berapa dudul...kita bareng Bli Nyoman aja loadingnya pagi-pagi. Jalan LS pagi aja biar nggak panas dan lebih lama istirahatnya sebelum start."

Kulihat kembali jadwal di grup. Jam sebelas itu mulai jalan SS. Berarti kalau LS 2,5 jam ya bener aja berangkatnya jam segini. Kukira jam sebelas siang baru jalan LS, haha gila !

"Oohh...iyaa..iya mbak aku siap siap sepuluh menit aja!" jawabku sambil berlari terhuyung ke kamar mandi. Air dingin memacu tubuhku untuk segar kembali, jam tujuh lebih sepuluh kami menuju venue yang hanya seratus meter dari tempat kami.

"Soalnya kita harus ambil nomer, terus registrasi transponder. Biar kita bisa beli sarapan dulu, gitu...nggak terburu-buru," jelas kak Ayu. 

Aku mendapatkan nomor 110, sesuai urutanku saat prologue. Kelas women di RGIE (Rinjani Gravity International Enduro) ini hanya dibuka satu kelas saja, yaitu women open. Prediksi panitia untuk cewek hanya segelintir yang daftar, ternyata ada sembilan orang. Enam orangnya atlit asli, dan tentunya sisanya hanya tim penggembira saja, hehe.

"Kita race hore-hore saja," kata kak Ayu. Aku mengamini.

"Atlit jatuh gulung-gulung di trek, kita lari kenceng, mereka tetap juara,"

"Benar, nggak bisa dilawan. Podium sudah ada yang berhak."

"Finisher saja alhamdulillah karena treknya berat kak, haha... kecuali dibuka dua kelas masih bisa ngegas lah kita." ujarku. 

Untuk race hari pertama kami mendapatkan energy bar dari Strive, dan membawa stok air cukup banyak karena akan melewati LS panjang dan cuacanya yang sangat terik. Aku dan kak Ayu sempat membeli nasi bungkus dan menyantapnya di jalan menuju titik start LS.

Ada kejadian lucu saat menuju titik LS, kami tidak aktivasi transponder di petugas yang ada di jalanan. Alhasil kami diteriaki peserta lain di tempat start kalau disuruh nuntun sepeda dari jalan raya karena yang lainnya juga gitu. Alhasil kami harus putar balik untuk aktivasi transponder namun nggak turun di pinggir jalan seperti peserta yang lain dengan alasan ini adalah mobil loading pribadi, kalau mobil loading panitia baru diturunkan di pinggir jalan raya.

Istirahat sekira tiga puluh menit sambil menunggu wave lain mulai, akhirnya tiba giliranku pukul sembilan ditemani dengan Bang Daus. Waktu maksimal yang diberikan saat LS ini adalah dua jam setengah, ya prediksiku dua jam bisalah sampai pos dua jalan pelan-pelan.

Kaki siapa yang masih lelah mendorong di trek seperti ini? Yaitu kaki saya !

Cuaca sangat terik, tenggorokan kerontang dan berkali-kali peserta dibelakangku mendahuluhiku, nggak hanya manusia, kadang gerombolan sapi coklat pun berjalan gemulai mendahuluhiku. Ya ketika berpapasan dengan peserta lain aku sapa dengan senyuman saja sambil ngobrol basa basi plus keluhan LS neraka dengan nada sok akrab. Saat melintasi hutan sih suasananya sejuk, namun ketika sudah mencapai sabana, wuaduh panasnya minta ampun. Balap Enduro memang seperti ini, fisik, mental, stamina diperas dan diuji, jadi manajemen waktu, stamina dan logistik selama perjalanan LS harus diatur dengan baik. Kang ojek yang kemarin mengantarku berpapasan dan menawarkan jasanya kembali.

"Waduh om...ini udah balapan nggak boleh ngojek,"

"Oh gitu...yaudah semangat ya."

Jalanku sempoyongan. Ada beberapa kang ojek bertemu kembali dan mengenaliku kemarin sebagai ojek cantik menyemangatiku. Para pendaki Rinjani semuanya ngojek, aku aja yang nyeret si Baby Yoda sambil terseok-seok dan menahan rindu, eh. Tapi bukankah kamu nggak mengalami hal seperti ini sekali dua kali? Bukankah hal seperti ini yang dari kemarin kamu mimpikan? Kalau iya, rindu boleh, mengeluh jangan. 

Sungguh race musim ini penuh kerinduan yang mendalam.

"Kapok aku mas...mending dirumah aja masakin kamu hari Sabtu," ceracauku kapok yang spesial ditujukan ke mas yang nunggu dirumah walau ia tak mendengar. Keluhan itu mungkin hanya berlaku satu atau dua hari saja. Baby Yoda yang mendengar keluhanku auto ngakak kencang, rasain, bilangnya. Kalau punya anak ya harus tanggung jawab diajak jalan-jalan kayak gini dong biar nggak stress dirumah.

Tak kusangka jalan perlahan dengan tertatih-tatih sembari menikmati indahnya Rinjani dan ciptaan Allah, akhirnya sampai juga di pos sebelum start SS1. Mukaku merah sedikit legam, dan segera selonjoran memulihkan energi sebelum mulai SS1 yang butuh konsentrasi tinggi agar tidak terjungkal.

Special Stage 1

Jam sebelas tepat aku mulai jalan di SS1. Kuncinya adalah nggak terjatuh dan tetap berjalan walaupun pelan sebab kelelahan. Konsentrasi penuh, bismillah.

Baby Yoda anteng selama di trek hari pertama, nggak rewel minta cemilan. Dia tertawa-tawa senang dan memasang muka kesal kalau laju sepedanya mulai pelan sebab emakknya kecapekan.

"Sabar sayang, ayah nunggu dirumah. Ibu kan sudah janji pulang dengan selamat." ujarku berhalusinasi on track hingga hampir menabrak pohon kurus yang tak berdosa.

SS1 kulalui selama tiga belas menit, lalu SS2 pun sekitar delapan menit. Sempat di kebun kopi tersundul oleh salah satu peserta dari kelas veteran, untung omnya sabar, hehe.

Selesai balap hari pertama saat adzan dzuhur berkumandang. Aku segera pulang dan beristirahat untuk persiapan hari esok. Malamnya aku makan bakso dan sialnya dompetku tertinggal, syukurlah bertemu dengan Bli Nyoman dan kawan-kawan, sehingga selamatlah aku malam itu, haha. Ia menjelaskan bahwa akan absen di hari kedua karena wheelsetnya bengkok gara-gara ban yang bocor di SS2 ia paksa untuk tetap berlari. 


Minggu, 7 November 2021

Kak Ayu mengabarkan paginya bahwa ia berniat untuk tidak melanjutkan race hari kedua ini. Ia mengeluh demam dan nyeri pada ulu hatinya. Hari kedua tak membutuhkan mobil loading dan banyak peserta yang mengundurkan diri. Waktu maksimal untuk menempuh LS 3 adalah dua jam, dan aku start di wave paling bontot.

"Yah enggak seru kalo nggak ikut, tapi mulainya jam 9 sih, bisa istirahat dulu paginya minum obat siapa tahu membaik," rayuku pada kak Ayu dengan alasan tak mau sendiri.

"Iya..benar juga ya. Coba aku bujuk suamiku dulu...kalau boleh aku ikut semampunya aja."

"Kalau dibawa race biasanya langsung sembuh kok," aku makin mengompori, dan akhirnya dia bersedia ikut.

Menempuh LS 3 juga membutuhkan tenaga ekstra. Tanjakannya cukup mengerikan, kulihat kak Ayu berjalan sangat pelan sambil menahan sakit. Aku berjalan didepannya sesekali menoleh kebelakang, khawatir pingsan.

Banyak penduduk sekitar yang hendak menonton aksi kami di SS3, lantas kulihat kak Ayu diantar pakai motor trail dan sepedanya dibantu bawa karena ulu hatinya terasa nyeri. Aku ditawarin bonceng sepeda juga sama salah satu mekanik rider lokal, awalnya malu-malu akhirnya mau. Daripada pegel nanjak, haha, mending cheat sedikit. Toh peserta lain juga sudah nggak ada dibelakang kami, kami menjadi yang terakhir *ketawa jahat. Sehingga waktu tempuh LS 3 kami hanya sekitar 70 menit saja. Semoga Allah balas amal baikmu kakak.

Black stage yang garang menanti kami. Syukurlah cuacanya cerah, kalau hujan atau setelah hujan dijamin bebatuan ini sangat licin dan berbahaya. Pikiran mengenai line yang susah atau membingungkan atau ragu untuk diambil, mending dituntun saja, pikirku. Kalau terjatuh akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bangun dan menstabilkan mental, terkadang aku seperti itu. Bukannya kami hanya sebagai tim gembira? 

Kak Ayu mulai duluan, aku memperingatkannya untuk pelan dan tak perlu dipaksa karena kondisi badannya yang tak baik. Sebenarnya pikiranku juga sedang tak baik gara-gara layanan PCR/antigen di venue mendadak tidak ada kejelasan  dari panitia. Uh sialan, antigen dimana aku ini, penerbangan besok pagi pula.

Awal black stage kulalui dengan aman dan pelan, ya pokoknya nothing to lose, kalau ragu dituntun saja. Berkali-kali aku berhenti untuk plonga plongo bak kebo melihat line yang aman untuk dilalui, walau ada panah putih dan merah yang mengarahkan, namun aku masih saja kurang yakin. Masa bodo ada om-om fotografer didepanku lah, yang penting kan selamat dan bisa ketemu masnya setelah pulang. Di SS 3 ini memang aku sempat mengalami crash pelan gara-gara terpeleset jalur pasir curam yang licin sambil tertawa-tawa diabadikan om fotografer, selebihnya gunakan style asli lah, jalan sebisanya aja, kalau ada fotografer aja baru bergaya bak atlit. Jadinya untuk SS3 ini aku lalui selama sebelas menit plus drama berhenti gara-gara cari line paling aman.

Special Stage 3

LS 4 hanya diberikan waktu satu jam. Akh gila nih panitia, kondisi udah sangat lelah seperti ini masih disuruh jalan nanjak cukup jauh selama satu jam, trek SS lumayan pula ! Pikirku nggak apa-apalah kena pinalti waktu nantinya, yang penting kan selamat dan bisa ketemu masnya, hahaha.

Aku bertemu dengan salah satu peserta dari kelas veteran asli dari Mataram sepanjang LS. Kuajaklah ngobrol ngalor ngidul ditengah teriknya LS 4 agar tidak penat, salah satunya adalah ngobrol mengenai susu  kuda liar khas Nusa Tenggara Barat.

"Jadi Om sering minum susu kuda liar?" 

"Iya sering...kenapa?"

"Rasanya gimana?"

"Kalau diminum biasa ya asam gitu dik, jadi minumnya dicampur madu."

"Khasiatnya apa om?"

"Buat stamina aja sih,"

"Oh....kirain kalau minum tenaganya jadi kuat seperti kuda liar. Makanya kemarin sebelum race aku berniat untuk minum susu tersebut, siapa tahu nanti on track bisa sekuat dan seliar sang kuda."

Om yang terlupakan namanya tersebut mungkin terheran-heran melihat lawakan receh bocah tengil sepertiku. Percakapan ngalor ngidul pun berlanjut hingga kami berpisah di sebelum jembatan gara-gara aku ingin berfoto terlebih dahulu sambil istirahat.

Baby Yoda di Liaison Stage 4

Tanjakan mengular ternyata menanti setelah tanjakan. Aksi dorong Baby Yoda berlanjut, untung kamu frame carbon nak, jadi ringan. Suasana siang itu berawan, dan setelah mencapai start SS 4 aku tersadar bahwa kena pinalti 11 menit gara-gara kelamaan foto di tulisan Rinjani. Huh, sempat kesal antara aku yang lambat atau panitia yang memberi estimasi waktu LS 4 yang terlalu singkat, cuma satu jam padahal cukup panjang dan menanjak, huh, kesaaaal! Tapi ya mau berapapun waktunya tetap saja podium untuk yang berhak, hehehe...

Bisa dibilang SS 4 ini adalah stage yang paling santuy dan mudah. Ngeflow aja, ada beberapa section roller coaster dan rollingnya kencang, namun karena aku sudah lelah jadi aku merasa kecepatanku kurang maksimal mendekati garis finish. Sekali aku keluar jalur dan menggilas tai sapi yang setengah kering. Baby Yoda teriak jijik.

Aku mencetak hasil race ku setelah menukarkan transponder. Posisi sementara nomor lima, ah nggak mungkin, pikirku. Ada enam atlit disini, ya minimal posisi tujuh lah, haha. Dan ternyata benar aku berada di posisi tujuh dari sembilan peserta cewek. Capaian waktuku 50 menit termasuk sebelas menit pinalti di LS 4. Ah, kalau dihitung-hitung tanpa pinalti aku masuk posisi enam loh, kesel dah kelamaan dorong dan foto-foto di LS.

Pasca race, aku kembali menggalau tentang antigen. Aku curhat habis-habisan pada Unul mengenai antigen ini, dia menenangkanku dan mengajak ke Bukit Selong. Tampaknya disana memang tempat yang pas untuk berteriak sepuas-puasnya.

Ah, seru sekali berkenalan dengan teman-teman dari seluruh Indonesia. Esensi utama dalam setiap perjalananku adalah seperti itu siklusnya, berangkat sendiri - bertemu teman baru - tertawa bersama - race dengan selamat - berpisah - kembali pulang dan melepas kerinduan.

0
Share
Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

deutschland INFLIGHT ITALY jakarta Jambi jawa barat JAWA TENGAH jawa timur kalimantan selatan KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis rusia SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Yogyakarta

Popular Posts

  • ABOUT ME
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • White Thread over the Blue Sky…
    Apa itu? Jet? Mungkin itu ekornya jet… Yang kebetulan melintas… Dan mungkin ekornya tuh terdiri dari kumpulan titik-titik uap air...
  • Jadi Anak Senja Bersama Rindy di Bontang Mangrove Park
     Untuk liburan disekitar kota Bontang, sebenarnya tak terlalu rumit jika anda adalah sosok yang paling nyaman saat berada di alam atau pohon...
  • Bonus Race RGIE 2021 : Galau Antigen diatas Bukit Selong, Sembalun
    Pasca final run hari kedua yang kulalui tanpa crash dengan terseok-seok di special stage 3 sekaligus pinalti 11 menit di liaison stage 4 ...
  • Naik Argo Bromo Anggrek Bersama Adik Laki-Laki
    Rekam jejakku dalam hal perkeretaapian tak baik. Tentu saja karena bermukim di luar Sumatera dan Jawa yang sama sekali tak ada alat transpor...
  • #2 Babak Kedua Gunung Gergaji : Ingin Segera Pulang (Terakhir)
    Jika 380 hari yang lalu adalah perjalanan bersama engkau yang telah hilang, maka hari ini adalah perjalanan yang membuatku ingin segera pula...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose