Hai blogku yang sudah berdebu, hahah! Memang semenjak punya bayi kegiatan menulisku sudah berkurang. Tak hanya menulis, tapi juga main musik, eksperimen kue baru sudah tidak lagi. Luar biasa ya jadi seorang ibu, walaupun sudah ada asisten tapi rasanya kalau ada waktu luang ingin istirahat saja 😴😴
Nah, kebetulan 'pakde-bude' yang momong suami sejak balita datang ke Bontang, jadi pas pulang kami mengantar beliau ke bandara Sepinggan Balikpapan. Dua hari sebelum jadwal kepulangan, kami ajak lihat pasukan buaya di penangkaran buaya Teritip, Balikpapan. Kesempatan langka nih, di Jawa jarang ada penangkaran buaya dan pembudidayaan reptil berdarah dingin yang bisa dilihat-lihat kayak gitu. Sebenarnya sih aku yang paling semangat, karena selain belum pernah kesana, tapi juga buaya adalah salah satu hewan favoritku yang lucu.
Ehh..sebentar, hewan favorit yang lucu bagaimana?😦
Aku emang suka hewan yang ekstrim, dan standar kelucuanku untuk hewan pun tergolong aneh. Kalau orang lain menilai, buaya lucu dari mananya? Perasaan mukanya nggak ada imut-imutnya begitu kan ya. Tapi sebenarnya yang membuat daku suka sama hewan satu ini adalah filosofi sikapnya, antara lain adalah buaya itu hewan setia. Walau sering dianalogikan buaya itu adalah manusia yang nggak setia terhadap pasangannya, tapi faktanya saat musim kawin buaya itu hanya dengan satu pasangan selama bertahun-tahun. Kalau si betina mati? Ya jadi duda buaya dong.
Ia juga sangat menyayangi pasangannya, ketika sang betina bertelur, ia mati-matian melindungi telurnya dari serangan predator lain. Setelah menetas, mereka bergantian menjaga para buaya bayi dan sang induk bergantian mencari makanan. Itu sih berdasarkan artikel dari yang kubaca, aslinya? Nggak tahu!
Wah, benar-benar jauh dari sifat 'buaya' yang katanya sering ngomong : nanti cowok kamu marah kalau aku chat sama kamu, hahaha. *pengalaman kayaknya. Maka dari itu pada pernikahan adat Betawi selalu ada hantaran roti buaya sepasang, karena hal itu memiliki filosofi yang luhur, seperti melambangkan kesetiaan dan harapannya mempelai selalu dilimpahkan kelanggengan hingga akhir usianya.
So sweet sekali filosofi para buaya ini. Cowok yang nggak setia itu bukan buaya, tapi kucing yang hobi kawin sana sini, hehehe 😁
Jadii...kita ke Penangkaran Buaya Teritip yang dikelola oleh Satwa Lestari Jaya yang masuk dalam anggota PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia) sekitar pukul dua siang pada hari Senin, lokasinya pas di seberang kantor kelurahan Teritip ada jalan kecil masuk kedalam, dan kami langsung disambut oleh dua patung buaya. Suasana lagi panas-panasnya dan tentu saja sepi! Hanya ada rombongan kami, beberapa orang content creator dan sepasang muda-mudi. Si dedek bayi gimana? Ya dia ikut serta dong, nonton buaya ya dedek, untuk memupuk rasa cinta terhadap para satwa sejak dini.
Tiket masuk per orang Rp20,000 ,- untuk dewasa pada hari kerja. Ada beberapa ruangan yang disekat untuk kandang buaya yang dipisahkan sesuai ukuran dan usianya, ada yang bertuliskan 'Remaja', mungkin untuk buaya yang berukuran sedang. Pengunjung dapat melihat dengan memijak pijakan kayu ulin yang tersedia. Selalu patuhi rambu-rambu keselamatan yang tertempel ya, seperti awas tangan dan jangan melempar apapun ke kandang buaya.
Sebagian besar buaya yang kami temui adalah buaya muara (Crocodylus porosus) yang banyak hidup di sungai-sungai Kalimantan. Ada beberapa yang sedang asyik berjemur dengan posisi mulut terbuka lebar, ternyata mereka melakukan hal itu untuk menghangatkan suhu tubuh karena mereka adalah hewan berdarah dingin (polikiotermik) yang tidak memiliki kemampuan mengatur suhu tubuhnya.
Kandang buaya berukuran 'Remaja' |
Sepertinya ini yang akan dikuliti untuk aksesoris |
Oh ya, betapa beruntungnya kami saat berkunjung, karena pas saat feeding time! Dua mobil bak terbuka masuk mengangkut ratusan ekor ayam 'tiren' alias ayam busuk untuk dijadikan santap siang para buaya Teritip. Mas-mas penjaga teritip menawari kami untuk sekalian nonton atraksi langka ini, dan disambut oleh decak antusias pengunjung. Kata penjaga, pencernaan buaya cukup lambat, jadi hanya perlu diberi makan seminggu dua kali saja.
"Bentar ya mas, mbak, aku makan siang dulu biar aku nggak gemetaran dan jadi santapan buaya," kelakar mas-mas penjaga dengan kocak.
Setelah itu feeding time pun dimulai. Ayam busuk yang dikerubungi lalat hijau itu dilempar-lemparkan ke kandang dan para buaya menyambutnya dengan gembira. Cipratan air bercampur lumpur pun tak terelakkan. Rebutan. Content creator antusias dan segera menerbangkan drone mereka untuk mengabadikan situasi langka ini dari udara. Kalau nggak pas feeding time, ya nggak bakal kita lihat buaya-buaya ngumpul arisan kayak gini. Paling hanya ada satu dua yang mager sambil mangap di pinggir kolam.
"Itu buaya paling senior disini, usianya sekitar 60 tahun, pernah makan orang." salah satu penjaga menjelaskan padaku. Ia menunjuk pada seekor buaya sepuh super besar berukuran sekitar 4-5 meter yang gerakannya sudah lamban. Ketika diberi makan ia hanya mangap-mangap saja, tak aktif menyambar makanan seperti buaya lainnya yang masih muda.
Buaya tertua di Teritip. Kalau lihat aslinya besar banget ! |
"Namanya pak?" tanyaku.
"Aihh..nggak ada namanya itu, yang itu dari Sangatta, sama Muara Bengalon." tunjuknya lagi. Wuih, hebat bapak satu ini bisa hafal buaya mana yang dari Sangatta atau Bengalon.
"Iya memang buaya sana ganas-ganas dan sering makan orang loh pak,"
"Makanya itu."
Di penangkaran buaya ini sebenarnya juga ada gajah lampung yang biasanya berjalan di depan rumah lamin. Pengunjung juga dapat berfoto dengan gajah, namun kegiatan itu hanya dapat dilakukan di hari Minggu, hari-hari biasa gajahnya dilepas di hutan. Infonya seperti itu.
Bukan Une namanya kalau nggak nyoba foto sama buaya. Cukup bayar Rp.10,000 ,- per orang, maka langsung bisa foto sama buaya muara yang masih balita dengan usia 5 tahun. Tenang, ada pawangnya. Dan aman, karena mulut buaya sudah terikat, kondisi buaya juga bersih. Yang penting tetap tenang, pasti selamat kok!
Untuk kios souvenir, disediakan juga beberapa ukiran buaya maupun produk dan olahan dari tubuh buaya, seperti gigi buaya, tangkur (alat kelamin jantan) buaya, minyak buaya, dompet buaya, atau ikat pinggang dari kulit buaya. Bahkan ada yang jual makanan sate buaya, kalian berani coba? Tapi bagi muslim ini non halal ya.
"Untuk aksesoris kulit biasanya kami pilih dari buaya yang masih usia muda, karena tekstur kulitnya masih apik dan nggak kaku. Tapi kalau yang sudah indukan kami pertahankan," jelas salah satu penjaganya saat aku memegang dompet pria kulit buaya senilai setengah juta rupiah.
Akhirnya 'hasrat buayaku' untuk melihat buaya terpuaskan! Untuk kalian yang ingin wisata ekstrim di Balikpapan bisa berkunjung kemari ya !
No comments:
Post a Comment