Si Kecil Kooperatif Sejak Dalam Kandungan

 Siapa kira, gurauan yang awalnya kuanggap receh pada malam-malam terakhir Ramadhan 1443 Hijriah di selasar masjid bersama seorang kawan, diamini oleh para malaikat dan menyampaikannya kepada Sang Khalik. Pagi itu begitu dingin di salah satu sepuluh malam terakhir Ramadhan kala itu. Entah malam ganjil atau genap, aku tetap bermalam di masjid walau jarak tempuhnya jauh dari indekosku.

"Tahun depan kayaknya nggak bisa lagi deh nginap-nginap di masjid, tarawih, qiyamul lail di masjid, shalat idul fitri..." gumamku cengar cengir pada temanku.

"Lah emang kenapa mbak?"

"Ya...bakalan sibuk ngurus bayi. Menyusui lah, ganti popok lah," ujarku menggaruk-garuk kepala. Bingung apabila hal itu terjadi, apa yang harus kulakukan? Aku kan paling cuek sama anak-anak.

"Oh iya ya, mbak dua minggu lagi mau nikah. Aamin mbak...semoga beneran ya ! Mengurus anak juga pahala loh mbak,"

"Makanya nikmati malam-malam di masjid tahun ini." kelakarku lalu segera bersiap untuk santap sahur.

Aku seorang manusia biasa hanya bisa menganggap itu adalah sebuah gurauan belaka, sehingga beberapa hari kemudian sudah menjadi obrolan biasa yang terlupakan. Namun para malaikat mencatat ucapanku sebagai doa mustajab di sepuluh malam terakhir. Allah mengabulkan 'gurauan baik' itu.

Sekira empat minggu setelah menikah, aku mengeluh telat haid. Tak pernah seterlambat ini. Gejala yang kurasakan seperti hendak haid; paha pegal, pinggang pegal, payudara terasa lebih sensitif. Tak ada perasaan mual sama sekali.

Lantas aku melakukan uji kehamilan mandiri beberapa kali. Awal pengujian masih negatif, lalu selang dua hari garis merah tipis mulai tampak, dan selanjutnya jiwa eksperimenku muncul, tiga hari kemudian aku mencoba dengan beberapa alat uji dengan merk berbeda, dan hasilnya positif semua.

Benar-benar kuingat wajah suami bangun tidur yang melihat hasil uji tersebut. Wajah mengantuk sambil bahagia. 

"Dek..positif?"

"Nanti malam ya kita ke dokter kandungan, memastikan."

Dan ternyata usia kehamilanku dari hari pertama haid terakhir telah berusia 5 minggu. Kantong kehamilan kecil yang kelak menjadi rumah pertamamu tampak di rahimku. Hatiku berdetak kencang, aku hamil?

"Belum tampak janinnya ya bu. Nanti bulan depan kontrol lagi, kita cek janin dan denyut jantungnya. Sementara ini saya resepkan suplemen asam folat ya, diminum rutin setiap hari."

Hanya kalimat 'Alhamdulillah' yang kuasa kami ucapkan. Sepanjang perjalanan pulang...eh beli makan malam aku memeluk erat pinggang suami yang memboncengku diatas motor pink dengan mata dan rongga hidung yang basah. Tak percaya Allah menitipkan kepercayaan dalam sekelip mata usia pernikahan kami.

"Jaga baik-baik ya dek," hanya itu pesan yang suami sampaikan dengan suara yang bergelut dengan angin malam.

Aku membenamkan wajahku ke punggung lebarnya, namun sayangnya terhalang visor helm.

Bulan selanjutnya aku dengan diantar suami kembali kontrol. Jujur perasaanku gugup, takut ini hanyalah kehamilan kosong atau janin tak berkembang. Saat namaku dipanggil, keringat mengalir di tengkuk. Perawat mengoles gel dan sang dokter menempelkan transduser dan menggeser-gesernya diatas perutku.

"Ini sudah tampak ya janinnya bu, masih kecil...sekitar 2,5 cm. Air ketubannya cukup ya, jantungnya sudah bisa berdetak, ini suaranya."

"Dug dug dug dug dug"

Kami mendengar bersama suara detak jantungmu untuk yang pertama kali. Air mataku kembali menetes, perasaanku...entahlah...hangat...hangat sekali. Kuyakin suamipun merasakan hal yang sama.

"Detak jantungnya normal ya bu,"

"Dok...kalau kami melakukan perjalanan dengan pesawat aman ya?" tanyaku. Pekan depan kami akan babymoon ke Manado.

"Terbang dalam usia kehamilan berapapun aman. Kecuali diatas 35 minggu...ada maskapai yang memberi kebijakan dilarang terbang di usia kehamilan sekian. Saya buatkan surat keterangan ya,"

Dan itu adalah penerbangan serta petualangan pertamamu, sayang.

Kontrol kehamilan ketigapun kembali kami lalui dengan hati yang bergetar. Kata orang trimester pertama alias hamil muda itu rawan keguguran. Apalagi masa-masa organogenesis, alias pembentukan organ. Apakah perkembangan si kecil terganggu gara-gara aku berulah snorkeling di Bunaken bulan lalu?

"Mas, tiap kontrol aku kok takut ya," 

"Sama dek, takut si kecil kenapa-napa."

Aku mengelus perutku yang belum membuncit. Kamu lagi ngapain sayang?

Kontrol yang ketiga kali adalah saat pertama kalinya aku dan suami melihatmu dalam bentuk yang lebih utuh. Kepala, hidung, tangan, tubuh, dan kaki kecilmu yang nantinya senantiasa kubelai telah menunjukkan bentuknya. Rahimku tampak meregang, dokter mengubah tampilannya dalam visual 3D, sudah berbentuk manusia mini, dengan wajah yang belum tampak jelas dan tangan-tangan yang masih kecil.

"Ketubannya normal ya bu, detak jantungnya juga bagus, Alhamdulillah. CRL (Crown Rump Length/panjang janin) sekitar 7,89 cm. Normal untuk usia kehamilan sekian."

Aku mengelus dada lega. Kebandelanku ternyata masih membuat si kecil aman didalam rahim. Ia juga tak menimbulkan hal hal yang membuat aktivitasku terganggu setiap harinya. Tidak mual, ngidam, pusing, apalagi anti sama aroma suami, malah makin sayang.

Kami melihat pergerakan si kecil untuk pertama kalinya, ia bisa berguling membelakangi kami, menunjukkan ruas tulang belakangnya, mengangkat kedua tangannya dan memamerkan jemari kecilnya dan mengepal-ngepal seolah-olah menyapa orang tuanya.

"Hai ayah, hai ibu."

Sekuat tenaga kutahan air mata haru ini. Dalam islam, usia empat bulan memang telah ditiupkan ruh dan percakapan pertama si kecil dengan sang pencipta.

Semoga kelak kamu jadi anak sholeh/sholehah, sayang.

Perasaan gusar di kontrol keempat ini sudah mulai berkurang, namun perubahan fisik mulai nyata kurasa. Perut membuncit, frekuensi buang air kecil yang sering, dan telapak kaki yang mulai nyeri. Kakimu sudah bisa terlipat karena ukuranmu yang semakin besar. Semakin rajin bergerak lucu dengan berat sekitar 260 gram.

"Lingkar kepalanya normal ya bu,"

"Panjangnya berapa dok?"

"Kalau usia segini sudah ukur beratnya bu, bukan panjang lagi karena kakinya sudah bisa terlipat."

Paha kecilmu lucu sekali. Tanganmu mengepal dan bergerak-gerak.

Kamu makin besar, sayang. Gerakanmu sudah mulai bisa kurasa walaupun samar. Kombinasi tinjuan, tendangan, bak orang yang berlaga pencak silat. Tapi kamu jadi pendiam kalau perut ibu dielus ayah. Kenapa sayang? Padahal ayah sedang menyapamu :(

Hasil USG di kontrol kali ini semuanya dalam kondisi normal, hanya saja posisimu masih sungsang. Kamu terbaring dengan plasenta yang menaunginya, bak payung raksasa. Posisi plasenta juga sangat mepet dengan jalan lahir ibu. Mohon bantuannya ya sayang...komunikasi dengan si plasenta agar bisa bergeser sedikit keatas atau tumbuh melebar keatas sehingga tak menutupi pintu keluarmu nanti. Kalau tertutup, harus jebol dinding ibu dulu dong, hahaha ! Tapi tak mengapa, demi bisa memelukmu, sayang.

Ketika dokter mengubah dalam tampilan 3D, tampak tubuh mungilmu membelakangi kami, meringkuk dan memeluk kepalamu. Seperti pose ngambek, habis dimarahi karena nggak boleh beli balon.

"Ada keluhan hingga sekarang bu?"

Aku mantap menjawab, "Tidak ada dok! Semuanya baik-baik saja."

Kulalui masa kehamilan ini dengan bahagia. Keluhan kecil pun masih mampu kukendalikan sehingga hari-hari masih dapat dilalui seperti biasa. Hamil kebo, orang bilangnya. Namun sebenarnya aku hanya berusaha memengaruhi psikisku saja, jangan sampai ngidam, jangan sampai malas-malasan. Ibu hamil bukan orang sakit !

Dan satu lagi kejutan yang ayah ibu dapatkan, kamu seorang perempuan sayang !

Tendangan-tendanganmu yang awalnya serasa elusan ringan, kini mulai terasa kian kencang. Ketika ibumu tiduran, anggota tubuhmu mulai bergerak-gerak membuatku tertawa dan gemas. Rasanya ingin kutelan kamera pengawas agar dapat mengintai kegiatanmu setiap saat. Tapi aku tahu itu adalah hal yang bodoh bin mustahil.

Kontrol di bulan November, beratmu sudah 1,2 kg dan kondisi sehat. Kepalamu sudah berada di jalan lahir di minggu 27 ini. Tapi kenapa kamu tak mau menampakkan wajahmu kepada kami? Malu ya sayang? Padahal ibu sudah ngobrol ke kamu sebelum kontrol kalau kami ingin lihat wajahmu di dalam alam rahim. Setiap bulannya bapak dan ibu sudah rela antri dua jam untuk kontrol yang hanya selama sepuluh menit...dan harapan untuk lihat wajah kecilmu...

Aha! Di bulan Desember ini aku sudah tahu trik bagaimana biar nggak ngantri lama di klinik dokter kandungan. Pulang kerja, aku langsung tulis nama di daftar antrian, alhasil dapat nomer tujuh. Dipanggilnya juga nggak lama, sekitar 45 menit dari kedatangan calon ayah dan ibumu, yeey !

Sejujurnya, badanku mulai merasa berubah di bulan kedelapan ini. Sering kram, kebas di jari tangan, pergelangan tangan ngilu, sesak nafas saat tidur, hiks. Tapi semua itu tak berasa apapun saat kondisimu diperiksa oleh bu dokter bahwa semua kondisinya normal dan beratnya sudah 2,1 kg...tapi....kepalamu berputar lagi keatas, alias sungsang ! 

Denyut jantungku berdebar, waduh nanti ini, nanti itu...walau kusadar ini bukan kondisi berbahaya.

"Dok..masih bisa muter nggak ya? Atau sudah mentok posisinya? Atau perlu gerakan khusus?" kuberondong bu dokter dengan pertanyaan-pertanyaan penuh kegusaran.

"Bisa, nanti saya ajarin caranya. Nanti sering-sering saja dilakukan dirumah ya,"

Ternyata gerakannya cukup bikin pegal, anakku. Jadi mohon kerjasama yang baik ya sayang, kita bertiga ini tim yang kuat dan hebat. Maafkan aku yang jarang ngelus kamu dan ngajak ngobrol akhir-akhir ini karena capek kerja di akhir tahun.

"Dok wajahnya kelihatan nggak ya?"

"Wah ini menghadap kebawah lagi..tapi coba kita lihat dari samping ya,"

Tampilan USG berubah menjadi 3D. Wajahmu terhalang lengan dan paha, persis seperti mau senam lantai.

Bu dokter menggerak-gerakkan transduser di perutku dengan harapan tangan dan pahamu mau turun. 

Nyatanya tidak, tanganmu hanya bergerak sedikit. Kamu  pemalu ya sayang? Atau mau bikin kejutan penuh cinta pada kami awal Februari nanti?

Pekan ke 35, si kecil sudah menggendut dengan berat 2,6 kilogram. Kepalanya sudah dibawah, tapi belum masuk panggul. Kata bu dokter sih normal semua, tapi disuruh kurangi konsumsi makanan manis supaya beratmu nggak melonjak di akhir masa kehamilan sehingga bisa lahiran dengan prevaginam. Tapi kamu memang pemalu seperti bapakmu, wajah kamu tutupi dengan lengan, hanya kelihatan sedikit dari samping. Telapak kaki kecilmu kelihatan jelas saat itu. Kata bu dokter aman, tidak ada celah di bibirmu ya sayang :)

Dua pekan lagi kontrol, mudah-mudahan kepalamu masih bertahan dibawah ya sayang :) Aku juga harus lebih rajin bergerak, jalan kaki dan berenang, biar kepala kecilmu cepat turun kebawah, haha !

Sudah masuk pekan ke 37. Kepalamu masih dibawah namun belum masuk panggul. Kondisimu di alam rahim masih sangat baik. Sekira dua puluh satu hari lagi waktumu untuk pindah dunia. Hati kami makin berdebar nak, akupun makin rajin berjalan kaki ditemani ayahmu agar kepalamu bisa segera masuk panggul dan merasakan gelombang penuh cinta, hehehe.

Pekan ini antenatal care sudah tiap minggu. Rabu ini kami kontrol ke dokter yang berbeda di rumah sakit yang rencana kami tuju untuk bersalin, karena dokter yang kami langgan sedang sakit. Perasaanku biasa saja, tak ada prasangka apapun, badan masih terasa sehat walau selangkangan terasa sudah tertekan sehingga keinginan untuk buang air kecil makin tak terkendali. Tampaknya kepala kecilmu sudah masuk panggul ya sayang :)

Pak dokter melakukan pemindaian USG padaku, bagian bawah pusar sedikit ia tekan untuk memastikan posisi kepalamu. Beliau berkata, "Wah, kepalanya sudah masuk panggul sih ini. Ketubannya terhitung cukup, walau sudah sedikit berkurang. Tali pusarnya sudah tua nih, dan plasentanya sedikit berkapur ya kalau sudah hamil tua gini. Beratnya sekitar 3,4 kg, wah ibu ini udah gede banget bayinya. Nggak usah makan manis dan kurangi karbo ya, diet! Setengah mati nanti kalau lahiran normal."

Aku tersenyum malu-malu saat itu. Perasaan udah nggak minum manis deh.

"Ini sudah aterm (cukup umur) ya, kalau lahiran sekarang ya bisa-bisa aja. Coba cek detak jantungnya ya,"

Wajah pak dokter yang berkaus merah itu berkerut. Lalu mengulanginya lagi.

"Wah bu, detak jantungnya agak kurang baik ya. Cepet ini 180, normalnya kan 160an. Saya CTG ya malam ini untuk memastikan keakuratannya."

Kami menyetujuinya, lalu diantar oleh perawat ke ruang bersalin yang superdingin untuk dilakukan kardiotokografi.

"Santai saja ya bu, " ujar sang perawat sembari mengoleskan gel dan menempelkan piringan hitam ke perut besarku.

"Ditunggu sepuluh menit ya,"

Sepuluh menit berlalu, dievaluasi oleh dokter hasilnya masih kurang baik. Lalu diulang sekali lagi, hasil masih reaktif, detak jantung takikardi alias terlalu cepat. Lalu perawat memberikanku oksigen dan memasukkan cairan intravena. Katanya dengan resusitasi cairan, diharapkan detak jantung janin membaik.

"Tenang dik, jangan gugup, tarik nafas ya." pak suami menenangkanku. Memegang tangan.

Aku berusaha untuk sangat tenang. Hujan saat itu turun dengan derasnya pukul setengah dua belas malam, aku menggigil.

"Bu, mau rawat inap saja ya malam ini. Ini detak jantung masih buruk, janin didalam nggak sejahtera ini." kata pak dokter yang berdasarkan pengalaman teman lain terkenal ceplas ceplos dan to the point sesaat setelah membaca hasil CTG. "Tapi saya konsultasikan ke dokter yang biasanya merawat ibu, kan ini biasanya bukan saya. Biar keputusannya di beliau."

Aku dan suami berunding, dan mengiyakan tawarannya. Eh, ternyata perawat masuk dan mengabarkan bahwa bu dokter yang biasanya merawatku untuk dilakukan prosedur sectio caesaria malam itu juga untuk menyelamatkan ibu dan janin.

"Siap kan bu?"

Betapa terkejutnya aku. Harapan untuk lahiran natural hilang sudah. Latihan nafas selama ini serasa sia-sia. Jungkir balik hingga pinggang sakit untuk memutar kepala janin rasanya pun sia sia karena harus berakhir di meja operasi.

"Mas..." aku menggenggam lengan suami.

"Dik...kita tak tahu yang terbaik yang mana. Sudahlah, kita turuti saran dokter ya, demi kamu dan si kecil." jawabnya dengan wajah gusar juga. "Nanti pakaian bayi dan kopermu kubawa sekalian, aku mau urus administrasi dulu."

Beruntung sekali semua keperluan bersalin sudah aku siapkan sebulan yang lalu untuk mengantisipasi kejadian darurat seperti ini. Jantungku makin berdebar antara panik dan tak sabar. Jadi dini hari nanti aku sudah jadi ibu? Aku sudah bisa menggendong si kecil keesokan harinya? Sungguh...Allah maha menentukan. Cuti kerja sudah kuajukan per tanggal 1 Februari, dan tanggal 26 Januari ternyata aku akan segera menjadi ibu.

"Sudah siapkah untuk menarik nafas pertamamu di dunia? Sudahkah kamu berlatih mengecap jempol untuk persiapan menyusu?" lamunku sesaat, lalu dibuyarkan oleh deritan pintu yang dibuka oleh perawat berhijab kelabu.

"Bu...ternyata operasinya dijadwalkan besok pagi pukul delapan. Saya antar ke kamar rawat dulu untuk istirahat ya bu, besok subuh terakhir minum air dan konsumsi madu atau makanan manis. Jam enam sudah mandi dan pakai baju operasi ya bu."

Aku berjalan tertatih menuju kamar. Suami menguatkanku. 

"Dik, istirahat ya. Jangan terlalu dipikirkan, semua akan baik-baik saja."

Hujan menderas, aku tak bisa tidur nyenyak. Hanya tetesan cairan infus yang terdengar dini hari itu. Pak suami pulang mengambil perlengkapan bersalin, hingga pagipun tiba. Aku segera mandi dan berganti pakaian operasi warna biru.

Setelah dites alergi antibiotik dan dinyatakan aman, maka pukul setengah delapan aku yang terbaring diatas ranjang dibawa menuju ruang operasi. Gimana perasaanku saat itu? Pasrah dan jujur aku gusar, gusar sekali. Semuanya sangat mendadak, namun harus segera dilaksanakan. Pikiran buruk aku buang jauh-jauh.

Ruang operasi sangat dingin, persis seperti di tivi-tivi. Aku segera dipindahkan ke ranjang operasi dan dibawa ke kamar operasi nomer dua. Tangan suami yang hangat segera aku lepaskan karena pendamping tidak diperkenankan masuk untuk mendampingi apalagi bikin vlog operasi bak artis masa kini. Metode operasi yang digunakan saat itu adalah ERACS, yang diyakini jangka waktu penyembuhannya lebih cepat.

Tulang belakangku dibius epidural. Sesaat bagian pinggang kebawah terasa hangat...lalu kebas dan mati rasa.

"Sudah kesemutan bu? Efeknya memang begitu ya," 

"Iya dok,"

"Kalau telentang gini  sesak nafas?"

"Iya..kalau hamil tidur telentang sering susah nafas.." aku menjawab parau nan serak.

Di ruang operasi itu aku betemu dengan dokter kandungan yang biasa merawatku. Beliau menyemangati, berkata kalau diinduksi dengan denyut jantung takikardi dikhawatirkan sang janin tidak kuat. Lalu selanjutnya aku dibaringkan, tanganku direntangkan, dipasang kain hijau untuk menghalangi pandanganku, dan sesaat hanya terasa perutku ditekan-tekan. Rasanya mengantuk sekali, ujung kakiku lemas dan tak bisa digerakkan. lampu operasi yang menyilaukan tak menghalangi rasa kantukku. Para dokter dan perawat yang terlibat operasi tampak santai dan sesekali bernyanyi lagu malaysia lawas.

Tiga puluh menit kemudian, ada tangis yang pecah. Seorang bayi. Tangisnya masih tersedak, lalu akhirnya melengking di ruang dingin pagi itu. Aku terkesiap bangun, namun air mataku serasa beku. Perawat menunjukkan sang bayi itu kepadaku yang baru bergelar ibu.

"Ibu...ini anaknya perempuan ya, kita inisiasi menyusui dini dulu,"

Makhluk kecil itu ditempelkan di dadaku untuk awal menyusui dan mendapatkan kolostrum. Kamu sangat pintar sayang, bisa menyusu dengan lancar! Perawat dan dokter semua memujimu.

"Saya bawa keluar untuk bertemu ayahnya ya,"

Si kecil dengan berat 3,1 kg dan panjang 48 cm bertemu ayahnya untuk pertama kali dan dikumandangkan adzan di telinga kanannya. Operasi selama 45 menit berakhir, dan perutku terasa lapar luar biasa. Aku melihat baju operasiku penuh darah dan air ketuban, dan akhirnya segera dimobilisasi ke kamar untuk berkumpul bersama anggota keluarga baruku. Perjuangan selanjutnya menanti untuk mengASIhi, belajar bangkit kembali pasca operasi ERACS setelah delapan jam yang penuh derita, hingga jadwal tidur kami yang berubah drastis. Ya, ibu harus rela mati hidup untuk buah hatinya.

Selamat datang di dunia, sayang !

Tak ada rumah secanggih rahim. Ia bisa menghidupi setetes air, menjadi segumpal darah, gumpalan daging hingga manusia utuh yang siap terlahir ke dunia. Disana pula makhluk kecil itu melakukan percakapan pertama dengan sang pencipta.

Tiga puluh delapan minggu bertumbuh dengan damai di rumah pertamamu, berkawan dengan tembuni, berkubang di air ketuban. Dan kini kamu bersiap memasuki masa transisi dari alam rahim ke dunia. 

Mari kita berusaha dan hidup bersama.

Kelak ibu ingin memberikan tulisan ini kepadamu, tatkala kamu sudah tumbuh besar dan bisa menelaah kata-kata dalam tulisan ini.

Ayah dan ibu sayang kamu, tumbuh dengan kuat dan sehat nak. Kami ingin melihatmu tumbuh dewasa bersama-sama.


Bonus :

Rumah pertama si kecil yang sudah kosong, kata bapaknya siap diisi kembali :')

Unesia Drajadispa

No comments: