20 Juli 2022
Jalan berkelok-kelok kami lintasi dari Tondano menuju Manado diiringi dengan lantunan musik masa kini yang menemani babymoon kami. Siapa lagi yang menjadi navigator kami kalau bukan sang Google Maps.
Rute yang dilintasi memang sempit, naik turun dan ada yang melalui perkampungan warga yang membuat kami menjadi ragu; apakah berada di jalan yang benar atau maps yang menyesatkan? Lantas kutelusuri rute di maps yang ternyata masih bisa dilalui hingga tujuan. Syukurlah kondisi jalan yang tak rusak, sehingga pak suami tetap tenang dan senang mengemudi tanpa keluhan.
"Mual nggak dek?" pak suami bertanya memecah keheningan sore.
"Ehm..sedikit sih, tapi nggak pengen muntah. Aku rebahan sebentar ya." jawabku lalu melepas sabuk pengaman dan menidurkan sandaran kursi depan mobil sewaan tersebut. Di trimester pertamaku ini mual yang dialami sangat ringan, rasanya seperti perut yang kenyang lalu dipaksa gowes melintasi tanjakan. Obatnya hanya rebahan dan istirahat, niscaya tiga puluh menit setelahnya badanku pulih kembali.
Tak terasa kami sudah masuk kota Manado menjelang maghrib. Macet, suasana khas ibukota, dan anehnya kondisi penerangan jalan yang minim sehingga gelap dan membingungkan kami. Aku berulang kali salah dalam membantu navigasi pak suami, sehingga ia cukup kesal melihat bakat alami wanita yang katanya kurang cakap membaca maps.
Manado Tua Kala Senja |
"Sudah-sudah biar aku aja sini yang baca maps !" ia mengambil ponsel dan meletakkan di pahanya. Aku hanya diam, nggak berani bantu lagi. Takut salah, hahaha.
Pukul setengah delapan malam kami tiba di hotel di sekitaran area Megamas untuk beristirahat. Kondisi badan kami sama-sama lelah, dan setelah membersihkan badan kami berencana langsung tidur.
"Kemana kita besok ini?" tanya pak suami.
"Kemana ya? Muter-muter kota saja? Biasanya sih kalau orang kesini ya ke Bunaken sana," aku memberi saran sambil menyisir rambutku dengan jari, khawatir pendapatku ditolak gara-gara sedang hamil.
"Ya sudah lihat besok aja."
*
Paginya setelah sarapan, kami berjalan kaki di area Megamas yang tepi laut. Megamas adalah pusat bisnis kota Manado, the Heart of Manado katanya. Laut biru jernih dan bersih, kian sempurna dengan paduan langit yang maha cerah. Dari kejauhan tampak Manado Tua yang menantiku untuk kesana.
"Lautnya bersih banget ya dek, nggak kayak di Bontang. Padahal disini kan sebelahnya pertokoan, kok bisa bersih begini ya?" pak suami melontarkan pembuka percakapan pagi
"Iya, hebat ya. Nggak kayak di Bontang, lautnya kotor, keruh dan banyak sampah. Kalau aku jadi ikan di perairan Bontang, bakal stress dan bunuh diri." gurauku setelah teringat salah satu sudut laut di pemukiman kota Bontang. Kotornya bukan main, segala jenis sampah terapung disana seperti sandal putus, kursi plastik, botol plastik, diapers hingga pembalut wanita.
Kok ya tega orang-orang mengotori habitat ikan kayak gitu.
"Jadi kita kemana nih?"
"Lihat jembatan Soekarno yuk," ajakku.
"Habis itu?"
"Yaa..nanti kita liat,"
Kami sempat berputar-putar kebingungan menentukan destinasi selanjutnya setelah melalui jembatan Soekarno, lalu aku memberanikan diri untuk mengajak ke Bunaken walau hari itu sudah cukup siang. Sebelumnya aku diam-diam menghimpun informasi dari rekanku yang bermukim di Manado, perjalanan menyebrang hanya 30 menit, cukuplah kalau berangkat siang ini.
"Kalau dadakan, kami biasanya lewat dermaga Marina cari kapal untuk nyebrang," jelas Mbak Teti kepadaku via pesan singkat.
"Terus apalagi tipsnya mbak?"
"Bawa makanan, kalau beli disana harganya preman. Pengalaman sih aku,"
"Oh iya, kalau ke Bunaken nggak snorkeling ya rugi...kalau di pulaunya aja ya nggak ada apa-apanya, Ne, cuma orang jualan saja. Nanti biasanya sama kapalnya dibawa ke tengah kalau mau snorkeling."
"Siaaap mbak,"
Itu info yang kudapat sebelum menuju ke Bunaken, dan Pak Suami langsung mengiyakan saja ajakanku. Nah, bumil jadi senang dong, dan kami menuju dermaga Marina untuk mencari kapal.
Aku bertanya pada seorang pria mengenai keberangkatan ke Bunaken, setelah sebelumnya sempat bingung karena nggak ada keterangan sewa kapal atau informasi, eh ternyata beruntung aku bertanya kepada orang yang tepat, beliau yang bernama Ramadhan merupakan pemandu yang biasa membawa wisatawan ke Bunaken.
"Wah kebetulan saja kita baru antar pengunjung juga dari sana." katanya.
"Berapa sewa kapal biasanya Om?" tanyaku.
"Berapa yang berangkat?"
"Dua aja om, siang ini."
"Biasanya sih 1,6 juta sudah pulang pergi tapi nggak ke Siladen. Kapal kami muat sekitar 15 orang, biasanya cuma 30 menit dan ada kacanya untuk melihat terumbu karang nanti. Atau mau naik speed? Harganya kurang lebih aja kok." tawarnya pada kami.
Kapal yang kami sewa menuju Bunaken |
"Kapal besar aja, istri lagi hamil. Kalau speed terbanting-banting nanti." kata pak suami. "Kalau ke Manado Tua Om?"
"Ya agak jauh...sekitar satu jam lebih, biasanya dua juta kalau mau kesana. Tapi disana nggak ada apa-apa cuma perkampungan biasa."
Sebelum keberangkatan, Om Ramadhan mengantar kami ke minimarket untuk belanja cemilan, setelah itu bersiap-siap untuk menyebrang trip dadakan ini. Kalau dihitung biaya sewa kapal 1,6 juta dengan 15 penumpang jadinya sangat terjangkau dong ya.
"Oh iya, mau snorkeling disana? Kalau mau nanti saya antar ketengah, saya guide nanti di spot yang bagus. Saya nggak usah dibayar, cukup disewakan saja alat snorkelingnya Rp 150,000,-"
Aku dan pak suami deal dengan semua penawarannya. Kuyakinkan kembali bahwa snorkeling itu aman buat bumil muda, karena snorkeling hanya selam dangkal seperti renang biasa dan tak ada perbedaan tekanan yang membuat dekompresi. Lagipula, siapa yang tega melewatkan indahnya Taman Laut Bunaken yang terkenal ini ?
Pak suami tak henti-hentinya mengabadikan panorama yang kami lewatkan. Om Ramadhan menawarkan kami untuk difotokan berdua, hingga akhirnya ia memasang kaca di kapal untuk melihat taman laut Bunaken yang memang sangat indah itu. Sang nahkoda memelankan laju kapalnya.
"Ini sudah banyak karang yang rusak, dulu area sini masih banyak karangnya."
Lagi-lagi kami mendengarkan fakta yang menyedihkan. Pengrusakan.
Tiket masuk Taman Nasional Bunaken hanya lima ribu per orang, setelahnya kami menyewa perlengkapan snorkeling yang lengkap berupa fin, snorkel plus kacamata, dan pelampung yang berupa body suit.
"Nggak diving aja sekalian, biar lebih dekat lihat ikannya. Ada guidenya kok, kalau belum pernah juga bisa. Rp 500,000 saja mumpung disini." rayu pemilik persewaan.
"Nggak dulu Om...lagi hamil," tolakku masuk akal walau jiwa bar-barku sebenarnya tertantang.
Kami dibawa ke tengah-tengah walau sebenarnya newbie. Om Ramadhan bilang yakin bahwa kami bisa karena waktu kami hanya singkat disini. Sebelumnya kami mendengarkan maklumat singkat dari pemandu, pemanasan dan mencoba membiasakan diri bernafas dengan snorkel, yang ternyata ini adalah pengalaman pertama Pak Suami.
Yaakkk..bumil banyak tingkah |
Untuk jaga-jaga, Om Ramadhan memberikan ban yang ia tarik sebagai pegangan kepada kami. Aku yang sedang hamil berusaha untuk sesantai mungkin saat snorkeling agar tidak kelelahan dan kram. Yang penting kepalanya tetap di air.
Tak dapat kami pungkiri, pesona dasar laut Bunaken menyihir kami dan membuatku lupa diri kalau ternyata aku sedang hamil. Indah sekali! Para ikan menggemaskan berduyun-duyun mengerubuti tangan kami yang menggenggam remahan biskuit. Sesekali kami melihat penyu besar yang berenang kearah palung laut yang gelap. Aku dan pak suami bergidik ketakutan saat berada diatas palung, rasanya seperti mau jatuh.
Kamera action kuserahkan kepada Om Ramadhan untuk mengabadikan seluruh keajaiban kala itu. Ia menunjukkan pada kami dua ekor penyu yang berkejaran lalu bersenggama. Aku hanya bisa membatin sambil malu-malu saja, karena nggak mungkin juga aku ngakak di dalam air, bisa-bisa tersedak dan batuk-batuk.
Waktu snorkeling kami hanya sekitar 90 menit saja, dan itu sudah sangat melelahkan. Kami segera naik ke kapal dan memutuskan untuk ganti baju di darat saja. Dan hal yang mengejutkan menimpaku, lampu indikator kamera actionku tak dapat menyala sama sekali saat diisi ulang. Aku panik! Sebenarnya bukan panik karena kamera rusak, tapi panik apabila hasil rekaman tadi hilang dan tak tersimpan. Karena kamera tersebut bisa dibeli kapanpun, namun kenangan seperti ini membutuhkan lebih banyak tenaga, biaya dan tentu saja waktu yang lapang untuk mengulanginya.
"Gimana dek? Tadi kulihat pas omnya ngrekam di bawah laut lampu recordingnya aktif kok, mestinya kesimpen lah,"hibur pak suami.
"Iya mudah-mudahan mas," jawabku dengan nada galau. Lalu sore itu kami belanja oleh-oleh di kawasan Tikala dengan perasaan tak tenang sama sekali gara-gara kamera yang terindikasi rusak dan hilangnya rekaman di Bunaken tadi.
*
Kawasan Megamas |
Sebelum sewa mobil berakhir, kami gunakan untuk berkeliling kawasan Megamas pada malam hari. Warung-warung makanan seperti ikan, bakso, hingga olahan babi berjejer disana. Ada juga kawasan hiburan malam. Sebenarnya kami sempat mengunjungi Kampung Tinutuan pada malam hari di Wakeke untuk menikmati bubur Manado disana, namun sayangnya saat malam tutup dan kami harus puas menikmati Bubur Manado dan Es Kacang Merah di salah satu kedai di Megamas.
Kuliner Wakeke, kalau malam tutup |
Duet Es Kacang Merah dan Tinutuan |
Untuk mengisi waktu sebelum kembali ke perantauan, kami sempat jalan-jalan di salah satu Mall di Manado, Manado Town Square untuk nonton bioskop dan makan berdua. Setelahnya nyore di tepi laut depan hotel bersama warga lokal yang asyik memancing dan menikmati matahari terbenam.
Titik Nyore Kami |
Sabtu kami harus kembali ke perantauan agar masih ada jeda waktu beristirahat, dan kabar buruknya...kamera actionku tampaknya rusak, dan ketika kartu memori kupindah di laptop, tak ada satupun video rekaman di Bunaken.
Aaaah...!!! Aku lemas dan kesal, namun harus ikhlas. Suatu saat aku ingin kembali bersama si kecil dengan kamera yang lebih baik.
Pak suami mengamini perkataanku. Sungguh babymoon kali ini banyak cerita yang dapat memahami satu sama lain dan menguatkan ikatan baru yang terjalin diantara kami.
Informasi sewa kapal dari dermaga Marina :
Ramadhan (WhatsApp : 087895709091 Telp : 082348396098)
No comments:
Post a Comment