#1 Babymoon : Mendidik Jiwa Petualang Sang Calon Buah Hati di Ujung Utara Sulawesi - Likupang

 "Ayo mau jalan kemana kita?" tawar pak suami padaku setelah perhelatan pernikahan yang melunglaikan diselenggarakan. Memang, kami belum sempat berpetualang bersama saat minggu-minggu tersebut. Sibuk bertandang ke rumah saudara, berkenalan, dan mengeksplor beberapa wisata air di Klaten.

Singkatnya sih mau diajak honeymoon, begitu.

Mengajak makhluk petualang sepertiku tampaknya harus sangat teliti dan anti-umum saat memilih destinasi yang dituju. Pada awalnya pak suami mengajak ke Labuan Bajo, dan akupun menyetujuinya karena cukup banyak lokasi yang menantang disana. Namun ada kisah indah yang menggagalkan rencana tersebut, badanku mulai terasa tak enak, pegal-pegal dan telat haid hampir sepekan. Tak pernah aku telat selama ini, kecuali...kecuali...AKU HAMIL.

Naluri tajam mengatakan, bahwa aku berada dalam fase permulaan berbadan dua. Strip tes kehamilan kubeli beraneka merk untuk bereksperimen dengan urin segar pada pagi hari. Pertama kucoba dengan tangan bergetar...masih sangat samar. Dua hari setelahnya, aku cek dengan merk yang sama, garis kedua menebal. Pak suami ikut penasaran atas eksperimen pagiku.

"Gimana dek?"

"Masih samar...coba lagi tiga hari kemudian," kataku santai. Beberapa sumber mengatakan bahwa hormon hCG pada awal kehamilan meningkat dengan cepat dari hari-kehari sehingga jika benar aku hamil, semestinya beberapa hari kedepan garisnya akan tegas.

Dan benar saja, hari hari setelahnya tatkala urin pagi kukeluarkan dan kutampung di gelas bekas air mineral, tiga merk alat tes kehamilan kucoba dengan tangan bergetar, dan hasilnya sudah bisa kutebak, positif dua garis tegas semua.

Aku tak heboh, namun tak kupungkiri jantungku berdetak kencang. Suami masih tertidur, sengaja hasilnya kutaruh di dekat pintu masuk kamar mandi agar ia nanti mengetahuinya sendiri.

"Dek.. itu garis dua beneran? Kamu hamil beneran dek?" tanyanya selepas dari kamar mandi dengan mata berbinar dan rambut berantakan.

"Hehe...kita pastikan ke dokter nanti malam mas, kita malam mingguan ke dokter kandungan." jawabku sambil peluk-peluk bahagia.

Dan setelah dilakukan ultrasonografi pertama di luar kulit rahimku, ditemukan gestational sac alias kantong kehamilan yang masih sangat kecil. Dokter menyatakan aku hamil lima minggu.

Sepanjang jalan pulang, aku memeluk suami sambil berlinang air mata. Tak percaya secepat ini kami diberi kepercayaan oleh sang pencipta.


Kabar kehamilan tersebut membuat kami mengatur ulang rencana perjalananan. Pak suami yang orangnya memang peduli, taat dan tanggap, menawarkan agar perjalanan honeymoon yang akhirnya jadi babymoon ini ditunda demi keselamatan bumil dan buah hati katanya.

"Kata dokter kemaren nggak boleh capek-capek. Gimana?"

"Hehhh cuma gini aja. Daripada nanti udah punya bocil malah nggak sempat jalan-jalan." tantangku mulai keras kepala. "Yang penting destinasinya nggak terlalu berat dan menguras fisik insyaallah masih bisa,"

"Jadi mau kemana kita? Labuan Bajo jelas coret ya..Bali? Bandung?" tawarnya. "Aku pengen glamping-glamping dek, yang penting kamu nggak terlalu capek lah."

Aku menggaruk kepala, tidak memberi jawaban pasti saat itu. Yang jelas destinasi kali ini harus spesial bersama orang yang spesial !

Dua minggu kemudian, pak suami memberikan satu destinasi yang sama sekali tak terlintas dalam pilihanku, namanya pun terdengar asing dan membuatku harus menggali informasi lebih dalam di mesin pencari. Namun hasilnya masih minim.

Ini dia yang bumil cari.

"Ayo nanti kita ke Likupang," ajaknya.

"Wah dimana itu? Kamu tahu darimana sih?" selidikku.

"Ya dari yutub lah...nggak sengaja lihat kanal yang isinya tentang destinasi wisata super prioitas Indonesia. Tapi aman nggak kandunganmu? Kalau ragu kita ke Bali aja deh, yang lebih ramah buat bumil-bumil gitu. Bali juga bagus loh dek,"

"Ah nggak mau ! Likupang nih bagus juga, masih alami nggak banyak pembangunan. Dan tentu aja pasti nggak rame. Ke Bali nanti aja kalau sudah punya bocil, kalo ke Likupang nggak cocok juga buat bocil karena aksesnya yang mungkin masih susah dan kurang bocil friendly. Udahlah, ayo kapan lagi babymoon berdua gini..." 

"Tapi dek, kamu itu hamil, kita nggak tahu lo akses disana kayak gimana," pak suami kumat sifat taatnya. Aku manyun nggak sabar melanjutkan perdebatan.

"Hamil ya hamil aja. Nanti dua minggu lagi kita sekalian cek ke obgyn apakah kandunganku sehat dan layak buat terbang." tantangku. "Kalau kondisi nggak memungkinkan yaudah batal aja,"

Dua minggu setelahnya, dengan hati berdebar aku memeriksakan kandungan ke dokter. Trimester pertama alias hamil muda banyak yang mengatakan jika sangat rawan keguguran, duh apalagi ditambah tingkahku yang barbar dan masih sering lupa angkat-angkat kira-kira gimana ya kondisi si kecil di rahim?

"Ya, ini kondisinya bagus ya, normal. Masih kecil sekali, sekitar 2,5 cm dan kondisi air ketuban cukup,"

Lalu sang dokter mendengarkanku detak jantungnya yang cepat untuk pertama kali. Aku terharu mendengarnya, melihat tubuh mungilnya yang selama 40 minggu akan kubawa kemana-mana.

"Dok, kalau hamil muda begini...boleh naik pesawat atau tidak?"

Ia menjawab dengan tegas dan jelas, bahwa dibolehkan hamil muda atau usia berapapun melakukan perjalanan udara dengan kondisi kandungan yang baik, kecuali diatas 35 minggu. Lalu surat layak terbang pun ia buatkan saat itu juga.

"Jadi gimana mas? Likupang?" godaku memelas.

"Ayo, aku sih ayo aja."

Hore ! Bumil senang, calon bayi pun ikutan riang. Semoga kamu sehat dan kuat ya dalam perjalanan pertamamu ini.

***

Jika biasanya sebatang kara menapaki suatu perjalanan dan mengambil keputusan, kini ada seseorang yang menemaniku untuk berdiskusi dan mengingatkan kecerobohan atau kebandelanku. Penerbangan kami dari Balikpapan, dan transit semalam di Makassar untuk menikmati sejenak angin malam di Losari dan konro bakar karebosi. Pak suami memelototiku agar tak mencicipi konro miliknya karena makanan yang dibakar harus dijauhi dulu selama masa kehamilan.

"Pokoknya apapun yang dibakar jangan dimakan dulu." titahnya tegas. Kalau nggak ada pak suami paling juga membandel.

Penerbangan pertama bersama sang janin di perut dan suami berjalan dengan lancar tanpa keluhan apapun. Ibu pernah bercerita saat masa kehamilannya yang cukup bandel, tepat saat mengandungku.

"Nggak apa-apa, pas hamil kamu ibu main ke Manado dan Makassar tuh, buktinya aman-aman saja."

Waduh, sekarang malah anaknya yang berulah dan berpetualang seperti ini. Mudah-mudahan sang janin kuat dan pak suami selalu sabar.

Manado, Bandar Udara Sam Ratulangi kami tapaki setelah dua jam penerbangan dari Makassar disambut dengan hujan deras. Rekam jejakku di kota ini masih terbilang payah, karena hanya pernah transit sekali saat mengungsi dari Maluku dengan kapal Umsini saat sarapan pagi. Masih teringat jelas, karena usiaku sudah enam tahun.

Pak suami menghubungi kontak penyewaan mobil. Kami sepakat menyewa minibus manual (sebut saja avanza) dengan tarif sewa perhari Rp 350,000 ,- , eh ternyata kami dapat ultra rejeki, yaitu mobil yang kami sewa bukan avanza, tapi Wuling Almaz yang notabene bodinya lebih gagah kalau dipakai berpetualang, haha. Bapak penyewa bilang itu mobil baru, jadi hanya ada surat jalan dan belum ada STNK-nya. Oh ya, untuk teman-teman yang solo traveler bisa naik minibus DAMRI tujuan Likupang dari bandara Sam Ratulangi ya.

Perut kami kelaparan dibawah hujan. Pilihan awal makanan cepat saji pun tergusur setelah kutanyakan rekomendasi tempat makan di area bandara kepada temanku yang bermukim disana. Pondok Teterusan menjadi pilihan karena olahan woku belanga yang terkenal nikmat dan searah juga untuk menuju ke Likupang.

Jalan menuju Likupang tak sulit, hanya sempit dan berkelok kelok. Jalanan basah dilalui, sesekali kanan kiri kami perkebunan kelapa dan tower transmisi yang belum selesai. Pemandangan yang baru saja kami nikmati beberapa waktu lalu saat masih melayang di angkasa selain pulau Manado Tua.

"Jalannya disini bagus ya, nggak ada yang rusak." pak suami membuka pembicaraan saat aku mulai terkantuk-kantuk.

"Iya, seperti di Toraja juga. Banyak gereja disini." timpalku melihat jejeran gereja setiap 50 meter. 

"Ceweknya juga cantik-cantik disini,"

"Cowoknya juga ganteng-ganteng." balasku dengan nada sedikit cemburu. Aku membuang wajah menatap jalan. Anjing menjadi satwa yang paling sering kudapati dengan berbagai pose, mulai dari anjing kencing, anjing bercinta, hingga anak-anak anjing yang berkejaran ceria.

Hanya membutuhkan waktu sekira dua jam untuk mencapai Likupang. Dan karena kebodohanku membaca maps, kami malah masuk ke pasar Likupang yang jalannya sempit dan ramai. Pak Suami memasang wajah kecut, mengkerut.

"Dek, kita itu bukan ke Likupangnya, tapi ke Casabaio Resort lho, bukannya belok kanan sana? Yang tadi itu?"

"Aduh iya eh mas, maaf.. tapi lewat gang situ bisa tembus juga kok, ke Desa Maen" kataku menatap layar maps lekat-lekat.

"Yakin? Sempit loh itu," Ia berusaha keras mencari putar balik dan akhirnya dengan susah payah putar balik di parkiran minimarket.

"Eh..kayaknya bisa sih mas.. dilihat saja dulu,"

Bodi mobil yang agak gemoy akhirnya dapat lolos di gang kecil itu, beruntung tak ada kendaraan roda empat dari arah berlawanan. Kontur jalanan masih tetap mulus, setidaknya tidak menambah kerutan kesal di wajah suamiku.

"Nggak kusangka di jalanan yang jauh dari ibukota ini mulus juga,"

"Gara-gara jadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) kali ya? jadi semua ruas jalan diperbaiki," timpalku yang sesekali melihat jalanan yang menghitam, sepertinya belum lama mengalami perbaikan.

"Ntar malam cari makannya gimana ini dek?"

"Waduh iya juga ya, kayaknya kawasan hotel sepi, atau terpaksa kita makan roti dulu nih," aku sibuk mencari warung terdekat dari hotel di aplikasi maps. 

"Eh, ada ini warung Lamongan, mudah-mudahan buka. Satu-satunya harapan kita."

Mendekati hotel, perkampungan penduduk kian rapat dan padat. Masjid dan penduduk muslim makin sering kami temui disana, sehingga membuat urusan perut kita menjadi sedikit tenang. Suasana saat itu masih mendung dan rintik-rintik, membuatku berdoa makin kencang agar besok cerah.

Casabaio resort, Terbaik lah buat Babymoon!

Lapangan golf luas tepi laut menyambut kami sebelum memasuki lobi Casabaio. Hari itu tak banyak tamu, karena bukan musim liburan atau festival. Seluruh tamu mendapatkan kamar dalam satu lantai yang sama. Di sore yang kelabu itu kami menyempatkan diri untuk melihat fasilitas di sekeliling hotel yang terbilang sangat lengkap, ada jacuzzi, kolam air hangat, kolam renang, gazebo yang menghadap pantai, olahraga air, dan outdoor wedding venue. Wuaaah....baru kali ini aku jalan-jalan bagaikan putri raja, biasanya kan hanya ngemper di kantor PLN sambil bawa motor, haha.

Malamnya, kami putuskan untuk makan malam di warung Lamongan tersebut dengan harapan masih buka. Alhamdulillah ternyata buka, menu masih lengkap dan cukup ramai. Penjualnya orang Lamongan asli dan kami berdua memesan soto plus gorengan tahu. Andalan banget nih warung kalau teman-teman main ke Casabaio dan cari makanan yang halal.

***

Pagi hari sangat cerah membuat perasaanku turut bersemangat. Dengan kondisi tubuh yang masih pegal tapi ingin jalan kami memaksakan untuk makan pagi dan berjalan-jalan di area hotel milik orang Korea yang sangat luas ini. Siang ini kami putuskan untuk check out dan langsung menuju Pantai Pulisan, Paal dan akhirnya lanjut ke Tomohon.

Pantai Privat Cantik dari Casabaio resort

Menu makan pagi di Casabaio tak bervariasi, namun cukup sekali untuk memberi kami energi menjalani petualangan hari itu. Sambal dabu-dabu dan ikan tentu saja menjadi menu favoritku, karena aroma dan rasanya mengingatkanku saat bermukim di Maluku.

Jalanan yang kami lewati selama di Likupang

Untuk menuju pantai Pulisan lagi-lagi kami hanya mengandalkan maps, dan sudah ada beberapa pentunjuk yang dibuat oleh warga lokal maupun dinas perhubungan. Jalanan di Minahasa Utara ini masih mulus dan pohon kelapa masih menjadi sajian utama pemandangan perjalanan kami. 

Homestay Rumah Warga yang dibangun oleh PUPR

Mendekati pantai Pulisan, jalanan pun menyempit. Banyak rumah warga yang difungsikan sebagai homestay dengan desain rumah yang sama. Terdapat lambang PUPR di setiap rumah warga yang difungsikan sebagai homestay tersebut, tampaknya bantuan dari kementrian PUPR untuk turut mendukung salah satu dari tujuh destinasi wisata super prioritas ini ya.

"Empat puluh ribu,"  seorang ibu menarik tiket masuk ke pantai Pulisan kepada kami. Wah, mahal sekali sih ini. Kukira retribusi ngawur eh sekalinya memang ada tulisan tarif per jenis kendaraan yang terpampang di gerbang masuk. Yasudahlah, namanya juga wisata.

Pantai pulisan tak seberapa luas, di tepi pantai ada kedai-kedai makanan yang seluruhnya tutup! Aku sendiri mau berfoto tapi kok terganggu jajaran warung tersebut...dan akhirnya kami memilih untuk berjalan ke dermaga beton yang dibangun oleh kementrian PUPR tersebut.

Tak lama kami berada disana, kami langsung bertolak menuju pantai Paal. Jaraknya tak terlalu jauh, namun kejutan-kejutan menanti kami disana. Untuk retribusi masuk, ya sama lah Rp 40,000 ,-. Lalu kami parkirkan kendaraan di sebelah mobil pengunjung lain, saat itu hanya ada dua mobil yang terparkir disana.

Baru beberapa menit, ada lelaki menghampiri kami untuk meminta memindahkan mobil, katanya rawan kejatuhan buah ketapang. Pak suami pun menuruti karena alasan itu masuk akal, daripada harus ketok magic dulu sebelum pulang nanti kan. Nah setelah memindahkan mobil ke tempat lain pun, seorang bapak tua mendatangi kami dan mengatakan wajib bin harus bayar lima puluh ribu untuk parkir dan wajib bin harus lagi duduk di kursi-kursi dan meja yang telah ia sediakan.

Pak Suami menolak, mengatakan bahwa kunjungan kami hanya sebentar saja, ia juga mengatakan lebih seru duduk beralas pasir saja. Aku merengut dan langsung mengambil posisi duduk di pasir sambil ngunyah keripik kentang. Aku merasa ekor matanya mengawasiku dengan tajam.

Namun bapak tua itu tampaknya tak menyerah untuk memeras kami. Karena pak suami berhati malaikat, ia melakukan negoisasi kepada bapak tua tersebut untuk membayar Rp 30,000 ,- sebab kunjungan kami tak lama. Pak Suami akhirnya menyuruhku duduk di kursi hasil pemerasan itu. Bapak tua mulai bercerita kenangan-kenangan masa mudanya yang membuat kami manggut-manggut saja.

Pantai Paal, Tempat Pemerasan Terjadi

Pantai Paal, pantai ini cukup indah dengan gradasi airnya dan garis pantainya panjang. Namun banyak warung warga di sepanjang pantai dan tentu saja dalam kondisi tutup. Tak jauh dari sana terdapat bukit Larata yang tentu saja menggodaku agar mendakinya, dan sudah bisa diduga pak suami mati-matian melarang tingkahku seperti itu.

"Kamu hamil muda, sudah nggak usah aneh-aneh."

Panorama yang paling membuatku takjub selama perjalanan

Perjalanan di Minahasa Utara selesai sudah, dan saatnya bertolak ke Tomohon melewati pemandangan yang sangat indah serta pertambangan emas. Gunung-gunung di tepi lautnya benar-benar mirip seperti kontur alam di Maluku.

Sedikit tips perjalanan dariku, semoga bermanfat :

1. Cuaca sangat mempengaruhi suasana hati dan hasil gambar. Pastikan untuk mengunjungi kawasan ini saat musim panas.

2. Menjelajah Likupang, Marinsow dan sekitarnya lebih leluasa apabila membawa kendaraan sendiri. Namun bersiaplah dengan pengeluaran tak terduga seperti kisahku di Pantai Paal ya.

3. Bawa bekal sendiri. Terkadang warung di tempat wisata tutup atau menawarkan harga dengan harga yang mengejutkan. Hahaha.

4. Oleskan tabir surya agar kulit tidak perih setelah mengujungi lokasi tersebut.

5. Untuk solo traveler, bisa menggunakan minibus Damri dari bandar udara Sam Ratulangi.

Unesia Drajadispa

No comments: