Naik Argo Bromo Anggrek Bersama Adik Laki-Laki

Rekam jejakku dalam hal perkeretaapian tak baik. Tentu saja karena bermukim di luar Sumatera dan Jawa yang sama sekali tak ada alat transportasi kereta api untuk menunjang kenyamanan kami untuk melakukan perpindahan dan pergerakan. Hm. Sungguh sepenuhnya hanya bergantung dengan kendaraan bersetir bundar plus jalanan berombak khas Kalimantan, ketinting di perairan yang santer dengan isu buaya maupun jalur udara yang tentu saja tak murah.

Terhitung sejak 2018 silam aku terakhir menaiki si ular besi ini, dan itu pula di negeri Vladimir Putin dengan kereta peluru andalannya, SapSan. Setahun sebelumnya aku juga menjajal kereta cepat mirip pelor terbaik di negeri Adolf Hitler yang dikelola oleh Deutsche Bahn. Di negeri sendiri aku ingat betul terakhir menaiki kereta eksekutif dari Jakarta ke Bandung tahun 2016 dengan jarak tempuh sekitar tiga jam dari Stasiun Gambir menuju Bandung Kota.

Namun, kuakui memang layanan BUMN Kereta Api Indonesia ini kian membaik dari waktu kewaktu, serius. Aku mengingat lagi, ada sekitar tujuh perjalanan dengan kereta api yang dikelola oleh PT KAI sejak aku terlahir di dunia. Ibu pernah bilang saat kecil pernah naik kereta ekonomi menuju Banyuwangi, namun yang kuingat saat itu kereta yang lusuh, berdesak-desakan pedagang asongan, toilet yang pesing, dan kloset bolong yang mana kotoran manusia akan langsung terhempas ke rel kereta dan bergulung bersama angin. Sehingga muncul slogan pembelit lidah : laler menclok nang rel (lalat hinggap di rel). Apa mungkin si 'laler' itu hinggap karena sisa-sisa kotoran manusia yang bergulung dari lubang jamban kloset sang ular besi? Tak ada yang tahu.

Ada petunjuk jaraknya. Ah kalau di Kaltim segitu bisa pakai mobil

"Sekarang walau ekonomi juga sudah bagus dan bersih kok," kata ibu saat aku melihat situs pemesanan tiket kereta daring. Aku memilih eksekutif dengan alasan ingin memanjakan sang adik laki-laki sebelum aku menikah dengan laki-laki pilihanku. Harganya memang terpaut jauh, hampir empat kali lipat.

"Jadi ingat dulu kelas dua SMA, ke Jakarta naik Argo Bromo Anggrek pertamaku selama sepuluh jam dari Pasar Turi hingga Gambir. Pas melek pagi sebelahnya monas," kenangku. Perjalanan keduaku bersama Argo Bromo Anggrek sama-sama menuju Jakarta saat aku duduk di semester tiga kuliah, rekreasi keluarga bersama nenek. Pulang dan pergi juga kereta yang sama.

Dan ini perjalanan kereta pertamaku selama pandemi. Syaratnya sama, harus menyertakan keterangan negatif antigen. Antigen disediakan di stasiun dengan tarif seragam, Rp 35,000 ,-.

"Sial, dikerok lagi hidungku seminggu empat kali." batinku kesal. Tapi demi adik laki-laki yang sudah kebelet sekali ke toko bahan kue besar milik jurutama masak favoritnya, Tintin Rayner, maka aku dan hidungku harus tabah.

+1, artinya adalah stasiun ini satu meter diatas permukaan air laut

Keberangkatan kami Senin itu pukul 9.15 WIB. Syukurlah kami berdua sama-sama negatif hasilnya ditengah badai omicron ini. Begitu ular besi menyapa kami sekitar sepuluh menit sebelum keberangkatan, aku dan adikku merasa sangat antusias, berdebar dan tidak sabar. Tentu saja di era digital ini kami mengabadikan dengan kamera ponsel untuk kenang-kenangan.

"Duh deg-degan aku," kata si Ayes sambil senyum-senyum menenteng plastik bekal kami untuk menuju gerbong yang tertera pada tiket. Ya, maklum, ini rekreasi berdua kami yang pertama dan Ayes pun kurasa juga sangat jarang bepergian dengan si ular besi ini.

Peluit panjang berbunyi, tepat pukul 9.15 kereta itu mulai melaju. Bersamaan itu kami menerima pengumuman bahwa kereta ini  akan berhenti di tiga stasiun, yaitu Bojonegoro, Tawang Semarang dan Gambir Jakarta. Tujuan kami adalah Tawang, yang ditempuh sekitar tiga jam lima belas menit. Karena masih dalam masa pandemi, setiap penumpang mendapatkan hygiene kit dalam pouch plastik berisi satu masker KF95 dan tisu basah. Bagus banget !

Gerbong yang kami duduki saat itu sangat bersih, wangi dan cukup lebar. Warna kursi didominasi oleh warna biru dan tentunya sudah reclining seat. Ada hiasan anggrek imitasi warna ungu di pintu kami awal masuk. Sandaran kaki cukup membantu kaki agar tetap rileks sepanjang perjalanan. Toiletnya bagaimana? Bersih, ada ornamen gambar wanita yang menandakan toilet wanita diatas kloset duduk dan sudah ada wastafel yang dilengkapi sabun cuci tangan. Toiletnya wangi pula ! Berbeda dengan toilet Argo Bromo Anggrek terakhir yang kutumpangi dulu. Dan karena pas sambungan antar gerbong, maka goyangannya cukup parah saat aku berada di toilet.

Penumpang di gerbongku tak ramai, hanya sekitar sepuluh orang saja dari lima puluh tempat duduk yang ada. Ada dua petugas dari gerbong restorasi menawarkan makanan atau cemilan kepada kami. Pemandangan khas sawah, pedesaan, dan rumah-rumah warga yang masih tradisional menjadi sajian utama pagi itu. Dan aku baru sadar kalau kereta ini ternyata dilengkapi sambungan hotspot gratis.

Pukul satu kurang lima belas kami berhenti di stasiun Tawang, Semarang dengan arsitekturnya yang kuno yang mengingatkanku pada kisah fiksi buaya Sing Bahu Rekso di Stasiun Tawang di Webtoon . Dan kondisi stasiun tak seberapa ramai. Ada replika ikon kota Semarang "Lawang Sewu" tiga dimensi yang asyik untuk berfoto di pintu keberangkatan. Kami menumpang taksi untuk menuju hotel tempat kami menginap untuk beristirahat sejenak. Taksi itu melewati kota lama Semarang saat siang hari yang terik. Segar juga mata karena di Bontang tidak kutemui bangunan-bangunan kuno yang artistik seperti ini.

Namun kuakui, ini adalah perjalanan paling menyenangkan bersama adikku. Berdua dan intim, dimana kami dapat mengobrol, curhat dan saling menasihati dengan nyaman, bebas dan lepas hingga terbahak. Jarang kami mendapatkan waktu seperti ini karena domisiliku yang jauh dan juga sebentar lagi kami akan meniti jalan masing-masing....aku menikah dan dia mungkin sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan pilihannya, sehingga quality time seperti ini adalah sesuatu yang langka terjadi.

Toko Bahan Kue Impian Adikku

Tapi memang aku tak setengah-setengah membahagiakan si Ayes. Tujuan utama kami ke Semarang hanyalah ke toko bahan kue Tintin Rayner dan membeli lumpia plus tahu bakso favoritnya. Malamnya kami menginap di hotel bintang empat dan keesokan siangnya kembali ke Surabaya dengan kereta yang sama; Argo Bromo Anggrek dari Gambir ke Pasar Turi. Praktis kami hanya dua puluh empat jam di ibukota Jawa Tengah ini.

"Ah, ternyata enak ya naik kereta. Kapan-kapan kalau mudik atau pulang kampung naik kereta lagi ah !" seru Ayes cengar-cengir.

"Ya mudah-mudahan saja kamu ditempatkan di Jawa." godaku menyeringai dan ia pura-pura tidur.

Unesia Drajadispa

No comments: