"Mbak Une sibuk kah?" pesan basa-basi muncul di aplikasi pesan singkat yang terpasang di ponsel mini keluaran tahun 2013 tersebut.
"Mau badminton Pakde, bagaimana?" ketikku secepat kilat saat sudah berada di jok motor matic pink ketika hendak berangkat berlatih badminton. Lawan komunikasiku kembali mengetik dengan segera.
"Ayo mbak, kapan ke Jantur? Aku pengen banget ke Jantur eh, sampeyan tahu jalannya kan? Jalannya gimana? Seberapa jauhnya?"
Waduh waduh, akupun sejak jaman di Sangatta ingin sekali kesana tapi belum sempat juga hingga sekarang, dan mengenai jalur kesana akupun hanya mengandalkan peta buta dari strava milik temenku yang doyan gowes ke Jantur dilengkapi dengan wawancara singkat beserta foto check point. Sempat aku mengajak kembali rekan yang pernah mengunjungi Jantur namun ia menolak mentah-mentah dengan alasan kapok.
Wah seseram apa kira-kira rutenya? Hihihi..
"Eeeh..iya iya Pakde, ayo kapan? Kalau minggu ini nggak bisa aku mau setoran kilometer gowes virtual, kalau minggu depan gimana?" negoku.
"Boleh mbak, aku mau bawa pancingan sekalian ah. Tapi sementara baru kita berdua ya yang bisa ikut? Angga Pongo minggu depan pas masuk kerja." jawab Pakde bersemangat lantas selanjutnya disambut dengan nada galau.
"Oh aman aja itu, nanti aku kabarin Angga Pongo, dia kan pasti banyak temennya. Pasti ada aja yang mau ikut," kilahku meyakinkan. Dan benar saja, dua hari kemudian istri dari Angga Pongo menawarkan diri secara sukarela untuk mengikuti perjalanan kali ini, ia membawa serta anak perempuannya yang berusia lima tahun, Ariendra.
Ya, penyulut keributan dalam perjalanan kali ini adalah aku dan Pakde Rohmadi.
*
Jam delapan pagi kami berangkat dari Bontang menuju desa Rindang Banua, kecamatan Sangatta Selatan. Tiga peserta lainnya sudah berada di Sangatta sehari sebelumnya, yaitu Mbak Tari, Kia, dan Ariendra alias Ara. Aku mengendarai motorku sendiri, Lukman berboncengan dengan Nazwa, dan Pakde Rohmadi bertugas untuk membonceng adik perempuan Kia dengan motor Mega Pro-nya.
Jantur adalah bahasa Dayak, yang artinya adalah air terjun. Salah satu jantur yang terkenal di Kalimantan Timur adalah Jantur Inaar, di Kabupaten Kutai Barat. Air terjunnya tinggi dan debitnya tinggi.
Air terjun yang hendak kami tuju bernama Jantur Benua Indah, terletak di kampung wisata Dayak di kilometer 10 poros Bontang Sangatta. Jika berkendara dari arah Bontang, maka didapati di kiri jalan terdapat gerbang ukiran dan patung pria dengan pakaian tradisional suku Dayak menyambut pengunjung. Mudah didapati.
Gerbang Kampung Rindang Banua |
Sepanjang perjalan, kejutan pertama yang kudapatkan adalah perut yang keram saat menyetir motor. Sebentar...sebentar ini tanggal berapa? Eh duapuluhan ya? Oh, tanggal-tanggal datang bulanku nih, gawat ! Bagaimana jika saat trekking malah menahan keram dan ketidaknyamanan di area selangkangan sebab hal ini? Dan benar, setelah hampir satu jam aku mengendalikan motor, terasa sesuatu yang hangat meresahkan mengalir.
Duh, aku hanya bawa pembalut satu pula ! Sesegera mungkin aku menepi di kedai mungil milik warga, dengan harapan ada pembalut wanita yang dijual disana. Bersyukur ada pembalut dengan bungkus warna ungu isi sepuluh, dan sekalian aku numpang ke kamar mandinya. Huh, apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Selamat datang trekking dengan perut kram sepanjang perjalanan pertama dalam riwayat perjalananku. Namun aku tak menutup-nutupi terkait kondisi haidku kepada rekan seperjalananku, sebab seorang wanita dalam kondisi haid terkadang bertingkah aneh, seperti lebih cepet lelah, emosi naik turun, cepat lapar, manja, dan kalau aku pribadi malah ngantukan.
*
"Jalannya tahu mbak? Kita hanya mengandalkan mbak aja," kata Pakde membuatku sedikit maju gentar. Perlahan kutunjukkan peta strava dan beberapa foto rute milik teman untuk menenangkan yang lain.
"Udah ikuti jalan utama aja." ujarku sok-sokan dengan hati masih gemetar. Lalu kutanyai sekumpulan anak-anak bermata sipit yang sedang asyik bermain mengenai jalan menuju Jantur, namun mereka hanya tak mengacuhkanku yang bertanya dengan wajah panik dan memerah kepanasan.
Kulajukan motorku lurus mengikuti jalan utama dengan beberapa titik yang becek dan rusak. Tas carrier sedikit menggangu keluwesanku untuk handling motor. Dua orang lelaki dengan gaya seperti mau berkebun dengan sepatu but kuning lusuh dan parang tergantung di pinggangnya menanyai kami hendak kemana.
"Ada yang tahu jalan ke Jantur? Itu jauh sekali." ujarnya. Kami menggeleng dan saling berpandangan.
"Di dalam sedang ada penebangan untuk pembukaan lahan. Jalurnya tertutup oleh dahan-dahan patah dan ada beberapa ruas jalan yang dialihkan. Kalau mau kita teleponkan kakak saya yang biasanya antar orang kedalam." bujuknya dengan nada persuasif dan solutif.
Sebenarnya ini pilihan bagus, namun karena membawa pasukan tujuh orang menuju Jantur, maka aku harus berdiskusi terlebih dahulu.
"Berapa biasanya bawa masuk sehari om?"
"Biasanya 250 ribu,"
"Uh...bisa kurang sedikit? Sesama orang Dayak Kutai nih," tawar mbak Tari dengan gaya khas ibu-ibu. Dua om yang mengajakku ngobrol menjelaskan, untuk masalah nego bisa langsung dengan kakaknya. Setelah berdiskusi, Pakde menarik kesepakatan bahwa memang sebaiknya dengan pemandu karena kami semua belum ada yang tahu jalan dan medan. Semuanya setuju, dan pulangnya kami memutuskan tanpa pemandu karena sepanjang jalan akan ditandai dengan pita kuning.
"Sambil nunggu kakak saya, bisa tunggu diatas saja, teduh." ajaknya menuju kebun karet diatas bukit. Ia berkisah bahwa jalan menuju jantur cukup jauh, dan kondisinya kering akhir-akhir ini.
"Sudah izin sama pak dusun? Karena kalian pendatang, dan bila terjadi apa-apa pasti warga dusun juga yang bertanggung jawab." tanyanya.
"Belum...Om. Dikampung luar sepi, nggak ada orang sama sekali. Jadi langsung aja kami masuk," kataku. "Rumah pak dusun dimana?"
"Diluar sana, tapi memang sih kampungnya sepi karna kebanyakan lagi didalam buat pembukaan lahan. Ya mungkin kita bisa bertemu pak dusun didalam nanti."
Suara motor berderung. Honda astrea tanpa plat nomor dengan ban offroad. Seorang lelaki, wanita, dan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun dengan gaya mau berangkat ke kebun. Ternyata mereka adalah kerabat dari dua orang yang baru saja kami temui. Karena memang saat itu sudah pukul dua belas siang dan perjalanan masih panjang, maka kami langsung melanjutkan perjalanan dengan motor hingga titik terakhir pemberhentian kendaraan bermotor. Ditengah perjalanan kami berhenti, om pemandu berbincang dengan seorang wanita berkulit kuning langsat, bermata sipit dan mengenakan seraung berwarna-warni dikepalanya. Beliau ibu dusun Rindang Banua, kami mengajukan izin dan permisi sebelum menjelajah kampung yang mayoritas dihuni oleh warga Dayak Kenyah ini.
Awal pengembaraan kami sedikit tersendat tatkala bersua dengan jalanan yang lantai tanahnya terlindung oleh rimbunnya tanaman hutan. Jalanan tersebut becek, berlumpur dan sangat licin. Motor om pemandu dengan santai melewatinya, namun bagaimana dengan nasib tiga ekor motor matic dan satu motor cowok kopling yang kerjaannya hanya mondar-mandir manis di jalanan kota. Bak kutu terinjak gajah, mati kau.
Aksi dorong-dorongan versi pemanasan dimulai. Satu persatu joki motor sukses hampir terpeleset melawan licinnya jalur, termasuk aku. Lukman pun mendorong motorku agar lebih mudah untuk lolos dari lumpur seram itu. Namun firasat menebak bahwa jalur setelahnya banyak yang lebih mengejutkan.
Dan hanya tiga puluh meter kami terseok-seok mengendarai motor, jalan berlumpur kami dapati kembali. Kucoba segala macam gaya tarik gas, masih belum bisa lolos dan akhirnya pakde membantuku untuk melepaskannya.
Setelah sekian kali aksi dorong mendorong, akhirnya kami berhenti sejenak di salah satu pos yang biasa dimanfaatkan pengunjung untuk menitipkan motornya. Om pemandu menawarkan agar motor dibawa turun sehingga jarak tempuh berjalan kaki bisa menjadi lebih dekat walau hanya 500 meter saja.
"Bisa sih turun, tapi kalau pas pulang habis hujan ya agak repot juga,"
Waduh, bakal drama lagi. Namun kami yakin dengan cuaca secerah hari ini kemungkinan besokpun akan menyusul cerah.
Apakah iya?
Delapan orang plus satu pemandu yang telah terbongkar siapa namanya, yaitu om Iyut (kami menyebutnya Om Cute) mulai trekking menuju Jantur yang menurutnya cukup jauh. Awal perjalanan menanjak, Pakde dan Lukman memasang pita kuning di pohon yang kami lalui. Ara berjalan dengan kawalan ketat emaknya, yaitu mbak Tari. Salut buat gadis usia lima tahun yang trekking bersama orang dewasa di jalur seperti ini.
"Baru satu anak-anak yang berhasil masuk ke Jantur Benua Indah, ya anak saya. Kalau adeknya yang cewek bisa tembus, berarti jadi anak-anak yang kedua." kisah Om Cute memecahkan keheningan. Aku menimpali dengan terengah-engah.
"Oh, umur berapa dia Om? Jalan sendiri dari awal ?"
"Umur lima tahunan, ya akhir-akhirnya kugendong juga, kasihan jauh."
Setelah tanjakan yang melelahkan, jalan yang landai kami lalui hingga selepas pos satu tampaklah empat orang om-om dari Sangatta yang beristirahat sambil memperbaiki sepeda MTB-nya. Suara chainsaw mulai terdengar bersahut-sahutan memotong kayu, hutan mulai terbuka atapnya tak terlindung kanopi hutan. Kulirik Ara masih berjalan dengan ceria walaupun pelan.
Jembatan ulin yang kami lalui di awal perjalanan. Dari sini masih jauh teman-teman |
"Nah disini orang sering nyasar. Kalau belok kiri bisa lewat jalur lama yang memakan waktu hingga 6-7 jam, sekarang kita lewat jalan pintas saja, ya...dua jam tembus."
Dua jam? Pepatah mengatakan kalau pemandu bilang dua jam itu berarti dua kali lipatnya. Apakah benar?
Tanjakan tinggi yang licin kami temui. Tentu saja masih jauh, penunjuk kilometer yang kuaktifkan saat awal trekking masih menunjukkan jarak tempuh tiga kilometer. Entah berapa kilometer jalan kaki kami, namun teringat perkataan Om Nasri, temen gowes yang memberiku peta jalur di Strava.
"Apa? Jantur? Ah itu jalan kaki satu kilometer serasa lima kilometer."
Dua jam setengah perjalanan, tidak ada tanda-tanda gemericik air sama sekali. Om Cute bilang masih jauh, apalagi kalau melihat kami berjalan bisa satu jam lagi sampai. Ara sudah berpindah ke pundak Om Cute sejak trek yang mulai berat. Pundakku mulai terasa kebas menggendong keril, kami beristirahat sejenak di batang yang rebah untuk mengisi perut dengan biskuit kelapa karena belum makan siang sembari menunggu empat orang yang masih dibelakang. Langitpun mulai mendung dan jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
Lama tak muncul, Om Cute menyusul kembali karena khawatir tersesat walau hanya ada satu jalur yang tidak terlalu jelas juga. Ternyata adik perempuan Kia sempat muntah di perjalanan, mungkin karena kelelahan. Setelah kami yakinkan kuat untuk melanjutkan perjalanan, kaki kami bergerak kembali. Perut yang begah karena haid, pundak yang pegal, denyut jantung yang meningkat, namun kakiku tetap kupaksa melangkah. Ayo Une, lawan otot lelahmu !
"Ayo dekat lagi ini! Setelah turunan sampai kita." Om Cute memberi semangat. Turunan panjang terakhir kulalui dengan tergesa karena sudah tak sabar setelah mendengar gemericik airnya.
Aaaah! Pukul lima sore serempak kami menatap langsung Jantur Benua Indah dengan airnya yang biru setelah berjalan hampir sembilan kilometer. Kolamnya yang tak terlalu luas seperti Batu Lesong, dan air terjun yang tak terlalu tinggi pula. Aku segera melepas sepatu dan mendirikan tenda sebagai tempat peraduan malam nanti. Tapi...sebentar, basah dan bau apa ini kok anyir? Kulihat lendir mulur yang amis meleleh di dalam tasku. Sebutir telur dalam egg holder pecah dan mengenai tenda serta baju gantiku.
Aduh...bagaimana ini? Dalam keadaan haid begini sudah tubuh terasa amis, sekarang baju ganti hingga sempakpun bau amis. Huh, suasana hatiku benar-benar tak baik saat itu. Ketika kujemur di seutas tali, semut hitam mengerubung pakaian yang kujemur. Hiks. Hendak kucuci di danau, tapi ada aturan dilarang mencuci baju dan alat makan didanau. Oke siaap...
Setekah makan malam, aku terbaring dalam tenda karena suasana hati yang buruk diperburuk pula dengan keadaan haid. Pundak dan telapak kaki kubalur dengan minyak hangat lalu berbaring bersama aroma anyir yang menguar dari tasku.
Tengah malam aku terjaga karena lapar dan suara berisik. Pakde, Kia, Mbak Tari, Lukman dan Nazwa masih terjaga dengan bermain kartu remi. Ada satu rombongan lagi disamping grup kami, wah, mereka datangnya tengah malam ya?
"Grup sebelah mbak Une, orang BSD juga baru datang jam sebelas malam tadi," kata Pakde sambil mengocok kartu.
"Hah? Gendeng Dhe, uka-uka uji nyali dunia lain mereka ya? Kita yang sampai lokasi sore aja udah serem." ujarku terkejut dengan medhok Jawa.
"Tadi kita sempat cerita-cerita, mereka tersesat dan sepakat hendak mendirikan tenda ditengah jalur saja. Jalur lama yang diambilnya, lalu beruntunglah mereka bertemu Om Cute, dan diantarkannya kesini."
"Alhamdulillah, Om Cute emang malaikat penolong di Jantur Benua Indah. Tanpa dia, kita juga nggak yakin sampai lokasi Dhe kalau hanya bermodalkan peta Strava dari temanku."
Berendam bersama |
Aku kembali masuk ke tenda, Pakde memanggil dari luar untuk memberi peringatan gerimis turun. Baju ganti rasa telur aku selamatkan dan kumasukkan kedalam tenda. Namun siapa sangka, hujan turun kian deras hingga bau tanah terangkat di udara hingga pagi. Ah mampuslah kita keluar dari jalur ini. Firasat yang mengatakan hari akan cerah nyatanya salah.
Gerimis sedikit deras masih turun pada pagi hari. Namun kami semua berenang gembira dan berloncatan di kolam Jantur termasuk om-om yang datang jam sebelas malam, terkecuali aku yang sedang haid hari kedua. Sisi terdalam kolam tersebut sekitar enam meter info dari Om Cute. Sambil tertawa-tawa, salah satu om heroik menceritakan pengalaman heroiknya sejak minggu lalu yang trekking sendiri dan tidak berhasil mencapai Jantur, hingga minggu ini mereka penasaran dan mencoba untuk kembali.
"Hampir kita nggak tembus lagi kalau nggak ketemu Omnya (Om Cute)."
Karena khawatir terlalu sore, pukul sebelas kami trekking kembali dalam gerimis. Tasku semakin berat dengan bawaan baju basah. Sepanjang jalan serasa menggendong anak panda yang sangat bandel. Saat halusinasiku kambuh, kudengar jeritan-jeritan dari gendonganku.
"Mama! Mama! Cepat jalannya, panda lapar!" ia berteriak sambil memukul-mukul pundakku dan mencengkeram kuat area bawah perut. Makin terasa kebas, pegal dan nyeri, ditambah suasana yang basah seperti ini, makin membuatku takut bocor.
"Mama! Mama! Panda lapaaaarrr..." ia kembali merengek.
"Cepat Maaa....Panda pengen ketemu papa..."
Heh? Aku menoleh cepat kearah pundak. Ah, ternyata bukan panda sungguhan, ia hanyalah sebagian dari imajinasiku yang merengek-rengek minta ketemu papanya, hahaha...mama jomblo nak.
Bersama Om-Om Heroik |
Seperti dugaan, jalanan maha becek setelah hujan deras tadi pagi hingga sepatu penuh lumpur. Walaupun kami telah mencapai parkiran motor, perjuangan belum berakhir karena masih harus bahu membahu meloloskan motor dari lumpur maut. Turunan yang kini menjadi tanjakan pun menjadi sangat menyedihkan karena licin sekali. Para joki perempuan angkat tangan karena teramat berat dan bahaya mendorong motor di tanjakan yang licin yang sebelah kanannya adalah jurang. Alhasil Pakde dan Lukman lah yang bekerja ekstra hingga pukul enam sore.
Masih bisa nyengir setelah lolos dari tanjakan berlumpur terakhir |
Jalur yang sulit sudah kami lalui, tinggal jalur becek yang bisa kami lalui sesuai dengan tutorial dan trik mengendarai motor di jalanan kebun oleh Om Cute. Tepat pukul tujuh malam kami mencapai gerbang desa Rindang Banua, dan satu jam setengah menanti kami di sepanjang jalan poros Bontang-Sangatta yang gelap, rusak, dan penuh kendaraan lebar dan besar. Tentu saja kami lalui dengan perasaan yang campur aduk antara gembira, lelah, mengantuk, kapok, sedih, penuh kejutan, dan badan yang rontok serasa ditabokin emaknya gorila. Rencana awalnya yang makan bakso pun sudah terabaikan. Aku nggak kapok jalan kaki, tapi kapok dorong-dorongan motor di jalanan berlumpur.
Teler aku besok harus masuk kerja pagi.
No comments:
Post a Comment