Aku ingin kabur dari penjara lembur setelah berminggu-minggu lamanya. Kemana saja, di Bontangpun tak apa-apa.
Dan kabur dalam definisiku adalah menonaktifkan seluruh jaringan ponsel karena hal-hal sepenting itu sesungguhnya dapat mengusikku hingga tak nyenyak saat tidur.
Namun saat itu bukan hutan yang menjadi tempat peraduan kaburku, namun lautan. Ajakan dari mbak Tari dan Angga Pongo untuk mencari aneka bahan makanan seafood aku iyakan saja. Mereka menjelaskan rencana sesungguhnya untuk ke Selangan adalah pekan lalu, namun Om Toel (yang nama aslinya Helmuddin, Ketua RT 16 di Selangan, Bontang Lestari) mengatakan bahwa laut tidak surut dan hujan.
"Kalau surut, kita bisa jalan sampai ketengah buat nyari tudei atau ikan kecil-kecil," jelas Angga Pongo. Tudei adalah sebutan untuk kerang, yang akupun baru tahu semenjak bermukim di Kalimantan. Tudei, tutut, dan kawan-kawannya melimpah ruah saat air surut. Seperti biasa ia semangat sekali mengingatkan kami untuk mempersiapkan berbagai peralatan untuk berburu anggota seafood. Mulai dari penombak ikan, bubu, keranjang, bahkan lampu kepala.
"Lampu kepala?" aku bertanya keheranan.
"Kalau tengah malam air laut surut, kita bisa cari tudei dan tutut lagi." ujarnya. Oh ya, tutut adalah kerang yang bisa berbunyi 'plop...plop' apabila berada di air. Sungguh si Angga Pongo ini benar-benar maniak berbagai jenis kerang hingga tengah malam ia berniat untuk berburu kembali.
Sayangnya aku bukan pecinta sari laut berjenis kerang. Saat SMP sebenarnya aku penyuka kerang, apalagi kalau yang mengolah mendiang istri kakek dari ibuku. Sedap! semangkuk bisa kulahap dengan sangat rakus. Dan suatu hari entah mengapa setelah aku memakan kerang yang teramat nikmat tersebut, kepalaku mendadak pusing berat ditambah rasa mual. Sakit sekali. Ibu memberiku setengah dosis parasetamol untuk orang dewasa. Lalu aku terlelap. Esok paginya kepalaku sudah tak sakit kembali.
Setelah hal itu, lidahku tak berani mengecap kerang jenis apapun hingga saat ini. Dasar Une yang masih anak-anak, ternyata ia bisa kapok juga.
Keberangkatan ke Selangan dibagi menjadi dua shift. Shift pagi dan siang setelah dhuhur. Tentu saja aku memilih shift siang, karena selain males bangun pagi, ada beberapa pekerjaan kantor dan rumah yang harus segera kuselesaikan. Ada pekerjaan tambahan lain, yaitu ngurusi pemesanan buku perdanaku yang baru terbit, dengan judul "Bekerja, Tidur, dan Berjalan di Kutai Timur". Jangan lupa dibeli dan dicaci maki ya teman teman, hehe :)
Dermaga Pelangi Menyambut Kami |
Alhasil, terlambatlah aku mencapai titik kumpul kami siang itu, di pelabuhan Tanjung Laut. Terlambat sekira satu jam, jadi yang awalnya rencana pukul 13.15 menjadi pukul 14.00 lebih sekian menit. Mbak Tari ngomel karena nunggu ulahku yang telat parah. Perutku lapar hebat, untungnya masih ada sebungkus cwi mie yang kubeli pinggir jalan dengan mode tergesa.
Perjalanan menyebrang ke Selangan menggunakan ketinting milik Om Toel dengan penumpang sekitar 5 orang cewek dan seorang cowok. Oh ya, Om Toel juga ikut serta sebagai motoris, dan tentu saja karena ketergesaanku, membuat topi yang harusnya mendinginkan kepalaku malah tak terbawa. Padahal jam segitu, aduhai sangat membara ! Pipiku serasa ditabokin lanjut dibalsam atau dibaluri krim urut untuk salah urat. Nyess...
"Emang berapa lama nyebrangnya mbak?" tanyaku ke mbak Tari, komandan perjalanan untuk grup ibu-ibu pada shift siang ini.
"Setengah jam-an lah," jawabnya sambil menutup separuh wajah dengan kerudungnya. Antara panas atau gerah beda tipis, ia membuka tutup tabir yang menutup wajahnya.
"Oh, kalau gitu bisa aku makan bekalku," ucapku.
"Ngapain juga bawa bekal, toh disana juga sudah masak-masak !"
"Hari ini baru makan sekali ini aku, hehe,"
"Uma'ai..." tukasnya sambil membuang pandangannya kelautan. Aku melihat perkampungan terapung lain, seperti Tihi-Tihi dan Malahing. Tak hanya itu, PLTU Graha Power Kaltim dan kilang gas milik PT Badak LNG beserta pipanya juga menjadi sajian kami selama perjalanan di laut.
Aku menyantap cwi mie yang makin gurih karena cipratan air laut dengan kaki yang mulai kesemutan karena tertindih kelapa dan logistik lainnya.
*
"Itu Selangan, itu masjid dan SDnya," tunjuk mbak Tari membuat kami semua melongok penasaran. Maklum, kami semua baru pertama kali ke Selangan, kecuali komandan Tari. Namun perasaan bingung melanda tatkala motoris membawa ketintingnya menjauh dari Selangan. Hanya terdapat satu SD disana, sehingga untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus keluar dari Selangan.
"Loh loh Om, mau dibawa kemana kita ini?" protes mbak Tari kebingungan. Om Toel menjawab bahwa kapalnya hanya perlu memutar sebentar karena kalau ditembak lurus lautnya dangkal pada pukul segini.
Pantas, ada orang berjalan di tengah lautan sambil memeriksa bubu dan hasil tangkapannya.
Bak Ayam apabila di daratan. Keliaran dimana mana ! |
Saat makin mendekat ke tujuan kami, Om Toel melambatkan laju perahunya karena perairan mulai dangkal. Dasar laut terlihat karena airnya yang jernih, mayoritas penghuni didasarnya ialah bintang laut jingga dan bergerigi, bulu babi alias landak laut, rumput laut dan cacing palolo. Kerennya, disana tak ada sampah plastik mengambang sama sekali !
Perkampungan RT 16 Selangan, Bontang Lestari |
"Ah bintang laut!" seru kami yang perdana mengunjungi lokasi ini.
"Itu ada juga!"
"Mana? mana? Eh ada bulu babi bermata oren!"
Serius saat itu kami seperti anak kecil yang menemukan hal luar biasa. Ribut setengah mati. Om Toel mematikan mesin, dan menginstruksikan kami untuk berjalan di laut dangkal tersebut. Ia mengingatkan kami agar berhati-hati akan serangan bulu babi yang terkenal menyakitkan.
"Padahal kalau dimasak dan diisi nasi enak loh," seru salah satu grup kami, aku tak tahu siapa yang berbicara saat itu.
Untuk urusan nginap atau tidur, Om Toel sudah menyediakan (atau bahkan merelakan) rumahnya untuk kami acak-acak. Begitu kami meletakkan barang bawaan dan logistik, setelahnya peralatan tempur untuk mencari tudei kami gelar dan dibawa untuk berburu. Sedangkan aku yang nggak modal hanya bawa hammock. Kok hammock? Benar, untuk cari tempat tidur siang, mumpung sedikit teduh dan anginnya sepoi-sepoi.
Tetap jadi "Kaum Rebahan" dimanapun aku berada dong ! |
"Lah woi kok malah tidur? Bukannya nyari kerang?" tanya Angga Pongo yang tergabung dalam shift pagi.
"Mau menikmati suasana tidur siang di Selangan." elakku dengan wajah sok ngantuk. Alhasil lokasi ternyaman adalah atap teduh untuk tandon tadah hujan di dekat PLTS komunal.
PLTS Komunal, dari kejauhan tampak PLTU GPK di Teluk Kadere |
Selangan yang memiliki kepala keluarga sekitar 150 orang ini memperoleh energi listriknya dari energi surya. Penduduk tidak perlu membayar untuk listrik yang dinikmati, kecuali ada beberapa keluarga yang menggunakan generator set apabila menggunakan peralatan listrik yang memiliki daya cukup besar.
Perkampungan ini hanya terdiri dari satu RT dengan ketuanya yang bernama Om Toel atau nama aslinya Helmuddin. Yang cukup menarik dari kampung yang memiliki nama gaul 'Selangan City' tersebut adalah warna-warni pada jalan setapak ulinnya yang memikat seperti kemasan tupperware kebanggan emak-emak. Kampung tersebut juga binaan tim CSR (Corporate Social Responsibility) dari PT Badak LNG untuk memberdayakan kampung ini menjadi destinasi wisata di Bontang. Dari beberapa baliho mini yang kubaca sepanjang setapak, bahwa masyarakat Selangan telah dilatih untuk melakukan elektrolisa air agar air hujan dapat didayagunakan untuk konsumsi harian. Selain itu ada beberapa keterampilan lainnya, seperti pengolahan kuliner maupun tim tanggap darurat untuk seksi kesehatan. Beberapa fasilitas wisata juga telah tersedia disana, seperti penyewaan kayak, alat snorkeling dan paket penginapan diatas laut.
Salah satu ruang kelas di SD 015 Selangan. Karena penduduknya sedikit, wajar dong satu kelas hanya 4 murid :) |
Suasana senja maupun pagi adalah favoritku saat di Selangan. Segera kuberlari menuju dermaga agar bisa menikmati panoramanya dengan jangkauan pandangan 360 derajat. Semburat mega sempurna, keceriaan anak-anak yang bermain game tradisional di lantai dermaga, decakan anak-anak yang berlompatan ke laut yang mulai pasang, hingga kerlip lampu di sekitar kilang gas maupun kilapan lampu dari PLTU Graha Power Kaltim di sisi selatan dermaga. Serasa di film romantis Korea saja, oppa...oppa, saranghae... (padahal akupun sama sekali tak pernah menontonnya)
Anak senja lagi main |
Aku segera menuju masjid sesaat setelah adzan maghrib berkumandang. Setelahnya makan malam sudah terhidang menggoda di rumah Om Toel, wah kapan masaknya nih? Aku merasa canggung aja karena datang tinggal makan, ah, mungkin kebanyakan ngehalu di dermaga saksi bisu saat senja tadi, jadi lupa sama urusan perdapuran.
Om Toel dan Tudei hasil jarahan |
Menu makan malam tentu saja ikan bakar spesial, tudei dan sambal mangga yang pedas nan nikmat. Karena ikannya masih segar, maka dagingnya terasa manis, lembut dan juicy. Tahukah perasaan apa yang kurasakan saat itu? Aku serasa kembali ke masa kecil di Maluku, ikan segar, laut, dan makan bersama.
Selanjutnya adalah acara bebas, ada pengunjung yang karaoke lagu Harta dan Tahta yang hingga saat ini terngiang selalu, dan aku memilih untuk bermain kartu UNO walaupun baru belajar juga sehingga sering dikerjain pemain lain walau akhirnya keberuntungan selalu jatuh padaku.
KEBIASAAN UNIK WARGA SELANGAN
Menjelang pukul sebelas malam, kusempatkan barang sebentar berjalan disepanjang setapak Selangan yang memiliki panjang hanya sekitar satu kilometer bersama dengan ngiangan lagu Harta dan Tahta.
"Harta dan tahta, jelek nggak papa, asal banyak duitnya..."
"Harta dan tahta, jelek nggak papa, asal banyak duitnya..."
"Harta dan tahta, jelek nggak papa, asal banyak duitnya...yang penting apa,"
Angin menggebu menendang wajahku, namun kulihat sebagian besar penduduk di kampung ini tidur di teras rumahnya yang berlantai ulin. Ada yang langsung beralas lantai berkemul sarung, dan ada beberapa juga yang membawa kasurnya keluar beserta dengan bantal dan boneka bagi anaknya. Apakah didalam rumah mereka terasa gerah saat malam tiba sehingga memilih tidur diteras? Bahkan tak hanya malam, siangpun mereka tiduran diluar dengan lelap.
Plok...!!! Usapan tangan mendarat secepat kilat di wajahku saat melintas didepan rumah Om Toel.
"Woi ! Woi ! Siapa yang ulang tahun nih?" tanyaku pada para cewek dan ibu-ibu yang sibuk berkejaran diiringi lagu 'Selamat Ulang Tahun' bernada dangdut remix.
"Mbak Tariii...Mbak Tarii...hahaha," ucap yang lain sambil sibuk berperang olesan arang yang dicampur garam.
Tunggu, dicampur garam?
Pantas wajah dan sekitar mataku terasa perih! Kurang ajar memang kalian ini !
KORBAN DI PERTENGAHAN MALAM
Kulihat samar garis atas air laut mulai menurun karena surut ditarik gravitasi rembulan yang tak terlalu bulat malam itu. Aku menggelar hammock di dermaga dengan sarung ungu kesayangan beserta sweater abu-abu untuk menghalau tendangan angin yang cukup menggigil. Angga Pongo sudah siap menggunakan boot, mengenakan headlamp dan ember ditangan kirinya, pertanda bersiap berburu tudei lagi.
"Yok berburu lagi, yang belum turun ayo..."
Aku pura-pura tuli, hanya Lupi yang sedikit antusias menuruti ajakannya. Beberapa cewek asyik berfoto di dermaga dengan bantuan flashlight ponsel sebagai lightning, siapa lagi kalau bukan Kia dan Mbak Tari. Aku dan Aan sudah mulai terkulai dalam hammock masing-masing.
Plung !
Suara itu cukup keras, disambut teriakan histeris yang memilukan dari Kia.
"Aaahhh hapekuuu..!! hapekuu nyemplung!!! Aaah...kerjaankuuu!!!!" ia memukul-mukul lantai dermaga saksi bisu dengan genggaman tangannya, lalu telungkup lemas. Matanya mengintip dari sela-sela lantai ulin.
Aku dan Aan terlompat hampir bersamaan dari hammock dan berlari ke sumber teriakan. Kia tampak sangat panik, mbak Tari hanya bilang nggak berani nyebur karena sudah gelap.
"Hapeku cuma satuu!!! liat itu didalam air masih nyala flashnya!" ujarnya tanpa mengalihkan intipannya. Angga Pongo dan salah satu om yang mau nyari tudei mengambil tindakan cepat, mereka menggeser perahu ke bawah dermaga dan om yang nggak kukenal menyelam untuk menyelamatkan ponsel malang itu. Layarnya terlepas, mati total, namun flashlight nya masih menyala. Kia segera melakukan pertolongan pertama, yakni menyiram dengan air tawar dan memendamnya dalam beras.
Korban selanjutnya adalah Angga Pongo, setelah ponselnya saat pagi hari terjun bebas ke lautan, kini celananya tersangkut hingga robek, dan disusul oleh jemari Om Toel yang kulitnya terkelupas cukup dalam gara-gara hendak menyalakan motor perahu.
Alhasil penangkapan tudei malam itu batal. Puja kerang ajaibb~!
SELANGAN DI PAGI HARI
Hanya perlu kembali ke dermaga untuk menyapa matahari terbit, setelahnya kutebus dosaku semalam untuk membakar ikan untuk sarapan pagi itu hingga meneteskan air mata karena asapnya yang sungguh pedas. Sarapan pagi itu sangat nikmat, sup jagung, ikan bakar, dan sokko alias ketan yang dimakan dengan kelapa parut yang gurih.
Tak lengkap apabila ke Selangan tanpa mandi di laut. Melihat anak-anak kecil yang dengan lincahnya meloncat ke laut, akupun yang sudah tua ini ikutan berloncatan seperti masa kecil di Maluku.
Byuuurrr.....!!!
Aku meloncat di halaman rumah orang yang berupa taman laut senyampang air masih pasang. Berenang bersama para bocah, bintang laut dan bulu babi yang siap mengintai mangsa. Satu petak halaman warga bak kolam renang pribadi, dan banyaknya bintang laut serta landak laut yang bertebaran aku jadi mengibaratkannya sebagai kucing dan ayam apabila di daratan. Laut disini masih sangat bersih, tiada sampah plastik satupun sehingga kami bisa menikmati aktivitas pagi itu.
"Kapan pulang kak?" tanyaku pada Angga Pongo. Seperti yang sudah kutebak ia pasti membalaskan dendamnya dengan kembali mencari tudei setelah semalam batal.
Ikan bakar terenak yang kurasakan di tahun 2021 |
"Sore lah ya, biar puas kalian. Toh kalau siang juga masih surut hingga jauh kesana,"
Aktifitas warga Selangan mulai bergeliat, sebagian orang mulai turun untuk menjala ikan dan memeriksa bubu, ada yang memanen rumput laut tapi jumlahnya sudah menurun drastis akibat 'sawah' mereka yang ditanami rumput laut sudah dibebaskan untuk jalur lalu lintas kapal tongkang batu bara PLTU.
"Dulu hampir semua jadi petani rumput laut mbak, sejak tiga tahun lalu jumlahnya sudah berkurang banyak semenjak pembebasan lahan," cerita Om Toel. "rumput laut yang kami panen biasanya rumput laut merah, hijau dan biru, makanya banyak lapangan luas yang dulunya untuk menjemur rumput laut kini melompong,"
Kutatap PLTU dan stack (cerobong) nya yang berwarna merah putih senantiasa mengepulkan sisa pembakaran. Jaraknya dari Teluk Kadere begitu dekat, sempat khawatir jika suatu saat kampung yang bertabur bintang laut ini tergusur juga.
"Biasanya rumput laut dari kami dimanfaatkan untuk pembuatan sabun, jelly, dodol, atau es buah," lanjut Om Toel sembari makan sokko kelapa.
"Es buah rumput laut? Wah aku suka itu!"
UNTER DEM REGENBOGEN (DIBAWAH BIANGLALA)
Selepas pukul dua siang hujan mengguyur namun langit cerah. Tiada yang bisa kulakukan selain tiduran malas di hammock, walaupun sinyal cukup kuat, namun ponselku hanya berada didalam tas selama dua hari ini. Iseng kurenungi makna kata Selangan yang berarti 'Disela-sela bisa melangkah'. Si Lupi malah sering lidah mesumnya kepleset menjadi 'Selangkangan'.
"Sela-sela mana Om?" tanyaku pada Om Toel.
"Itu, dibelakang mbak bisa lihat dua pulau bakau. Saat surut, kami bisa berjalan kaki disela-sela pulau itu, dan Selangan pas berada didepan selat tersebut."
Hmm, masuk akal. Bisa melangkah di sela-selanya.
Asal mula kata 'Selangan' adalah dua pulau bakau tersebut |
"Siapa yang kasih nama Om?"
"Orang dulu, sejak tahun 1970an awalnya kampung ini hanyalah satu-dua rumah pondok singgah bagi nelayan, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya berkembang menjadi puluhan rumah dan kampung. Mayoritas sih...dari penduduk Bontang Kuala, suku Bajau."
Bontang Kuala adalah perkampungan diatas laut yang tak terpisah dari daratan Bontang, ikon masyarakat Bontang. Namun karena penduduknya sudah padat, maka airnya tak jernih lagi.
Tatkala sesaat setelah hujan berhenti, refleksi, dispersi, dan refraksi menyebarkan tujuh warna indah yang melengkung sempurna diatas kampung pelangi. Hampir seluruh penduduk keluar rumah dan meneriakkan 'Pelangi ! Pelangi !' dan mengabadikannya. Baru kali ini aku berhasil melihatnya dari ujung hingga ujungnya. Luar biasa
Bianglala di kampung Pelangi yang indah. Seiring memudarnya fenomena tersebut, kami semua berkemas untuk pulang, dan sayangnya pada awal perjalanan di laut kami sempat diguyur hujan hingga sedikit menggigil.
KORBAN TERAKHIR
Kuaduk-aduk tas untuk mencari salah sata senjata kesayanganku saat tidur. Sarung ungu. Tak ada disana. Aku lemas dan kesal, nampaknya masih tertinggal di ruang tamu Om Toel. Walau harganya hanya delapan puluh ribuan dan motifnya biasa, namun kenangan dan petualangannya tak tergantikan. Huh !
Tapi mungkin itu pertanda bahwa aku harus kembali lagi kesana :)
2 comments:
Thanks mba, udah share tentang selangan, suka sekali dengan ulasan di blognya, sering2 posting ya mba.
terima kasih sudah berkunjung ya :)
Post a Comment