Selama dua puluh tujuh tahun hidup di Indonesia, berjalan kesana kemari, baru dua kali aku pergi ke ibukota Jawa Tengah, dan baru sekali mengunjungi Lawang Sewu. Dan itupun dalam suasana yang spesial, alias dalam suasana pandemi COVID yang seakan tiada berakhir. Tentu saja, kami sekeluarga tetap menggunakan masker tanpa kendor saat mengunjungi situs tersebut. Kecuali saat berfoto ya, kami pasti lepas masker sebentar, alasannya kalau pakai masker nggak keliahatan ekspresi kegembiraannya.
Aku tahu bangunan Lawang Sewu, dari berbagai macam sumber. Awalnya saat SD dulu berlangganan majalah Bobo, disana ada artikel dipenuhi dengan warna dan ilustrasi menarik menerangkan sejarah singkat dan fungsi bangunan tersebut sekarang. Lalu sempat aku baca novel horor, yang berlatar belakang Lawang Sewu. Dan yang terakhir, sempat kulihat tayangan ulang di You Tube yang paling fenomenal, yaitu uji nyali di penjara bawah tanah Lawang Sewu. Peserta saat itu berteriak melambaikan tangan ke kamera setelah melihat penampakan putih yang ditengarai oleh paranormal sebagai kuntilanak.
Lantas, seperti pertanyaan kebanyakan orang, apakah benar pintunya berjumlah seribu? Infonya sih tidak, hanya sekitar 450 atau 500 saja. Akan tetapi kata sewu tersebut merepresentasikan betapa banyaknya pintu disana. kalau disebut Lawang Limangatus, pasti kurang praktis juga dalam pengucapannya.
Lawang Sewu menjadi tujuan pertama kami setelah menempuh perjalanan via tol dari Surabaya selama empat jam. Bangunan tua yang terletak di pusat kota Semarang, tepat di seberang Tugu Muda tersebut membuatku penasaran sejak menonton tayangan uji nyali, apakah benar hawanya sangat menyeramkan?
Wisata Keluarga |
Setelah membayar tiket masuk, melalui pemeriksaan suhu tubuh dan memindai QR code, kami sekeluarga mulai menjelajah seputaran eks kantor administrasi di masa penjajahan Belanda tersebut. Sayang karena masa pandemi, maka penjara duduk yang digunakan untuk lokasi uji nyali tersebut ditutup, karena merupakan ruangan lembap dan tertutup. Menurut info disana juga terdapat genangan air yang digunakan agar ruangan tetap dingin. (Jaman dulu belum ada pendingin ruangan kan ya, :D)
Walaupun pandemi, pengunjung cukup ramai. Bahkan ada sekelompok guru sejarah (yang kutahu dari tulisan di kaosnya) nampaknya sedang melakukan kegiatan study tour disana.
Lawang Sewu dari Tugu Muda |
Sebagai penikmat bangunan kuno, maka kedua orang tuaku rajin mengabadikan dan mengomentari setiap sudut bangunan tersebut, walaupun mereka mengunjungi tempat ini sudah sekitar ketiga kalinya.
"Hebat ya orang Belanda bisa membangun bangunan semegah dan sekokoh ini." komentar Bapak.
"Tulisannya Belanda semua. Apa artinya ini, nduk?" Tanya Ibu padaku sambil menunjuk sebuah kata dengan anak panah dibawahnya.
"Ingang? Sepertinya itu maksudnya pintu masuk. Kalau dalam bahasa Jerman eingang. Kan serumpun bahasa mereka. Seperti Melayu dan Indonesia, jadi banyak kemiripan." jelasku.
Instalasi listrik kuno jaman Hindia Belanda |
"Coba lihat ini nduk, panel listrik kuno jaman Belanda." Tunjuk bapakku. Konstruksinya sangat jauh berbeda dengan sekarang, tentu saja. Di abad sekarang tentu saja tak beroperasi karena spare part seperti demikian pastilah tak diproduksi kembali. Fitting lampu dari porselen, sakelar besi tipe lawas, jaman sekarang sebagian besar teknologi sudah mengalami pemutakhiran, bukan?
Spot Foto Wajib Lawang Sewu |
Museum yang berada disana cukup memberikan informasi lengkap kepada pengunjung. Mulai dari sejarah pembangunan, denah bangunan, sejarah perkeretaapian Indonesia bahkan barang-barang antik seperti mesin tik, mesin cetak, telepon kuno maupun seterika arang dipajang disana. Bahkan keramik kuno, atau batu bata dari awal pembangunan Lawang Sewu sebelum dipugar dilestarikan di museumnya.
Bagian Teratas Lawang Sewu |
Mengelilingi Lawang Sewu di lantai satu maupun dua dalam kondisi terik cukup membuat kami berkeringat. Apalagi kami sempat naik ke lantai teratas, tepat dibawah atap. Namun tidak untuk Ibu, beliau masih bersemangat mengelilingi dan berfoto.
"Ayo kamu belum lihat kaca patrinya. Cantik, seperti di Eropa."
Lokasi disekitar Kaca Patri yang Menarik |
Aku menyeret langkahku menuju ruang yang dimaksud oleh Ibu. Disana aku harus sedikit mengantri untuk mengambil gambar, karena memang cukup artistik titik ini. Kaca patri dengan gambar dua gadis Belanda yang berhadapan. Seperti gereja di Italia yang pernah aku masuki. Kondisi Lawang Sewu sangat bersih dan terawat. Sayang, saat itu kami berkunjung saat siang hari, jadi cukup ramai pengunjung dan tidak terlalu leluasa untuk berfoto di seluruh lokasi yang menurutku menarik. Harusnya kami berkunjung sore, selepas ashar menjelang maghrib, karena pengunjung sudah berkurang, dan akan mendapatkan blue hour yang dipadu dengan indahnya pencahayaan Lawang Sewu.
Aduh, membayangkannya saja sudah membuatku ingin kembali berburu blue hour kesana !
No comments:
Post a Comment