Berjalan di Kota Tua Semarang Bersama Ayah dan Ibu

Apa yang kamu pikirkan saat berjalan bersama kedua orang tua saat sudah berusia mendekati kepala tiga? Masa kecil, tentu saja. Sudah sangat lama aku tak berjalan bertiga bersama orang tua, mungkin belasan tahun yang lalu, akupun tak ingat kapan tepatnya.
Hujan lembut membasahi tanah Semarang malam itu. Saat itu aku menemani sang Ibu yang hobi berjalan-jalan dan berfoto. Awalnya hanya berencana mengunjungi Lawang Sewu dan Gereja Blenduk yang atapnya membentuk serupa kubah, ternyata Gereja tersebut berlokasi di kawasan kota tua di Semarang. Kawasan tersebut hanya berupa jalan sepanjang sekira satu kilometer, dan dijejali deretan bangunan tua peninggalan Belanda, yang mayoritas telah bertransformasi menjadi kafe, minimarket, maupun perkantoran. Tepian jalan dipasang lampu-lampu klasik, menggoda para pemburu gambar Instagramable untuk berlomba-lomba mengambil gambar dengan sudut pengambilan paling baik. Gedung-gedung dengan tulisan emboss klasik seperti MARBA, SPIEGEL, menyita perhatianku. Kami sendiri kurang paham sejarah fungsi dari gedung tersebut dahulu kala. Bangunan-bangunan tersebut tertata rapi, bersih dan amat terawat.
Lawang Sewu, Tujuan Pertama Kami
Gereja Blenduk
"Bawa payung," Ibu menginstruksikan aku selaku fotografer pribadinya. Hujan yang menderas tak menyurutkan niat berfoto ditemani oleh Ayah.
"Cepat-cepat keburu basah," Serunya membuatku tergesa-gesa. Aku berkilah kalau fotografi malam harus sedikit sabar agar gambar yang dihasilkan tidak blur maupun gelap.
"Ulangi, kelihatan gendut." Komentar Ibu setelah memeriksa secara teliti hasil potretku. Lantas aku menyerahkan tugas memotret tersebut kepada Ayah, karena aku beralasan ingin mengambil gambar di lokasi lain.
Sungguh, saat hujan pemandangan sekitar menjadi sedikit berbeda. Jalanan tampak berkilau karena basah dan diterpa lampu-lampu bangunan. Sejenak aku teringat suasana seperti ini saat malam gerimis di Kota Tua Jakarta tiga tahun yang lalu. Bedanya saat itu aku berjalan sendiri.
 Malam itu pukul sepuluh malam, tapi makin tak lengang. Pengunjung yang mayoritas muda-mudi asyik berfoto bergantian, berjalan, tertawa maupun menyesap hangatnya minuman yang dijajakan kedai-kedai disepanjang jalan. Orang tuaku mengajak untuk menyusuri jalan sepanjang seribu meter tersebut.
"Bagus! Bagusnyaaa...aku berkali-kali ke Semarang baru sekali kesini." Ibu berkali-kali berdecak kagum. Kepalanya berputar-putar mendongak melihat ragam bentuk bangunan warisan budaya tersebut. Ayahpun bersikap kurang lebih sama kagumnya. Mengketuk-ketuk kayu, dinding maupun teralis. Memastikan bahwa konstruksi peninggalan Belanda tersebut masih kokoh.
"Bagus teralisnya. Kuno dan antik. Kalau dicontoh buat rumah boleh juga." Komentar Ayah sambil berimajinasi. Kami bertiga serasa terlempar kembali ke beberapa abad yang lalu.
Model Teralis yang Disukai Bapak
Malam-malam yang kian merambat enggan mengusir pengunjung. Hawa saat itu cukup dingin, namun payung yang kubawa sengaja tak dibentangkan agar aku bisa menikmati rinai-rinai hujan lembut di jalanan kota tua ini. Pintaku kepada Allah, semoga suasana perjalanan ini dapat terulang nanti.
Tombol rana dari kamera ponsel pun tak henti-hentinya kutekan. Dan aku tetap berjalan mengekor kedua orang tuaku. Tak jarang ibu meminta ambil gambar ketika menemukan titik yang menurutnya menarik.
"Dari jauh ya, biar kelihatan langsing." Pintanya selalu memberikan komando. Ah, Ibu. Akupun menuruti inginnya, karena mau tumbuh seberapapun umurku, aku masih putri kecil ayah dan ibu.
Hasil Foto Putri Kecil Mereka. Sie sind meiner erste Liebe.

Unesia Drajadispa

No comments: