Lagi lagi, dan lagi lagi untuk kesekian kali, salah satu bagian dari Karst Sangkulirang Mangkalihat menjadi sasaran di akhir pekan. Kali ini adalah Karst Kung Beang, yang lebih lazim disebut Gunung Kongbeng atau Kombeng oleh masyarakat, yang pada akhirnya aku tahu bahwa itu salah. Mengapa? Karena penyebutan yang benar adalah Kung Beang, yang diambil dari kisah suku adat Wehea mengenai leluhurnya, yaitu Kung yang berarti nama perempuan dan Beang, yang berarti nama lelaki. Akan tetapi karena kesulitan pelafalan maka nama tersebut menjadi Kongbeng yang merubah makna sesungguhnya dari nama tersebut.
Terakhir aku menatap Kung Beang saat berada di Ceruk Karim, dua bulan yang lalu. Dari ketinggian sekitar 198 mdpl tampak samar dan sangat kecil Karst Kung Beang dari kejauhan. Namun saat terakhir aku bertandang kemari adalah tiga tahun silam, aku ingat betul pada bulan Juli tahun 2017. Karst ini hanya berdiri sendiri, terpisah dari gugusan karst yang lain, sehingga menurutku ia tampak mandiri dan..ehm, gagah.
Dan akhirnya hari itu terulang kembali. Seusai melakukan pekerjaan, aku dan Cuplis beristirahat di salah satu rumah rekan yang terletak tak jauh dari Kung Beang. Setelah sesaat hendak beranjak, Pak Ruslan (nama rekan yang rumahnya kami jadikan tempat istirahat) mengajak kami ke Karst Kung Beang. Akupun mengiyakan saja, apalagi Cuplis yang belum pernah kesana menyambut ajakan tersebut dengan super antusias.
Hanya sekitar lima belas menit kami berkendara dengan mobil, dan akhirnya mencapai lokasi tersebut. Tak banyak berubah, bau guano yang menyengat, angin yang berhembus dari mulut gua, namun hanya saja makin banyak vandalisme di dinding Gua Angin. Kami bertiga hanya berputar-putar di mulut gua dan masuk sejauh sepuluh meter saja karena memang sangat gelap dan tidak ada penerangan sama sekali.
Terkepung Sawit |
"Naik keatas kah?" Pernyataan tak disangka keluar dari Pak Ruslan. Aku hanya membatin, kuat kah beliau, dan apakah si Cuplis juga mau karena jalannya ekstrim, dan akupun sedikit menderita radang tenggorokan.
Eh, Cuplis menyambutnya dengan semangat. Ya mau tidak mau semangatkupun ikut terbakar. Untunglah saat itu aku memakai celana kargo dan sepatu safety.
"Aku udah lama nggak naik keatas, terakhir ke atas pas saya masih bujangan," Tutur Pak Ruslan sembari berjalan paling depan. "Mudah-mudahan jalurnya masih ada."
Drama Panjat Tebing |
Drama panjat tebing pun terulang. Rasanya sudah tidak kaget lagi karena sudah teruji di Karst-Karst sebelumnya. Tiba-tiba Pak Ruslan membuang sepatunya.
"Ah licin pake sepatu!"
Aku terkaget-kaget. Gila orang tua satu ini, apa telapak kakinya setebal kulit Badak hingga sanggup menapaki bebatuan Karst nan tajam sepanjang jalur ini?
"Sebentar-sebentar...ah ya ini lurus saja. Kalo kita naik ke puncak tertinggi sana, rasanya saya udah tua dan nggak sanggup lagi." ujarnya sedikit ngos-ngosan. Ya mungkin bukan hanya Bapak saja yang tak sanggup, tapi akupun saat kondisi radang begini rasanyapun akan mustahil juga.
Setelah perjuangan satu jalur sulit lagi, akhirnya kami mencapai puncak Kung Beang yang masih terbilang rendah setelah berjuang sekitar hampir satu jam, karena saat kami menengok kebelakang masih ada pilar Karst yang lebih tinggi. Saat itu ketinggian sekitar 298 mdpl. Akhirnya, terpecahkan juga puncak Kung Beang yang semenjak tahun 2017 belum tercapai.
Masih ada yang lebih tinggi |
Kondisi saat itu cukup terik. Panorama yang disajikan adalah penuh dengan perkebunan kelapa sawit yang mengepung Kung Beang. Gua Karim maupun Gunung Gergaji tak tampak dari atas sana. Kami tak berada terlalu lama diatas, pukul setengah dua kami turun kembali dengan kondisi tenggorokanku yang makin kering dan nyut-nyutan.
No comments:
Post a Comment