Rasa superbosan selama pandemi melanda akhirnya mulai menyerang. Tak lama kemudian aku menghubungi sesama rekan petualang, sebut saja Angga (nama sebenarnya). Sedikit merajuk, memaksa untuk menghempaskan rasa kebosananan tanpa harus keluar kota. Pikiran sudah sangat sumpek memikirkan hiruk pikuk kerjaan yang tak ada hentinya. Bukan Une namanya kalau tak punya seribu akal untuk tetap berpetualang selama pandemi.
"Om, ada waktu pekan depan? temanin aku yok ngecamp di gua Sampemarta."
Tak kusangka ia mengiyakan begitu saja tanpa pertimbangan.
"Yuk, bisa mbak. Sama siapa saja?"
"Aku sendiri saja sih, carikan teman lah!" Ujarku memaksa. Udah ngajakin, maksa pula buat nyari teman blusukan. Ya nggak apa-apa, daripada kami berdua, ujung-ujungnya para setan malah berpesta dan tepuk tangan gembira.
"Oh, oke mbak, aman saja itu. Nanti saya carikan. Butuh apa saja pas camp?" tawarnya super baik.
"Nesting. Tenda. Itu saja sih, biar logistik aku bawa sendiri. Semalam aja kok, nggak usah lama-lama. Nanti aku bawakan mie instan banyak-banyak."
"Hahaha...siaaap mbak. Sampai ketemu pekan depan ! Eh ngomong-ngomong punya indra keenam kah?" Tanyanya menyelidik. Tampaknya suasana camp kali ini cukup ngeri, seakan-akan berbagai makhluk mengerikan siap mengintai kegiatan kami selama disana.
"Hahaha...siaaap mbak. Sampai ketemu pekan depan ! Eh ngomong-ngomong punya indra keenam kah?" Tanyanya menyelidik. Tampaknya suasana camp kali ini cukup ngeri, seakan-akan berbagai makhluk mengerikan siap mengintai kegiatan kami selama disana.
"Kalau punya, kenapa?" Ujarku berdusta.
"Uhm, punya maupun tidak, aman saja kok, Mbak." Ujarnya tenang.
Percakapan iseng pun kami akhiri. Pernyataan Angga tak seberapa aku pikirkan, karena memang murni tak memiliki indra keenam. Ah, aku jadi tak sabar segera menjalani petualangan dimasa pandemi ini.
Jumat. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Agar semakin terasa jiwa petualangannya, aku mengendarai sepeda motor sendiri menuju arah Kota Bontang dari Sangatta. Sekitar satu jam saja, akhirnya mencapai meet point yang kami sepakati. Saat itu pukul dua siang, Angga sudah siap dengan carrier merah dan motor pinknya.
"Kok sendiri? Katanya ada temen?!" Selidikku.
"Iya rencana ada tiga orang. Yang dua awalnya maju mundur cantik, dan akhirnya mundur beneran karena alasannya takut hujan. Nah ini sisa satu orang, kalau dia mundur, kita ajak Pak Sampe aja buat camp didalam." Ujarnya penuh perhitungan. Sekedar informasi, Pak Sampe adalah penemu Gua Sampemarta yang masih masuk di kawasan Taman Nasional Kutai (TNK). Namanya diabadikan sebagai nama gua dan Marta merupakan kependekan dari nama desa tempat gua tersebut berada, di Kecamatan Teluk Pandan, Martadinata.
"Asal gak berdua loh." Ujarku mengancam.
"Nggak. Eh ini temenku konfirm jadi kok. Dia bawa mobil dan lagi siap-siap."
Lima belas menit kemudian, teman si Angga yang diketahui bernama Angga juga muncul dengan membawa kendaraan nomor lambung perusahaan tambang. Kami bertiga langsung masuk menuju lokasi awal trekking. Awal masuk dari jalan aspal masih bisa dikendarai kendaraan roda dua maupun roda empat, hingga sekitar 15 menit kemudian mencapai titik mulai yang tidak bisa dimasuki oleh kendaraan roda empat.
Rumah Pak Sampe |
"Kalau iya, biar si Angga boncengan sama kamu."
"Jalannya gimana?" tanyaku.
"Ya naik turun. Kalau habis hujan begini sih, lihat saja nanti. Bagaimana?"
Aku melirik motor matic pink-ku. Semoga ia kuat menjalani rute kali ini.
Aku melirik motor matic pink-ku. Semoga ia kuat menjalani rute kali ini.
"Ayok lah, motoran saja. Biar lebih dekat. Yang terpenting kan suasana alamnya pas camp." Pintaku.
Awal perjalanan masih mulus, beberapa meter kemudian, jalanan mulai menggila. Turunan cukup curam dan licin. Tak jarang kami berdua hampir terjelatuh dan terpelanting.
"Aduh mbak, kalau kita jatuh bareng gimana?" Ujar Angga yang memboncengku. Aku menjulukinya Angga Geologi, karena ia bekerja bagian Geologi di Perusahaan Tambang.
"Ya sakit bareng." Godaku sambari ketawa-ketawa cempreng. "Kalau nggak sanggup biar aku turun dari motor saja."
Motor berdengung bergulat dalam lumpur beberapa ratus meter setelahnya. Melewati jembatan kayu sempit, hingga tanjakan superlicin. Tak lama kemudian motor kesayanganku bau kampas yang hangus.
"Tahu gini bawa motor trail saja." Dengusku sok-sokan. Padahal bawa motor trail saja nggak bisa !
Kemudian kami berdua kembali hampir jatuh melawan licinnya trek. Lalu aku memutuskan untuk turun dan berjalan kaki saja.
Kata Angga Pongo ini Lubang Anjing |
"Nah habis Mbak katain sih motornya tadi, ngamuk dia," celotehnya sambil berusaha meloloskan ban motor dari jeratan lumpur maut. Aku berjalan kaki didepan semakin cepat. Angga Geo tetap nyerocos saja sambil ketawa-tawa.
"Mbak kalau jalan jangan cepet-cepet. Kamu kayak cewek ngambek aja."
Tak lama kemudian kami menemukan sebuah rumah, aku pikir rumah pak Sampe. Ternyata bukan.
"Ohh masih diatas rumahnya," Ujar Angga Pongo. "Tapi sebentar lagi kita berjalan kaki ya. Motor nggak bisa masuk."
Kami memberhentikan motor di sebuah pondok dekat tanjakan. Menurut Angga Pongo, kami berjalan sekitar 1 km saja menuju lokasi.
"Yuk kita start, diatas rumahnya Pak Sampe, beliau memiliki kebun nanas madu. Kalau pas panen, kita bakalan dibawain nanas sekarung."
Day pack pun mulai kupanggul dan menanjak. Lumayan melelahkan juga karena sudah lama tak trekking seperti ini, tapi masih bisa berjalan tanpa berhenti. Angga Geo mah santai sembari hanya membawa dry bag 10 L nya.
Klub Anti Sepatu Basah-Basah Club, walau akhirnya basah juga. |
"Kamu nggak bawa apa-apa Ngga?"
"Nggak. Kan aku nggak nginep." Aku mendelik kearahnya. Lalu menatap penuh harap. "Aku cuma berdua dong?"
"Bagus," Timpalnya.
Setelah beberapa menit trekking, kami menemui rumah Pak Sampe. Angga Pongo memanggil, tapi beliaunya tidak keluar, nampaknya sedang berkebun. Oh, aku yang deg-degan sih. Masa aku harus ngecamp berdua saja sama Angga Pongo?! Setan bisa ngakak habis-habisan nih!
"Dah kita lanjut aja. Kamu nginap Ngga?" Tanya Angga Pongo ke Angga Geo.
"Nggak mas, aku pulang saja."
"Oke, kalau begitu kita eksplor gua hari ini juga." Ujar Angga Pongo. Uh. Mengesalkan!
"Nginep lah Ngga!" Pintaku penuh harap pada Angga Geo. Nada bicaraku cukup ngegas.
"Duh mba, kerjaku tiap hari dan tinggal setiap hari di hutan, masa ini nginap di hutan lagi." Ujarnya sambil ngerokok. "Mba hobinya ekstrim juga yah."
Aku terdiam saja sambil menikmati ngos-ngosanku. Tanjakannya cukup menguras tenaga. Setelah melewati semak-semak, kami melewati hutan tropis yang menyejukkan. Saat itu pukul setengah empat dan langit sangat teduh. Dan kemudian kami mendengarkan sayup-sayup gemericik air dan bau guano. Pertanda gua semakin dekat, yeah !
"Kita mau mendirikan tenda dimana?" Tanya Angga Pongo.
“Pinggir sungai aja, aku pengen yang alam banget. Deket sumber air juga Lebih enak juga untuk keperluan minum atau yang lain.”
Barang dan logistik yang dibawa kita drop di camping point, lalu segera trekking menuju Gua Sampemarta sekitar 500 m. Berjalan menyebrangi sungai kecil, memanjat bebatuan untuk mencapai bibir gua, dan bodohnya aku tidak membawa lampu kepala, padahal gua itu gelap dan suram.
“Aku lupa nggak bawa senter Om,” Rengekku memelas.
“Waduh, tapi kamu bawa dry bag kan? Di dalam gua sangat gelap dan tentu saja harus siap basah-basahan. Kalian bawa dompet dan ponsel kalian ya,” Jelas Angga Pongo.
Bagi yang suka petualangan, menyusuri gua Sampemarta menjadi hal yang super duper menyenangkan walaupun harus benar-benar memperhatikan pijakan agar tidak terpelanting jatuh. Sebenarnya aku tak ingin sedikitpun berhenti menekan tombol rana kamera, akan tetapi sulit juga karena harus menjaga pijakan dan pegangan agar cukup stabil.
Mulut Gua Sampemarta (Inframe: Angga Pongo) |
Sesampainya di mulut gua, stalagtit dan stalagmit menyambut kami. Bau guano yang kuat menyeruak dari dalam gua. Koloni kelelawar mencicit diatas kepala kami. Seakan mengucapkan salam kedatangan.
Panjang gua sekitar 700 meter, lalu buntu. Ada aliran sungai kecil didalamnya, sehingga suka atau tidak suka sepatumu harus siap basah. Ada juga sumber air yang mengalir dari sela-sela stalagtit dan itu sangat jernih serta segar. Kala musim kemarau tiba, air itu tidak mengalir kata Angga Pongo.
Aliran air superjernih (Inframe : Angga Geo) |
Kalau ditanya spot foto? Uh, banyak! Sampai bingung pilih yang mana. Guratan alami di dinding gua yang mengandung mineral sehingga berkilau saat ditimpa cahaya itu sungguh memukau, sungguh. Lubang-lubang yang dimasuki cahaya pun tak kalah menariknya digunakan untuk berfoto. Walaupun setelahnya kami harus merangkak naik keluar gua melalui lubang tersebut. Tak jarang juga kita jalan jongkok karena atap gua yang teramat rendah. Mataku juga lirik-lirik disekitar dinding maupun atap gua. Takutnya ada ular gua (Orthriophis taeniurus grabowskyi) yang hidupnya selalu menempel di dinding gua.
Jalan Jongkok |
Sebenarnya ada tiga gua disana. Yang pertama kita datangi adalah gua Sampemarta, yang kedua adalah Gua Akhir Tahun, kocaknya gua ini diberi nama oleh salah seorang teman Angga Pongo yang memang ditemukan pas akhir tahun. Tak seberapa menarik sih dibandingkan Sampemarta, dinding guanya juga tinggi dan tidak panjang. Hanya beberapa stalagtit stalagmit didekat mulut gua saja yang menarik untuk diambil gambarnya.
Untuk gua ketiga belum pernah dijamah. Angga Pongo mengajakku untuk masuk, tetapi kami berdua enggan karena sudah mendekati maghrib. Dan akhirnya kita memilih kembali ke camping point untuk mendirikan tenda dan masak untuk makan malam. Kakiku juga sudah mulai gemetaran saat memanjat maupun menuruni bebatuan gua. Lapar.
“Duh, aku pulangnya gimana ya?” Angga Geo mendadak galau hatinya setiba di Camping point. “Jalan sampai ke parkiran mobil pasti malam banget sampainya. Mana nggak bawa senter.”
“Udah nginap aja, Ngga. Prosentase keselamatan kamu ketika balik jalan kaki sendirian dan ngecamp lebih besar ngecamp loh. Ini hari sudah larut dan kamu harus jalan kaki sendirian tiga kilo ke parkiran mobil dengan kondisi jalan seperti tadi.” Angga Pongo menyeringai, sedikit menakuti nadanya.
“Iya nginep aja kenapa. Toh kamu juga libur kan besok?” Kataku ikut menghasut. Lantas ikut menyeringai penuh kemenangan.
Camp kami |
“Tapi..tapi aku nggak bawa baju, nggak bawa makanan juga.”
“Kubawain, nih baju. Atau apa lagi, sempak sempak? Ada nih. Makanan? Ada si Une bawa mie banyak banyak tuh.” Jawab Angga Pongo penuh kemenangan. Aku ngakak dalam hati. Rasain kau pasti kena jebakan kali ini. Angga Pongo juga menjelaskan padaku bahwa ia menjebak rekannya itu dengan mengulur waktu saat eksplorasi gua agar terlalu larut saat kembali ke camping point.
“Ih gak sama kali ukurannya!” Angga Geo meringis.
“Sarungan aja bah...ribet bener jadi laki.” Selaku.
Dan akhirnya ia jadi menginap malam itu. Hahahah. Kami segera mendirikan tenda, makan malam dan membuat perapian untuk mengusir hewan hutan, menghangatkan badan maupun untuk teman ngobrol di malam itu. Ya, tentu saja malam obrolan ini menjadi saat yang paling ditunggu-tunggu. Obrolan hangat, ditemani segelas cokelat hangat. Kunang-kunang yang berterbangan, gemericik air dan dersik angin, huaaah susah mendeskripsikan kesempurnaan malam itu, suasana yang mampu memformat masalah dan pikiranku untuk sejenak. Walaupun aku sendiri wanita disana, tapi tak terlalu kupermasalahkan.
Sungai maha jernih dan maha bersih |
Obrolan demi obrolan mengalir begitu saja hingga dini hari. Mulai dari tema jodoh, hobi, pekerjaan, kehidupan, hingga hantu. Aku memilih untuk beristirahat duluan, akan tetapi terbangun juga saat mendengar dua lelaki itu masih bercakap pukul dua pagi. Akupun akhirnya bergabung kembali walau harus kembali terkulai pukul empat pagi.
Pagi menjelang, malam bagai mimpi. Aku mencuci muka, masak untuk sarapan dan berkemas untuk pulang, meninggalkan lokasi yang sangat alami tanpa sampah dan vandalisme. Privat camp hari itu sungguh sempurna, tak lupa aku mengucapkan banyak terima kasih kepada dua rekanku yang banyak membantu saat hari-hari menyenangkan itu. Sampai jumpa kembali !
Bagaimana cara menuju dan apa saja yang wajib dilakukan saat mengunjungi gua Sampemarta?
1. Naik kendaraan umum/ motor/mobil ke arah Sangatta kalau dari Bontang/Samarinda. Berhenti di jalan arah ke Sangatta, sekitar 2 km dari pertigaan Loktuan sebelah kiri jalan. Ada jalan beton menanjak dengan tiang listrik ditengahnya. Ada plang tulisan Musholla Darul Hikmah
2. Membawa kendaraan pribadi bisa masuk kedalam. Kemarin Angga Geo membawa kendaraan roda empat 4WD.
3. Tidak ada tiket masuk resmi walaupun masuk kawasan Taman Nasional Kutai. Akan tetapi kita iuran seikhlasnya untuk perbaikan akses jalan masuk
4. Kawasan tersebut sangat terjaga kebersihan dan kealamiannya. Belum ada sampah pengunjung maupun vandalisme. DIMOHON UNTUK SELURUH PENGUNJUNG JANGAN MERUSAK DAN MENGOTORI LOKASI INI
5. Memadamkan bara api sisa perapian secara sempurna saat meninggalkan lokasi, untuk menghindari kebakaran hutan
Apa saja yang wajib dibawa?
1. Headlamp, atau lampu untuk menyusuri gua
2. Dry bag. Kecuali gawaimu tahan air
3. Trash bag
4. Gunakan sepatu trekking yang nyaman. Wajib sepatu sih, karena lebih aman saat menyusuri gua
5. Lotion anti nyamuk
6. Sandal saat camping, karena sepatumu akan basah dan dijemur nantinya (opsional)
No comments:
Post a Comment