Sebenarnya diri ini tak memiliki kapasitas apa-apa untuk menyalahkan si novel coronavirus yang lagi populer diawal tahun ini. Sungguh. Memang, gara-gara pageblug ini yang menyebabkan serangkaian acara gowes ugal-ugalan di Yogyakarta pada bulan Maret ini bubar dan tak tahu akan dijadwalkan ulang pada bulan apa. Tiket keberangkatan sudah ditangan, apparel sepeda sudah tertata rapi di koper 20 inch dan sepeda enduro sudah masuk tas, dan akhirnya semua tidak jadi. Jelas tak hanya aku yang merasakan duka lara, seluruh om-om calon peserta gowes ugal-ugalan pun merasakan hal yang sama tampaknya.


Bahkan, salah satu om yang ngebet sekali ingin melihat Borobudur pun harus bersabar dan mengubur dalam-dalam impiannya di Maret ini demi keselamatan bersama. Berkali-kali ia mengirimkan emotikon sedih ke grup whatsapp kami.
"Sudah, biar ibu jemput saja ke Yogya." Kilah ibuku via telepon ketika aku menjelaskan keinginanku untuk membeli tiket ulang penerbangan ke Surabaya dan membiarkan tiket BPN-JOG ku hangus.
"Tapi kan jauh, dari Jogja ke Lumajang sepuluh jam." Protesku sambil membayangkan betapa panasnya pantat gara-gara menempuh perjalanan panjang, Sangatta ke Balikpapan, lanjut Yogya ke Lumajang. Belum lagi ribut-ribut corona yang membuatku makin bergidik ngeri.
"Halah ! Dekat aja itu. Kamu kan jarang-jarang ke Yogya. Sama aja ibu perjalanan panjang pulang pergi. Ibu juga mau nyari batik disana !"
Mau nyari batik. Oke, ternyata kata-kata sakti inilah yang membuat semangat ibuku yang berusia lebih dari setengah abad itu tetap tak terpatahkan walau corona menghadang. Akhirnya akupun menurut saja, toh benar juga, terakhir aku ke Yogya enam tahun silam. Ini demi menyenangkan ibuku yang jiwa traveling nya masih sangat kuat.
Benar saja, ibu sampai di Yogya saat subuh tiba, dan aku masih baru bersiap-siap ke bandara keberangkatan. Sesampai disana, kami sarapan sebentar dan langsung menuju Malioboro, berburu batik.
Benar-benar ya, yang lainnya parno corona ini malah keluyuran di red zone pula.
Kondisi Yogya saat itu sepi, jalanan sangat lengang padahal hari Sabtu. Tampak beberapa pengendara motor yang lewat mengenakan surgery mask atau menutupi alat pernafasan mereka dengan kain yang bercorak macam-macam.
"Biasanya rame disini, mbak." Jelas Pak Samsul, yang menyetir mobil kami.
"Iya, sampai jalanan nggak bisa disibak." Tambah ibu.
"Ya ini namanya berkah corona." Timpalku asal dan mengundang tawa kecil.
![]() |
Ini lebih dari sekedar lengang |
"Sepi mbak, Corona bikin ruwet," Keluh bapak penarik becak dengan muka super kusut. Memang, terasa besar perbedaan saat musim corona atau tidak. Pendapatan harian mereka pasti benar-benar berkurang drastis.
Kami sempat berfoto-foto di sekitar Malioboro dan titik nol Yogya. Ini pemandangan yang sangat langka, berfoto tanpa banyak orang dan kendaraan yang lalu-lalang. Bebas, tidak usah antre sama sekali.
![]() |
Tidak terlihat pengunjung sedikitpun |
"Ayo wes," Timpalku semangat tanpa berpikir pageblug yang bikin ribut, haha. Ibuku nampaknya mengincar foto-foto dengan suasana sepi ini.
Daaan...benar juga. Berkah corona bagi para pengunjung yang hobi berfoto seperti kami. Tamansari sangat sepi ! Dengan tiket lima ribu rupiah, ibu langsung bersemangat mencari spot foto terbaik dan mengomeliku apabila hasil fotonya tampak gendut.


"Ayo lanjut ke Sumur Gumuling. Jalan agak jauh lewat kampung." Kata ibuku dengan semangat yang tak berkurang sejak tadi pagi. Padahal aku sendiri sudah mulai loyo dan mengantuk.
"Apa itu?" tanyaku.
"Masjid bawah tanah. Ayo, lokasinya instagrammable. Mumpung sepi ini."
Benar juga. Sepi gara-gara berkah corona. Aku dan ibu berfoto sejadinya. Iya, memang ini berkah bagi pengunjung bagi kami, tapi tidak bagi pengelola wisata dan masyarakat sekitar yang mencari penghidupan dari denyut wisata ini. Semoga pageblug ini segera berakhir, dan mereka bisa tersenyum meraup penghasilan kembali.
Yogyakarta, 21 Maret 2020
No comments:
Post a Comment