Cerita ini dibuat ketika para om-om bikers mulai menebar racun, dan aku tak kuasa untuk membendungnya.
Cuti tiga hari itu terasa sangat berharga. Sebenarnya aku tak ada rencana untuk ikut acara rutin om-om jaman now gowes keluar pulau, cuma gara-gara kata-kata racun dari beberapa om-om seperti ini :
"Ayolah mbak kapan lagi :3"
"Katanya suka menjelajah ya,"
"Upgrade dulu sepedamu."
"Ikut aja daripada nyesel"
"Mumpung belum punya bayi"
"Mumpung jomblo :3"
"Mumpung jomblo :3"
Dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menerima tantangan om-om tersebut, mereka tersenyum lebar. Hehe. Maklumlah aku cewek pertama dan sendirian yang memberanikan diri ikut tripnya om-om gowes keluar pulau. Eh, setelah mereka melihat tingkah polahku, julukan cowok pun melekat di diriku.
Lewat Tumpang |
"Kok berani ngikut kita-kita mbak? "
"Nggak takut diapa-apain di sarang penyamun seperti ini?"
Wah meremehkan nih, pikirku. Kalau diapa-apain ya aku apa-apain balik. #eaa
Setelah urusan cuti dan pembayaran akomodasi selesai, maka saatnya keberangkatan di puncak kemarau panjang pada tanggal 15 September 2018 dari Bandara Sepinggan Balikpapan. Pesawat yang kami tumpangi Lion Air, dimana alat olahraga gratis satu koli untuk satu penumpang.
Kami menginap di Malang kota. Sebenarnya tujuan kami selama tiga hari ada di Cangar, Coban Rondo, Bromo, dan Tutur Welang. Untuk edisi kali ini saya bahas untuk petualangan hari kedua di Bromo, karena cukup banyak kisah suka dan dukanya.
Gersang setelah terbakar |
Perjalanan ke Bromo dimulai pukul 06.30 WIB via Tumpang dan turun melalui Bukit Teletubbies di Bromo. Dan sampai di kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) Pukul 10.30 WIB. Kami mulai gowes pukul sebelas siang dengan panas yang sudah mulai menyengat dan sudah mendekati waktu makan siang.
Kondisi Bromo pada musim kemarau kurang cantik, tak hanya berdebu, tapi juga kondisi perbukitan yang semula hijau segar menjadi kering pasca terbakar. Membuatku mendengus kesal berkali-kali dan berjanji untuk datang kembali ketika sudah menghijau.
Full Team |
Jamaah Tuntun Bersama |
Jalur gowesnya single track berpasir vulkanis tebal sekali, banyak jalur rail (motor) yang menimbulkan ceruk di tengahnya, sehingga membuat kami selalu waspada akan jalur tersebut yang tertimbun pasir tebal dan setengah mati mengontrol pergerakan sepeda agar tak terpelating ke kanan maupun kekiri yang berupa jurang menganga. Ditambah lagi skill bersepedaku yang apa adanya dan bondo nekat membuatku tak berhenti bershalawat sepanjang trek.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya aku berdoa. Jalurnya yang menurun, berdebu, dan disuguhi jurang, ada juga yang berupa U-Turn, sehingga aku menuntun sepeda daripada terjadi apa-apa. Seram pokoknya bikin sakit perut tapi kocak juga. Sempat jatuh karena konsentrasi yang mulai menguap, tapi secara profesional aku menjatuhkan diriku ke kebun warga yang bertanah gembur agak tak kesakitan.
Menang Gaya |
Setelah beberapa turunan berdebu dan melalui perkebunan sayur warga, kita dihadapkan dengan tanjakan yang lumayan ngeri, sehingga terjadilah acara tuntun berjamaah. Di puncak tanjakan tersebut ada rumah warga yang tampaknya dijadikan base camp oleh para bikers yang melewati jalur cemoro Telu ini. Pemilik rumah menyuguhi kami teh hangat, dan kami beristirahat sejenak disana. Sesekali aku jadi bahan pujian akan ketabahanku melewati jalur ini hingga bahan perundungan seru di siang yang terik tersebut.
"Please mbak Une. Jangan bilang kalau kami orang gila. Kami hanya masa kecil yang kurang bahagia." Ungkap Om Heri sambil cengar-cengir.
"Kami sempat underestimate eh mbak, tapi kami salut mbak Une bisa ngikutin kami ini."
Nah, Unesia Drajadispa gitu loh.
"Puas-puaskan dulu. Sebentar lagi kalian bakal menghadapi tanjakan yang itu, desa sebelahnya." jelas Om Andri santai, Marshall kami saat itu.
Kami yang santai sambil nge-teh cantik, tertawa pasrah melihat tanjakan yang terbentang di depan mata. Kalau tanjakan berpasir seperti itu, om Kurt Sorge mah pasti nuntun juga!
Setelah drama tuntun sepeda yang bikin ngos-ngosan semua om-om dan aku juga, selanjutnya kami dihadapkan turunan pedalless yang panjang. Melalui rumah penduduk hingga jalan berbatu panjang yang melelahkan lengan serta pundak. Karena sudah pukul setengah dua siang dan benar-benar lapar, aku lepas rem belakangku dengan harapan cepat sampai di warung makan. Terima kasih September Ceria dan Om-om jaman now :)
Aduh, kalau emak tahu putri kesayangannya ikut om-om ke trek 'angker' seperti ini pasti panik setengah mati, tapi entah mengapa putrinya tetap membandel saja untuk melawan rasa takutnya.
Setelah bersepeda selama empat jam, akhirnya kami mencapai titik terakhir kami di warung makan untuk makan siang yang kesorean tersebut. Kami start dari Kabupaten Malang, dan berakhir di Kabupaten Probolinggo. Sebelum kembali ke Malang, tentu saja kita menyempatkan untuk berfoto di lautan pasir Bromo yang legendaris tersebut.
Insiden selipnya ban kendaraan kami pun jadi cerita yang seru sepanjang perjalanan . Terlebih lagi joki kendaraan harus memacu kendaraan sekencang mungkin di lautan pasir untuk menghindari selip. Jadi terasa seperti mengikuti Rally Dakar.
Insiden selipnya ban kendaraan kami pun jadi cerita yang seru sepanjang perjalanan . Terlebih lagi joki kendaraan harus memacu kendaraan sekencang mungkin di lautan pasir untuk menghindari selip. Jadi terasa seperti mengikuti Rally Dakar.
Oh Emak, semoga engkau membaca curahan hatiku dan mengampuni tingkah polah anakmu ini.
Saran ketika gowes ke Cemoro Telu :
1. Gunakan full protector.
2. Apabila musim kemarau, pastikan persediaan air cukup dan menggunakan buff/masker untuk melindungi pernafasan
3. Pakai google biar nggak kelilipan
4. Kalau musim hujan, perbanyak berdoa agar tak terpelating ke tempat yang tak diinginkan :D
VIDEO PERJALANAN KE BROMO DAPAT DITEMUKAN PADA TAUTAN INI
No comments:
Post a Comment