Ada salah satu tempat yang selalu aku rindukan ketika berada di Lumajang. Desa Argosari, di Senduro. Kalau ingin mencari kesejukan, melepaskan rindu, cukup kesana. Yah, walapun terkadang sedikit menjengkelkan dengan sedikit ulah tarif ojek yang 'mungkin' tak berkemanusiaan.
Jarak tempuh dari rumah dengan kendaraan bermotor hanya satu jam, melaui jalur-jalur menanjak pedesaan yang diselimuti kabut kemarau yang tipis, terkadang diselingi embun akibat evaporasi yang menitik di wajahku saat mendongak kelangit.
Iya. Jalur penuh rimba serta rumpun semak tinggi dengan bunga kuning yang dilewati itu akan selalu aku rindukan. Sama halnya jalur ke Ranupane via Senduro.
Kembali ke konteks 'pemerasan halus' tersebut. Perasaan sudah digelayuti pikiran tak nyaman ketika ada ojek yang jokinya bersarung kotak-kotak membuntuti mobil kami sebelum memasuki gerbang desa Argosari. Ini ketiga kalinya aku ke B29.
Kendaraan Trail pun bisa digunakan sebagai ojek ataupun mengangkut hasil kebun |
"Biarin saja, namanya juga cari rejeki." Ibu berkata santai, aku sudah berprasangka kalau pengunjung yang membawa mobil pasti dipatok lebih mahal.
Ketika mobil sudah diparkir di Puskesmas Pembantu (Pustu), empat abang ojek sudah mengerumuni kami siap menawarkan jasanya untuk menuju keatas.
"Piro pak menduwur?" (berapa tarif naik keatas) Tanya bapak .
"Halah..yo biasa pak, tarif.." (Ya biasanya tarifnya pak..) Jawab salah satu pengojek dengan motor Mega Pro .
"Piro tarife?" (Berapa tarifnya)
"Satus ewu per wong pak, wes pp iku," (Seratus ribu per orang, sudah pulang pergi)
Nah kaan....aku terkejut dengan penawaran tarif tersebut. Benar apa yang sudah aku perkirakan. Bapak tampak terkejut pula, dan meminta kurang tapi tampaknya tak diijinkan, wah..padahal kita-kita juga orang lokal Lumajang. Seketika aku teringat perkataan teman SMA ku...kalau B29 itu banyak 'pemerasan'. Ow! memang kata-kata terkesan kasar..tapi bukan berarti saya menjatuhkan, tapi semacam kritik agar tarif ojek tidak dipatok seenak mereka dan tingkat kemahalan mungkin disesuaikan dengan tipe kendaraan pengunjung. Ya, sebelumnya aku mengunjungi B29 dengan naik motor bersama teman-teman per orangnya hanya dipatok lima puluh ribu rupiah. Tak hanya terjadi di B29, konsep pemerasan terhadap pengunjung juga terjadi di tempat lain, seperti tumpak sewu.
Jalur menuju puncak ternyata sudah bagus dan rata, tidak seperti kunjunganku sebelumnya. Wah, makin terasa mahal saja ojek yang kami tumpangi. Untuk mengurangi rasa kesal, aku ngobrol dengan pak ojek yang bersarung miring tersebut.
"Dalane wes apik iki lek?" (Jalannya sudah bagus ini om?) tanyaku.
"Yo lumayan wes disemen, biyen kan lemah tok." (Ya lumayan sudah disemen, dulu kan masih tanah)
Perbincangan kami jeda sementara ketika aku mampir ke toilet Musholla yang tertinggi di Lumajang. Airnya seperti es!
Bunga Daisy di halaman Musholla |
Panorama dari Musholla. Mahameru Kelihatan Jelas saat cerah |
"Jalur sepedaan liwat endi iki lek?" (Jalur bersepeda lewat mana?)
"Sepeda opo?"
"Downhill lek, yo koyok jalure seng dilewati trail iku lo." (Downhill, seperti yang dilewati motor trail)
"Downhill lek, yo koyok jalure seng dilewati trail iku lo." (Downhill, seperti yang dilewati motor trail)
"Onok engko ngiri tembus Bromo, dun-dunan tok iku, yo onok landaine. Tanjakane mek titik. Onok 35 kiloan. Lek soko Bromo nang B29 yo munggah terus, wong B29 iki duwur." (Ada nanti belok kiri bisa tembus Bromo, turunan terus itu jalurnya. Ya ada yang landai, tanjakannya sedikit saja. Ada sekitar 35 km. Kalau dari Bromo ke B29 ya tanjakan semua, kan B29 ini tinggi)
"Serius a lek?" (Serius ini om?)
"Iyo iso iku motoran, opo maneh lek peda'an." (Iya, bisa kalau naik motor, apalagi sepeda)
Brazilian Vervain, Tumbuh Subur di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru |
Lantas aku tersenyum membayangkan masuk ke jalur itu, hehehe. Sayang sepedanya ketinggalan di Sangatta. Kalau bawa sepeda, pasti sudah masuk duluan dan Ibu pasti protes karena masih dalam bulan Ramadhan.
"Iki lho dalane mbak," (Ini loh jalannya, mbak) Kata paklek ojek tersebut menunjukkan jalan kekiri. Jalan tersebut berupa tanah, tapi belum sempat aku survei total untuk jalur sepeda, jadi belum tahu pasti konturnya seperti apa.
Walau saat itu musim kemarau di pukul 7.30 pagi dan matahari sudah mulai bersinar, suhu di puncak B29 sangat dingin. Berkali-kali aku merapatkan jaketku untuk menghalau dinginnya. Menurut penjelasan paklek ojek, kabut dibawah tidak akan tiba saat kemarau, hanya ketika musim penghujan saja. Walau begitu awan masih bergumpal-gumpal lucu bak kelinci putih di kejauhan.
Kelinci Langit |
Aku mencoba hiking ringan sepanjang 50 meter. Ada sebuah tenda berdiri disana beserta satu unit motor. Pandangan dari bukit tersebut lebih luas dan lega. Bisa melihat gunung Batok, Bromo yang masih senantiasa mengepulkan asap sulfur dari kawahnya, dan lautan pasir yang maha luas.
Suatu saat mungkin aku tunjukkan keindahannya dengan cara yang berbeda, tentunya kalau kembali ke B29 sepedanya nggak ketinggalan di Sangatta, yaa...
No comments:
Post a Comment