Mendadak Amfibi #Pulau Miang Besar, Sangkulirang

Keadaan seperti ini yang memaksaku menjadi makhluk amfibi. Stuck dengan pekerjaan, bawaannya ingin berlibur barang cuma dua hari saja dengan destinasi lokal. Oh ya, sekedar tahu, apabila stuck atau sudah mentok dengan sesuatu hal, hanya satu kemampuan yang bisa aku lakukan. Menghilang, menjauh dan mematikan telepon seluler. Masa bodoh dengan hal-hal seputar kantor, dan pasrah menerima omelan saat masuk kantor keesokan harinya apabila aku sulit dihubungi selama masa-masa penghapusan stuck tersebut.
"Unesia, kamu kemana saja kemarin? Dihubungi susah!" Tegur atasan.
"Di pulau Pak, nggak ada sinyal." Jelasku.
"Saya nggak peduli kamu mau dipulau atau diluar angkasa sekalian."
Aku tersenyum kecut. Ah iya-iyain saja. Toh tak sekali dua kali ditegurnya, kan? #Jangan ditiru
Kembali ke kalimat makhluk amfibi. Sebenarnya aku lebih suka liburan atau stress relieving diatas permukaan air laut. Bukan karena nggak bisa renang, bisa, berani, cuma di kolam renang. Kalau dilaut, jujur takut tenggelam. Pikirian akan suramnya kedalaman laut, gelombang, dan jauhnya bibir pantai untuk berpegangan ketika mulai lelah atau kehabisan nafas, membuatku sedikit enggan menyelami lautan. Dan kini aku harus bisa bermain-main di lautan. Tanpa pelampung.
"Nyelem dua meter saja sudah pusing, itupun di kolam renang." Jelasku pada pak Fadli yang kebetulan freediver, spearfisher, dan goweser Bontang juga yang mengajak sharing cost saat itu.
"Jangan takut dan tetap tenang." jelasnya sambil membimbingku mengalahkan rasa takut di lautan. Dan...eh bener saja. laut itu tak menakutkan. Tapi menyenangkan. Aku berani berenang di kedalaman sekitar 7-8 meter tanpa pelampung. Dan menyelam sedikit-sedikit. Setidaknya perasaan percaya diriku muncul minggu ini dengan sejenak meninggalkan sepedaku.
Pagi di Miang Besar
Banyak ditemukan Bougenville berwarna-warni di Miang Besar
Perjalanan menuju pulau Miang dimulai pukul 12 malam dari Sangatta, dan dapat ditempuh melalui jalan darat ataupun laut, lama perjalanan kurang lebih sama saja dari Sangatta, sekitar 4 jam. Kalau via laut dapat ditempuh melalui pelabuhan Kenyamukan di Sangatta, kalau via darat dapat ditempuh kearah Kecamatan Sangkulirang, tapi sebelum masuk kecamatan Sangkulirang belok kanan kearah Bual-Bual, setelah itu dilanjutkan dengan menyeberang dengan ketinting. Kami memilih jalur darat, karena menurut Pak Fadli cost nya lebih bisa menghemat.
Sampai di dermaga Sabalokan (masuk via Bual-Bual) sekitar pukul 04.30 WITA. Masih pagi buta, bulan masih bersinar dan hawa dingin masih menusuk. Pak Fadli menghubngi pemilik rumah yang hendak kami tumpangi semalam di Miang agar segera menjemput kami.  Lama penyebrangan sekitar 15 menit.
Setibanya di Pulau yang terletak dalam kecamatan Sangkulirang tersebut, kami disambut oleh angin laut yang sedikit kencang. Karena masih pagi buta, maka masih ada kesempatan sekitar 3 jam untuk beristirahat sejenak, karena pukul 9 pagi kami harus segera menuju lautan untuk bermain air laut.
Oh iya...seperti biasa dalam perjalananku, selalu bersama dengan orang-orang yang belum pernah kukenal sebelumnya, dan hebatnya aku tak merasa gentar sedikitpun, karena aku percaya sesama pejalan pasti tak akan tega untuk saling mengabaikan.
Mr Fadli, Seseorang yang membantu mengabulkan impianku ke Miang Besar
Destinasi ini merupakan salah satu destinasi impianku sejak awal penempatan di Kalimantan Timur, dan alhamdulillah sejak kenal makhluk-makhluk tukang jalan di sekitaran kota tempat aku bermukim jadi dipermudah menuju destinasi-destinasi yang 'orang jarang tahu' tersebut.
Suasana di Miang Besar. Perkampungan diatas air, mirip dengan Bontang Kuala.
Perjalananku saat itu ditemani oleh dua wanita demen jalan juga, namanya Vida dan Santi yang bermukim di Samarinda dan Batuah. Lalu seorang cowok yang penggowes juga, Afif, yang tinggal di Bontang. Pak Fadli, Afkar, Ardi, dan dua orang lagi lupa namanya, mereka berlima adalah freediver dan spearfisher kelas wahid.
Pukul delapan pagi saat kami sudah selesai sarapan, para  spearfisher tersebut mulai nyemplung di perairan sekitar Miang besar untuk nombakin ikan. Nah, bagaimana dengan nasibku, Vida, Santi dan Afif? tentu saja kami yang masih pemula belajar memberanikan diri di perairan didekat homestay kami. Memang sedikit takut-takut karena kami hanya perenang kolam renang saja. Tapi ternyata nggak terlalu menakutkan kok. Aku sempat melihat sekumpulan ikan-ikan yang wara-wiri di wreck (kapal karam) di dekat homestay kami.
Sekitar pukul 10.30 kami menuju dermaga Maloy untuk melanjutkan spearfishing mengingat hasil yang didapatkan baru saja tak banyak. Setibanya di Maloy, hasil tombakan ikan kami semakin banyak, ada sekitar 10 ikan dengan ukuran yang besar. Hampir semuanya kakap merah.
Nombakin ikan di dermaga Maloy
Selepas para spearfisher nombakin ikan di bawah dermaga Maloy, kini gantian para newbie main air lagi (yang pengen liat ikan nemo ceritanya) di gusung yang terletak tak jauh dari dermaga Maloy.
Kondisi air memang cukup bening, sayang kondisi karang banyak yang sudah hancur, entah karena penangkapan ikan dengan bom atau pelemparan sauh yang sembarangan. :( Tapi masih ada beberapa yang kondisinya masih bagus...walaupun tak terlalu rapat, dan tak kami dapati ikan nemo disana.

Terumbu Karang menurutku sih kurang menarik
Kami kembali sekitar pukul 15.30 WITA dengan kondisi perut yang lapar. Melihat kakap merah megap-megap tertombak dilantai kapal yang ditumpangi, rasanya ingin segera dibuat pallumara (sup kepala ikan khas Makassar) saja.

Solar Cell dari Kementrian ESDM
"Kakak! Kakak darimana?" seorang gadis kecil menyambutku dengan kerudung dan gamisnya ketika baru turun dari kapal. Setahuku dia putri pemilik rumah yang kami tumpangi.
"Dari renang, " jawabku sekenanya karena lelah, dan rasanya ingin segera mandi karena tubuh terasa lengket dan asin karena air laut.
"Kakak bisa renang??" cerocosnya. Karena aku bukan tipe yang mudah akrab dengan anak-anak, jadi langsung kutinggal mandi begitu saja. :D
Tapi..dasar anak ini tak mudah menyerah. Selepas mandi ia tetap mengekorku kemana saja dan menanyakan hal apapun. Ketika aku meraih kamera hendak menuju ujung dermaga, ia dengan sok akrabnya menawariku untuk menjadi guide. 
"Sini...sini aku aja yang bawa kameranya," pintanya merengek-rengek agar mirrorless yang tergantung dileherku berpindah ke lehernya.
"Ya sudah...hati-hati ya,"
Ia tampak bahagia memegang kamera, berlari kesana-kemari sembari minta diajarkan mengambil gambar.
Halo Kak, Aku Vee !
"Namamu siapa sih?" tanyaku saat diujung dermaga. Saat itu kami jalan bertiga, Aku, gadis kecil ceriwis ini, dan Afif.
"Namaku Vee.." jawabnya centil. Gadis itu enggan menjelaskan nama aslinya kepadaku. Berkali-kali ia meminta dipanggil Ve, dan belakangan kutahu namanya Fitri.
"Kelas berapa?"
"Kelas dua."
"Itu teman-temanku," serunya riang menunjuk sekelompok anak yang berlompatan tanpa beban ke lautan.
Entah mengapa tiba-tiba aku kembali ke 19 tahun silam, dimana aku seusia Ve, tinggal di Maluku, jadi anak pantai, dan semuanya tiba-tiba berubah karena arogansi beberapa anggota disana.
Kawan-kawan Ve
"Kakak mau kutunjukkan sekolahku?" tawarnya.
"Ya sudah."
"Tapi sebelumnya foto aku di dekat bunga itu." pintanya. Hm, dasar kids jaman now! Nemu spot instagramable dikit minta difotoin, haha. Tapi aku jadi terhibur akan sikapnya yang jaman now banget...dan sikapku tak sedingin sebelumnya.
Maghrib segera tiba, Ve mengajakku agar segera pulang, berwudhu dan bersiap shalat maghrib ke masjid.
Satu-satunya SD di Miang Besar
Ve dan adiknya
"Kakak biasa shalat sunnah?" tanyanya tiba-tiba. Aku terhenyak, malu pada diriku sendiri. Aku kalah jauh dari gadis kecil ini. Ia mengajakku ke masjid, lalu mengingatkanku untuk shalat sunnah. Jujur, aku malu! Bahkan sangat malu yang shalat selalu dirumah...walau wanita tak diwajibkan ke masjid.
"Iya, nanti kita shalat dua rakaat ya setelah maghrib."
"Besok bangunin shalat shubuh!" Pinta Ve.
"Siaap..siaaap !" ujarku sambil berlari kecil menuju masjid setelah mendengar iqamah dikumandangkan.
Malam di Miang
Pagi harinya, kami berencana untuk kembali pukul 10. Sisa sekitar 4 jam untuk menikmati pulau Miang besar terakhir kalinya. Aku berencana untuk berjalan ke mercusuar di ujung pulau Miang, akan tetapi penduduk sekitar memperingatkanku agar nggak nekat jalan kaki sendirian.
"Jauh mbak, ada tiga sampe empat kiloan. Jangan jalan sendirian ! jauh. Semak-semakknya sudah tinggi dan becek. Banyak babi dan ular. Mending sewa kapal saja, dekat hanya sepuluh menit memutar."
Aku mengiyakan saja, lalu permisi. Emang dasar Une tukang penasaran, jalanlah juga aku kesana, hanya saja 800 meter kemudian aku sudah menyerah, bukan karena lelah, tapi kondisi jalan sudah mulai menakutkan berupa semak-semak rimbun, dan teringat kata-kata warga tadi. Banyak ular dan babi, maka urunglah niat ke menara suar pagi itu.
Ini partner Miang di awal Februari.
Pukul sepuluh akhirnya tiba juga, kami bersiap untuk meninggalkan pulau Miang Besar, meninggalkan pulau yang memperoleh energi listriknya dari matahari yang beroperasi sejak pukul 6 sore hingga 7 pagi.
Semoga suatu saat, aku dapat bersua dengan menara suar, memiliki keberanian lebih dalam mengeksplor lautan tanpa pelampung, dan tentunya bersua Ve kembali. Besok saya harus kembali bersiap untuk diomelin atasan.

Unesia Drajadispa

No comments: