#2 Solo Trip Pertama : Sulawesi Selatan (Makassar)

Tak kusangka bus yang membawaku semalam dari Rantepao sampai di Makassar lebih cepat. Jam setengah lima sudah sampai di Maros. Berarti tak lama lagi sampai di Makassar. Kulirik GPSku, bus menuju ke bandara, mengantar beberapa penumpang. Aku berpikir keras, setelah turun di perwakilan Litha aku mau kemana? Rencanaku sih mau istirahat, mandi, makan, dan siangnya lanjut jalan di sekeliling Makassar aja. Tapi aku benar-benar buta arah, aku mau naik apa? Mau kemana setelah ini? Hotel yang sudah kubooking sebelumnya pun hanya berlaku sehari mulai jam 12 siang. Naik taxi sudah pasti tekor parah, naik ojek takutnya diculik atau diperas. 
Sambil deg-degan aku turun dari bus (sekitar jam 5 pagi), duduk sebentar, menenangkan pikiran sambil tetap waspada terhadap barang bawaan. Lalu melangkah keluar pool dengan pikiran bingung mau gimana dan kemana. Puluhan ojek menawarkan jasanya tapi aku menolak dengan haluss, siapa tahu ada malaikat tiba-tiba datang.
Aku berdiri di tepi jalan, berlagak seperti nunggu jemputan bersama beberapa penumpang lain, yah, sebenarnya sedang kebingungan parah. Tiba-tiba seorang bapak paruh baya disampingku ngajakin ngobrol,
"Adek mau kemana?"
Aku tergugup, bingung mau jawab apa, "Eh...eh...mau ke penginapan,"
"Dimana?"
"Di sepanjang jalan Urip Sumoharjo ini sih, "
"Penginapan apa?"
"Matura Homestay,"
"Waduh, saya tidak tahuki...tapi coba saja adik naik pete-pete yang lewat, semua pasti melalui jalan Urip,"
Masalahnya saya juga tak tahu arah, Pak. Dan entah kenapa GPSku pun bermasalah.
"Bapak dari mana?" tanyaku.
"Dari Mamuju, adek?"
"Rantepao."
"Iya ini rencana saya mau naik pete-pete, tapi kenapa jam lima belum lewat juga? aiih...biasanya juga jam segini sudah ramai," katanya sambil melirik jam dengan logat Mandarnya. By the way saya juga pusing pak, haha.
Tak lama kemudian pete-pete lewat didepan kami, bapak itu langsung menyuruhku masuk setelah menanyakan tujuan pete-pete itu. Tapi beliau tidak ikut naik pete-pete itu.
"Kenapa tidak ikut, Pak?"
"Saya telepon anak saya saja."
Pete-pete pun berjalan membelah pagi. Aku putuskan untuk menuju ke penginapan saja, siapa tahu pagi ini sudah bisa check in. Aku berdoa saja supaya nggak nyasar dan segera sampai. Sepanjang perjalanan aku melihat dengan seksama nomor-nomor rumah dan bangunan di sepanjang Urip Sumoharjo, siapa tahu kelewatan. Tentu saja GPS di ponselku dalam kondisi aktif dan menunjukkan sekitar 10 menit lagi.
Tapi celaka, pete-pete itu berbelok kearah jalan lain. Aku kebingungan, bagaimana ini? Aku tak berani menegur dan bertanya pada sopir dan memilih menikmati pagi buta di Makassar ini dengan perasaan penuh kekhawatiran. Ah, sudah tentu aku tersesat konyol di kampung orang ini.
Sekitar lima belas menit aku berada di pete-pete, sang sopir mulai melihatku dari spion depan dan bertanya, "Adek mau pi kemanaki?"
Aku menelan ludah, berusaha tenang, lalu mencoba berbicara gaya Makassar tapi logat tetap Jawa medok, "Anu pak, saya mau pi ke penginapang Matura jalan Urip, masih jauh ka?"
"Duh, saya tak tau itu penginapang ada dimana? Jalan Urip sudah lewat jauh, kenapa adek tak bilang daritadi," Nadanya sudah mulai tampak kesal.
"Saya baru datang di Makassar ini pak, " jelasku gugup.
"Punya telpong? coba telpong saja dulu. Tapi coba adik lihat ini mau masuk jalan Urip setelah tol,"
Secercah harapan kembali muncul, aku pasang mata baik-baik, dan ternyata entah kenapa penginapan sudah didepan mata. Aku teriak minta berhenti secepatnya. Membayar ongkos lima ribu dan segera berjalan ke penginapan itu. 
Penginapan itu sendiri kondisinya sepi, tak ada resepsionis. aku mengintip ke ruangan dengan tulisan staff only, ternyata mereka sedang tidur, kuketok pintu sambil memanggil, "Mas...mas.."
Salah satu dari mereka terbangun dan segera melayaniku. Aku menunjukkan voucher hotel yang kupesan dari traveloka, eh dia malah bingung, "Bukti pembayarannya mana? kalau sudah bayar kan ada bukti pembayarannya,"

Aduh, mas ini kolot atau cupu sih, jelas jelas ada tulisan hotel voucher dan itinerary id.
"Sudah saya bayar, transfer via traveloka. Sudah saya booking single bed sehari tanggal 21. Coba dicek dulu, ada pasti nama saya."
"Tapi yang single lagi kosong, mbak."
Aku terdiam, ya memang itu kesalahanku sih jam segini sudah check in, harusnya jam 12 nanti.
"Iya mas, saya kira siang nanti baru nyampe Makassar, ternyata pagi. Dan sekarang saya bingung mau kemana lagi." kataku dengan memelas.
Tanpa banyak bicara dia meminta KTPku, mengcopynya, dan mengantarkanku ke sebuah kamar double bed, dia menjelaskan kalau kamar single sedang kosong, jadi pakai saja yang double.
Aku nyengir lebar lihat kasur, segera mandi air panas, keramas, lihat Doraemon, lalu tidur sampai siang. Nanti sekalian makan siang sekalian jalan, pikirku.

Siang harinya aku siap-siap, sambil mikir mau makan dan naik apa. Aku tanya ke mbak resepsionis warung buka disini dan transportasi ke Rotterdam bagaimana.
Lapangan Karebosi
 Dia menjelaskan dari depan penginapan naik pete-pete jurusan Antang, turun di Karebosi Link, kalau jalan kaki ke Rotterdam sekitar 15 menit, bisa naik becak atau ojek maksimal lima belas ribu. Disana banyak warung buka, kalau disekitar sini tidak ada. 
Aku nekatkan jalan kaki saja dari Karebosi ke Fort Rotterdam.

1. Fort Rotterdam
Akhirnya aku turun juga di Karebosi. Takjub aku melihat ramenya Makassar yang mirip seperti Surabaya. Aku jalan lurus dan sempat makan di Texas fried chicken dekat lapangan karebosi. Jalan sendirian dibawah terik matahari sambil bawa tripod benar benar mirip bule ! Ups, tapi barusan ketemu bule pun naik becak. Hahaaha...
Jalan lurus, ketemu china town, lalu tak lama kemudian belok kiri. Dari situ tak jauh sudah kelihatan Fort Rotterdam. Keringat cukup deras membasahi tubuhku setalah jalan kaki kurang lebih 15 menit dibawah teriknya sinar matahari siang, aku segera mengisi buku tamu dan membayar seikhlasnya. 
Didepan Ruang Tahanan Diponegoro
Dan aksipun dimulai, keluarkan kamera dan tripod, berfoto sana-sini pakai self timer kayak model lepas, haha. Bangunannya mirip-mirip di Belanda. Disana terdapat museum La Galigo, ruang tahanan Diponegoro, Bastiong ambon, dll. Aku masuk museum La Galigo bayar lima ribu. Didalamnya terdapat benda-benda purbakala hingga replika mahkota Sultan Hasanuddin .
Keren juga tripod kalau fotoin
Setelah itu acara foto-foto pun dilanjut, tak kusangka aku dihampiri seorang cowok Sudiang (daerah di sebelah bandara Hasanuddin) yang berbaik hati menawarkan diri untuk memotretku (katanya dia mantan fotografer) aku percaya aja, lebih baik lah ada yang fotoin daripada sendiri. Dia memperkenalkan diri dengan nama Ray, aku manggilnya Daeng Ray, hehe.
Aku beruntung ketemu Daeng Ray, dia bisa jadi guide lokal gratisanku dan jadi temen ngobrol. Kebetulan juga dia mau menuju Pantai Losari, jadi aku bisa nebeng kesana, nggak perlu capek-capek jalan kaki :)

2. Pantai Losari
Kata Daeng Ray, sunset di Losari sangat indah, jadi setiap sore warga Makassar berkumpul disini, jadinya jalan Penghibur macet berat. Karena suasana di Losari ramai, jadi aku belum sempat berfoto dengan tulisan pantai Losari. ku hanya melihat sana-sini, lalu memotret masjid apung amirul Mukminin. Daeng Ray Juga menjelaskan bahwa di Sulawesi Selatan ada empat etnis asli, yaitu Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Aku sendiri baru tahu kalau Bugis dan Makassar beda. Dia menjelaskan penyebaran suku Bugis dan Makassar dimana saja, bahasanya gimana, dan lain-lain. Rasanya semakin mengenal dekat Sulawesi Selatan ini, hehe.
Pantai Losari, menjelaskan empat etnis di Sulawesi Selatan
Perahu Phinisi
Karena sudah maghrib, aku berencana shalat di masjid Amirul Mukminin. Tapi karena ramai akhirnya pindah ke tempat lain saja, di masjid seberang hotel Arya Duta, soalnya aku juga mau ke Trans Studio.
Setelah shalat, aku diantar Daeng Ray ke Trans Studio. Sayangnya aku harus kecewa karena terlalu malam. Tiket masuk Rp. 200.000,- dan wahana 30 menit lagi akan ditutup. Aku memilih pulang saja , tidak jadi masuk daripada kecewa berlarut-larut, haha #lebay

Aku berterima kasih banget sama Daeng Ray. Diajakin muter-muter kota Makassar malam itu. Lihat rumah Pak Jusuf Kalla, Lihat Masjid Al Markaz dan Masjid yang dikelola pak JK semasa kuliah. Setelah itu dianterin beli makan malam dan kembali ke penginapan sama Daeng Ray cowok Bugis-Makassar itu. Sayangnya kita tak sempat tukar nomor HP dan foto bareng, hahaha.
 Syukurlah untuk penginapan tidak dikenakan biaya tambahan gara-gara aku check in terlalu awal. Penginapan Matura ini terletak di jalan Urip Sumoharjo, sebelah RS Awal Bros dan minimarket Circle K. Letaknya cukup strategis dan fasilitas lumayan, ada AC, TV dan air panas. Transportasi juga cukup mudah :)
Oh ya, sekedar saran sih, kalau teman-teman tidak mengetahui tempat penginapan secara jelas atau tempat penginapannya jarang diketahui orang, usahakan tahu fasilitas publik (monumen, taman, kantor, atau rumah sakit) di sekitar penginapan, agar memudahkan kita bilang ke sopir angkot atau taxinya.
Sampai Jumpa Makassar
Alhamdulillah liburan kali ini semua berjalan sesuai rencana dan anggaran! Besok waktunya kembali ke Bontang, mengais rejeki untuk trip selanjutnya, Ewako!

Yang belum kesampaian di Makassar :
1. Foto Pake Baju Bodo
2. Makan Pallumara (sup kepala ikan) . Aku nggak suka Coto Makassar dan Sop Konro sih XD
3. Lihat toko oleh-oleh di Somba Opu


Rincian Biaya diluar tiket pesawat :
1. Penginapan : Rp. 150.000 ,-
2. Makan 6x : Rp. 200,000 ,-
3. Taxi 2x : Rp 220,000 ,-
4. Pete-pete 2x : Rp 10,000,-
5. Tiket masuk wisata di Toraja : Rp 20.000,-
6. Sewa motor : Rp. 100,000,-
7. Bensin : Rp 15,000 ,-
8. Tiket Bus Rantepao-Makassar pp : Rp 360,000, -
9. Snack : Rp 100,000 ,-
10. Air mineral : Rp 50,000 ,-

"Backpacker sendirian benar-benar harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang sebelumnya, mulai dari biaya, peralatan yang dibawa, obat-obatan, dan lain-lain. Bacpacker sendiri berarti kau harus siap menghadapi segala sesuatu yang kemungkinan akan kamu hadapi dan kecepatan cara kita menyelesaikan suatu masalah. Jangan takut berjalan sendiri kalau itu akan membuatmu mandiri dan memahami budaya bangsa ini."

Happy Backpacking !

Unesia Drajadispa

No comments: