• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?
Tak kusangka bus yang membawaku semalam dari Rantepao sampai di Makassar lebih cepat. Jam setengah lima sudah sampai di Maros. Berarti tak lama lagi sampai di Makassar. Kulirik GPSku, bus menuju ke bandara, mengantar beberapa penumpang. Aku berpikir keras, setelah turun di perwakilan Litha aku mau kemana? Rencanaku sih mau istirahat, mandi, makan, dan siangnya lanjut jalan di sekeliling Makassar aja. Tapi aku benar-benar buta arah, aku mau naik apa? Mau kemana setelah ini? Hotel yang sudah kubooking sebelumnya pun hanya berlaku sehari mulai jam 12 siang. Naik taxi sudah pasti tekor parah, naik ojek takutnya diculik atau diperas. 
Sambil deg-degan aku turun dari bus (sekitar jam 5 pagi), duduk sebentar, menenangkan pikiran sambil tetap waspada terhadap barang bawaan. Lalu melangkah keluar pool dengan pikiran bingung mau gimana dan kemana. Puluhan ojek menawarkan jasanya tapi aku menolak dengan haluss, siapa tahu ada malaikat tiba-tiba datang.
Aku berdiri di tepi jalan, berlagak seperti nunggu jemputan bersama beberapa penumpang lain, yah, sebenarnya sedang kebingungan parah. Tiba-tiba seorang bapak paruh baya disampingku ngajakin ngobrol,
"Adek mau kemana?"
Aku tergugup, bingung mau jawab apa, "Eh...eh...mau ke penginapan,"
"Dimana?"
"Di sepanjang jalan Urip Sumoharjo ini sih, "
"Penginapan apa?"
"Matura Homestay,"
"Waduh, saya tidak tahuki...tapi coba saja adik naik pete-pete yang lewat, semua pasti melalui jalan Urip,"
Masalahnya saya juga tak tahu arah, Pak. Dan entah kenapa GPSku pun bermasalah.
"Bapak dari mana?" tanyaku.
"Dari Mamuju, adek?"
"Rantepao."
"Iya ini rencana saya mau naik pete-pete, tapi kenapa jam lima belum lewat juga? aiih...biasanya juga jam segini sudah ramai," katanya sambil melirik jam dengan logat Mandarnya. By the way saya juga pusing pak, haha.
Tak lama kemudian pete-pete lewat didepan kami, bapak itu langsung menyuruhku masuk setelah menanyakan tujuan pete-pete itu. Tapi beliau tidak ikut naik pete-pete itu.
"Kenapa tidak ikut, Pak?"
"Saya telepon anak saya saja."
Pete-pete pun berjalan membelah pagi. Aku putuskan untuk menuju ke penginapan saja, siapa tahu pagi ini sudah bisa check in. Aku berdoa saja supaya nggak nyasar dan segera sampai. Sepanjang perjalanan aku melihat dengan seksama nomor-nomor rumah dan bangunan di sepanjang Urip Sumoharjo, siapa tahu kelewatan. Tentu saja GPS di ponselku dalam kondisi aktif dan menunjukkan sekitar 10 menit lagi.
Tapi celaka, pete-pete itu berbelok kearah jalan lain. Aku kebingungan, bagaimana ini? Aku tak berani menegur dan bertanya pada sopir dan memilih menikmati pagi buta di Makassar ini dengan perasaan penuh kekhawatiran. Ah, sudah tentu aku tersesat konyol di kampung orang ini.
Sekitar lima belas menit aku berada di pete-pete, sang sopir mulai melihatku dari spion depan dan bertanya, "Adek mau pi kemanaki?"
Aku menelan ludah, berusaha tenang, lalu mencoba berbicara gaya Makassar tapi logat tetap Jawa medok, "Anu pak, saya mau pi ke penginapang Matura jalan Urip, masih jauh ka?"
"Duh, saya tak tau itu penginapang ada dimana? Jalan Urip sudah lewat jauh, kenapa adek tak bilang daritadi," Nadanya sudah mulai tampak kesal.
"Saya baru datang di Makassar ini pak, " jelasku gugup.
"Punya telpong? coba telpong saja dulu. Tapi coba adik lihat ini mau masuk jalan Urip setelah tol,"
Secercah harapan kembali muncul, aku pasang mata baik-baik, dan ternyata entah kenapa penginapan sudah didepan mata. Aku teriak minta berhenti secepatnya. Membayar ongkos lima ribu dan segera berjalan ke penginapan itu. 
Penginapan itu sendiri kondisinya sepi, tak ada resepsionis. aku mengintip ke ruangan dengan tulisan staff only, ternyata mereka sedang tidur, kuketok pintu sambil memanggil, "Mas...mas.."
Salah satu dari mereka terbangun dan segera melayaniku. Aku menunjukkan voucher hotel yang kupesan dari traveloka, eh dia malah bingung, "Bukti pembayarannya mana? kalau sudah bayar kan ada bukti pembayarannya,"

Aduh, mas ini kolot atau cupu sih, jelas jelas ada tulisan hotel voucher dan itinerary id.
"Sudah saya bayar, transfer via traveloka. Sudah saya booking single bed sehari tanggal 21. Coba dicek dulu, ada pasti nama saya."
"Tapi yang single lagi kosong, mbak."
Aku terdiam, ya memang itu kesalahanku sih jam segini sudah check in, harusnya jam 12 nanti.
"Iya mas, saya kira siang nanti baru nyampe Makassar, ternyata pagi. Dan sekarang saya bingung mau kemana lagi." kataku dengan memelas.
Tanpa banyak bicara dia meminta KTPku, mengcopynya, dan mengantarkanku ke sebuah kamar double bed, dia menjelaskan kalau kamar single sedang kosong, jadi pakai saja yang double.
Aku nyengir lebar lihat kasur, segera mandi air panas, keramas, lihat Doraemon, lalu tidur sampai siang. Nanti sekalian makan siang sekalian jalan, pikirku.

Siang harinya aku siap-siap, sambil mikir mau makan dan naik apa. Aku tanya ke mbak resepsionis warung buka disini dan transportasi ke Rotterdam bagaimana.
Lapangan Karebosi
 Dia menjelaskan dari depan penginapan naik pete-pete jurusan Antang, turun di Karebosi Link, kalau jalan kaki ke Rotterdam sekitar 15 menit, bisa naik becak atau ojek maksimal lima belas ribu. Disana banyak warung buka, kalau disekitar sini tidak ada. 
Aku nekatkan jalan kaki saja dari Karebosi ke Fort Rotterdam.

1. Fort Rotterdam
Akhirnya aku turun juga di Karebosi. Takjub aku melihat ramenya Makassar yang mirip seperti Surabaya. Aku jalan lurus dan sempat makan di Texas fried chicken dekat lapangan karebosi. Jalan sendirian dibawah terik matahari sambil bawa tripod benar benar mirip bule ! Ups, tapi barusan ketemu bule pun naik becak. Hahaaha...
Jalan lurus, ketemu china town, lalu tak lama kemudian belok kiri. Dari situ tak jauh sudah kelihatan Fort Rotterdam. Keringat cukup deras membasahi tubuhku setalah jalan kaki kurang lebih 15 menit dibawah teriknya sinar matahari siang, aku segera mengisi buku tamu dan membayar seikhlasnya. 
Didepan Ruang Tahanan Diponegoro
Dan aksipun dimulai, keluarkan kamera dan tripod, berfoto sana-sini pakai self timer kayak model lepas, haha. Bangunannya mirip-mirip di Belanda. Disana terdapat museum La Galigo, ruang tahanan Diponegoro, Bastiong ambon, dll. Aku masuk museum La Galigo bayar lima ribu. Didalamnya terdapat benda-benda purbakala hingga replika mahkota Sultan Hasanuddin .
Keren juga tripod kalau fotoin
Setelah itu acara foto-foto pun dilanjut, tak kusangka aku dihampiri seorang cowok Sudiang (daerah di sebelah bandara Hasanuddin) yang berbaik hati menawarkan diri untuk memotretku (katanya dia mantan fotografer) aku percaya aja, lebih baik lah ada yang fotoin daripada sendiri. Dia memperkenalkan diri dengan nama Ray, aku manggilnya Daeng Ray, hehe.
Aku beruntung ketemu Daeng Ray, dia bisa jadi guide lokal gratisanku dan jadi temen ngobrol. Kebetulan juga dia mau menuju Pantai Losari, jadi aku bisa nebeng kesana, nggak perlu capek-capek jalan kaki :)

2. Pantai Losari
Kata Daeng Ray, sunset di Losari sangat indah, jadi setiap sore warga Makassar berkumpul disini, jadinya jalan Penghibur macet berat. Karena suasana di Losari ramai, jadi aku belum sempat berfoto dengan tulisan pantai Losari. ku hanya melihat sana-sini, lalu memotret masjid apung amirul Mukminin. Daeng Ray Juga menjelaskan bahwa di Sulawesi Selatan ada empat etnis asli, yaitu Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. Aku sendiri baru tahu kalau Bugis dan Makassar beda. Dia menjelaskan penyebaran suku Bugis dan Makassar dimana saja, bahasanya gimana, dan lain-lain. Rasanya semakin mengenal dekat Sulawesi Selatan ini, hehe.
Pantai Losari, menjelaskan empat etnis di Sulawesi Selatan
Perahu Phinisi
Karena sudah maghrib, aku berencana shalat di masjid Amirul Mukminin. Tapi karena ramai akhirnya pindah ke tempat lain saja, di masjid seberang hotel Arya Duta, soalnya aku juga mau ke Trans Studio.
Setelah shalat, aku diantar Daeng Ray ke Trans Studio. Sayangnya aku harus kecewa karena terlalu malam. Tiket masuk Rp. 200.000,- dan wahana 30 menit lagi akan ditutup. Aku memilih pulang saja , tidak jadi masuk daripada kecewa berlarut-larut, haha #lebay

Aku berterima kasih banget sama Daeng Ray. Diajakin muter-muter kota Makassar malam itu. Lihat rumah Pak Jusuf Kalla, Lihat Masjid Al Markaz dan Masjid yang dikelola pak JK semasa kuliah. Setelah itu dianterin beli makan malam dan kembali ke penginapan sama Daeng Ray cowok Bugis-Makassar itu. Sayangnya kita tak sempat tukar nomor HP dan foto bareng, hahaha.
 Syukurlah untuk penginapan tidak dikenakan biaya tambahan gara-gara aku check in terlalu awal. Penginapan Matura ini terletak di jalan Urip Sumoharjo, sebelah RS Awal Bros dan minimarket Circle K. Letaknya cukup strategis dan fasilitas lumayan, ada AC, TV dan air panas. Transportasi juga cukup mudah :)
Oh ya, sekedar saran sih, kalau teman-teman tidak mengetahui tempat penginapan secara jelas atau tempat penginapannya jarang diketahui orang, usahakan tahu fasilitas publik (monumen, taman, kantor, atau rumah sakit) di sekitar penginapan, agar memudahkan kita bilang ke sopir angkot atau taxinya.
Sampai Jumpa Makassar
Alhamdulillah liburan kali ini semua berjalan sesuai rencana dan anggaran! Besok waktunya kembali ke Bontang, mengais rejeki untuk trip selanjutnya, Ewako!

Yang belum kesampaian di Makassar :
1. Foto Pake Baju Bodo
2. Makan Pallumara (sup kepala ikan) . Aku nggak suka Coto Makassar dan Sop Konro sih XD
3. Lihat toko oleh-oleh di Somba Opu


Rincian Biaya diluar tiket pesawat :
1. Penginapan : Rp. 150.000 ,-
2. Makan 6x : Rp. 200,000 ,-
3. Taxi 2x : Rp 220,000 ,-
4. Pete-pete 2x : Rp 10,000,-
5. Tiket masuk wisata di Toraja : Rp 20.000,-
6. Sewa motor : Rp. 100,000,-
7. Bensin : Rp 15,000 ,-
8. Tiket Bus Rantepao-Makassar pp : Rp 360,000, -
9. Snack : Rp 100,000 ,-
10. Air mineral : Rp 50,000 ,-

"Backpacker sendirian benar-benar harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang sebelumnya, mulai dari biaya, peralatan yang dibawa, obat-obatan, dan lain-lain. Bacpacker sendiri berarti kau harus siap menghadapi segala sesuatu yang kemungkinan akan kamu hadapi dan kecepatan cara kita menyelesaikan suatu masalah. Jangan takut berjalan sendiri kalau itu akan membuatmu mandiri dan memahami budaya bangsa ini."

Happy Backpacking !

0
Share
Mungkin kau menganggapku sudah gila ! Semua orang berpikir seperti itu, mendengus dan menyumpah serapahi aku sebagai cewek durhaka. Hari Raya Idul Fitiri yang diselimuti dengan kesucian dan seharusnya dimanfaatkan dengan momen berkumpul dengan keluarga besar setahun sekali dan belum tentu akan diulang di tahun mendatang malah dibuat keluyuran ke kampung orang? Hah! Dasar cewek gila !
"Lebaran nggak pulkam, sedihnyaaa...."
"Nggak pulang malah kelayapan kamu "
"Daripada ngeluyur ke Makassar, sama-sama beli tiket pesawat, mending pulkam, ketemu orang tua."
"Kasihan orang tuamu, bla...bla...bla..."
Dan berbagai sindiran manis lainnya.
Ya aku sih tebal telinga. Hanya bisa meringis dan ngeloyor pergi. Benar-benar anti Mainstream.
Mudik tak selalu di saat dan setiap Idul Fitri. Aku sendiri sudah mudik bulan Mei lalu, baru selisih 2 bulan mau pulkam lagi membuat aku berpikir ulang. Pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga besar, bermaaf-maafan. Dan bermaaf-maafan bisa dilakukan di bulan-bulan diluar Idul Fitri, bukan?
Yang jelas Idul Fitri tahun ini aku tak ada rencana pulang kampung karena memang sempat kebagian jadwal jaga logistik material selama dua hari. Aku menyusun rencana solo trip ke Sulawesi Selatan dengan embel-embel mudik Makassar. H-1 terdengar kabar bahwa bandara Juanda ditutup karena abu vulkanis Raung. Beberapa penerbangan delay sampai waktu yang tak ditentukan. Untunglah tahun ini aku mudik Makassar :D
Untuk perbandingan, tiket pulang pergi ke Surabaya dari Balikpapan sekitar tiga juta, dan empat hari di Sulawesi Selatan pun menghabiskan dana sekitar tiga juta (termasuk pesawat dan penginapan) setelah kubuat rencana dan anggaran biaya. Setelah dapat persetujuan emak, aku langsung booking tiket pulang pergi dan penginapan di Makassar. Untuk transportasi dari Makassar ke Rantepao aku menggunakan jasa PO Litha CO. Aku kontak teman satu amgkatan yang bekerja di Makassar, minta tolong booking seat untuk ke Rantepao tanggal 18 Juli malam. Pesawatku landing jam 6 sore, lumayan  tenggang waktunya bisa dibuat istirahat dan sholat.
Persiapanku untuk trip kali ini adalah doa, kepercayaan dan kekuatan tanpa dukungan. Baca-baca blog yang membahas perjalananan ke Toraja dan beberapa peta wisata yang aku comot dari blog orang. Bismillahirahmanirrahim, semoga berjalan sesuai rencana dan anggaran.

18 Juli 2015
Aku gelisah. Jam 4 sore harus sudah di gerbang keberangkatan. Jam 7 pagi travel menuju ke Balikpapan belum menjemputku juga? Gawat. Setelah kutelepon drivernya ternyata aku ketinggalan. Makin dongkol saja aku kenapa bisa seceroboh ini. Tapi untunglah ada driver lain dan sampailah aku di Balikpapan dengan tepat waktu.
Sekitar satu jam penerbangan, akhirnya sampai juga di Makassar untuk pertama kalinya. Deg-degan juga sendiri di kota orang. Berbekal dengan belajar bahasa Makassar sedikit-sedikit, dengan percaya dirinya aku ngejar bus Damri dari bandara, dan ternyata bus Damri sudah tak ada lagi. Dengan cepat aku menyusun rencana apa yang harus aku lakukan selanjutnya : makan malam, shalat maghrib, ngaji, shalat isya, dan numpang taxi ke pool bus Litha.
Akhirnya jadi juga numpang taxi, sekali naik seratus dua puluh ribu dengan jarak yang tak terlalu jauh. Sialan, hari pertama sudah tekor aja, batinku. Sopirnya orang Toraja asli, jadi kami ngobrol sedikit tentang keadaan di Toraja. Dia takjub juga, aku cewek, sendirian jauh-jauh dari Bontang datang ke Makassar lalu menuju ke Rantepao hari itu juga? 
"Tapi aman di Rantepao, mbak," katanya, menguatkanku. Mungkin pikirnya nekat juga gadis seperti berjalan-jalan ke Toraja tanpa ada saudara ataupun teman yang dituju disana.
Kami berhenti di terminal bus (aku nggak tau namanya). Kata sopirnya daripada berhenti di pool bus Litha masih nunggu dulu, kalau di terminal langsung berangkat. Aku nurut saja, kulaporkan tiket seharga Rp. 180.000,00 itu ke perwakilan Bus Litha di terminal, lalu disuruh nunggu sampai maksimal jam setengah sebelas. Olee....dua jam setengah aku harus menunggu? Oke, oke. Tabahkan hati. Banyak berdoa.
Selama menunggu itu aku melihat keadaan sekitar terminal, banyak turis backpackeran, dari seusiaku hingga kakek nenek. Ada juga beberapa anak muda sebaya menggendong carrier kesana kemari. Mirip dengan styleku saat itu, gendong carrier deuter 50 L dengan massa sekitar 7 kg. Sebenarnya sih perjalanan ini dibuat untuk menyenangkan si Brave (nama carrier baruku) yang dari dulu minta diajak keluar. Yah, dari awal beli sampai sekarang hanya teronggok diatas lemari tanpa tersentuh. Brave cuma bisa nangis, merajuk minta jalan, katanaya ia tercipta bukan untuk didiemin diatas lemari. Dan kali ini, tunjukkan kemampuanmu, Brave !
Sesekali aku ngobrol dengan petugas ticketing Litha, katanya sampai Rantepao sekitar pukul 7 pagi. Dari Makassar menempuh rute Maros, Pare-Pare, Sidrap, Enrekang, dst... (lupa nama kotanya apa aja)
Cukup lama nunggu, akhirnya bus datang juga. Di terminal itu hanya tinggal aku dan satu penumpang yang menunggu bus itu, selebihnya sudah berangkat semua. Aku masuk kedalam bus, tan ternyata interior bus benar-benar nyaman, kursi besar, empuk, ada sandaran kaki yang nyaman. Ada selimut dan bantal. AC juga dingin...tinggal ambil posisi untuk tidur !
Aku tak tahu kondisi jalan diluar seperti apa, benar-benar aku niatkan untuk tidur agar fresh keesokan harinya. Karena bus sudah air suspension, maka lendutan sepanjang perjalanan tak seberapa terasa. Tidur tetap nyaman. 
Sekitar pukul lima aku terbangun mendengar teriakan "Perwakilan Litha Makale, Makale!" Mataku lengket sekali melihat orang-orang sibuk turun dengan berisik. Sepengetahuanku, Makale itu ibukota Tana Toraja,dan Rantepao ibukota Toraja Utara, aku memeriksa Google maps, Makale ke Rantepao masih cukup jauh. Tapi aku tak bisa melanjutkan tidurku. Aku takjub, tak percaya bisa melihat langsung kantor DPRD Tana Toraja dengan patung dan kolam didepannya. Lalu beberapa bapak-bapak berpeci, bersarung rapat dan berjalan menuju masjid. Tampaknya diluar suhu cukup dingin,
Tiga puluh menit kemudian akhirnya sampai juga di Rantepao. Deg-degan banget. Tapi aku sudah merencanakan apa yang harus kulakukan setelahnya : Pesan tiket balik Makassar nanti malam, cari sewa motor, lalu mandi dan shalat di Masjid Agung Rantepao, dan sarapan di warung muslim yang terletak di sebelah masjid (menurut blog yang aku baca).
Penjual Souvenir di Kete' Kesu
Souvenir Toraja Carving
Begitu aku turun, banyak bentor menawarkan jasanya, aku menolak dengan halus, dan entah kenapa hari itu hujan! Aku panik, bisa kacau semua rencana. Tapi aku tetap sabar, berjalan menuju perwakilan Litha Rantepao dan memesan tiket kembali ke Makassar nanti malam. Bertanya dimana letak masjid, dan ternyata tak terlalu jauh. Mau jalan kaki, tapi ciut juga nyali karena hujan cukup deras. Akhirnya aku putuskan naik bentor menuju ke penyewaan motor. 
Setelah sampai di penyewaan motor milik pak Markus yang ditunjukkan oleh bentor, aku disambut baik oleh pak Markus dan menjelaskan aturan sewa motor dari jam 7 sampai jam 5 sore (aku dikasih bonus sampai jam 6 sore) dengan tarif 100 ribu diluar bensin (bensin aku beli sekitar 15ribu full tank). Aku memberikan KTPku untuk jaminan, beliau menjelaskan tempat wisata yang wajib dikunjungi dan peta wisata. Aku bertanya sedetail-detailnya tentang kondisi dan situasi di Rantepao. Lelaki itu menjelaskan, baru hari ini turun hujan, tapi biasanya tak lama. Benar saja, 30 menit kemudian hujan berhenti. Aku menitipkan Brave dan barang-barang yang tidak perlu dibawa di rumah Pak Markus, dan dengan girang aku menuju ke Masjid. Aku menyewa motor matic Beat seperti milikku, terasa nyaman pakai motor 'sendiri' :)) Oh ya, jangan lupa minta surat tanda bukti motor sewaan ya, siapa tahu ditanyai polisi nanti.
Masjid Agung Rantepao
Ternyata di Masjid kondisinya dikunci ! Gawat, biasanya di Bontang masjid buka 24 jam. Aku memegang pagar masjid itu dan berpikir langkah selanjutnya : sarapan dan shalat shubuh seadanya.
Kupacu motor dan tak jauh dari masjid ada warung muslim Surabaya. Celakanya terdapat tulisan : lebaran tutup, mudik. Aku berputar-putar disekitar situ, ada satu warung makan muslim, tapi tutup juga.
Celakalah aku, sudah belum mandi dari kemarin, kelaparan pula.
Aku berpikir keras, apa yang harus aku lakukan? Mandi dimana? makan apa? Aku segera menuju kota, berharap ada warung muslim yang buka. Tapi nihil. Aku menuju ke minimarket untuk membeli roti, tapi entahlah rotinya lagi kosong.
Dengan perut lapar aku memacu motorku untuk menuju ke Kete' Kesu (rumah adat Tongkonan berusia Ratusan tahun), tujuan pertamaku. Nggak asyik dong foto-foto dengan kondisi perut lapar dan belum mandi. 
Toraja Penghasil Kopi
Setelah berbelok dari Patung kerbau belang alias Tedong Saleko, aku menemukan toko kelontong kecil. Aku beli roti disana, lalu bertanya dengan muka memelas, "Mama, dimana ya bisa numpang mandi? Dari Makassar aku belum mandi,"
Ibu yang sudah cukup tua itu menjawab, "Aduh, dimana e? tidak ada disini,"
Aku tak mau kalah merajuknya, "Tapi aku belum mandi dua hari Mama..."
Tampaknya beliau iba melihat aku yang mirip backpacker kere, "Disini ada, tapi jelek. Kalau mau ya silakan," lalu beliau menunjukkan kamar mandinya yang sederhana banget. Atas terbuka, banyak lintah, pintu tak rapat, dan sebelah kandang babi (tapi babinya nggak ada)
"Maaf ya, adanya seperti ini."
Aku meringis lalu segera mandi. Pintu kamar mandi masih ada celah cukup lebar ketika ditutup, aku menutupi dengan rok yang memang kulepas saat mandi. Aku mandi dengan secepat kilat sambil menutup hidung dan melihat kondisi sekitar, kali aja ada yang ngintip bidadari mandi :D Busyet, airnya dingin sekali !
Selesai mandi aku berdandan di pinggir jalan mengandalkan kaca spion motor. Orang-orang menatapku dengan geli, tapi aku masa bodo. Aku ucapkan terima kasih pada mama penyelamat pagi itu, lalu segera melanjutkan ke Kete' Kesu.
Udara pagi itu segar sekali. Sawah-sawah di Rantepao sangat cantik. Jarak dari Rantepao ke Kete' Kesu sekitar 2,5 km saja. Jangan khawatir tersesat ya, petunjuk menuju tempat wisata sudah cukup jelas.

1. Kete' Kesu
Ada anjing dibelakangnya !
Siang dikit udah rame
Karena masih pagi, maka pengunjung masih sedikit. Masuk bayar sepuluh ribu saja.di Kete'kesu terdapat jajaran rumah Tongkonan dan kubur batu. Aku segera mengeluarkan tripod dan berfoto sana-sini dengan semangat beserta seekor anjing hitam yang mengikutiku terus. Persis seperti orang kurang kerjaan saja lari kesana kemari pakai self timer dan tripod karena memang nggak ada yang fotoin.  Aku berjalan kesana kemari, lalu melihat kubur batu dan tengkorak yang berserakan disana. Di kubur batu yang katanya untuk orang kaya terdapat juga tau-tau atau patung yang dibuat semirip mungkin dengan almarhum/mah. Ada juga gua tempat peti mati, tapi aku nggak masuk kedalamnya.
Kuburan orang kaya
Tau-tau yang dibuat semirip mungkin
Tengkorak dan tulang belulang

2. Londa
Pintu masuk Londa
Londa

Tebing tempat makam
Gua di Londa
Londa merupakan tujuan selanjutnya, tiket masuk 10 ribu rupiah. Cukup jauh juga dari Kete' Kesu plus nyasarnya. Jalan menuju Londa ada beberapa ruas yang rusak. Londa merupakan kubur yang bertingkat-tingkat dan terdapat dua gua sedalam 30 meter. Pas itu masuk gua cukup rame pengunjung, ditambah petromaks sehingga di dalam goa kondisi cukup panas. Goa berbiku-biku yang terbentuk secara alami, dan terdapat peti-peti mati. Ngeri lah, kayak rumah hantu. Aku segera keluar dari Goa, lalu memotret bagian luarnya. Ada beberapa tau-tau bangsawan dan menurut kepercayaan orang lokal, semakin tinggi letak peti matinya, maka makin dekat menuju ke nirwana.

Karena cukup lelah mengunjungi dua tempat itu, aku makan siang dulu di warung muslim pangkep di sebelah Kantor BRI. Alhamdulillah, ada yang buka juga. Setelah itu shalat dhuhur dan istirahat sebentar di masjid.

3. Pasar Bolu, Tinimbayo, dan Batutumonga
Perjalanan selanjutnya adalah ke Pasar Bolu, pengen lihat macam-macam Tedong disana. Tapi sayang bukan hari pasar, jadi sepi. Aku melanjutkan perjalanan ke Tinimbayo dan Batutumonga. Cukup nekat juga sih bagiku, karena kedua tempat itu letaknya cukup jauh dari Rantepao, sekitar satu jam berkendara motor melewati hutan. Entah setan apa yang merasukiku sehingga aku berani menuju kesana sendirian ! Dari pasar Bolu lurus, ketemu jembatan, lalu pertigaan belok kanan. Lurus saja kearah Rantepangli hingga ada rambu Batutumonga belok kiri.
Batutumonga dan Rantepao dari Ketinggian
Motor kupacu dengan perasaan berdebar melihat kota Rantepao dari ketinggian di kaki gunung Sesean. Udara sangat sejuk, sawah-sawah dibuat sengkedan semua, rumah tongkonan tersebar disana sini, tedong dan anjing berkeliaran, damai sekali ! Ada beberapa jalan rusak, jadi aku sedikit berhati-hati karena kanan kiri jurang juga. Hal yang tak pernah terpikirkan olehku, touring sendirian di kampung orang !
Jalan yang menanjak dan berkelok membuatku tetap waspada. Setiap tikungan aku klakson untuk memastikan tak ada kendaraan yang berpapasan. yah, sekitar 45 menit aku sampai di Tinimbayo. dari sini aku bisa melihat pemandangan alam yang indah! Sawah-sawah terasiring dan batu-batu besar akibat aktivitas gunung Sesean.
Tinimbayo
Dari Tinimbayo menuju ke Batutumonga hanya sekitar 15 menit. Ada beberapa ruas jalan yang ancur dan berlumpur, tapi membuat petualangan kali ini semakin seru. Sayang sekali aku menuju ke Batutumonga saat sore, jadi aku tak dapat melihat kota diatas awan maupun kerlip indahnya Rantepao dibawah sana.
Sawah Cantik
Balik menuju ke Rantepao sekitar pukul setengah empat, sepanjang jalan aku sempat berfoto dengan sawah indahnya. Sampai Rantepao sekitar jam setengah lima kurang dan aku bingung mau ngapain lagi. 
Gereja Tua di Rantepao
Tongkonan tempat aku menghabiskan waktu sore hari
Rencana ke Buntu Pune tapi jalanan macet parah. Jadinya aku hanya memotret landmark Toraja Utara dan nongkrong sendirian di tongkonan dekat Gereja. Lalu makan lagi, balikin motor jam enam pas dan jalan kaki ke Masjid. 
Rantepao Art Centre
Pusat Kota Rantepao
Malam itu kuhabiskan di Masjid. Dari maghrib hingga Isya. Soalnya tak ada tempat berteduh lagi. Setelah isya sekitar pukul delapan aku keluar membeli kopi Arabika Toraja untuk kawan di Bontang. Orang-orang di Rantepao ramah sekali terhadap pendatang, muka boleh sangar, tapi begitu diajak ngobrol halus sekali :D Aku merasa nyaman backpackeran sendiri di Toraja. Tenteng carrier sana sini aman aja !
Senang sekali aku dapat menjelajah kota Rantepao seorang diri, dengan begini aku lebih berani dan mengenal kondisi serta jalan-jalan disekitarnya. Dan yang terpenting aku sempat berinteraksi dengan warga lokal :)
Aku beli satu kilo kopi Arabika Toraja yang aromanya nendang menurut penjualnya. 500 gr seharga seratus ribu rupiah. Wew, mahal asli, haha. Aku ngobrol cukup lama dengan penjual kopinya untuk membunuh waktu sambil menunggu bus menuju Makassar, yah, daripada nggak jelas di pool bus.
Datang juga waktuku berpisah dengan Rantepao. Bus yang mengantarkanku pulang ke Makassar akhirnya tiba, sedih juga berpisah dengan Rantepao....ah, rindu pelukan sejuk dan ramahmu, sayang :)
Bus yang membawaku kembali
Suasana Malam di Rantepao :')
Destinasi yang belum tercapai di Toraja :
1. Lemo
2. Makale, mau foto di gedung DPRDnya.

Tips menuju Toraja :
- Bagi yang ingin explore sehari saja, jangan lupa pesan tiket balik ke Makassar ya untuk malam hari
- Tak perlu mengunjungi semua tempat wisata di Toraja, karena banyak yang mirip, seperti : Buntu Pune dan Kete' Kesu. Kunjungi yang perlu saja.
- Selektif memilih makanan (bagi yang muslim) Biasanya warung makan halal dikasih tulisan muslim
- Jangan malu bergaul dengan warga Rantepao yang ramah
- Gunakan tabir surya, cuaca sejuk tapi matahari cukup terik
- Hargai kearifan budaya lokal, jangan rusak situs disana (ada sanksi adat lho)
- Berperilaku dan berbusana yang sopan, ini kampung orang bung, jangan bertindak sesuka hati lah.
- Usahakan memiliki nomor kontak penginapan ataupun penyewaan motor untuk menghindari full booked
- Gunakan jaket saat berkunjung ke Toraja, buat antisisapi..eh antisipasi.

Alamat penyewaan motor :
Bagus Tourist Information Centre (Bpk Markus)
JL. Mangadil No 25 Rantepao (dekat Wisma Maria)
HP. 081355390131

PO Litha (Bus Toraja-Makassar pp)
Perwakilan Makassar : (0411) 442236
Perwakilan Rantepao : (0423) 21204
2
Share
Newer Posts Older Posts Home

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Asyiknya Bebas Beraktivitas Seharian Tanpa Kacamata dan Lensa Kontak ! (Pengalaman Lepas Kacamata Tanpa Bedah Refraktif)
    Apakah si Une ikut-ikutan bedah refraktif seperti lasik atau relex smile? Hm, sebenarnya itu masuk ke dalam daftar keinginanku karena memang...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose