Jika merengek masih tidak mempan, maka aku bergerak sendiri
selagi aku mampu.
Karena belum ada kejelasan apakah bapak kost mau
mengantarkanku ke Ruteng apa nggak, maka aku nekatkan berangkat sendiri ke
Ruteng dengan travel dari Labuan Bajo. Sendiri, tanpa teman-teman, menjadi solo
traveller. Tak peduli walaupun ternyata supervisor pembangkit ternyata keesokan
harinya juga mau berangkat ke Ruteng dan aku diajak numpang mobilnya. Bukan
masalah penghematan duit, tetapi masalah kemandirian juga *aku berkilah sendiri
Oke, untuk mewujudkan On Job Travelling’s Month,
bagaimanapun juga aku harus bisa mencapai destinasi utama yang aku catat di
sticky notes laptopku : Komodo, Kelimutu dan Wae Rebo. Dan destinasi tersulit
adalah Wae Rebo, dimana kemampuan fisik benar-benar diperlukan. Bulan ini aku
benar-benar memanfaatkannya dengan jalan-jalan, hampir setiap minggu aku
pesiar. Tapi kali ini aku kembali menjadi anak gunung, setelah sebelumnya menjadi anak pantai.
Seperti biasa, aku berangkat dengan gayaku yang asal-asalan
dan jauh dari kata modis dan cantik. Celana training komprang lusuh, kaos
lengan panjang, jilbab yang tidak senada (Warna coklat muda dan kaos hijau
muda), muka buram dengan polesan bedak tipis dan gincu seadanya. Serta amunisi
wajib berupa sandal gunung Eiger ukuran 38, Daypack semi carrier Eiger 35 L,
dan jaket angkatan PLN 37 kugantungkan sembarangan di tas. Tidak lupa juga
‘jimat’ andalan trekking atau naik gunung : Counterpain Cool.
Perjalanan menuju ke Ruteng kurang lebih 4 jam dari Labuan
Bajo. Medannya? Naik turun bukit, berlenggak-lenggok seperti usus, naik turun.
Biasanya aku memang tidak mabuk, kali ini memang tidak mabuk, tapi perutku
serasa dikocok-kocok hebat. Selama perjalanan aku ngobrol dengan cewek bule Jerman disampingku. Aku tahu dia dari
Jerman gara-gara buku yang dibacanya dalam bahasa Jerman, kira-kira begini
percakapan kita :
Une : Von Deutschland? /dari Jerman? (sambil nunjuk cewek
itu)
Bule : (terheran-heran sambil lihat aku) Ja…Sprichst du
Deutsch? / Iya, kamu bicara Jerman?
Une : (gelagepan jawab, lalu jawab dengan campuran bahasa
Inggris) Mmmm…nein, just daily conversation / Tidak, hanya percakapan harian
saja
Bule : (tersenyum) Gut, Ich heiße Lucia, Wie heißen
Sie? / baik, namaku Lucia, namamu?
Une : (Jawab dengan bahasa campuran lagi) Ich heiße Une, I’ll spend my holiday
here , hehe (Namaku Une, aku habiskan liburanku disini)
Bule : Ich bin auch (aku juga)
Une : (senyum senyum nggak jelas, bingung mau jawab apa,
lalu memutuskan untuk berhenti saja)
Empat jam kemudian aku sampai Ruteng. Siang hari hawanya
memang sejuk. Aku memang janjian sama temanku OJT Ruteng untuk menuju ke Wae
Rebo keesokan harinya. Sedikit cerita tentang Ruteng nih, aku juga sebenarnya
baru saja mengerti kota ini sejak OJT, sebelumnya aku nggak tahu. Ruteng
merupakan ibukota dari Kabupaten Manggarai, dulu sebelum tahun 2003 masih jadi
satu dengan Manggarai Barat, tetapi sekarang Manggarai Barat merupakan
pemekaran dari Manggarai. Terletak di Pegunungan Poco Mandosewu Flores dan
dekat dengan Gunung Ranaka. Ruteng terkenal dengan kota dingin, (terbukti aku
saja pakai jaket sepanjang hari) dan curah hujan tinggi yang tidak menentu,
biasanya setelah jam 12 siang biasanya hujan ringan hanya 5-10 menit saja. Suhu sekitar 18
derajat celcius, sumber air sangat berlimpah hingga memiliki pabrik air mineral
yang bernama “Ruteng”, hanya dijual di Flores. Airnya dingin sekali, saat aku
mandi selalu teriak dan kepalaku langsung merasa pusing. Ketika malam tiba,
bintang-bintang yang bergelantungan di langit sangat indah, terlihat jelas
sekali dibingkai oleh pegunungan Poco Mandosewu. Sejenak aku sempat berpikir
ingin mengambil gambar star trail, tapi alat tidak memadai.
Wae Rebo, Minggu, 2 Maret 2014
Hari ini akan menjadi hari yang luar biasa. Aku akan
mengunjungi Wae Rebo bersama keluarga besar PLN Ruteng. Janji berangkat pukul 7
WITA, tapi yang paling kubenci pasti molor. Aku paling malas karena perjalanan
kesana sangat jauh. Molornya nggak
tanggung-tanggung, hingga 2 jam gara-gara alasan yang mengesalkan. Sebelum
berangkat aku sempat berjalan kaki pemanasan mengelilingi lingkungan sekitar.
Minggu pagi itu, warga Ruteng tampak bersiap menuju Gereja dengan berpakaian
rapi terbaik mereka sambil memegang kitab sucinya. Cantik-cantik dan
cakep-cakep, karena senyum senantiasa tersungging di bibir mereka.
Jam 9 akhirnya kami berangkat, total yang ikut 12 orang.
Aku khawatir sekali apabila terlalu sore bisa turun kabut. Selama perjalanan
kami sempat berhenti di pinggir pantai penuh batu untuk makan nasi kuning.
Perjalanan menuju Denge, desa terakhir tempat pemberhentian kedaraan, sekitar 3
jam dari Ruteng, dengan medan cukup memabukkan juga. Pantatku serasa membara.
Untunglah pak sopir, alias Om Ismail sudah hafal benar jalannya, karena beliau
sering menagih SEHEN* di daerah-daerah jauh seperti ini, walaupun dia belum
pernah ke Wae Rebo.
Wae Rebo, terletak di kecamatan Satarmese Barat, Desa
Satarlenda. Untuk mencapainya harus mendaki gunung, lewati lembah, dan
sungai….. *malah nyanyi . Tapi benar begitu adanya, harus lewati gunung
Pocoroko, sungai, dan lembah sejauh 9 km selama 4 jam. Edan meeen….apalagi kita
berencana pulang dan pergi hari ini juga! 18 km seharian -_-
Sebelum mendaki, kita singgah dulu di homestay milik pak
Blasius untuk sholat dan istirahat sebentar. Pendakian dimulai pukul 13.00
WITA, SDK Denge mulai menjadi saksi titik awal ekspedisi kami yang bakal
membuat darah mendidih dan daging menari. Yeah, I’m ready to go !
|
Awal perjalanan memang sudah bikin darah mendidih daging
menari. Trek menanjak dan penuh bebatuan. Matahari pun terik dan sialnya aku
lupa tidak memakai sunblock yang sempat menjadi primadona saat di Pulau Komodo.
Aku hanya berharap pada topi rimba bekas Kopassus nomor 019, semoga dapat
sedikit melindungiku.
Tipikal jalur trekking |
Treknya berbelok, menanjak terus. Aku mulai ngos-ngosan.
Temanku OJT Ruteng dari Palembang, namanya Ody berbaik hati menawarkan diri
menjadi porterku. Alhasil tasku berpindah pundak ke pundakknya. Akupun bisa
berlari kencang di tanjakan, sedangkan teman yang lainnya asyik ber
‘cieee….cieee’ atas kejadian heroik barusan yang menimpaku.
Untuk menghilangkan lelah sejenak |
Karena jalan menanjak dan panas, maka persediaan air
mineralku 1,5 L mulai menipis. Akupun galau berat, habis air matilah kita. Tapi
ditengah perjalanan ada sumber air yang masih jernih dan segar. Kami langsung
mengisi botol kami yang mulai kosong.
Air, Sumber kehidupan |
Setelah sumber air, kami mulai memasuki hutan hujan tropis,
tak heran disebut Zamrud Khatulistiwa wong hutannya aja hijau dan segar seperti
ini dengan burung-burungnya yang bersiul eksotis. Jalan tetap menanjak dan
melipir jurang. Setiap 100 m ada penanda jarak, kurang berapa meter lagi. Tak
jarang juga kita bertemu dengan warga Wae Rebo yang turun mencari keperluan
atau membawa kayu-kayu turun. Kami disapa dengan senyuman hangat dan
berkenalan. Sungguh, ramah, hangat dan peduli sekali mereka terhadap orang baru!
Bertemu Warga Wae Rebo Turun Gunung |
Penanda jarak, yang dilihat bikin kesal banget |
Serasa sudah jalan 1 km, ternyata masih 100 m di penanda
jarak. Aku sering bertanya dengan nafas memburu pada warga Wae Rebo yang turun,
apakah masih jauh, dan jawabannya ternyata masih jauh. Kuhela nafas panjang
dengan harapan kampungnya tiba-tiba berada di depan mata begitu saja.
Beberapa teman masih tertinggal dibelakang. Karena aku
memiliki misi untuk mengejar cahaya di Wae Rebo untuk berfoto sebelum gelap,
maka aku ngebut dan balapan dengan Panji Tejo (OJT Ruteng), teman-teman yang
lain masih dibelakang bersama guide. Aku dan Tejo saling mendahului didepan.
Edelweiss |
Beberapa saat kemudian kami sampai di pos Pocoroko. Disini
kita dapat melihat laut Sawu, hutan yang luas, bahkan titik awal perjalanan
kami yang ternyata sangat jauuuuuh dibawah. Di pos Poncoroko merupakan tempat
terakhir untuk mencari sinyal, tetapi ponselku sudah aku matikan sejak awal
perjalanan biar tidak mudah habis energinya. Edelweiss pun tumbuh subur di pos
ini.
Pos Pocoroko, dari kiri kekanan : Mas Ajie, Tejo, Une |
Ketika teman-teman yang lain telah mencapai pos Pocoroko, aku mulai balapan lagi. Melipir jurang, bukit, dan ilalang yang kadang
bikin gatal juga. Kadangkala harus melewati jalan sempit licin yang membuat
kami ekstra waspada. Papan penunjuk menunjukkan kurang 1 km lagi. Aku semakin semangat
menambah kecepatan, tak mau kalah dengan Tejo. Melalui kebun kopi yang menjadi komoditi utama Wae
Rebo, sungai kecil, jembatan bambu,
hingga aku dapat melihat Wae Rebo dari kejauhan…
Haloooo Wae Rebo ! |
Sudah mau sampai |
Pukul 16.30 WITA, akhirnya aku berhasil menjejakkan kakiku
pertama dari peserta yang lain di Wae Rebo. Aku takjub dengan 7 buah Mbaru
Niang yang ada didepanku. Anak-anak kecil berlarian bermain bola, aku duduk
bersimpuh, kepalaku tengadah kelangit, lalu menatap keadaan sekitar Wae Rebo.
Beberapa anak mendatangiku dan menatapku aneh, mungkin mereka berpikir “Ih,
ngapain ada cewek cantik duduk disini, kagum ya? Biasa aja kali, tapi selamat
ya mbak, udah sampai disini”
Mimpi jadi nyata |
Kamera andalan kukeluarkan, kujepret sana sini hingga
berebut minta fotoin sama Panji Tejo. Aku menghirup udara Wae Rebo dalam-dalam,
sambil makan roti yang ditawarkan oleh beberapa teman yang mulai menyusul
datang.
Beberapa anak kecil mulai mendatangiku, aku memberinya
snack ringan dan wafer krim yang masih utuh. Aku sengaja menyusun rencana ini
dari awal. Anak kecil itu langsung berlari kearah teman-temannya dan membagi
rata jajanan yang aku berikan. Sungguh, kehidupan yang sangat harmonis !
Bersama anak-anak Wae Rebo |
Mereka hobi bermain bola ! |
Ternyata, kelahiran Pak Rafael tahun 1927, berari sekarang
usianya 87 tahun. Hebat deh, usia senja tapi masih bisa berbicara dengan jelas
dan tegas. Bagi-bagi dong Pak, rahasianya apa, biar josss jadi pemimpin PLN
sampai usia senja :)
Setelah toleh kanan kiri, aku tidak menemukan remaja
seusiaku di Wae Rebo. Ternyata warga Wae Rebo mulai umur 7 pindah ke desa Kombo
untuk mulai hidup mandiri. Hmm..pantas disini hanya ada Mama dan Pria yang
sudah lansia gitu. Padahal sambil menyelam minum air, sekalian cari jodoh juga
disini, siapa tahu dapat cucu kesayangan ketua suku, eh ternyata pada urban ke
Kombo #kecewaberat
Setelah diterima di rumah Gendang, kami berebut keluar untuk
berfoto sebelum malam menyelimuti desa. Riuh memanggil anak kecil-kecil yang
asyik bermain bola untuk berfoto bersama, dan akhirnya kami masuk ke rumah
Tirto Geni Maro, rumah untuk menjamu tamu.
Di dalam Mbaru Niang, sejuk nian :D |
Di dalam rumah Tirto Geni Maro, kami diberikan kopi asli
Wae Rebo, kental, pekat dan alami rasanya, dijamin bisa joss untuk trekking
malam nantinya. Mama-mama di Wae Rebo selalu menggunakan sarung dengan motif
tenun Manggarai, mereka membuatnya
sendiri dan menyebutnya Songke.
Di dalam Tirto Geni Maro dijual Songke dan Kopi
khas Wae Rebo. Aku yang sudah ngiler dengan tenun ikat Manggarai, langsung
tawar menawar dengan bahasa Manggarai ala logat Jawa. Kebetulan harganya
500ribu, dan aku coba tawar, siapa tahu dengan sok-sokan jadi Manggarai tulen
bisa turun harga.
Ngopi dulu *kelihatannya masih malu-malu tuh |
Une : Mama, songkenya 400ribu nganceng ko?/Mama, kain
songkenya 400ribu boleh nggak?
Mama : Toe nganceng enu…buatnya sulit, 3 bulan baru jadi
/Nggak bisa nduk, …buatnya sulit, 3 bulan baru jadi
Une : (bingung mau jawab apa pakai bahasa Manggarai) Oke lah
Mama, aku ambil sarung satu, 500 ribu ya… *hitung hitung untuk membantu
perekonomian mereka
Songke Manggarai |
Mama Maria Sedang menenun |
Sok-sokan jadi warga Wae Rebo, hahah |
Untunglah saat itu aku bawa uang lebih, jadinya bisa beli
songke yang motifnya unik banget.
Setelah itu aku coba untuk naik ketingkat 2 Mbaru Niang,
serem banget tangganya hanya terbuat dari bilah bambu yang diceruk di setiap
buku bambunya. Kalau dibuat naik sakit. Oh ya, Mbaru Niang sendiri terdiri dari
lima tingkat, dimana tingkat pertama disebut Tenda, digunakan untuk tempat
tidur dan dapur, tingkat kedua disebut Lobo, untuk penyimpanan bahan makanan,
lalu ketiga namanya Lentar, digunakan untuk menyimpah hasil kebun dan benih
makanan, selanjutnya Lempa Rae, untuk cadangan makanan, dan yang paling
tertinggi adalah Hekang Code untuk penyimpanan sesajen para leluhur. Hebat
banget nih insinyurnya, bisa membuat rumah sekuat ini tanpa semen, paku, maupun
pondasi cor, Wow !
Coba Naik ke Lobo *Senyum penuh ketakutan |
Setelah minum kopi, kami berebut keluar, foto-foto lagi.
Anak-anak Wae Rebo paling suka diajak berfoto. Mereka sangat fotogenik sekali.
Saat itu pengunjung hanya dari kelompok kami, jadi sepi karena sudah terlalu
sore juga. Biaya kesini juga tergolong mahal, jadi kalau mau kesini lagi
pikir-pikir dulu nih , haha
Didepan Tirto Geni Maro |
Sekitar pukul 6 sore, kami kembali dipanggil masuk ke Tirto Geni Maro, ternyata ada perjamuan makan malam. Menu makan malam saat itu adalah sayur labu
siam dan sejenis bayam plus kerupuk. Sederhana sih, tapi kalau dimakan dalam
keadaan lapar luar biasa dan dalam kebersamaan yang hangat pasti terasa
menyenangkan. Aku makan banyak sekali untuk presiapan trekking malam ini.
Sebelumnya aku belum pernah trekking 18 km seharian, gila-gilaan deh, gara-gara
besok ngantor jadinya harus pulang malam ini juga. *padahal aku pun bolos
Perjamuan Makan Malam |
Absen sebelum pulang |
Namaku ada di nomor dua dari bawah :D |
Salutnya, di setiap Mbaru Niang sudah terdapat photovoltaic, lampu SEHEN dan beberapa lampu jenis lilin. Sejak menang UNESCO, Mbaru Niang memang naik daun, sehingga fasilitas di Mbaru Niang pun dilengkapi untuk kenyamanan pengunjung. Sayang di dapur gelap sekali, aku heran bagaimana mereka bisa memasak dalam kegelapan…
Panel Surya dan Lampu SEHEN |
Memasak dalam gelap |
Setelah makan, kami berpamitan kepada Mama dan ketua
adatnya. Trekking malam pun menanti kami, aku menelan ludah.
Foto Bersama Ketua Adat Wae Rebo, Pak Rafael didepan rumah Gendang |
Trekking malam, guide kami memberi penerangan dengan lampu
SEHEN, sedangkan yang lainnya menggunakan senter dari ponselnya. Keadaan hutan
memang gelap gulita, ditambah dengan kaki pegal-pegal begini. Jurang di kanan
kiri siap menyantap kami apabila meleng sedikit. Lebar jalan hanya 1 meter,
sehingga kami harus ekstra konsentrasi. Kadangkala kami berhalusinasi bahwa jurang
sama seperti kasur super empuk, kalau ngelindur sedikit bisa freefall ke jurang
suram tersebut yang penuh dengan malaikat pencabut nyawa, hiiiii…..
Untuk membunuh halusinasi tersebut, si Tejo mulai membuat
tebakan mesum :
Tejo : Apa bedanya tarzan naik pohon sama monyet naik
pohon?
Beberapa mulai jawab ngawur : Kalo monyet itu kamu, Jo !
Tejo : Salah…
Karena malas meladeni, kami pun minta jawabannya,
Tejo : Jawabannya adalah, kalau monyet ekornya dibelakang
dan kalau tarzan ekornya didepan, hehehe
Yang lain langsung teriak heboh, yang pikirannya agak mesum, pasti langsung paham. Jujur, aku saja langsung paham. Lalu ada
yang nyeletuk mesum juga, “Ada lagi nih perbedaannya, kalau ekor kera dielus
nggak berdiri, kalau ekor tarzan bakal berdiri tuh !”
Suasana makin riuh malam itu, aku menggumam, “Kau gila ko…”
Entah mengapa lamat-lamat akupun melantunkan lagu Surti
Tejo tanpa sadar, beberapa teman mengikuti laguku, jadi semakin lengkaplah
pembicaraan mesum malam itu, dasar….
Tiga jam perjalanan turun, akhirnya sampai juga di Denge.
Kakiku gemetar, perut lapar, dan kami semua langsung pulang ke Ruteng dengan
kondisi badan remuk….dan tertidur, zzzzz…..
Sampai Ruteng jam satu pagi dalam keadaan lelah luar biasa !
Sampai Ruteng jam satu pagi dalam keadaan lelah luar biasa !
###
Terima kasih kepada : Teman-teman PLN Ruteng, yang telah
menanggung akomodasiku selama disana, benar-benar perjalanan yang menyenangkan.
Terima kasih Eris, atas fotonya, Annisa, April, Tejo atas tebakan mesumnya, Ody
, telah menjadi portirku, Om Is, telah mengantarkan kami, Ka’e Vian, Mas Ajie, Mbak Edel,
Ka’e XXX (guide yang namanya terlupakan), Pak Blasius, dan lainnya yang tidak
disebutkan satu-satu. Terima kasih banyak ya, dengan ini tiga tujuan terbesar
di Flores telah tercapai. Terima kasih juga pada instansi yang menempatkan
OJTku di tanjung bunga yang indah ini, Flores. Terima Kasih ALLAH, Terima Kasih PLN !
*SEHEN : Super Ekstra Hemat Energi. Lampu LED bertenaga surya yang terpasang pada rumah penduduk yang belum terpasang jaringan listrik. Tingkat kecerahanannya bisa diatur dengan menarik tali pada lampu. 60 lumen dengan konsumsi daya 15 Watt.
*SEHEN : Super Ekstra Hemat Energi. Lampu LED bertenaga surya yang terpasang pada rumah penduduk yang belum terpasang jaringan listrik. Tingkat kecerahanannya bisa diatur dengan menarik tali pada lampu. 60 lumen dengan konsumsi daya 15 Watt.
No comments:
Post a Comment