#1 : Kakak Rinjani Tersayang (Sembalun - Puncak Anjani ! )

Sebagian orang mungkin menganggap kegiatan naik gunung adalah hobi yang aneh. bagaimana tidak aneh, kalau yang didapat adalah kulit terbakar matahari, mengelupas, kaki pegal, pundak dan dengkul ngilu. Makan seadanya, mau boker susah. 
Tapi aku menikmati proses berjalannya, bukan hasil akhirnya. Proses bagaimana kita dekat dengan alam, bagaimana menikmati alam, mengabadikan keindahannya, bertemu kawan baru, dan berbagai hal menyenangkan lainnya.
Maka dari itu aku mendedikasikan waktu cuti 4 hariku untuk mendaki gunung yang konon terindah di Indonesia selain Semeru, Rinjani.
Perjalanan menuju Rinjani sebenarnya cukup mendadak. Persiapan fisik masih dirasa kurang, hanya kuat di mental dan percaya diri saja.
Rencana ke Rinjani sebenarnya sudah tertunda 2 bulan, semenjak bulan Agustus lalu. Agustus, cuti nggak di acc, September, cuti acc tapi nggak ada teman, dan akhirnya, Oktober, cuti acc dan ikut open trip. Nekat juga, karena dalam open trip itu tidak satupun yang kukenal, emak sih mengkhawatirkan akan tingkat kepedulian orang-orang baru dengan teman yang sudah lama dikenal bakalan beda, tapi aku berusaha meyakinkan emakku, bahwa kawan baru ketika bertemu di gunung itu rasa solidaritas dan persaudaraannya tinggi.
Ok, dapat ACC dari emak.
Berangkat dari Balikpapan, *syukurlah ada barengannya, Om Andi :D tanggal 10 Oktober 2015. Perasaan antara percaya nggak percaya aku mau naik Rinjani mulai melanda. Mampukah aku? Bisakah aku?
Dan pertanyaan itu terus melayang di kepalaku ketika pesawat yang membawaku ke Lombok melampaui kawasan pegunungan Ijen, Raung, Stack Paiton, hingga Gunung Agung di Bali.
Duh kenapa jadi krisis percaya diri seperti ini ya ? XD
Pesawat dari Surabaya sempat delay satu jam, tapi bersyukurlah selain Om Andi ada juga dua kawan baru dari Palembang, Ayu dan Putri. Duo wong kito galo itu minggu ini baru saja menggapai titik tertinggi di tanah Jawa, Mahameru. *aku gunakan kata menggapai, bukan menaklukkan, karena kesannya lebih halus, bukan angkuh. Nggak hanya itu, Puncak Indrapura di Kerinci pun sudah mereka gapai ! Luar biasa.
"Kito baru saja lulus kak, kita cari kegiatan aja, mumpung didanai kampus, soalnya kito buat proposal pendakian ke Agrapana (nama pecinta alam di kampus mereka)"
Aduh senengnya dibiayain kampus, pikirku.
Jadilah kita mendarat di Lombok telat satu jam dari jadwal. Kawan-kawan open trip Filosantara (open trip yang aku ikuti sudah menunggu di bandara), dan kita langsung menuju homestay di Sembalun.
Rute pendakian kali ini mulai tanggal 11-14 Oktober lewat jalur Sembalun, turun Senaru. Perjalanan ke Sembalun dari bandara memakan waktu sekitar 4 jam. Di Sembalun udaranya sejuk sekali, segar, dan gemintang bertaburan indah di angkasa, mengingatkanku pada kondisi kota Ruteng, Nusa Tenggara Timur.
Kami membersihkan diri, packing ulang, lalu istirahat untuk pendakian esok hari.

11 Oktober 2015, Pos Awal-Plawangan Sembalun
Hari yang mendebarkan akhirnya datang. Pendakian hari ini akan segera dimulai. Pagi hari di Sembalun sangat indah. Pucuk Rinjani menjulang gagah di depan mata, serasa ingin segera merengkuhnya. Bukit-bukit berselimut kabut di belakang homestay kami, Bukit Pergasingan. Aktivitas di pasar Aikmel yang berlatar belakang Rinjani sudah terasa denyutnya. Pekerjaan kantor pun terlupakan sementara.
Denyut Aikmel di Pagi Hari

Porter yang membawa logistik kami
Kami sarapan, melakukan sedikit peregangan, dan berdoa, berharap semuanya diberi kelancaran dan keselamatan hingga pulang. Terdengar suara girangnya Brave, si keril 50 L ku diajak naik gunung, ini naik gunung perdana, bersamamu, Brave!
Perjalanan menuju pos pendakian awal dari homestay sekitar 15 menit. Pemandangan perbukitan dan sawah Sembalun sangat mendamaikan.
Masih awal
Trek awal Rinjani masih landai-landai penuh kejutan. Tubuh masih perlu penyesuaian dengan suhu dan beratnya keril yang dipanggul. Tubuh pun cepat lelah. Tapi rasa lelah itu bisa kuminimalisir dengan madu kurma dan berfoto di sepanjang perjalanan. Hingga terbentang sabana Sembalun maha luas bak permadani cokelat karena ilalang yang terpanggang serta mahaterik dengan tanjakan kelas ringan hingga sedang. Karena saking teriknya, air minum cepat terkuras disini. Air mineral yang kubawa 1,5 L dan 750 mL pun tinggal separuhnya, makin khawatir saja karena sepanjang perjalanan tak ada sumber air, sedangkan tenaga cepat terkuras habis.
Sekitar jam 12 kami sampai di pos 1 yang cukup panjang, kita beristirahat sejenak lalu melanjutkan ke pos 2 yang tak terlalu jauh. Jam 1 siang kami sampai di pos 2, lalu makan siang dan shalat. Kami juga dijelaskan kalau jalan menuju pos 3 full tanjakan, tapi belum bukit penyiksaan yang ramai diperbincangkan orang.
Bule-bule makan siang disini dengan menu burger dan spaghetti
Kalau kita makan disini :D
Tanjakan yang tanpa ampun, suasana yang mulai berkabut, kadang kita harus melalui bebatuan dan pasir cukup menguras stamina. Berkali-kali aku istirahat dan rasanya sudah kapok. Satu tim kompakan merasa ingin melempar keril jauh-jauh. Rasanya tubuh ini melayang tanpa keril yang dipanggul.
Kabutnya syahdu dan surreal
Sabana Sembalun : Cantik-cantik ngeri
Jam empat sore kita sampai di pos 3. Tubuh sudah lelah, ditambah lagi melihat rute selanjutnya menanjak full bebatuan ganas diselimuti kabut tipis. Pasrah sudah kakiku, kalau mau hidup ya jalan terus, haha. Kamera yang kubawa serasa tak ada fungsinya. Mana sempat dalam kondisi jalan yang seperti ini memikirkan mengambil foto dengan angle keren. Yang penting cepat sampai, istirahat, makan malam.
Meniti bebatuan perlu kesabaran dan ketelitian tinggi agar tak tergelincir jatuh. Setelah itu kita bersua dengan tanjakan penyiksaan yang panjang setelah melalui 5 bukit. Aku tersenyum pahit, kata bang Arga (yang punya trip) yang mengawal tim pelan-pelan asal selamat, berkata : susah senang kita bersama.
Dengan penuh kesabaran aku melewati tanjakan itu, dikit-dikit berhenti aja dah, pikirku. Pokoknya sampai aja di Sembalun.
Hari merambat makin malam, tak kusadari aku mulai berjalan sendiri. Sering sekali aku jatuh terjerat akar yang menjuntai, terperosok di pasir, kesusahan naik karena medan yang berpasir hingga ditolong pendaki lain, disemangati bule yang lewat, ketakutan akan tersesat, masuk jurang, hingga dengan langkah terseok-seok aku sampai di Plawangan Sembalun pukul 19.30 WITA.
Sempat kecewa tak menikmati sunset di Plawangan Sembalun, aku memilih beristirahat saja, mempersiapkan summit yang masih kuragukan gara-gara kakiku yang pegel luar biasa !

Senin, 12 Oktober 2015, Plawangan Sembalun - Puncak Anjani
Pukul 03.00 WITA kami terbangun, persiapan summit attack. Hawa diluar sunggulah dingin. Kerlip headlamp beriringan menuju puncak. Hanya doa dan harapan yang bisa aku panjatkan. Bawaan aku saat itu hanya daypack, roti, air 1,5 L dan kamera. Dersik angin malam ditemani kerlip lampu desa Bayan membelai tubuh, mengantuk luar biasa. Meniti trek berpasir, berkerikil dengan kemiringan 50 derajat lebih. Ketika sudah ngos-ngosan, Aris (porter kami yang ikut summit) menarikku dengan sarungnya karena iba melihatku yang sudah hampir merangkak. Si Aris benar-benar hebat, bagaimana mampu metabolisme tubuhnya menyesuaikan dengan suhu sekitar dengan kaos oblong dan celana pendek?
Dua jam kami berjalan menekuri jalan berpasir akhirnya aku sampai punggungan menuju puncak Rinjani. Tenagaku sudah terkuras, kaki sudah gemetar. Aku terduduk lemas, Aris membuat api untuk menghangatkan tubuh, sedangkan aku menyantap roti dengan air yang sedingin es. Dari sini puncak terlihat semakin jelas, dan dekat dimata, jauh di kaki. Segara anak pun menyapa dan menyemangati dari bawah. Di puncak terlihat kilat flash kamera dan merah putih berkibar.
"Masih jauh?" tanyaku pada Aris.
"Jauh mbak, masih lurus aja, jalannya berpasir sedikit menanjak."
Semburat Cinta Dewi Anjani
Dengan langkah malas aku menyeret kakiku. Fajar mulai terbit memberikan semburat terbaiknya. Tempat camp kami terlihat jauh dibawah, hingga tempat awal pendakian kami. Bukit pergasingan, sawah berwarna-warni, dan semua keindahan dilimpahkan disana. Rasanya aku ingin duduk saja, menikmatinya dari sini.
"Ayo mbak, kalau jalannya kayak gini bisa lima jam lagi," Goda Aris.
"Aku ngantuk,"
"Nanti dipuncak tidur saja."
Mungkin karena kesal menunggu langkahku yang terseok-seok, maka kupersilakan Aris jalan duluan. Dibelakang masih ada Arga dan kawan-kawan yang lain.
Plawangan Sembalun dibawah sana
Beberapa langkah berhenti, beberapa langkah berhenti. Seperti itulah cara jalanku. Aku berusaha menghilangkan rasa lelahnya dengan melihat Segara Anak dibawahku, lalu mengambil gambarnya, lalu berjalan lagi, begitu seterusnya hingga tanjakan terakhir berupa trek berbatu dan berpasir yang menyulitkan pergerakan menghadang angkuh dihadapanku.

Segara Anak Sebelum Puncak
"Bentar, gua istirahat dulu, Ga." Kataku pada Arga yang menemaniku selama perjalanan menuju puncak setelah ditinggalin Aris. "Kaki gua udah gak kuat lagi, apa gua harus nunggu aja disini," *saat itu sudah jam 9 pagi
"Aduh, lo nyerah sampai sini tuh rugi banget, nanggung. Mending nyerah aja dari bawah tadi. Kalau capek turun aja," katanya sambil tersenyum, tanpa ada nada marah sedikitpun. Duh baik sekali anak ini, haha.
"Nih minum teh dulu, sama roti. Bentar lagi tanjakan penyesalan yang paling nguras tenaga, pelan-pelan aja, ntar gua tarik deh." Katanya sambil menunjukkan webbing yang ia bawa, lalu membukakan oreo krim stroberi. "Makan juga nih, buat energi. Sama, gua juga suka oreo krim stroberi kayak punya lo,"
"Ga, gua boleh cerita gak?"
"Boleh, apaan emang?" Katanya sambil menyalakan sebatang rokok.
"Sebenarnya gua mau ke Rinjani sama cowok yang gua sayang, rencananya September. Tapi dia gak dapet cuti dari bosnya, jadi dia gak bisa naik. Eh ternyata gua duluan yang naik Rinjani, habis kaki udah gatelan banget. Gua jadi gak enak mau bilang dia. Aku diem-diem aja."
"Lo balik aja kesini sama cowok lo. Gunung boleh sama, tapi cerita boleh beda dengan orang yang lain, bukan?"
"Tapi gua udah males kesini lagi, haha."
"Yah, kalau menurutku naik gunung ini mengalahkan ego dalam diri. Ketika kita merasa tak yakin melanjutkan, tapi kita hanya menanamkan kepercayaan dalam diri pasti bisa yah...pasti bisa beneran."
Aku hanya mengangguk. Lalu mengajaknya melanjutkan perjalanan.
Trek Sebelum Puncak
Arga mengulur webbingnya, lalu dengan sabarnya aku ditarik naik. Berjalan sebentar lalu seperti itu lagi. Tapi hanya terjadi beberapa kali, lalu aku memutuskan untuk berjalan sendiri. Sabar dan berusaha.
Aku Sayang Kamu
Dua jam yang tersiksa akhirnya berakhir di puncak Anjani. Aku berlutut, menengadah ke langit. Ini sudah jam 11 Siang. Aku terharu, tak kusangka aku bisa menakulukan mimpiku disini. Melihat Kaldera segara anak yang cantik, kawah Rinjani, Gunung Agung, dan awan yang bergumpal dengan langit biru dibawahku.
Aku ingin teriak, sungguh. Aku memang tak berfoto dengan nama orang yang kusayangi di puncak, aku hanya berbisik pelan di puncak Rinjani : Semoga kamu bisa segera menjejakkan dirimu disini.

Hari semakin terik, kepalaku pusing, ngantuk dan lapar luar biasa. Aku berfikir ini mungkin gejala hipoksia, maka kami segera turun, berharap agar asupan oksigen berangsur normal. Dengan menahan pusing yang teramat sangat, aku segera berlari melibas trek pasir dibawahku. Sempat tertidur karena kelelahan, lalu terbangun kembali bermain ski pasir. Total jarak tempuh turun ke Plawangan Sembalun sekitar 3,5 jam saja, kalau  naik (dengan cara berjalanku) total 7,5 jam !
Karena sampai di Plawangan Sembalun sudah terlalu sore, maka itinerary yang seharusnya menginap di Segara Anak malam itu harus diundur besok. Kami masih menginap di Pelawangan Sembalun. Bersyukurlah aku, karena masih dapat menikmati sore yang indah disana !
Malam hari tampak cuaca tak bersahabat. Angin kencang bertiup memukul tenda kami bertubi-tubi. Aku meringkuk dalam tenda, entah kenapa aku terkejut mendapat pesan masuk di tempat seperti ini, menanyakan bahwa laporan kinerja sudah terkirim atau belum. Tak kubalas karena alasan sedang cuti, setelah itu aku mencoba menelepon orang tuaku yang terpisah ribuan mil dariku.
Gunung yang lucu, ada sinyal yang hanya bisa dibuat telepon dan SMS saja!

Bersambung . . .

Unesia Drajadispa

No comments: