• Homepage
  • PORTOFOLIO (BOOKS)
  • About Me
Was ist los, Une?

Wisata bahari di Bontang dimana saja? Beras Basah? Itu sudah sangat-sangat biasa. Segajah? Ya itu salah satunya, tapi kali ini karena mengajak sang emak dan bapak yang jauh-jauh dari kampung halaman dan nggak mungkin ke Segajah karena kegiatan utama disana adalah snorkeling dan tentunya panas karena tidak ada tempat berteduh. Jadilah....Malahing menjadi salah satu tempat pilihan untuk mengajak bapak ibu mencari spot foto di hari Minggu sore.

Sebelum masuk ke cerita petualangan kecilku di Malahing, aku ingin menceritakan sedikit mengenai salah satu pemukiman ditengah laut Bontang selain Selangan yang menjadi salah satu nominator 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia pada tahun 2023. Kampung ini berdiri sejak tahun 1999 dengan perintisnya adalah Bapak Nasir Lakada dan kakaknya. Mereka melakukan perjalanan dari Mamuju, dan mendirikan rumah diatas laut, lalu lambat laun berkembang dan bertumbuh menjadi salah satu kampung di kelurahan Tanjung Laut dengan kurang lebih 62 kepala keluarga. Malahing sendiri kian bersinar dengan bantuan CSR dari PT Pupuk Kalimantan Timur dan PLN Peduli.

Jadi Malahing ini benar-benar perkampungan diatas laut, terpisah sekitar 4 km dari Bontang Kuala. Tidak ada pasir ataupun tanah, hanya ada bilah-bilah kayu ulin yang disusun membentuk jalan maupun lapangan kampung tempat warga menyalurkan olahraga atau permainan seperti voli, badminton ataupun sepak takraw.







Walau Malahing hanya kampung diatas laut, namun fasilitas sosial sudah cukup lengkap, seperti SD, TK dan PAUD, rumah ibadah, toko  yang menjual kerajinan masyarakat, dan yang paling menarik perhatianku adalah pojok literasi dengan jumlah bukunya lumayan banyak. Homestay dan resto apung juga tersedia bagi pengunjung yang ingin menjauh sejenak dari keriuhan di kota. Untuk sinyal? Aman, koneksi 4G kencang sudah tersedia disini. Listrik dan air bagaimana? Listrik sudah tersedia dengan PLTS bantuan dari  dinas perumahan dan permukiman, dan juga untuk air sudah dikelola oleh PDAM. Takjub juga sih aliran PDAM sudah masuh ke pemukiman ini, kukira penduduk hanya mengandalkan air tadah hujan di tandon untuk keperluan air tawar sehari-hari. Untuk keperluan sanitasi dan MCK juga telah tersedia septic tank terapung.

Dan perjalanan kita hari itu dimulai pada pukul 16:30 sore lebih sedikit karena kami baru sampai dari Samarinda. Perjalanan dengan perahu motor hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit dari Bontang Kuala. Namun tujuan kami sore itu tak ke Malahing saja, tapi melihat satwa yang menjadi primadona kota Bontang alias Kuntul Perak dan Bangau Tong-Tong yang spesiesnya mulai langka.

Laju perahu kami melambat mendekati dua rimbunan bakau ditengah laut, tak jauh dari perkampungan Malahing. Laut mulai jernih, dasar laut tampak dengan jelas.

"Kita ke Teluk Lape dulu, lihat Kuntul Perak dan spesies yang sudah langka, Bangau Tong-Tong," ujar Ino yang menjadi pramuwisata kami sore itu.

"Teluk apa mbak?" suamiku setengah berteriak sambil beradu dengan dengungan mesin kapal.

"Lape, Lape mas! Ini awalnya Teluk Love namanya, karena  dua mangrove ini ketika surut seakan-akan membentuk hati. Namun masyarakat Bugis lebih biasa menyebutnya Lape, jadilah Teluk Lape, lebih kearifan lokal."

Haha, Lape menurut lidah orang Indonesia memang lebih nyaman diucapkan.

"Ini burung-burung hanya ada sore hari aja mbak?" lanjut suamiku.

"Ya enggak, pagi siang juga ada. Cuma aku lebih suka lihatnya sore, karena suasananya enak, teduh, dan juga bisa menikmati sunset dan langit yang indah jika beruntung."

Emakku heboh sekali melihat para bangau beterbangan diterpa cahaya sore yang keemasan. Tangannya tak henti-henti menekan tombol rana kamera sesekali mengeluh dengan wajah berkerut kesal, "Aduh, apa ini kamera hape jelek. Mau ambil foto burung aja buram, jelek. Harusnya pakai kamera bagus yang lensanya puanjang gitu."

"Ya besok beli lewat keranjang hijau," timpalku santai.

"Mangrove juga sudah kami tanam untuk memperluas area mangrove, menjaga kelestarian mereka. Lihat, itu Bangau Tong-Tong, ukurannya sangat besar, lebih besar dari elang ! Mereka terbang bersama kuntul perak !" pekik Ino sambil menunjuk para satwa itu.

Duh, aku yang sudah bertahun-tahun di Bontang baru sekali ini lihat kuntul perak. Warnanya memang nggak perak, tapi putih bersih. Apalagi bangau tong-tong dengan nama ilmiah Leptoptilos javanicus, si bangau berleher jingga berkepala botak dan paruhnya panjang, baru pertama kali juga melihatnya.

Langit sore itu cerah dan jelita. Senja makin turun dan warnanya berubah menjadi ungu lembayung. Perahu kami memutar dan menuju kampung Malahing untuk menyapa warga dan melihat aktivitasnya.

Malahing sore itu ceria, anak-anak sibuk bermain bola di lapangan sekolah. Para balita sibuk melihat orang tuanya yang bermain voli sambil mengusili satu sama lain. Sedangkan kami sibuk berkeliling dan memotret sekitar, melihat keramba warga yang dihuni oleh beberapa jenis ikan dan lobster besar, dan juga homestay estetik serta spot foto yang membuat emakku berkali-kali ingin difotokan, dan mengamuk ketika hasilnya jelek. Namun ia semakin gembira menatap langit sore itu yang warnanya luar biasa indah.

Ah, dasar emak-emak senior.

Kunjungan kami saat itu adalah masa dikala malam hari bulan purnama berpendar bulat-bulatnya. Air laut pasang, sore menuju malam kian tinggi. Pelataran parkir Bontang Kuala terendam banjir air laut sebetis orang dewasa. Pemilik kendaraan bermotor, dan mungkin sepeda ketar-ketir melintasinya, bukan karena ada buaya, tapi proses oksidasi  yang menyebabkan karat menghantui kami jika telat sedikit menetralkannya dengan air tawar. Rangka rontok, perawatan makin mahal. Jadi jangan lupa selalu memastikan kondisi bulan sebelum mengunjungi Bontang Kuala ya.

Bagi yang ingin berkunjung ke Malahing atau wisata di seputar bontang bisa kontak kak Ino di : 081250595075.

0
Share

Betapa berdebarnya hatiku mendengar bahwa tahun ini akan diadakan Kutai Wana Rally kembali, yang edisi ke XIV dimana sempat vakum karena gelombang pandemi. Asyik, masuk hutan lgai ! Terakhir masih kuingat dengan jelas rekam jejak  KWR-ku, terakhir kuikuti tahun 2018 dengan kondisi badan nggak fit karena flu dan demam, dan pada tahun 2019 nggak sempat ikut karena kehabisan slot. Untuk tahun ini, begitu pendaftaran dibuka, aku langsung melakukan pendaftaran senilai Rp 800,000 ,-  dan menentukan nama kelompokku, yaitu blacK Ulin dimana huruf kapital dalam nama kelompok kami tersebut merupakan akronim dari bagian kami di kantor, yaitu Keuangan dan Umum. Harapannya, kami dapat sekuat dan setangguh Ulin saat melintasi trek yang akan disajikan.😊

PLN Electric Run

Kelompok kami berjumlah 4 orang, diketuai oleh Rahmad, dan seperti biasa aku adalah cewek sendiri. Saat technical meeting disampaikan, bahwa rute 'hanya' 7,2 km dan kami diwajibkan memakai starter pack yang telah dibagikan oleh pihak panitia. Starter packnya berupa kaos, tas berukuran lumayan besar, dan dua wadah air bervolume 750 mL dan 1 L. Juga diinfokan tidak tersedia water station di sepanjang trek. Peserta dapat mengikuti rute yang telah ditandai pita berwarna merah dan putih.

Duh, serius aja kami disuruh menggunakan tas sekolah seperti ini saat masuk ke hutan? Ribet! nggak ada water bladdernya dan tentu saja membuat kami nggak bisa bergerak dengan leluasa. Namun karena panitia mewajibkan hal itu dan konsekuensinya jika tidak adalah diskualifikasi, maka terpaksa kami pun menggunakannya. Toh cuma 7,2 km, tahun lalu juga segitu juga jaraknya.

Iya, cuma.

Pada tanggal 20 Juli kami berangkat dengan transportasi yang sudah disiapkan panitia, yaitu berupa minibus. Sebenarnya kondisi badanku pada minggu ini sempat drop dan flu, namun aku berusaha keras untuk sembuh dengan konsumsi vitamin dan makanan bergizi, dan akhirnya sembuh walaupun suaraku masih sedikit sengau. Tak apalah, fisikku sudah kembali kuat, toh cuma 7,2 km, pikirku meremehkan.

Iya, cuma.

Peserta melimpah ruah di venue Sangkima, kelompok kami kebagian start urutan 64, dimana setiap 5 kelompok dilepas ke trek dan selang satu menit 5 kelompok berikutnya. BlacK Ulin mulai berjalan sekitar pukul 09.30 WITA. Total ada sekitar 187 kelompok, jadi bisa dibayangkan betapa ributnya didalam hutan. Awal masuk melalui boardwalk seperti biasa, lanjut belok kiri melintasi jalan berlumpur. Tapi aku percaya dengan sepatuku yang ber-sol vibram megagrip, jadi bisa lebih lincah melewati trek berlumpur. Lalu tak jauh beda dengan tahun sebelumnya, melintasi batang kayu yang melintang diatas sungai yang berarus deras menjadi hal menyenangkan yang kami lewati.

Namun, yang bikin kesal adalah panitia cuek-cuek aja melihat peserta yang tak menggunakan starter pack berupa tas saat start. Mereka dapat berjalan seperti biasa melintasi trek. Mana yang katanya didiskualifikasi? Huh, dasar nggak konsisten.

Dalam kelompokku (Rahmad, Sidiq, Bartadi, dan Une) hanya Bartadi lah yang newbie dan belum pernah merasakan ganasnya trek lintas alam kali ini. Ditambah treknya disuguhi tanjakan dan turunan yang curam dengan mengandalkan hose (selang) hydrant, dan sepatunya Bartadi yang didesain bukan untuk lintas alam, melainkan sepatu safety untuk inspeksi di lapangan sukses membuatnya mudah tergelincir dan kelelahan karena belum terbiasa. Tak apa, kami tunggu dengan suka cita karena tujuan kami bukan untuk mengejar piala bergilir namun bisa selamat hingga akhir. Ulin raksasa sebagai ikon Sangkima Jungle Park selalu dilintasi setiap acara ini, dan kami mengisi soal yang telah diberikan panitia.

Dan kecurigaanku menjadi-jadi ketika jarak di jam tanganku sudah menunjukkan 5 km dan panitia mengompori kami dengan kalimat "Ayo perjalanan masih jauh, 5 kilo lagi, dijaga staminanya !"

Apa? 5 kilo lagi? bukannya seharusnya sekitar 3 kilometer lagi? Ah gila, persediaan airku sudah menipis dan kulihat Bartadi sudah mulai pucat terseok-seok dan dehidrasi, tak ada yang mengira trek akan segila ini. Kami berusaha menguatkan dan menghiburnya dengan menyanyi sepanjang trek. Parah sih ini, karena panitia tidak menyediakan water station sama sekali sedangkan peserta tak dapat meramal bahwa treknya sangat menguras mental dan energi. Tanjakan demi tanjakan curam serta turunan kami lalui dengan sepenuh hati dan sekuatnya kaki, dan akhirnya sebelum pos 3 Bartadi mengibarkan bendera putih. Wajahnya pucat, lemas dan dehidrasi tanpa air. Dan hanya kami bertiga yang masih tabah melanjutkan trek gila yang seakan tiada ujungnya ini.

"Masih panjang ya? Masih ada tanjakan lagi ya?"

"Duh lurus dan dekat apanya, masih jauh kayak gini!"

"Tasnya menyusahkan !" keluh peserta lainnya. Kasihan juga ada beberapa peserta yang tali tasnya sudah sobek sehingga pontang-panting dan kesusahan membawa tas starter pack tersebut.

Itulah keluhan yang kudengar dari para peserta yang sudah mulai jenuh menapaki tanah hutan hujan basah siang ini. Tanjakan meranti sukses membuatku merana karena air sudah benar-benar habis, kepalaku mulai pusing dan kerongkongan kerontang. Menurut panitia jarak dan trek sudah tidak berat, hanya tinggal turunan saja. Namun karena kondisi tadi, konsentrasiku menurun dan kaki sudah gemetar, perut sudah lapar, rasanya ingin marah saja. Sungguh. Penanda kilometer di jam sudah menunjukkan 11 km dan kami telah berada di belantara Sangkima selama 5 jam. Banyak peserta yang memerlukan evakuasi medis karena menghadapi trek lintas alam yang luar biasa ini. 

Tujuh kilometer apaan? 

"Cut off jam tiga," kata salah satu panitia yang kami temui sebelum finish. "Bareng kami saja mbak, mas, lewat boardwalk saja lebih dekat, tim sapu bersih juga sudah bergerak."

"Dapat medali atau nggak mbak?" tanya Sidiq.

"Eng...enggak kayaknya."

Kami lunglai, kesal. Masa nggak dapat medali. Namun tak menyurutkan rasa penasaran kami untuk menamatkan trek ini. Bodo amat, dapat atau tidak, kami bertiga dengan gigih melanjutkan trek sambil tak hentinya berkeluh kesah. Mengutuk apapun yang dirasa salah dan menyusahkan.

Kami melewati jembatan terakhir, suara riuh rendah panggung sudah terdengar sejak tadi. Namun kali ini kulihat dengan nyata panggung kemenangan itu, beserta loncatan dan pekik gembira peserta yang dikalungi medali. Kupaksakan untuk menyusun konsentrasi agar tak tergelincir konyol di  sungai lebar beraliran deras ini. Dan akhirnya, ya ! Seratus meter kemudian aku, Rahmad, dan Sidiq berhasil finish walau 50 meter sebelum garis kemenangan kami melewati jalan lumpur berair, tepat di pukul 15:20 WITA. Haru, kami bertiga dikalungi medali, Allah menguatkan perjalanan kami. Inilah sorak sorai keberhasilan yang kami nantikan!

Walaupun kelompok kami sudah jelas tak mendapatkan juara dan doorprize, namun alhamdulillah Allah memberiku rejeki untuk menjadi salah satu reels Instagram terpilih di acara Kutai Wana Rally ini. Membuatku makin semangat untuk...berpartisipasi kembali di tahun-tahun berikutnya.

Allah, sehatkan selalu badanku. Berikan kekuatan dan keluangan waktu. Aamin.


*seluruh dokumentasi diambil dari panitia dan dokumentasi pribadi

0
Share

Salah satu tempat yang bisa dikunjungi bersama balita adalah KWPLH (Kawasan Wisata dan Pendidikan Lingkungan Hidup Balikpapan). Sebenarnya dari dulu sudah  penasaran ke tempat konservasi hewan  yang menjadi maskot Kota Balikpapan ini, ingin lihat Beruang madu yang nampak unyu karena lehernya putih. Awalnya kukira Beruang Madu itu bahasa Inggrisnya adalah honey bear, ternyata sun bear😁.

Untuk KWPLH sendiri jam bukanya mulai pukul 09.00 WITA hingga 16.00 WITA, luas area konservasi ini sekitar 1,3 Ha. Tidak dipungut biaya untuk mengunjungi lokasi ini, namun disediakan kotak donasi bagi pengunjung yang ingin berdonasi seikhlasnya untuk pengembangan kawasan yang dikelola oleh Pro Natura Foundation dan Pemerintah Kota Balikpapan ini.

Untuk menuju lokasi ini sejatinya cukup mudah, hanya perlu melalui jalan besar dari Balikpapan menuju Samarinda, di km 23 kelurahan Karang Joang, di kanan jalan pengunjung dapat menemukan tugu beruang madu dan gapura yang bertuliskan Kawasan Wisata dan pendidikan Lingkungan Hidup, nah tinggal belok kanan dan melewati jalan kampung sekitar 3 km dengan kondisi jalan yang tidak mulus. Dan sampailah kawasan konservasi yang asri itu. Sebenarnya jam berkunjung paling baik adalah pukul 9 pagi saat para beruang sedang makan, dan pukul 12.30 WITA akses untuk melihat beruang madu ditutup sementara karena mereka harus beristirahat dan dibuka lagi sekitar jam dua siang. Untungnya saat kami kesana pukul 12:00, tepat 30 menit sebelum akses ditutup. Untuk melihat beruang madu pengunjung dapat melewati boardwalk sepanjang 200 meter yang licin karena saat itu habis diguyur hujan dan pada ujung boardwalk disuguhkan oleh kandang si beruang yang didesain semirip mungkin dengan aslinya.





"Si beruang sudah pengen masuk kandang itu, tapi belum jamnya. Jadi pintunya belum kami buka," jelas penjaga yang mengantarkan kami. Sekitar lima ekor beruang sudah tampak gusar menggaruk-garuk pintu kandangnya.

"Jangan berisik saat melihat beruang, dan jangan menggunakan flash ketika memotret. Mereka hewan yang sensitif, dan sesekali agresif," sang penjaga mengingatkan kami, dan mati-matian kutahan bocil yang sudah merengek ingin lompat keluar pagar pembatas.

Sekilas info yang kudengar, beruang madu (Helarctos malayanus) ini merupakan salah satu hewan endemik khas hutan hujan tropis di Kalimantan, nah dia memiliki kebiasaan untuk menggaruk-garuk tanah atau mencari serangga di tumpukan kayu hutan yang lapuk, maka dari itu kawasan konservasi ini dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya (enclosure), dan beruang madu penghuni tempat ini merupakan hasil tangkapan dari peliharaan warga yang ilegal, mereka tinggal di KWPLH salah satu tujuannya untuk menghindari kepunahan dan beruang tersebut tidak bisa dilepasliarkan karena mereka memiliki cacat fisik akibat jerat penangkapan oleh manusia.

Lantas, apa lagi yang disuguhkan selain ikon utama si Beruang Madu? Banyak! Disini pengunjung dapat mempelajari lebih dalam mengenai dunia beruang, termasuk beruang kutub, panda, dan panda merah. Mulai dari cara berkembang biak, kebiasaannya, dan populasinya seperti apa. Ada juga lamin ada yang dipasang beraneka rupa foto keluarga beruang, yang biasanya digunakan untuk aula berkumpul pelajar study tour atau perkumpulan lain, dilengkapi juga souvenir kaos jika pengunjung ingin membeli sebagai kenangan atau oleh-oleh.

Selain itu, di KWPLH juga terdapat cukup banyak kucing berkeliaran, setiap akhir pekan pengunjung dapat melihat aktivitas mereka di rumah kucing  serta dapat mengadopsi kucing-kucing tersebut dengan jaminan kucing yang diadopsi sudah toilet training, disteril dan dalam keadaan sehat. Ada pula beberapa papan informatif yang menjelaskan mengenai serangga dan tempat tinggalnya. Pokoknya cocok bagi orang dewasa dan anak-anak yang ingin menggali lebih lanjut mengenai per-beruang-an maupun informasi mengenai alam di sekitar kita.

0
Share

Jika si kecil saat berusia 6 bulan berhasil mengunjungi hutan hujan tropis asli di Taman Nasional Kutai, maka kesempatan kali ini ia diajak ke 'Hutan Hujan Virtual' yang berada di kompleks Pantai BSB Balikpapan, menggantikan tempat pameran mobil klasik. Selain hutan virtual yang ditampilkan dengan proyektor dan layar raksasa, hal lain yang membedakan adalah tiket masuknya. Jika di Sangkima orang dewasa hanya perlu membayar Rp 7,500 ,- dan balita gratis, dan masuk ke hutan virtual senilai Rp 100,000 ,- untuk setiap orang dewasa dan bayi gratis.

Memangnya hutan virtual itu apa ya? Kok musim sekarang dikit-dikit virtual, dikit-dikit AI, dikit-dikit online, dikit-dikit terus lah. Hehehe. Iya, jadi pertunjukan ini adalah wahana permainan digital dari Nusa Lumina, yang mana mereka mengangkat tema yang berbeda setiap beberapa bulannya, nah kebetulan saat ke Balikpapan temanya adalah hutan hujan, pas dengan jiwa kehutanan kami.

Aku tahu wahana Nusa Lumina ini dari status salah seorang rekan, penasaran sih kok ada buaya sama beruang berjalan-jalan lucu gitu, akhirnya kuulik informasi darinya dan disarankan untuk mengunjungi Instagram @nusalumina untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.

Setelah maghrib kami mengunjungi Pantai BSB, walaupun besoknya hari kerja, namun parkiran selalu penuh dan susah payah kami dapat parkir di lantai paling atas dengan cara paralel. Untuk memasuki Kawasan BSB dan Nusa Lumina perlu membayar  Rp 100,000 ,- dan mendapatkan dua gelang kertas. Pertujukannya setiap 30 menit sekali, dan jadwal kami mulai pukul 19.00 WITA. 

Nah sebelum masuk, seluruh pengunjung diwajibkan untuk melepas alas kaki dan memakai alas dari kain spounbond dan untuk balita dibawah 2 tahun diijinkan untuk bertelanjang kaki. Si bocil lari-larian senang kesana kemari mengejar cahaya dari proyektor maupun citra satwa yang bergerak-gerak. Jika jatuh jangan khawatir terluka, karena lantainya tidak keras dan terdapat beanbag untuk bersantai di sudut ruangan itu. Hawanya pun sejuk dengan bantuan pendingin ruangan, jika tidak ada pendingin ruangan dijamin panas banget, karena kami dikelilingi oleh cahaya untuk menampilkan cerita mengenai hutan hujan tropis, hewan-hewannya, maupun pemeran utama dalam tema kali ini. Sekilas mirip seperti glow garden di Batu pada ceritaku sebelumnya.

Beruntung pengunjung waktu itu sangat sepi, hanya ada sekitar dua keluarga. Jadinya bocil bebas bergulung-gulung gembira, sehingga kami tak sempat menyimak cerita yang ditampilkan di ruangan raksasa tersebut.

Sekitar 10 menit kami berada di hutan virtual tersebut, lalu dipandu ke ruangan sebelah, dimana ada alas duduk menghadap kearah layar dan ternyata kakak pemandu bersiap untuk membacakan dongeng dengan cara yang unik, dongeng 3D aku bilangnya, karena setiap penutur membuka buku, maka bukunya dapat menyala dan menampilkan gambar karakter yang dapat bergerak yang...hm pokoknya susah aku deskripsikan penampakannya. Yang jelas idenya unik dan diluar dugaanku. Awalnya kami khawatir si bocil bakal kabur dan merangsek dan berusaha meremas lembaran buku itu secara bar-bar, ternyata dia bisa anteng kupangku dan tampak serius mendengarkan cerita tentang petualangan para bocah untuk menyelamatkan hutan hujan basah di Kalimantan. Mulutnya sedikit terbuka saking seriusnya.

Setelah mendengarkan dongeng, pengunjung dapat berfoto di kotak cermin yang bergambar aneka satwa dan para pemeran, dan memasuki sesi terakhir, yaitu mewarnai! Ya mewarnai hewan-hewan pemeran hutan hujan di ruangan yang sudah didekor dengan ornamen hutan dan karpet rumput sintetis. Selain itu  ada juga penjelasan plus nama ilmiah beberapa penghuni hutan hujan, namun belum sempat kuabadikan. Kalau sudah memasuki usia 3-4 tahun mungkin senang dengan kegiatan ini, namun bagaimana dengan bocilku? tentu saja dia berjalan kesana kemari, hampir memakan krayon dan mengusik kakak-kakak yang mewarnai disebelahnya. Alhasil emak dan bapaknya yang mewarnai beruang dan buaya. Dan setelahnya kita menyerahkan hasilnya kepada operator untuk dipindai dan ditampilkan di layar lebar didepan kami. hasilnya hewan-hewan yang telah kita warnai itu dapat bergerak-berjalan dengan membawa namanya masih-masing. Gemes!

Total sekitar 30 menit kami menikmati rangkaian kegiatan hutan virtual tersebut, karena akhir pekan, maka di pantai BSB ada pertunjukan teatrikal dengan atraksi fire dance dan seni air yang memukau! 


0
Share
Older Posts Home
View mobile version

AUTHOR

AUTHOR
Seorang wanita yang seperti kera sakti : Tak pernah berhenti, bertindak sesuka hati dan hanya hukuman yang dapat menghentikannya.

Labels

Berkeluarga INFLIGHT ITALY JAWA TENGAH Jambi KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR Lumajang NETHERLAND NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR Perancis SULAWESI SELATAN SUMATERA BARAT Sulawesi Utara Yogyakarta deutschland jakarta jawa barat jawa timur kalimantan selatan rusia

Popular Posts

  • ABOUT ME | ÜBER MICH
    "Allah menciptakanku saat sedang tersenyum, begitu pula ibu melahirkanku dengan senyum pula." Terlahir di Surabaya, 20 Juni ...
  • Berbagi Pengalaman Ketika Aku Joinan Tes D3 ITS-PLN
    Oy...sebelumya si Une minta maaf dulu, fotonya dibuat kayak hantu biar gak ada pemalsuan identitas, penghubungan alamat, walaupun aku pun...
  • Merindukan Otot Lelah dan Bau Hutan : Puncak Batu Putih, Kaliorang
    Alasan yang paling kuat untuk menjelajah Kutai Timur sebenarnya sederhana : Pandemi COVID-19. Yang awalnya memiliki rencana untuk terbang ke...
  • Deutschland für Anfänger (Pameran Jerman Untuk Pemula)
    Guten tag Leute :) Sebenarnya jujur, kejadian ini udah berlangsung sekitar sebulan yang lalu, tetapi nggak sempat ceritanya karena bentro...
  • #1 Babak Kedua Gunung Gergaji : Mengulang Pengembaraan di Barisan Karst Sangkulirang-Mangkalihat
     "Maaf ya, jika pesanmu baru bisa aku balas kira-kira hari Jumat."  Sejenak aku mengetik pesan terakhir padamu sebelum melanjutkan...
  • Sebuah Opini : Musik Klasik Untuk Semua
    Belajar musik klasik? Ogah ah, sulit, musiknya orang tua-tua. Mendingan belajar musik pop, cepet dikenal dan mudah. Mungkin banyak ...

INSTAGRAM : @FRAUNESIA

Copyright © 2015 Was ist los, Une?

Created By ThemeXpose